BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) 2.1.1. Biologi Karet
Tanaman karet berasal dari bahasa latin Hevea yang berasal dari Negara Brazil. Karet merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini
terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang
terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Karet merupakan salah satu komoditas pertanian di Indonesia. Komoditas ini relatif lebih lama di budidayakan daripada komoditas
perkebunan lainnya. Tanaman ini di introduksi pada tahun 1864 (Nasaruddin &
Maulana, 2009).
Pada awal abad ke 19 dalam berbagai eksplorasi yang dilakukan oleh
orang Eropa, ditemukan pula tumbuhan-tumbuhan lain yang menghasilkan getah
selain Hevea brasiliensis Muell Arg.. Tumbuhan tersebut antara lain adalah Ficus elastic Roxb, Funtumina elastic Stapf, Willughbeia sp., Palaquiun gutta BurckI, Parthenium agenatum Gray, Saladigo sp., dan Manihot glazziovii (Setyamidjaja, 1986).
2.1.2. Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) 2.1.2.1 Bunga, Buah dan Biji
Taksa kehidupan hewan maupun tumbuhan ditempatkan berdasarkan banyaknya
jumlah kekerabatan yang dipelajari untuk menggali potensi yang lebih baik lagi.
Termasuk tanaman karet yang juga mengalami aturan seperti itu (Obouayeba et
al, 2012).
Tanaman karet adalah tanaman berumah satu (monoecious). Pada satu
tangkai bunga yang berbentuk bunga majemuk, terdapat bunga betina dan bunga
jantan. Pembungaan pada tanaman karet dimulai setelah selesai masa gugur daun
yang terdapat dalam malai payung tambahan yang jarang. Pangkal tenda bunga
berbentuk lonceng. Pada ujungnya terdapat lima tajuk yang sempit. Panjang tenda
bunga berkisar 4-8 mm. Bunga betina berambut vilt dan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan bunga jantan. Bunga betina mengandung bakal buah
yang beruang tiga. Bunga jantan memiliki 10 benang sari yang tersusun menjadi
satu tiang (Tim Penulis PS, 2011). Walaupun demikian penyerbukan dapat terjadi
secara sendiri maupun secara silang (Setyamidjaja, 1986).
Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Masing-masing ruang
membentuk setengah bola. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang sampai
enam ruang. Garis tengah buah 3-5cm. Bila buah sudah masak, maka akan pecah
dengan sendirinya. Pemecahan terjadi dengan kuat menurut ruang-ruangnya (Tim
Penulis PS, 2011). Setiap pecahan akan tumbuh menjadi individu baru jika jatuh
ketempat yang tepat (Setiawan & Andoko, 2007).
Proses pemasakan buah berlangsung selama 5½-6 bulan. Musim panen
biji berlangsung pendek. Hanya sekitar 1½ bulan. Sedangkan daya kecambah bij
sangat cepat berkurang, terutama bila penanganannya kurang baik. Berdasarkan
proses pembuahannya, dikenal tiga golongan biji pada karet yaitu biji legitim, prope legitim dan ilegitim (Setyamidjaja, 1986).
2.1.2.2 Akar, Batang dan Daun
Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi
pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan
memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet terdapat kecondongan
arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara (Nugroho, 2010). Dibatang
inilah terkandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Setiawan & Andoko,
2007).
Sebagai tanaman berbiji belah akar pohon karet berupa akar tunggang
yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi keatas. Dengan akar
yang seperti itu pohon karet bisa berdiri kokoh meskipun tingginya mencapai 25
meter (Setiawan & Andoko, 2007).
Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi
utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai utama 3-20 cm, sedangkan panjang
tangkai anak daun antara 3-10 cm. Anak daun berbentuk memanjang elips,
memanjang dengan ujung runcing (Nugroho, 2010).
Dalam pertumbuhan karet diketahui bahwa menjelang berakhirnya musim
hujan, pohon karet mulai menggugurkan daunnya (Setyamidjaja, 1986). Daun
karet ini berwarna hijau dan menjadi kuning atau merah menjelang rontok. Seperti
kebanyakan tanaman tropis, daun-daun karet akan rontok pada puncak musim
kemarau untuk mengurangi penguapan (Setiawan & Andoko, 2007), tetapi masa
gugur daun pada tanaman tidak terjadi dalam waktu yang bersamaan. Masa gugur
daun dipengaruhi oleh jenis klon dan keadaan iklim setempat (Setyamidjaja,
1986).
2.2. Lateks 2.2.1. Latisifer
Lateks sewaktu keluar dari latisifer masih dalam keadaan steril (Fachry et al.,
2011). Lateks Hevea brasiliensis merupakan getah/cairan sel yang berbentuk
suspensi yang terdiri dari partikel-partikel karet dan non karet seperti protein,
karbohidrat, lipid, asam nukleat, karotenoid, dan lain-lain. Adanya beberapa
protein spesifik yang terdapat di dalam lateks, yang diduga memiliki peranan
penting dalam proses aliran lateks (Soedjanaatmadja, 2008; Fachry et. al., 2011). Lateks terdapat pada suatu rongga dan sel sejenis yang bergabung yang
dikenal sebagai latisifer (Fachry et al., 2011; Gomez, 1982). Latisifer biasanya memiliki struktur berongga dengan cabang ataupun tidak. Pada beberapa spesies,
latisifer yang sangat kompleks dihubungkan oleh anastomosis antara yang satu
dengan yang lainnya. Berdasarkan ontogeninya, latisifer dapat dibedakan menjadi
tipe articulatedi dan non-articulated yang kebanyakan orang menyebutnya
sebagai pembuluh (Gomez, 1982).
2.2.2. Fisiologi Lateks
Menurut Sando et al (2009), Hevea brasiliensis Muell Arg. merupakan tanaman tropik yang memproduksi karet alami dengan rumus kimia cis-1,4-polyisoprene.
brasiliensis yang digunakan dibeberapa daerah karena memiliki produktivitas yang tinggi dan kualitas karet yang baik. Berat molekul karet yang dihasilkan
Hevea brasiliensis telah diketahui. Karet alami yang dihasilkan Hevea brasiliensis menarik perhatian tinggi sebagai industri polimer yang sangat bermanfaat karena
tidak ada komponen fisik buatan yang dapat menggantikannya.
Partikel karet merupakan suatu komponen koloidal yang terdapat dalam
lateks. Di dalam lateks, karet mengisi sekitar 30-45% dari keseluruhan komposisi.
Partikel karet memiliki ukuran yang sangat bervariasi, dari mulai 0,02 sampai 3
µm dengan distribusi maksimum 0,1 µm (Wititsuwannakul et. al., 2008).
Lateks adalah hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa yang
ditranslokasikan dari daun melalui pembuluh tapis kedalam latisifer. Didalam
latisifer terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur proses perombakan
sukrosa untuk dapat membentuk karet. Lateks terdiri dari komponen karet dan
bukan karet yang mana memiliki komposisi berbeda pada masing-masing pohon.
Komposisi lateks tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang paling
berperan adalah faktor lingkungan dan faktor genetik (Dalimunthe, 2004).
Penurunan kondisi fisiologis tanaman karet dapat diketahui dengan
mengamati kadar karet kering lateks dan diagnosis lateks. Bila terjadi cekaman
eksploitasi yang berat, maka kadar karet kering lateks akan menurun secara
drastis. Kadar sukrosa lateks berkaitan erat dengan penerapan eksploitasi terhadap
tanaman karet karena hasil fotosintesis yang ditranslokasikan kebagian tanaman
yang lain dalam bentuk sukrosa. Fosfat anorganik merupakan indikator aktifitas
metabolik yang menggambarkan kemampuan tanaman karet untuk mengubah
sukrosa menjadi partikel karet didalam lateks (Junaidi et al., 2010).
2.3. Asam Jasmonat 2.3.1. Biosintesis
Jasmonat merupakan kelompok senyawa yang diketahui sebagai oksilipin yang
berperan dalam regulasi pertumbuhan tanaman dan pertahanan. Jasmonat
memiliki distribusi yang luas dalam tubuh tanaman, aktif dalam konsentrasi yang
Secara umum, mekanisme biosintesis JA terbentuk setelah terjadi
pelukaan pada bagian tanaman tertentu. Pelukaan yang terjadi pada bagian
tersebut melepaskan suatu hormone polipeptida yang disebut sistemin. Hormon
sistemin kemudian berikatan dengan reseptor hormon yang terdapat pada
membran plasma. Pelekatan hormon sistemin dengan reseptor melepaskan enzim
lipase yang kemudian didistribusikan menuju ke membrane lipida. Pada
membrane lipida, lipase mengaktifkan asam linolenat bebas (18:3) yang
merupakan prekursor utama pembentukan JA. Asam linolenat berubah menjadi
12-Oxophytodienoic acid. Dari 12-Oxophytodienoic acid inilah kemudian
terbentuk JA (Taiz & Zeiger, 2002).
2.3.2. Manfaat
Jasmonat merupakan salah satu komponen tumbuh dari suatu sinyal molekul dan
hormon tanaman. Jasmonat merupakan turunan dari asam lemak polyunsaturated
yang terbentuk melalui jalur octadecanoid. JA merupakan produk akhir dari jalur tersebut dan berperan sebagai hormon bioaktif. Ciri utama jasmonat yang paling
mudah dilihat adalah sturktur cincin pentasiklik. Meskipun aktivitas biologis
tanaman tidak memiliki batasan untuk menghasilkan JA, tetapi JA merupakan
suatu metabolit yang berbeda dan memiliki sifat yang tidak sebaik prekursor
biosintesisnya (Schaller and Stinzi, 2008).
JA dan metil jasmonat memiliki fungsi penting dalam respon pertahanan
tanaman yang disebabkan karena adanya pelukaan mekanik maupun pelukaan
oleh serangga herbivora dan gangguan patogen. Jasmonat juga diikutsertakan
dalam pembentukan vegetative storage proteins (VSPs) pada bagian vegetatif
tanaman. Jasmonat dan turunannya berperan dalam menstimulasi bentuk dari
tuber atau bulbus. Jamonat dapat bertindak seperti ABA. Jasmonat dapat
menghambat pertumbuhan dalam cekaman osmotik yang kurang baik. JA dapat
menghambat pertumbuhan dan germinasi akar dan tunas pada biji yang tidak
dalam keadaan dormansi (Srivastava, 2002).
Seperti hormon tumbuhan yang lain, JA memiliki peranan yang cukup
besar dalam hal aktifitas fisiologis, perkecambahan biji, perkembangan organ
sebagai molekul yang memberikan sinyal pertahanan tumbuhan dari serangga
pemakan tanaman dan pathogen nekrotrop (Schaller and stinzi, 2008).
JA dan metil jasmonat merupakan turunan dari asam linolenat. Telah
diketahui bahwa kelompok jasmonat ini memberikan sinyal respon terhadap
gangguan biotik maupun abiotik pada berbagai tanaman yang sama baiknya pada
masing-masing tahapan perkembangan. Sepanjang tahun 1990, banyak indikasi
yang mengatakan bahwa jasmonat juga berperan dalam pengaturan morfogenesis
organ tanaman (Wei-Min et al., 2003).
2.4. Auksin 2.4.1. Biosintesis
Went mempelajari suatu senyawa yang dapat mempengaruhi sinyal pertumbuhan
dengan mendifusikan senyawa tersebut pada bagian ujung koleoptil kedalam blok
agar. Faktanya senyawa tersebut dibentuk pada suatu bagian dan ditransportasikan
dalam jumlah tertentu ke bagian yang mampu memberikan respon (Taiz & Zeiger,
2004).
Menurut Abidin (1983), IAA merupakan auksin endogen yang terbentuk
dari triptofan yang merupakan suatu senyawa dengan inti indole dan selalu
terdapat dalam jaringan tanaman. Dalam biosintesisnya IAA dapat berasal dari 3
jenis prekursor yaitu:
1. Tryptophan berubah menjadi Indole pyruvic Acid, kemudian indole
3-Acetaldehyde dan pada akhirnya membentuk Indole-3-Acetic-Acid (IAA).
2. Tryptamine berubah menjadi Indole-3-acetaldehyde dan selanjutnya
menjadi Indole-3-Acetic-Acid (IAA).
3. Indole-3-Acetonitrile menjadi Indole-3-Acetic-Acid (IAA) melalui
bantuan enzim nitrilase yang mana prosesnya belum diketahui.
Asam amino aromatik triptofan termasuk dalam jalur utama biosintesis
IAA. Hasil intermediet yang terdapat dalam triptofan dan IAA adalah asam indol
piruvat, triptoamin dan indol asetaldehida. Triptofan sendiri terbentuk dari PEP
(fosfo enol piruvat) dan eritrosa-4-fosfat (Wattimena, 1988).
Pemecahan IAA dapat pula terjadi secara alami akibat berlangsungnya
riboflavin dan ß-karoten pada tanaman akan menyerap cahaya. Energi yang
dihasilkan dari proses penyerapan ini dapat mengoksidasi IAA. Sedangkan
oksidasi enzim yang terjadi pada IAA dilakukan oleh enzim hidrogen peroksidase
yang mampu menghasilkan indolaldehid yang bersifat inaktif. Terdapat hubungan
antoagonis antara aktivitas oksidase IAA dengan kandungan IAA didalam
tanaman. Apabila kandungan IAA didalam tanaman tinggi maka aktivitas IAA
oksidase menjadi rendah, begitu pula sebaliknya (Abidin 1983).
2.4.2. Manfaat
Auksin merupakan hormon pertumbuhan pertama yang ditemukan pada tumbuhan
dan banyak aksi komponen fisiologis pada sel tumbuhan bergantung pada
aktivitas auksin tersebut. Auksin dan sitokinin berbeda dengan hormon tumbuhan
yang lain. Auksin dan sitokinin merupakan agen sinyal sangat penting dalam
mempengaruhi viabilitas tanaman. Auksin mengontrol bermacam-macam proses
perkembangan tanaman diantaranya perpanjangan batang, dominansi apikal,
inisiasi akar, perkembangan buah dan pertumbuhan (Taiz dan Zeiger, 2002).
Ditambahkan oleh Abidin (1983), dari segi fisiologisnya auksin berpengaruh
terhadap perkembangan sel, fototropisme, geotropisme, partenokarpi, absisi,
pembentukan kalus dan respirasi.
Zat pengatur tumbuh IAA berperan dalam pembentukan akar pada
potongan jaringan dan juga pembentukan tunas pada beberapa jaringan tanaman
yang diperbanyak melalui teknik kultur jaringan (Fatrurrahman, 2011). Hasil
penelitian terhadap metabolisme auksin menunjukkan bahwa konsentrasi auksin
didalam tanaman, mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Abidin, 1983). Aplikasi
campuran hormon IAA dengan kinetin mampu mempercepat pertambahan lilit
batang dan tebal kulit pada pohon karet (Koryati, 2004).
Setelah diketahui IAA merupakan salah satu fitohormon yang penting,
maka disintesis senyawa serupa yang telah teruji keaktifannya secara biologis.
Senyawa sintetik tersebut diantaranya asam indol-3 propionat, asam indole-3
butirat, asam naftalenasetat, asam 2,4 diklorofenoksi asetat dan asam
S-karboksimetil-N. Golongan senyawa sintetik yang pertama dibuat adalah
yang tidak tanpa cirri indol tetapi mempunyai aktifitas biologis seperti IAA. NAA
digunakan sebagai hormon akar (Wattimena, 1988).
NAA dan 2,4 D pada umumnya digunakan pada konsentrasi rendah untuk
mengenali tipe respon auksin dalam pertumbuhan sel, pembelahan sel,
pembuahan dan perakaran meskipun efek yang ditimbulkan bervariasi. NAA lebih
aktif dibandingkan IAA dalam menginduksi pertumbuhan akar pada stek batang.