PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN WILAYAH
Dikutip dari berbagai macam sumber Internet
1. Pengembangan Wilayah sebagai Upaya Mengurangi Kesenjangan Wilayah
Perencanaan dan pengembangan wilayah dimaksudkan agar semua daerah dapat melaksanakan pembangunan secara proporsional dan merata sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Bila perencanaan dan pengembangan wilayah berjalan dengan baik, maka diharapkan bahwa kemandirian daerah dapat tumbuh dan berkembang sendiri atas dasar kekuatan sendiri (Soekartawi, 1990).
Meskipun perencanaan pengembangan wilayah telah dilakukan dengan baik, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap terjadi kesenjangan antar wilayah. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan antar wilayah antara lain adanya faktor geografis suatu wilayah, yang mengakibatkan perkembangan ekonominya menjadi lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain yang kurang menguntungkan geografisnya; faktor sejarah, dimana tergantung pada bentuk organisasi dan kehidupan perekonomian pada masa yang lalu; faktor politik, dimana politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama di bidang ekonomi; faktor administratif, dimana tingkat efisiensi administratif akan lebih mampu mengundang investasi dibandingkan dengan wilayah dengan birokrasi yang berbelit; dan faktor sosial, dimana masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang dibandingkan dengan masyarakat yang tertinggal P4W FP-IPB (2002).
Selain itu, beberapa faktor ekonomi juga sangat berpengaruh dalam menciptakan kesenjangan antar daerah. Faktor-faktor tersebut antar lain adalah yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki, seperti lahan, infrastruktur, modal, dan lain-lain; yang terkait dengan lingkaran kemiskinan baik yang disebabkan oleh sumber daya yang terbatas dan ketertinggalan masyarakat serta disebabkan oleh kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, produktifitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran yang meningkat; yang terkait dengan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect; serta yang terkait dengan distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan, tenaga kerja dan sebagainya.
Pengembangan wilayah akan dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah apabila pemerintah melakukan beberapa intervensi, seperti pemerataan investasi, mendorong permintaan dan mendorong pemerataan tabungan. Pemerataan investasi khususnya investasi publik difokuskan kepada daerah-daerah yang relatif terbelakang. Investasi ini bersifat pembukaan akses terhadap pasar, informasi dan peningkatan kualitas faktor produksi di wilayah tersebut. Selain itu, dengan mendorong permintaan, maka setiap industri dan kawasan dapat dikembangkan secara terkait sehingga bisa menciptakan permintaan untuk masingmasing produk. Pemerataan tabungan sangat dibutuhkan untuk dapat memacu investasi, dimana peningkatan jumlah tabungan di suatu wilayah akan meningkatkan potensi investasinya.
Pengelolaan program-program pengembangan kawasan harus berdasarkan kerjasama antar daerah. Setiap program harus memperhatikan keterkaitan antar daerah, sehingga setiap pemerintahan daerah re-orientasi keluar (outward looking); (3) Program pengembangan kawasan juga harus memperhatikan aspek sisi permintaan dan perdagangan atau aspek pasar dan aspek keunggulan komparatif daerah; (4) Program pengembangan kawasan harus mengarah pada sinergitas antar program, yang dilaksanakan di sektor-sektor pembangunan dipusat maupun program didaerah, serta (5) Efektifitas pengelolaan program harus ditunjang dengan sistem informasi dan kelengkapan data.
2. Pengembangan Wilayah sebagai Antisipasi Globalisasi dan Perdagangan Bebas
Dewasa ini, perkembangan suatu negara semakin terkait dengan perubahan yang terjadi pada negara lainnya. Keterkaitan antar negara inilah yang telah menimbulkan proses globalisasi yang semakin kuat. Globalisasi adalah peningkatan interaksi dan integrasi dalam perekonomian di dalam dan antar negara yang meliputi aspek-aspek perdagangan, investasi, perpindahan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal asing, keuangan dan perbankan internasional serta arus devisa. Investasi tidak lagi dibatasi secara geografi dan sebagian besar investasi dilakukan oleh swasta dan akan mengalir ke belahan dunia manapun yang memiliki peluang menarik. Industri-industri memiliki orientasi yang lebih global, dan mereka lebih condong kepada keinginan dan kebutuhan untuk melayani peluang-peluang pasar yang menarik yang memanfaatkan sumber daya potensial. Informasi teknologi memungkinkan para perusahaan multi nasional beroperasi di berbagai belahan dunia tanpa harus membangun sistem bisnis yang lengkap di setiap lokasi dimana mereka berada. Akses yang baik terhadap informasi mengenai pola hidup di seluruh dunia telah mendorong individu untuk membeli berbagai produk tanpa harus dipengaruhi oleh campur tangan pemerintah. Konsumen semakin menginginkan produk berkualitas sehingga tidak menjadi masalah dari mana produk tersebut berasal. Dengan kata lain, globalisasi ekonomi akan semakin memperluas jangkauan kegiatan ekonomi sehingga tidak lagi terbatas pada suatu negara, daerah atau desa.
Indonesia menghadapi beberapa skema perdagangan bebas. AFTA, yang dimulai pada tahun 2003, menetapkan negara-negara anggota ASEAN dengan CEPT yaitu pengurangan secara bertahap hambatan tarif untuk baik produk industri maupun pertanian dan ditiadakannya hambatan non-tarif. Skema WTO yang akan diimulai pada tahun 2005 dan APEC pada tahun 2020, juga menetapkan bahwa dunia menuju pasar bebas dengan bebas keluar masuknya barang dan jasa serta uang dan modal antar negara dengan tarif bea masuk nol melalui penjadwalan secara bertahap.
Konsekuensi proses globalisasi ekonomi tersebut sangat besar terhadap negara manapun, termasuk Indonesia. Hal tersebut didasarkan atas beberapa aspek yang mengikuti perkembangan tersebut di atas (Peter F. Drucker, 1986), yaitu bahwa ekonomi hasil produk primer telah terpisah dari ekonomi industri, kegiatan produksi hampir terpisah dari upaya perluasan kesempatan kerja, dan lalu lintas modal merupakan motor dan penggerak utama perekonomian dunia. Ketiga unsur tersebut memiliki dampak yang besar terhadap pembangunan negara berkembang seperti Indonesia. Beberapa konsekuensi yang harus dihadapi antara lain:
1. Negara-negara industri telah mampu meningkatkan tingkat produksinya tanpa meningkatkan permintaannya terhadap produk primer negara-negara berkembang, sehingga negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia tidak lagi dapat mengikuti pola suplai dan negara-negara maju melakukan permintaan terhadap hasil produksi primer tersebut. Dalam hal ini aspek upaya-upaya pemasaran dikembangkan lebih maju dan kuat dari pada aspek
peningkatan produksi.
kemampuan sumber daya manusia, riset, teknologi, dan informasi.
3. Bahkan sebagai akibat kemajuan teknologi dan pengurangan biaya produksi, output yang meningkat drastis diikuti oleh jumlah pekerjaan yang akan menurun tajam, mengakibatkan munculnya pesaing-pesaing baru berupa tenaga ahli terdidik dan akan merupakan ancaman bagi tenaga kerja terdidik di Indonesia.
Oleh karena itu, kegiatan apapun yang dilakukan di suatu daerah tidak dapat lagi didasarkan atas ukuran lokal, sehingga orientasi kepada daerah lain, negara pesaing, dan standar internasional harus sudah mulai dilakukan (Brian J. Berry, 1997).
Di lain pihak, globalisasi dan perdagangan bebas membawa beberapa konsekuensi yang berdampak posisif bagi Indonesia (Mahmud Thoha, 2001) apabila dapat diantisipasi
dengan baik, antara lain:
1. PMA yang masuk ke Indonesia diharapkan dapat membawa serta inovasi dalam produk, proses, serta kemampuan organisasional, yang dapat mendorong efisiensi industri domestik dan kesempatan kerja. Dengan kata lain terjadi transfer teknologi produksi ke mitra lokal yang pada gilirannya berguna bagi pengembangan ekonomi lokal.
2. Di sisi dalam negeri, kondisi globalisasi akan menuntut peran pemerintah yang kreatif, inovatif, responsif dan efisien. Pemerintah yang diharapkan tersebut pada gilirannya akan merangsang timbulnya inisiatif dan peran individu, masyarakat, dan LSM, serta sektor swasta yang semakin penting dalam ekonomi dan bisnis.
3. Peran pemerintah akan semakin berkurang di dalam pasar, sehingga pemerintah akan dapat lebih fokus kepada kebijakan ekonomi dan sosial jangka panjang seperti pengembangan aspek pendidikan, penelitian, pengembangan, pengendalian terhadap monopoli, pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM), pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial, serta kebijakan fiskal. 4. Kondisi yang demikian memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk
selayaknya mengembangkan kebijakan-kebijakan yang tepat, khususnya dalam membangun investasi yang baik, antara lain stabilitas ekonomi makro, kemudahan dalam birokrasi, institusi keuangan yang kuat, kesiapan peraturan perundangan serta penegakan hukumnya, pemeliharaan kualitas infrastruktur yang baik, penyediaan jasa publik yang efektif, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan ahli di bidangnya, dan lainnya.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka setiap wilayah harus dapat mengevaluasi daya saing perekonomiannya guna menghadapi dampak globalisasi, sebab wilayah tersebut pada akhirnya diharapkan sebagai penghela pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, diharapkan masing-masing wilayah memahami daya saing yang dimilikinya terutama untuk memacu pembangunan ekonomi dan memperluas pasar pada perekonomian global. Keunggulan bersaing suatu kawasan akan tercipta jika kawasan tersebut memiliki kompetensi inti yang dapat dibedakan dari kawasan lainnya (Alkadri et all, 1999).
Kompetensi inti adalah kemampuan wilayah tersebut yang merupakan sumber keunggulan bersaing wilayah tersebut terhadap wilayah pesaingnya. Dalam konteks pengembangan kawasan, kompetensi inti lebih terkait dengan upaya untuk mengkoordinasi dan mengintegrasi sektor-sektor yang berkembang di dalam suatu kawasan. Kawasan yang telah mencapai tahapan kompetensi inti memiliki empat atribut yaitu kemampuan untuk memberikan akses pada pasar yang lebih luas dan bervariasi; kemampuan memberikan pelayanan kepada pelanggan atas manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa yang ditawarkan; kemampuan menghasilkan barang dan jasa
unggulan yang tidak dapat ditiru sehingga menciptakan hambatan masuk bagi
kawasan lain untuk memberikan layanan serupa; serta kemampuan melakukan
koordinasi yang kompleks dari beragam teknologi dan keahlian terapan (Hitt, Ireland,
& Hoskisson, 1999).
Kesenjangan wilayah selalu menjadi tantangan pengembangan wilayah sejak dari PJP I hingga saat ini. Kesenjangan yang terjadi baik antarsektor, antardaerah. antargolongan, maupun antar kelompok pendapatan, menjadi masalah utama pembangunan nasional. Selain kesenjangan, permasalahan otonomi dan desentralisasi dalam pengembangan wilayah juga masih merupakan masalah utama yang perlu terus diupayakan perwujudannya, sesuai dengan semangat untuk lebih mendesentralisasikan pembangunan kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi bertujuan mewujudkan nilai-nilai dari komunitas politik berupa kesatuan bangsa (national unity) pemerintahan demokrasi, kemandirian, efisiensi pemerintahan dan pembangunan sosial ekonomi. Otonomi daerah juga dimaksudkan untuk mendorong dan mempercepat pembangunan wilayah, dan daerah akan lebih cepat dan mudah mengambil keputusan, serta bertanggung jawab langsung atas keputusan yang diambil. Pelaksanaan otonomi daerah ini akan lebih meningkatkan kemandirian daerah baik organisasi, keuangan dan sumberdaya manusia.
Di era otonomi dimana daerah sudah lebih mandiri, dalam rangka perwujudan pengembangan wilayah atas dasar negara kesatuan Indonesia, hubungan kerja antara pusat dan daerah yang sinergis dan harmonis sangat diperlukan. Argumentasi tentang perlunya hubungan antara pusat dan daerah baik horisontal, dan vertikal didasarkan pada organisasi pemerintah bila ditinjau secara makro adalah satu. Dalam hal ini penanggung jawab akhir adalah Presiden. Terdapat dua model hubungan pemerintah pusat dan daerah yaitu agency model dan partnership model.
• Agency Model, pemerintah daerah adalah pelaksana dari pemerintah pusat.
Pemerintah pusatlah yang menetapkan kebijaksanaan, daerah berkewajian melaksanakannya.
• Partnership model, pemerintah daerah memiliki suatu tingkat kebebasan politik
tertentu dan merupakan partner atau mitra kerja dari pemerintah pusat. Namun jalinan hubungan kemitraan ini pemerintah daerah tetap merupakan subordinatif terhadap pemerintah pusat. Antara pusat dan daerah memiliki hubungan interaksi timbal balik yang saling mempengaruhi (resiprocal).
Sedangkan dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah terdapat 4 jenis pendekatan :
• Pendekatan permodalan, pemerintah daerah memperoleh modal dari pusat
yang dapat berupa grant yang juga tidak harus berbentuk uang. Modal ini diharapkan dapat diinvestasikan dan menghasilkan pendapatan untuk menutupi pengeluaran rutin. Pemerintah daerah diharapkan mandiri untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
• Pendekatan pendapatan, pemerintah daerah diberikan sejumlah sumber
pendapatan yang dipandang potensial didaerah. Daerah diberi otonomi untuk mengelola sejumlah urusan yang menjadi sumber pembiayaan daerah. Melalui ini daerah diajak untuk bersaing satu dengan yang lain dan diharapkan akan memacu percepatan pembangunan yang berkelanjutan.
• Pendekatan pengeluaran, pemerintah daerah diberikan sejumlah pinjaman,
bantuan atau bagi hasil dari pemerintah pusat untuk membiayai pengeluaran tertentu.
• Pendekatan komprehensif, sumber-sumber pendapatan diberikan dan tanggung
jawab diberikan kepada daerah dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan biaya yang ada. Dengan pendekatan ini pemerintah daerah tidak akan diberi tanggungjawab tanpa disertai dengan pemberian sumber dana yang memadai. Pemerintah pusat didorong untuk bertanggung jawab menjamin agar daerah mendapatkan sumber–sumber dana yang cukup dan memperhatikan kapasitas peningkatan pendapatan pemerintah daerah.
Selain itu, dengan berbagai kewenangan yang dimiliki oleh daerah, maka daerah diharapkan akan sangat berperan didalam menciptakan iklim yang menunjang
tumbuhkembangnya kegiatan perekonomian daerah. Prakarsa dan kreatifitas
lagi penyelenggara pemerintah daerah karakternya akan berubah, dari penyedia (provider) menjadi fasilitator dan katalisator segenap kegiatan perekonomian
didaerah. Berbagai kegiatan perekonomian yang tidak perlu dilakukan oleh pemerintah
akan diserahkan kepada swasta dan masyarakat. Prakarsa dan peran aktif swasta dan masyarakat didalam menggantikan peran pemerintah akan sangat didukung.
Pemerintah daerah juga akan menciptakan suasana yang mendukung tumbuhnya jiwa wirausaha warganya. Iklim kompetisi yang sehat juga harus senantiasa dijaga dan dikembangkan melalui berbagai kebijaksanaan dan peraturan yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian. Kesempatan yang sama dan setara juga akan dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat yang akan terjun dalam kegiatan perekonomian.
Otonomi daerah juga akan meletakkan dasar bagi terciptanya iklim yang kondusif didalam pengembangan ekonomi daerah, sehingga jiwa kewiraswastaan yang alami dan handal, persaingan yang sehat, dan kesempatan yang sama bagi segenap pelaku perekonomian di daerah diharapkan akan terwujud dimasa yang akan datang. Pemodal senantiasa ingin mendapatkan kepastian dan ketepatan waktu dari berbagai proses yang berhubungan dengan Kewenangan.
penyelenggara pemerintahan di daerah. Untuk itu keterbukaan, kepastian, ketepatan
tindak, ketepatan waktu, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah, juga akan
menjadi prasyarat utama akan datangnya pemodal ke daerah.
4. Tantangan Pengembangan Wilayah Di Masa Depan
Dalam rangka menjawab tantangan pengembangan wilayah, baik antisipasi terhadap globalisasi dan perdagangan bebas, kesenjangan wilayah, namun tetap sesuai dengan prinsip desentralisasi, maka seyogyanya prinsip-prinsip pengembangan wilayah adalah dalam ruang lingkup sebagai berikut :
1. Pengembangan wilayah harus berbasis pada sektor unggulan. Prioritas pada sektor unggulan akan mengarahkan sumber-sumber daya kepada sektor yang diunggulkan melalui pemetaan antara sektor unggulan dengan sektor-sektor yang menjadi pendukungnya.
2. Pengembangan wilayah dilakukan atas dasar karakteristik daerah yang
bersangkutan, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Suatu program
hanya dapat tepat dilakukan pada suatu daerah tertentu dan tidak pada daerah dengan karakteristik berbeda lainnya. Dalam hal ini pengenalan terhadap karakter daerah mutlak dilakukan, sehingga perencanaan dan implementasi program sesuai dengan kelompok sasaran daerah yang bersangkutan.
3. Pengembangan wilayah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Dalam hal ini pengembangan wilayah tidak dapat didasarkan pada satu sektor saja, atau pengembangan masing-masing sektor tidak dapat dilakukan secara terpisah.
4. Pengembangan wilayah mutlak harus mempunyai keterkaitan ke depan dan
ke belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Atau pengembangan
kawasan produktif di hinterland harus dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri pengolahan di perkotaan, untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi terhadap pertumbuhan perekonomian suatu wilayah.
5. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
otonomi dan desentralisasi. Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai
wewenang penuh dalam mengembangkan kelembagaan pengelolaan pengembangan ekonomi di daerah, mengembangkan sumber daya manusianya, menciptakan iklim usaha yang dapat menarik modal dan investasi, mendorong peran aktif swasta dan masyarakat, melakukan koordinasi terus-menerus dengan seluruh stakeholders pembangunan baik di daerah dan pusat, atas dasar perannya sebagai fasilitator dan katalisator bagi tumbuhnya minat investasi di wilayahnya.
perkembangan eksternal. Faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan perdagangan bebas terutama masalah pengembangan produk dalam pasar bebas untuk meningkatkan daya saing seperti peningkatan kualitas unsur-unsur sumber daya manusia, pengembangan riset dan teknologi termasuk teknologi informasi, pengembangan sumber-sumber daya modal untuk membiayai investasi berbagai inovasi pengembangan produk; serta otonomi daerah dengan fokus berbagai kebijakan yang mendukung iklim usaha investasi, kerjasama dan kemitraan dalam pengembangan produk antar berbagai pelaku, daerah, secara vertikal dan horisontal, serta pengembangan kemampuan kelembagaan pengelolaan ekonomi di daerah secara profesional.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka suatu wilayah dapat dianggap sebagai sebuah organisasi bisnis. Wilayah tersebut menjaga kelestariannya, bersaing dengan wilayah lainnya untuk merebut investasi maupun pangsa pasar produk unggulannya, dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk tumbuh, dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya; dan wilayah tersebut mempunyai berbagai kepentingan yang dinyatakan dalam tujuan, namun tetap memperhatikan batasan dan pengaruh-pengaruh berbagai kepentingan di luar kepentingan wilayahnya. Orientasinya kepada lingkungan eksternal dan internal ditunjukkan melalui kemampuan atau ketidakmampuannya untuk menjadi wilayah yang diandalkan dan menghasilkan produk unggulan, daya saing dan produktivitas dari semua sumberdaya yang dimiliki, dan unit dasar sektor industri yang dapat didorong untuk bersaing (Porter, Michael, 1993).
Sebuah wilayah yang berdaya-saing adalah wilayah yang mampu mengalahkan dan memimpin pasar setelah melakukan penyesuaian strategis yang tergantung kepada
kekuatan pendorong, kapabilitas, serta kompetensi inti kawasan dan produk yang
diunggulkan (Boar, Bernhard H., 1993). Untuk mewujudkan sebuah wilayah sebagai sebuah organisasi bisnis maka diperlukan adanya suatu manajemen strategis.
Dalam manajemen atau pengelolaan strategis suatu wilayah, seyogyanya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Sektor industri menjadi pendorong utama pengembangan wilayah. Konsekuensinya, pemilihan sektor unggulan pada suatu kawasan produktif dikaitkan dengan sektor industri dalam artian keterkaitan ke depan dan ke belakang, dari
hulu ke hilir, dalam satu kesatuan yang komprehensif, yang didasarkan atas
keunggulan komparatif dan kompetitif, kompetensi inti, dan kemampuan produksinya dalam menunjang sektor industri.
2. Pengelolaan pengembangan baik dalam perencanaan maupun implementasi program-program sektor selalu berorientasi pada aspek pasar dan permintaan
(demand) lokal, regional, nasional, dan global.
3. Pengelolaan secara strategis harus didukung faktor-faktor kunci
pengembangan suatu wilayah, termasuk faktor pendorongnya, yaitu SDM dan
tenaga ahli, infrastruktur, riset dan teknologi, serta data dan teknologi informasi.
4. Peran pemerintah cukup besar dan dituntut kreatif dan berinovasi dalam
lingkup perannya sebagai :
a) Sumber investasi publik di bidang infrastruktur, pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan SDM dan menciptakan tenaga-tenaga ahli berkompeten, penelitian dan pengembangan, informasi, jasa pelayanan, serta pemberdayaan masyarakat lokal (UKM).
b) Fasilitator sekaligus Koordinator antarsektor, antardaerah, dan antarstakeholders, untuk mencapai sinergitas di antara seluruh pelaku pembangunan di daerah.
bentuk berbagai kemudahan perijinan dan insentif, penyediaan dan penjaminan modal dan investasi, keuangan, peraturan perundangan, keamanan, serta penegakan hukumnya.
5. Koordinasi dalam proses perencanaan, implementasi, sampai kepada
pengendalian, dalam lingkungan internal selalu melibatkan keterkaitan antarsektor/ program/institusi, dan dalam lingkungan eksternal melibatkan kerjasama antar daerah/wilayah, antar subregion, atau antarnegara. Tujuannya adalah terbentuknya jaringan kerjasama dalam pengembangan produk dan pasarnya, serta tergalangnya kemitraan antar berbagai komponen pelaku pembangunan.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi daerah dengan pendekatan pengembangan wilayah, seyogyanya memerlukan prakondisi, untuk dapat dilaksanakan dalam sebuah manajemen yang strategis.
SUMBER BACAAN :
Alkadri et all, 1999. Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, BPPT. Jakarta
Bappenas dan P4W FP-IPB, 2002. Kajian Penyusunan Arahan Strategi
Pengembangan Inter-Regional Berimbang, Jakarta.
Boar, Bernhard H., 1993, The Art of Strategic Planning for Information Technology,
Crafting Strategy for The 90s, John Wiley & Sons, Inc., New York.
Brian J. Berry et all, 1997. The Global Economy in Transition
Hitt, Ireland, & Hoskisson, 1999. Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan
dan Globalisasi.
Mahmud Thoha, 2001. Globalisasi: Antara Harapan dan Kecemasan, suntingan tulisan dalam Globalisasi Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Quantum, Jakarta.
Peter F. Drucker, 1986. The Changed World Economy, dalam the Frontiers of Management.
Porter, Michael, 1993, Keunggulan Bersaing : Menciptakan dan Mempertahankan
Kinerja Unggul, Binarupa Aksara, Jakarta.