124 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 124~131
REINTERPRETASI SURAH AL-MÂIDAH AYAT 51 DAN IMPLEMENTASINYA
Asep Sulhadi* [email protected]
Abstract
This study discuss about the surah Al-Maidah verse 51. this became urgent because recently, in a few months this surah has been widely spoken by public. Commonly, they used it to ban Moslem electing non moslem leader. It did not stop to that case, most of Moslems supposed that we are prohibited to become their friend. As the result, the non moslem cooperations must be canceled, the products and the small bussines managed by non moslem must be banned. When this run for some periods, this would cause the relationship between moslems and non moslems less warmly, as the consideration that the basic prinsiple of Islamic teaching is to uphold the values of justice, tranquillity, humanity, equality,and morality. For the next period, this could change the islamic perspective which is well known by its friendly, hospitable, and full of tranquillity become disgracing. Furthermore, it would cause misperception and raise the negative perspective against islamic religion and moslem as a whole.
This research used in this study was library research, while the research method was description method where the researcher wrote Al-Maidah and then referred to interpretation books to do research asbâb al-nuzûl and the running interpratation by Ulama related to the verse above, it was then correlated to the factual life of Rasululloh SAW by referring to the hadith and concluded to this study.
The result of this study was said by al-waliy as the homonym of one word which has many meanings. This word was taken from the roots of wauw, lam and ya’ and the basic meaning is close. This then created new meanings as like supporting, defender, protector, lover, frontier and ect, in which all of them was interconnected by a red thread, called closery.According to asbâb al-nuzûl as the cause of this verse descended, it can be concluded that surah Al Maidah verse 51 prohibits us to have coalition, partnership, and have good friendship towards non Moslem if they do betrayal, disobidience, hostility openly, and fight againts us. The appearance of betrayal, disobidience, and the conspiracy become ‘ilah (the cause) of the prohibition. When
there is no ‘ilah (the cause) as like non Moslem which acts fairly and tranquillity
towards Moslem, so we have to respect and protect them as we respect and protect ourselves.
Keywords : al-waliy, al-Mâidah verse 51
Pendahuluan
Sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin, ajaran-ajaran Islam pada
hakikatnya menginspirasikan nilai-nilai keadilan, kedamaian, kemanusiaan, kesetaraan dan keadaban. Ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan
Hadis Nabi Saw tidak hanya
memperhatikan, melindungi dan
memberikan ketentraman kepada kaum muslimin saja, melainkan juga kepada
orang-orang non muslim. Bahkan, kepada seluruh makhluk yang hidup di atas bumi ini.1
* Dosen tetap STAI Badrus Sholeh Kediri
1 Hal ini terlihat jelas dari petikan isi khutbah yang
disampaikan oleh Rasulullah Saw pada haji wada’ (11 H) di mana beliau Saw bersabda,
Asep Sulhadi, Reinterpretasi Surah al-Maidah Ayat 51 dan Implementasinya 125
Untuk mewujudkan fungsi di atas, seseorang tentu tidak cukup hanya
mampu membaca, menghafal dan
melagukan teks-teks agama saja. Namun, ia harus mampu memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya.
Ibn Rusyd sebagai ulama muslim progresif mempunyai kaidah bahwa kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lain. Artinya bila agama mengajarkan keadilan dan kedamaian, maka seluruh tafsir yang bertolak belakang dengan keadilan dan kedamaian harus diperbarui dan ditinjau ulang untuk meraih kembali dimensi keadilan dan kedamaian dalam Islam.2
Dalam beberapa bulan terakhir, surah al-Mâidah ayat 51 menjadi surah yang ramai dibicarakan banyak orang. Umumnya, mereka menjadikan surah tersebut untuk mengharamkan umat Islam memilih pemimpin non muslim. Pro kontra pun terjadi di kalangan umat Islam tentang maksud dari surah tersebut. Tidak hanya berhenti di sana, sebagian kaum muslim juga beranggapan bahwa kita tidak boleh menjadikan non muslim sebagai rekan bagi umat Islam.
ْمُكِرْهَش ِفِ اَذَه ْمُكِدَلَ ب ِفِ اَذَه ْمُكِمْوَ ي ِةَمْرُحَك ٌماَرَح ْمُكْيَلَع ْمُكَضاَرْعَأَو اَذَه
Petikan isi khutbah di atas, merupakan justifikasi secara konkret bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, penghargaan terhadap nyawa, harta bahkan kehormatan manusia sekalipun, hingga Allah Swt mengharamkan penumpahan darah, perampasan harta dengan cara yang tidak benar dan pelanggaran kehormatan bagi umat manusia. Ketegasan yang keluar dari lidah seorang hamba yang mulia dan selalu terjaga ini, menunjukkan ketegasan Islam akan pentingnya kehidupan yang harmonis, saling menghormati dan saling menghargai antara sesama manusia. Kalimat اَهُّ يَأ اَي
ُساَّنلا merupakan ketentuan yang bukan semata-mata untuk sesama umat Islam, namun diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. Muhammad ibn Ismâ’îl Al-Bukhârî, Shahîh al-unit-unit usaha yang disinyalir dikelola oleh non muslim harus diboikot.
Wa al-hâsil, hubungan umat Islam
dan non muslim menjadi kurang harmonis. Menurut penulis, hal ini kalau dibiarkan tentu sangat berbahaya. Mengingat bahwa prinsip dasar ajaran Islam adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kedamaian, kemanusiaan, kesetaraan dan keadaban. Pada ronde berikutnya, hal ini dapat menyebabkan wajah Islam yang ramah, santun dan penuh kedamaian menjadi ternoda. Bahkan lebih jauh dari itu, akan timbul mispersepsi dan menimbulkan cibiran serta citra negatif terhadap agama Islam dan umat Islam secara keseluruhan.
Padahal, kalau kita melihat fakta sejarah dan perilaku yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam memperlakukan non muslim, akan kita temukan bahwa beliau Saw sangat ramah dan menghormati mereka. Beliau Saw berteman baik dengan seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm kemudian beliau Saw menggadaikan baju perang kepadanya.3 Nabi Saw juga menengok tetangganya seorang Yahudi yang sedang sakit keras.4 Begitu juga dengan Umm al-Mu’minîn Siti Âisyah yang
menuturkan bahwa ia sering mengobrol dan berdiskusi dengan wanita-wanita Yahudi di rumah Nabi Saw. Diskusi mereka terkadang juga melibatkan Nabi
3 Teks hadis di atas diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhâri dalam kitabnya Shahîh al-Bukhârî,
اَهْ نَع َُّللَّا َيِضَر َةَشِئاَع ْنَع ْنِم ىَرَ تْشا َمَّلَسَو ِهْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص َِّبَِّنلا َّنَأ
هَعْرِد ُهَنَهَرَو ٍلَجَأ َلَِإ اًماَعَط ٍّيِدوُهَ ي
Muhammad ibn Ismâ’îl Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz 8, hal 425
4 Teks hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhârî dalam kitabnya Shahîh al-Bukhârî,
ُهْنَع َُّللَّا َيِضَر ٍ َ َأ ْنَع ِهْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص َِّبَِّنلا ُمُدَْيَ َناَك َدوُهَ يِل اًم َلَُغ َّنَأ
َمَلْسَأَف ْمِلْسَأ َلاَ َ ف ُاُدوُعَ ي َمَّلَسَو ِهْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص ُِّبَِّنلا ُااَ َأَف َ ِرَ َف َمَّلَسَو
126 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 124~131
Saw karena berkaitan dengan masalah-masalah agama.5
Ketika Nabi Saw dan para shahabat tinggal di Madinah, di sana tidak hanya ada pemeluk agama Islam saja tetapi juga ada pemeluk agama lain seperti agama Yahudi, agama Nasrani dan agama Majusi.6 Namun, Nabi Saw dan para shahabat bisa hidup berdampingan secara rukun bersama mereka. Bahkan, salah satu mertua Nabi Saw pun yang bernama Huyay bin Akhtab adalah seorang tokoh Yahudi pemimpin Bani Qurayzhah. Namun, tidak ada keterangan
maupun catatan sejarah yang
menyebutkan bahwa Nabi Saw dan kaum muslimin memerangi dan membunuh mereka karena alasan perbedaan agama atau beda keyakinan.
Keterangan-keterangan di atas hanyalah sebuah contoh bagaimana sebenarnya hubungan antara orang-orang muslim dengan non muslim. Maka, jika ada pendapat yang mengatakan bahwa non muslim boleh dimusuhi, diperlakukan semena-mena, tidak adil, haknya dirampas, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan bertentangan dengan perilaku Nabi Saw.7 Syekh Yûsuf al-Qaradhâwî pernah berkata jika terjadi pertentangan antara perilaku keagamaan seseorang dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama, maka tidak lepas dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama
5 Cerita di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam kitabnya Shahîh Muslim,
تَلاَق َةَشِئاَع َّنَأ
Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Shahîh Muslim,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), juz 3, hal 241
6 Ali Mustafa Yakub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal 9
7 Ali Mustafa Yakub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, hal 10
adalah keliru dalam menggunakan dalil, dan kemungkinan kedua adalah keliru dalam memahami dalil.8
Dari sini, mengkaji kembali maksud surah al-Mâidah ayat 51 menjadi hal yang urgent. Guna menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengembalikan citra, kemuliaan nilai dan prinsip ajaran dalam Islam serta menjaga kesucian Islam dari berbagai tuduhan negatif.
Kajian Pustaka
Surah al-Mâidah termasuk ke dalam surah Madaniyah yaitu surah yang diturunkan setelah Nabi Saw hijrah dari
kota Mekah ke kota Madinah.
Keseluruhan ayatnya berjumlah 120 ayat.9 Ayat yang penulis bahas dalam kajian ini adalah ayat 51 yaitu:
َءاَيِلْوَأ ىَراَصَّنلاَو َدوُهَ يْلا اوُذِخَّتَ ت َلَ اوُنَمَآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي
َلَ ََّللَّا َّنِإ ْمُهْ نِم ُهَّنِإَف ْمُكْنِم ْمَُّلََّوَ تَ ي ْنَمَو ٍضْعَ ب ُءاَيِلْوَأ ْمُهُضْعَ ب
َ ِ ِلاَّللا َ ْوَ ْلا يِ ْهَ ي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
awliyâ’, sebahagian mereka adalah awliyâ’
bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
awliyâ’, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al-Mâidah
[5]:51)
Yang menjadi bahan perdebatan dari ayat di atas, adalah mengenai makna
awliyâ’. Dalam bahasa Arab, kata waliy
merupakan salah satu bentuk homonim yaitu satu kata yang memiliki banyak arti. Dalam al-Qur’an dan Terjemahannya yang
diterbitkan oleh Tim Departemen Agama, kata awliyâ’ diterjemahkan dengan
pemimpin-pemimpin. Namun, dalam
8 Yûsuf al-Qaradhâwî, Kaifa Nata’âmal Ma’a al -Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo: Dâr asy-Syurûq,
2006), hal 113
9 Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî, Shafwah at-Tafâsîr,
Asep Sulhadi, Reinterpretasi Surah al-Maidah Ayat 51 dan Implementasinya 127
beberapa cetakan lainnya, kata awliyâ’ diterjemahkan dengan teman setia.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang makna tersebut, tentu kita harus merujuk kepada kamus bahasa dan kitab tafsir. Dalam kamus Lisân al-‘Arab, kata al-waliy artinya penolong, teman setia,
orang yang dekat, yang mencintai dan yang mengikuti. Sedangkan kata al-wâliy
artinya yang menguasai segala sesuatu atau yang mengatur suatu urusan, ia termasuk ke dalam salah satu nama Allah Swt (al-asmâ’ al-husna). Bentuk mashdar
dari kata ini ada dua macam yaitu al-wilâyah (dengan menggunakan kasroh)
dan al-walâyah (dengan menggunakan
fathah). Al-wilâyah artinya kekuasaan
atau kepemimpinan sedangkan al-walâyah artinya pertolongan. Menurut
Imam as-Sibawayh, al-wilâyah (dengan
menggunakan kasroh) adalah al-ism (kata
benda) seperti kata al-imârah, sedangkan al-walâyah (dengan menggunakan
fathah) adalah bentuk masdar.10
Menurut mantan Imam Besar al-Azhar, Muhammad Sayyid al-Thanthâwî dalam kitabnya al-Tafsîr al-Wasîth, kata
awliyâ’ adalah bentuk jamak dari waliy
yang artinya penolong, teman baik dan kekasih.11 Sementara, menurut Syekh Wahbah al-Zuhayli dalam kitabnya al-Tafsîr al-Munîr, kata awliyâ’ artinya
penolong-penolong dan sekutu-sekutu yang kalian bela dan kalian cintai.12
Sedangkan, menurut salah satu pakar tafsir Indonesia, Quraish Shihab dalam kitabnya Tafsir al-Mishbah, kata al-waliy terambil dari akar kata yang terdiri
dari huruf-huruf wauw, lam dan ya’ yang
makna dasarnya adalah dekat. Dari sini
kemudian berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama
10 Muhammad ibn Makram Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz 3, hal 133 11 Muhammad Sayyid al-Thanthâwî, Tafsîr al-Wasîth Li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr
an-Nahdhah, 1997), juz 1, hal 1294
12 Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr Munîr Fi
al-‘Aqîdah Wa al-Syarî’ah Wa al-Manhaj, (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2009), juz 3, hal 575
dan lain sebagainya yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan.13
Oleh karena itu, ayah adalah orang yang paling utama menjadi waliy untuk
anak perempuannya karena ia adalah orang yang terdekat dengannya. Orang yang taat dan tekun beribadah dinamai
waliy karena ia dekat kepada Allah Swt.
Seseorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatannya juga dinamai dengan waliy.
Demikian juga pemimpin, karena ia
seharusnya dekat kepada yang
dipimpinnya.14
Dari penjelasan kebahasaan di atas, dapat dipahami bahwa surah al-Mâidah ayat 51 melarang kita menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin, penolong, pendukung,
pelindung, teman setia dan sekutu yang kita bela dan kita cintai.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah penelitian pustaka atau library research.
Sementara, model penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskripsi di mana penulis menyebutkan surah al-Mâidah ayat 51 lalu merujuk kepada kitab-kitab tafsir untuk meneliti asbâb al-nuzûl dan penafsiran yang sudah
dilakukan oleh para ulama berkenaan dengan ayat di atas, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta sejarah hidup Nabi Saw dengan merujuk kepada kitab-kitab hadis lalu menyimpulkannya dalam kajian ini.
Hasil dan Pembahasan
Untuk dapat memahami
kandungan ayat di atas secara tepat, tentu tidak cukup bagi kita hanya melihat dari aspek bahasa ataupun terbatas kepada terjemahannya saja. Namun, lebih dari itu, kita juga harus melihat sebab-sebab
13 M. Quraish Shibah, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Ciputat: Lentera
Hati, 2010), juz 3, hal 151
128 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 124~131
yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Hal ini mengingat fakta bahwa al-Qur’an adalah respon Ilahi terhadap realitas sosial yang terjadi saat itu. Memahami konteks dengan cara seperti ini, akan sangat menunjang bagi pemahaman suatu teks.
Rasyîd Ridhâ dalam kitabnya
Tafsîr al-Manâr, mengatakan bahwa surah
al-Mâidah ayat 51 ini memiliki asbâb
al-kesepakatan dan perjanjian dengan kaum Yahudi yang kemudian ditulis dalam piagam Madinah. Salah satu isi dokumen
itu adalah “Bagi Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka.”
Kebebasan ini juga berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang berbuat zhâlim dan jahat. Kaum Yahudi yang mendiami kota Madinah terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu Bani
Qaynuqâ’, Bani al-Nadhîr dan Bani Qurayzhah.
kemudian, pada perkembangan selanjutnya, orang-orang Yahudi dari
Bani Qaynuqâ’ memerangi Nabi Saw
setelah peristiwa perang Badar (2 H). Selang 6 (enam) bulan kemudian, orang-orang Yahudi dari Bani al-Nadhîr juga
mengkhianati kesepakatan dan
berkonspirasi untuk membunuh Nabi Saw namun gagal. Peristiwa tersebut kemudian menjadi sebab turunnya firman Allah Swt surah al-Mâidah ayat 11.15
Orang-orang Yahudi dari Bani Qurayzhah juga melanggar perjanjian
15 Teks ayat tersebut yaitu
ْمُكْيَلِإ اوُطُسْبَ ي ْنَأ ٌمْوَ ق َّمَه ْذِإ ْمُكْيَلَع َِّللَّا َةَ ْعِ اوُرُكْذا اوُنَمَآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي نوُنِمْؤُ ْلا ِلَّكَوَ تَيْلَ ف َِّللَّا ىَلَعَو ََّللَّا اوُ َّ اَو ْمُكْنَع ْمُهَ يِدْيَأ َّفَكَف ْمُهَ يِدْيَأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang
mukmin itu harus bertawakkal.”
ketika terjadi peristiwa perang Khandak (5 H), di mana mereka memilih beraliansi dengan kaum Musyrikin Mekah yang tengah mengepung kota Madinah. Selain itu, kaum Nasrani Arab pada saat itu seperti halnya kaum Yahudi yang juga memusuhi Rasulullah Saw terutama sekutu-sekutu imperium Romawi timur.16
Adapun mengenai asbâb al-nuzûl
yang sifatnya khusus, menurut Rasyîd Ridhâ terdapat beragam riwayat yang menjelaskan hal tersebut. Namun, meskipun beragam, semua riwayat tersebut memiliki perintah yang sama
yakni larangan beraliansi dengan mereka
yang secara terang-terangan memusuhi umat Islam. Di antara riwayat tersebut adalah riwayat yang dituturkan oleh Imam ath-Thabarî dalam kitab tafsirnya
bahwa ‘Ubâdah bin al-Shâmit berkata:
“Ketika Bani Qaynuqâ’ memerangi
Rasulullah Saw, Abdullah bin Ubay selaku pemimpin kaum munafik, mendukung
dan membela mereka.” ‘Ubâdah bin al -Shâmit lantas bergegas menemui
Rasulullah Saw. ‘Ubâdah bin al-Shâmit
adalah salah satu anggota Bani ‘Awf bin
al-Khazraj. Sebelumnya, dia beraliansi dengan kaum Yahudi sebagaimana halnya
Abdullah bin Ubay. Namun, ‘Ubâdah bin
al-Shâmit melepaskan pertalian tersebut dan berlepas diri dari koalisi dengan mereka demi mengharap ridha Allah Swt dan Rasul-Nya. ‘Ubâdah bin al-Shâmit berkata, “Wahai Rasulullah, aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari persekongkolan dengan mereka. Aku hanya setia kepada Allah Swt dan Rasul-Nya dan kaum mukmin dan berlepas diri
dari persekutuan dengan kaum kafir.”17 Berdasarkan asbâb al-nuzûl di
atas, jelas bahwa situasi yang sedang terjadi waktu itu adalah situasi perang,
pengkhianatan, pelanggaran dan
persekongkolan yang merugikan umat
Asep Sulhadi, Reinterpretasi Surah al-Maidah Ayat 51 dan Implementasinya 129
Islam. Sehingga Nabi Saw yang pada mulanya bersikap adil dan toleran harus merubah sikap, mengingat mereka yang lebih dahulu melakukan berbagai
pelanggaran dan pengkhianatan.
Penghkianatan dan pelanggaran inilah
yang menjadi ‘ilah (sebab) larangan
berkoalisi dan berteman baik dengan non muslim yang terkandung dalam ayat di atas.
Dengan demikian, jelas bahwa illat
larangan berkoalisi dan berteman baik dengan mereka adalah karena berkhianat dan memerangi kita, bukan karena mereka berbeda keyakinan dengan kita.
Mafhum mukhalafahnya adalah jika
mereka berdamai dengan umat Islam, maka hukum larangan beraliansi dengan mereka tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih,
ام عو ادوجو هتلع عم رو ي مكلحا
Artinya, “Ada dan tidaknya suatu hukum tergantung kepada keberadaan illatnya”
Sehingga, makna yang logis yang dapat kita pahami dari surah al-Mâidah ayat 51 adalah ayat tersebut melarang kita berkoalisi, bersekutu dan berteman baik dengan non muslim yang secara
terang-terangan melakukan
pengkhianatan, pelanggaran, permusuhan dan memerangi umat Islam. Adapun jika
‘ilah (sebab) larangan tersebut tidak ada,
seperti non muslim yang bersikap adil dan damai terhadap umat Islam, maka justeru kita harus menghormati dan melindungi mereka sebagaimana kita menghormati dan melindungi diri kita sendiri.
Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt al-Mumtahanah [60]:8;
Artinya, “Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan Dâud bahwa Rasulullah Saw bersabda,
َذَخَأ ْوَأ ِهِتَقاَط َقْوَ ف ُهَفَّلَك ْوَأ ُهَصَ َ تْ نا ْوَأ اً ِهاَعُم َمَلَظ ْنَم َلََأ
ِةَماَيِ ْلا َ ْوَ ي ُهُجيِجَح اَنَأَف ٍسْفَ ن ِبيِط ِْيَْغِب اًئْيَش ُهْنِم
Artinya: “Barang siapa yang menzhalimi kafir mu’ahid, menghinanya,
membebaninya di luar kemampuan atau merampas sesuatu darinya secara paksa, maka aku adalah musuhnya di hari
kiamat.”18
Muhammad Sayyid al-Thanthâwî setelah menafsirkan ayat di atas mengajukan sebuah pertanyaan,19
“Apakah larangan dalam surah di atas bersifat mutlak?” ia menjawab, “Non muslim terbagi menjadi tiga golongan, pertama, non muslim yang hidup berdampingan secara harmonis dengan umat Islam dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan kita. Tidak tampak juga dari mereka hal yang membuat kita curiga. Bagi non muslim seperti ini, maka tidak ada larangan bagi kita untuk berbuat baik dan bersahabat dengan mereka.
Kedua, non muslim yang
ayat-130 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 124~131
boleh berkoalisi dan berteman baik dengan mereka. Ketiga, non muslim yang tidak menampakkan permusuhan kepada kita, namun banyak indikasi yang menunjukkan bahwa mereka tidak suka kepada umat Islam dan justeru menyukai musuh-musuh Islam. Untuk golongan ini, Islam mengajarkan kepada kita untuk bersikap hati-hati namun tidak sampai menyakiti atau menyerang mereka.
Kesimpulan dan Penutup
Setelah melakukan kajian
terhadap surah al-Mâidah ayat 51, penulis menyimpulkan bahwa kata al-waliy
adalah bentuk homonim yaitu satu kata yang memiliki banyak arti. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf wauw, lam dan ya’ yang
makna dasarnya adalah dekat. Dari sini
kemudian berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama
dan lain sebagainya yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan.
Berdasarkan asbâb al-nuzûl yang
melatarbelakangi turunnya surah al-Mâidah ayat 51, dapat dipahami bahwa larangan untuk berkoalisi, bersekutu dan berteman baik dengan non muslim adalah berlaku bagi mereka yang secara terang-terangan melakukan pengkhianatan,
pelanggaran, permusuhan dan
memerangi kita. Adanya pengkhianatan, pelanggaran dan permusuhan yang dilakukan oleh non muslim terhadap umat Islam ini menjadi ‘ilah (sebab) dari larangan tersebut.
Adapun jika ‘ilah (sebab) tersebut tidak ada, seperti non muslim yang bersikap adil dan damai terhadap umat Islam, maka kita harus menghormati dan melindungi mereka sebagaimana kita menghormati dan melindungi diri kita sendiri. Penafsiran seperti ini pada akhirnya sesuai dengan kandungan surah al-Mumtahanah ayat 8-9 dan sesuai pula dengan perilaku Nabi Saw.
Bibliography
Al-Bukhârî, Muhammad ibn Ismâ’îl, Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th
Ibn al-Hajjaj, Abû al-Husain Muslim, Shahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993
Ibn Manzhûr, Muhammad ibn Makram, Lisân al-Arab, Beirut: Dar al-Fikr, 1994
Al-Qaradhâwî, Yûsuf, Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Kairo: Dâr
asy-Syurûq, 2006
Ridhâ, Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Manâr, Kairo: al-Haiah al-Misriyah al-‘Âmah, 1990
Romli, Mohammad Guntur dan Syadzili, Ahmad Fawaid, Dari Jihad Menuju Ijtihad,
Jakarta: LSIP, 2004
Al-Shâbûnî, Muhammad ‘Ali, Shafwah al-Tafâsîr, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, 1999
Shibah, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Ciputat:
Lentera Hati, 2010
Asep Sulhadi, Reinterpretasi Surah al-Maidah Ayat 51 dan Implementasinya 131
Al-Thanthâwî, Muhammad Sayyid, al-Tafsîr al-Wasîth Li al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr
an-Nahdhah, 1997
Yakub, Ali Mustafa, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000
Al-Zuhayli, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr Fi al-‘Aqîdah Wa al-Syarî’ah Wa al-Manhaj,
Damaskus: Dâr al-Fikr, 2009