• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAMPUKAH INDONESIA BERSEPAKAT UNTUK MELAKUKAN PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) YANG CERDAS DAN BERKUALITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAMPUKAH INDONESIA BERSEPAKAT UNTUK MELAKUKAN PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) YANG CERDAS DAN BERKUALITAS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAMPUKAH INDONESIA BERSEPAKAT UNTUK MELAKUKAN

PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA (SDM)

YANG CERDAS DAN BERKUALITAS

Atmarita1

1Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI

ABSTRACT

Malnutrition remains widespread and serious in Indonesia. It is almost halve of the Indonesian population suffer from several malnutrition forms and nearly 40% preschool children are stunted. Malnutrition influences a huge economic burden, investing in nutrition program is important for human development. However, Indonesia seems investing nutrition only as an intervention in health, agriculture, or social protection and not as an outcome measure of development. Nutrition is one of the most sensitive overall measures of poverty reduction, where this is defined as improving human development. This article analyzed secondary available data from National Socio-Economic Survey (SUSENAS) to present the evidence of missing opportunity in human development improvement program indicated by nutrition situation stays at the same figures even the prevalence of underweight tend to increased for the last 5 years. The assessment also showed that politically the government has committed to give more money to nutrition; however this commitment should be followed by bringing the involved stakeholders on nutrition to improve the quality of intervention in order to reach the targeted impact. It is recommended that Indonesia should start preparing complete information for reviewing strategy that will benefit to the community, provide policy analysis, as well as improving program management.

Keywords:

PENDAHULUAN

asalah gizi di Indonesia masih sangat serius dan tersebar di

seluruh wilayah

kabupaten/kota. Diperkirakan separuh dari penduduk Indonesia menderita berbagai bentuk masalah kurang gizi dan hampir 40% anak balita diklasifikasikan pendek. Pada tingkat keluarga, masalah kurang gizi ini akan sangat berpengaruh pada pengeluaran, terutama pada keluarga dengan anggota keluarga yang menderita masalah gizi dan sudah berinteraksi dengan infeksi.

M

Diketahui bahwa separuh dari kematian bayi dan balita disebabkan karena kurang gizi. Ironisnya bayi dan balita yang bertahan hidup, mereka tidak akan pernah menjadi manusia

dewasa dengan potensi optimal untuk berpendidikan tinggi dan berproduk-tivitas. Indonesia dengan masalah gizi yang kronis akan selalu dihadapi dengan biaya kesehatan dan kesejahteraan yang tinggi, sementara upaya mengurangi kemiskinan akan selalu terhambat karena produktivitas sumberdaya manusia yang tidak bisa optimal.

(2)

diantaranya adalah menurunkan setengah dari masalah kurang gizi pada tahun 2015.

Implementasi komitmen global untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia nampaknya menghadapi berbagai kendala tercermin dari kualitas sumberdaya manusia yang lambat sekali peningkatannya. Hal ini sebenar-nya dibuktikan juga dengan keadaan gizi penduduk yang cenderung memburuk, terutama sesudah tahun 2000. Kecenderungan meningkatnya masalah gizi ini juga diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin.

Kesungguhan untuk melaksanakan komitmen global sebenarnya perlu diikuti dengan komitmen politik. Pada umumnya tercapainya komitmen politik dapat dinilai salah satunya dari alokasi yang cenderung meningkat untuk upaya perbaikan gizi. Indonesia, beberapa kuti dengan strategi program perbaikan gizi yang berkualitas dan efektif. Yang terjadi di Indonesia, walaupun kebijakan dan strategi program cukup baik disusun, akan tetapi implementasi program seringkali kurang mempe-rhatikan keberadaan petugas pelaksana yang umumnya tidak memadai. Dirasakan kemampuan manajemen program yang terbatas dari pimpinan wilayah dan jajarannya. Dengan demikian, membangun komit-men untuk peningkatan status gizi penduduk perlu dilakukan tidak saja untuk mempengaruhi politik, akan tetapi juga melibatkan proses yang diharapkan dapat juga mempengaruhi pemerintah, institusi pelaksana, dan masyarakat.

Kesempatan baik yang ditandai dengan terbentuknnya komitmen politik terkadang menjadi hilang jika program perbaikan gizi hanya memfokuskan

pada pelaksanaan intervensi seperti apa adanya, tanpa memikirkan dampak yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.

Berikut ini merupakan kajian sederhana untuk melihat apakah Indonesia mampu meningkatkan kua-litas sumberdaya manusia dimasa yang akan datang berdasarkan kondisi yang sudah dicapai pada saat ini.

BESARAN MASALAH SDM

YANG DIHADAPI

Berdasarkan urutan jumlah pendu-duk, Indonesia merupakan nega-ra besar keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2005, jumlah penduduk Indonesia mencapai 219,89 juta yang tersebar di 33 provinsi. Diperkirakan pada tahun 2025 penduduk Indonesia akan mencapai 273,22 juta. Tahun 2005, proporsi anak 0-4 tahun adalah 8,8%, dan anak 5-14 tahun adalah 20,71%. Mereka adalah Pada tahun 2025, diperkirakan proporsi anak 0-4 tahun menjadi 7,3% dan anak usia 5-14 tahun 15%. Sementara usia 65 tahun keatas akan menjadi 9,2% tahun 2025 atau dua kali lipat dari posisi tahun 2005 yaitu 4,5%.

(3)

merupakan aset nasional yang seharusnya dipertahankan dan ditingkatkan.

Diketahui bersama bahwa tinggi-nya masalah gizi pada penduduk, terutama dari kelompok umur di bawah lima tahun merupakan indikator sosial yang cukup jelas. Anak dengan kondisi gizi yang kurang baik kelak anak ini akan menjadi manusia dewasa dengan kualitas rendah. Walapun anak ini berasal dari keluarga yang mampu untuk mengikuti pendidikan sampai minimal usia 18 tahun, akan tetapi dengan kondisi gizi yang kurang baik, maka besar kemungkinan anak tersebut akan mengalami kesulitan. Dalam jumlah besar dampaknya adalah tingginya jumlah SDM yang kemungki-nan tidak dapat menyelesaikan sekolah sampai jenjang SMA dan pada akhirnya

adalah hilangnya kesempatan kerja yang baik. Pada anak perempuan, mereka akan menjadi ibu dan melahirkan kembali bayi dengan kualitas SDM rendah. Pada anak laki-laki, mereka akan masuk ke lingkup pekerja kasar dengan penghasilan rendah.

Seperti diuraikan sebelumnya anak 0-4 tahun pada tahun 2005 berjumlah 8,8% dari total penduduk 219,89 juta atau 19,35 juta. Berdasarkan Susenas tahun 2005, prevalensi gizi kurang (menurut berat badan dan umur) pada balita adalah 28,0% atau 5,42 juta balita. Secara keseluruhan bisa dilihat pada grafik berikut ini, yang menggam-barkan rata-rata berat badan anak Indonesia pada tahun 2005 dan posisinya dibanding rujukan atau anak balita yang tumbuh normal.

Anak Laki-laki Anak Perempuan

0 5 10 15 20 25

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 4 Bulan

K

g

Anak Indonesia (Laki2) 3rd 50th 97 0 5 10 15 20 25

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 4 Bulan

K

g

Anak Indonesia (Perempuan) 3rd 50th

Gambar 1

Posisi anak balita Indonesia tahun 2005 dibanding rujukan

Dengan menggunakan rujukan yang dianjurkan WHO1, diharapkan

1

(4)

percentile (97th). Dari gambar diatas bisa dilihat bahwa anak laki-laki mengikuti berat badan rata-rata hanya sampai usia 5 bulan dan seterusnya berkurang dan mendekati batas ambang terbawah. Pada anak perempuan, kondisi lebih baik dimana pertumbuhan mengikuti kurva normal

sampai usia 11 bulan, akan tetapi pada akhirnya juga mendekati batas ambang terbawah. Hal ini terlihat dengan jelas pada grafik berikutnya (Gambar 2), bahwa anak Indonesia mengalami gagal tumbuh (growth faltering) setelah usia 5 bulan (anak laki-laki), dan 11 bulan (anak perempuan).

Anak laki-laki Anak perempuan

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

Umur (bulan) Mean Z-score

Kota Desa

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

Umur (bulan) Mean Z-score

Kota Desa

Gambar 2

Kejadian gagal tumbuh anak balita Indonesia tahun 2005 menurut Kota dan Desa

Kondisi berdasarkan tempat tinggal, terlihat anak di kota cenderung lebih baik dibanding anak di desa, walaupun kedua tempat memberikan gambaran yang sama dimana setelah usia 1 tahun kondisi anak Indonesia menjadi kurang menguntungkan. Keadaan gizi ini akan menjadi permanen dan berdampak pada SDM yang kurang berkualitas, cenderung tidak bisa mengikuti pendidikan sampai jenjang tertinggi. Seperti pada gambar 3 diperlihatkan kecenderungan anak perempuan 6-18 tahun yang tidak bersekolah lagi tahun antara tahun 1995 dan 2004. Pada akhirnya anak perempuan ini cenderung akan menikah, seperti yang diperlihatkan pada gambar 4, usia perkawinan pertama cenderung bergeser keusia

yang lebih muda pada tahun 2004 dibanding tahun 1995.

(5)

pada gambar 4, usia perkawinan pertama cenderung bergeser keusia

yang lebih muda pada tahun 2004 dibanding tahun 1995.

Kota Desa

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 1

Umur (tahun)

%

1995 2004

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 1

Umur (tahun)

%

1995 2004

Gambar 3

Anak Perempuan 6-18 tahun tidak bersekolah lagi tahun 1995 dan 2004

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

10 13 16 19 22 25 28

Umur (tahun)

%

1995 2004

Gambar 4

Umur Perkawinan Pertama Perempuan tahun 1995 dan 2004

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terutama pada anak wanita, kejadian growth faltering yang terjadi pada bayi akan terus terakumulasi sampai usia berikutnya. Memasuki usia reproduktif 15 tahun, dapat dilihat pada grafik berikut (gambar 5) bahwa pada tahun 2005, dijumpai 32,5% wanita usia 15-19 tahun

mempunyai resiko kurang energi kronis2. Mereka adalah calon ibu yang

akan melahirkan bayi Indonesia berikutnya. Dan terlihat ada kecenderu-ngan prevalensi risiko kurang energi kronis ini meningkat pada wanita usia

2

(6)

20-24 tahun dan 25-29 tahun dari tahun 2003 ke tahun 2005.

0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0%

%

15-19 41.0% 39.3% 37.0% 35.6% 35.1% 32.5%

20-24 30.2% 27.0% 23.7% 23.7% 21.4% 27.7%

25-29 23.1% 19.2% 16.0% 14.7% 13.8% 14.5%

1999 2000 2001 2002 2003 2005

Gambar 5

Prevalensi Risiko Kurang Energi Kronis pada Perempuan usia 15-29 tahun, 1999-2005

Melihat kondisi SDM yang pada umumnya memburuk pada 5 – 10 tahun terakhir, sudah sepantasnya Indonesia melakukan penilaian terhadap program pembangunan yang telah dan sedang dilakukan sampai dengan saat ini. Cerminan memburuknya kondisi SDM ini juga diikuti dengan angka kemiskinan yang cenderung stabil semenjak tahun 2002 bahkan persentasi penduduk miskin tahun 2005 hampir sama dengan tahun 1987 (gambar6).

54.2

43.2

35.0 30.0

27.2 25.9 34.5

47.9

38.4 37.3 36.1 37.8

40.1

28.6

21.6

17.4 15.1

13.7 11.3 24.2

17.2 16.7 17.4 18.2

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

1976 1980 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2003 2004 2005

Jml pddk miskin (juta) % pddk miskin

Sumber: BPS, 2006

Gambar 6

Penduduk Miskin Indonesia 1976-2005

Dari uraian di atas, terlihat dengan jelas bagaimana upaya peningkatan

(7)

menjadi terpuruk yang ditandai dengan angka kemiskinan yang tidak berubah dan cenderung meningkat.

Pada sektor kesehatan, strategi yang ditetapkan tahun 2005 ini sangat komprehensif dengan visi dan misi yang sangat membumi yaitu “Masyarakat yang mandiri dan hidup sehat” (visi) dan “Membuat rakyat sehat” (misi). Visi dan misi ini didukung dengan 4 strategi besar:

1) Menggerakkan dan

memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat

2) Meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan

3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan

4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan

Bagaimana cara menterjemahkan strategi besar ini menjadi pokok kegiatan program yang membumi menjadi pertanyaan besar. Langkah baik yang sudah terlihat, misalnya saja dari program perbaikan gizi, paling tidak sudah terjadi komitmen politik, ditandai dengan meningkatnya alokasi yang diberikan seperti terlihat pada gambar 7.

52.61 71.44 63.48 80.42

199.86

170.38 175.00

582.482

0 100 200 300 400 500 600 700

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Milyar (Rp)

Gambar 7

Alokasi Perbaikan gizi, sektor kesehatan 1999-2006

Persoalannya adalah alokasi ini tidak diterjemahkan menjadi kegiatan program strategis yang bisa berdampak pada peningkatan SDM. Bisa diamati seperti pada gambar 8, bahwa proporsi terbesar (60%) diberikan pada pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan untuk lainnya

(8)

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

Tahun

%

MP-ASI 36.0 65.0 60.1 70.6 60.0 60.0 LAINNYA 64.0 35.0 39.9 29.4 40.0 40.0 2000 2001 2003 2004 2005 2006

Gambar 8

Proporsi Alokasi Program Perbaikan Gizi 2000-2006

Implementasi dari strategi sektor kesehatan yang baru dicanangkan akhir tahun 2005 memang belum berdampak, terutama pada keadaan gizi penduduk Indonesia. Akan tetapi kedepan perlu

dipikirkan hal ini, apalagi mengingat situasi Kabupaten/Kota di Indonesia yang sangat memprihatinkan seperti yang terlihat pada gambar 9 berikut ini.

<10%

10-19.9%

20-29.9%

30-39.9%

>=40%

Prev. Gizi Kurang: <10% 10-20% 20-30% 30-40% >=40% Jml Kab/kota

(termasuk NAD) 8 66 191 116 53 Jml Kab/kota (tidak

termasuk NAD) 8 66 191 109 42

Catatan: Untuk Prov. NAD, informasi berasal dari Lap. Survei Depkes-UNICEF, 2005 <10%

10-19.9%

20-29.9%

30-39.9%

>=40% <10%

10-19.9%

20-29.9%

30-39.9%

>=40%

Prev. Gizi Kurang: <10% 10-20% 20-30% 30-40% >=40% Jml Kab/kota

(termasuk NAD) 8 66 191 116 53 Jml Kab/kota (tidak

termasuk NAD) 8 66 191 109 42

Catatan: Untuk Prov. NAD, informasi berasal dari Lap. Survei Depkes-UNICEF, 2005

Gambar 9

(9)

Upaya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting. Selain untuk memperbaiki keadaan ekonomi, juga akan membawa masyarakat untuk aktif, minimal mau membawa anaknya ke menjadi bagian untuk mencapai visi dan misi sektor kesehatan diharapkan dapat berhasil membawa seluruh anggota keluarga untuk mencapai gizi baik. Posyandu diharapkan menjadi unit terdepan untuk menggerakkan masyarakat mencapai tujuan tersebut. Pertanyaan selanjutnya bagaimana seluruh pimpinan wilayah dan jajarannya di Indonesia ini dapat berjalan bersama serta sepakat untuk melaksanakan dengan baik dan benar.

KOMITMEN DAN PILIHAN

STRATEGIS

Besarnya masalah SDM yang telah diuraikan diatas menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah berupaya untuk menurunkan masalah terkena masalah gizi terlihat ”tidak sakit”, walaupun sebenarnya individu ini ”tidak sehat”. Situasi seperti ini, mulai dari tingkat keluarga sampai kejenjang tertinggi pemerintahan mungkin tidak akan menyadari, sampai akhirnya dalam jumlah besar akan dirasakan misalnya tingkat pendidikan rendah, kemiskinan, dstnya.

2. Secara perlahan

individu-individu yang kurang gizi akan memerlukan pengeluaran yang besar, karena pada akhirnya antara lain karena kurang gizi. 3. Terkadang pemerintah hanya

akan melakukan investasi yang dilakukan dengan cepat berkaitan dengan mengurangi kemiskinan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa berpikir bahwa kurang gizi sebenarnya yang menyebabkan kemiskinan atau pertumbuhan ekonomi negara menjadi terhambat. Sebenarnya ada investasi dalam bentuk upaya perbaikan gizi yang demikian murah seperti fortifikasi yang

dikombinasikan dengan

peningkatan pengetahuan atau pendidikan yang dapat mengurangi kemiskinan. sektor kesehatan, mengatasi masalah gizi hanya berdasarkan penyakit, sehingga mengatasinya dilakukan dengan cara kuratif atau mengobati penyakit, bukan mencegah. Dari sektor pertanian melihatnya hanya dari sisi ketidaktahanan pangan, dan solusinya hanya meningkatkan produksi pangan.

5. Dukungan politik yang sangat sulit dicapai, hal ini biasanya karena kurangnya advokasi atau sosialisasi untuk kejelasan tentang masalah gizi dan solusinya dari pelaksana program.

6. Beberapa pimpinan wilayah mungkin mengatakan sudah

melakukan upaya untuk

(10)

Misalnya program yang dilakukan adalah subsidi harga pangan atau promosi produksi pangan dimana program ini dinyatakan telah membantu mengurangi masalah gizi, padahal yang sebenarnya target atau kelompok masyarakat yang beruntung bukanlah kelompok miskin.

Masih banyak alasan lain yang dapat menyebabkan komitmen peningkatan status gizi tidak tercapai yang pada dasarnya adalah karena rendahnya pengetahuan serta kesadaran para pelaku program.

Dari uraian di atas, sebenarnya strategi yang dilakukan Departemen Kesehatan pada akhir tahun 2005 untuk mencapai visi “Masyarakat yang mandiri dan hidup sehat” perlu didukung dengan kajian atau analisis agar dapat diperoleh program strategis yang mempunyai dampak pada SDM. Visi yang demikian membumi kemungkinan tidak akan membangun demand masyarakat, dan lain-lain.

Untuk kedepan, jika SDM Indonesia akan dibangun, maka beberapa pendekatan perlu dipikirkan yaitu:

1. Advokasi dan komunikasi

Untuk mencapai komitmen maka informasi yang komprehensif tentang SDM dan permasalahannya serta solusi atau alternatif programnya perlu tersedia dan dipresentasikan atau disampaikan keseluruh individu, organisasi, insititusi yang terlibat. Alat yang berkaitan dengan Informasi, Edukasi, Komunikasi yang telah

dirancang semenjak tahun 1970-an dan menjadi ”social marketing” tahun 1980, selanjutnya ditingkatkan lagi menjadi ”Behavior Change Communication” tahun 1990-an perlu dijalankan atau diaplikasikan untuk membangun komitmen dalam upaya pengembangan progam yang bertujuan pada peningkatan SDM.

2. Analisis kebijakan

Berdasarkan informasi yang lengkap, analisis kebijakan untuk pengembangan program strategis mutlak dilakukan. Indonesia yang berpengalaman mengembangkan program perbaikan gizi sudah seharusnya dilakukan lagi dengan memperhatikan situasi wilayah dan masyarakat pada saat sekarang. Pengalaman program yang tidak mempunyai daya ungkit seharusnya perlu dinilai kembali. Perbedaan geografis, analisis perbedaan wilayah perlu dipikirkan untuk pengembangan mekanisme strategi program yang akan dilaksanakan. bagaimana agar program berjalan baik di dalam gedung maupun diluar gedung. Apakah tenaganya memadai, apakah motivasi dari tenaga bisa terjadi, bagaimana membangun daya tarik para pekerja agar termotivasi untuk melaksanakan program dengan baik, bagaimana kepemimpinan bisa dibentuk, bagaimana jaringan yang ada, kerjasama, dukungan dan lain sebagainya agar upaya peningkatan SDM tercapai.

KESIMPULAN

DAN

(11)

Indonesia yang pada saat ini menghadapi masalah kualitas SDM yang rendah perlu melakukan kajian strategis agar program yang dilaksanakan dapat memberikan dampak positif. Banyak teknologi serta pengalaman dalam dan luar negeri yang sebenarnya bisa menjadi acuan untuk melakukan kajian strategis untuk

menciptakan program yang

menguntungkan dan berhasil guna terutama untuk seluruh masyarakat di Indonesia.

Menguatkan komitmen dari berbagai pihak yang terlibat untuk upaya peningkatan SDM sebetulnya dapat dilakukan yang didukung dengan mengaplikasikan strategi komunikasi melalui advokasi, bukti dan solusi yang jelas berdasarkan analsis kebijakan, dan perbaikan manajemen program.

RUJUKAN

1. Atmarita, 2006. Investasi gizi pada

periode kritis dan masa emas anak. Majalah Progizi, Vol. I, 2006. Pusat Promosi Kesehatan, Departemen Kesehatan.

2. Atmarita, 2005. Nutrition Problems in Indonesia. The article and presentation for an integrated international seminar and workshop on Lifestyle – related diseases, Gajah Mada University, 19-20 March 2005

3. Atmarita dan Tatang SF, 2004. Analisa Situasi Masalah Gizi dan

Kesehatan Masyarakat.

Wydiakarya National Pangan dan Gizi, Mei 2004.

4. Beckmann, David, and Emily Byers, 2004. “Building political will to end Hunger” Paper prepared for the United Nations Millenium Project Hunger Task Force. Bread for the world, Washington D.C. 5. Gillespie, Stuart, Milla McLachlan,

and Roger Shrimpton, eds. 2003. Combating Malnutrition. Time to Act. UNICEF-World Bank Nutrition Assesment. Health, Nutrition, and Population Series. Washington D.C; World Bank, Human Development Network.

6. _______2005, Visi, Misi, dan Strategi Departemen Kesehatan 2005-2009.

7. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2002. Lembar Berita, Jaringan Informasi Pangan dan Gizi, Volume X, No.2. 2002.

8. de Onis M, et.al. WHO Child Growth Standards. Acta Paediatrica, International Journal of Paediatrics. Volume 95 April 2006. Supplement 450.

9. WHO 2006, WHO Child Growth Standards. Methods and Development.

Gambar

Gambar 1Posisi anak balita Indonesia tahun 2005 dibanding rujukan
Gambar 2Kejadian gagal tumbuh  anak balita Indonesia tahun 2005 menurut Kota dan Desa
Gambar 3Anak Perempuan 6-18 tahun tidak bersekolah lagi tahun 1995 dan 2004
Gambar 5Prevalensi Risiko Kurang Energi Kronis pada Perempuan usia 15-29 tahun, 1999-2005
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan petunjuk praktikum pada topik kelarutan dan hasil kali kelarutan yang layak digunakan sebagai petunjuk praktikum

Hasil kali elementer A  hasilkali n buah unsur A tanpa ada pengambilan unsur dari baris/kolom yang sama...

Terdapat banyak cara menghitung harga, namun cara apapun yang digunakan, satu hal yang harus tetap diperhitungkan adalah faktor situasional, baik yang bersifat

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Standardisasi Kelengkapan Konten Unit Service Unit Home Geetings from Manager Video Profile Latest News Upcoming News News Archives Contact Us About Us Organization History

Skripsi berjudul “Profil Interferon-γ Pasca Injeksi Ekstrak Kelenjar Saliva Anopheles aconitus pada Mencit Balb/c sebagai Model Transmission Blocking Vaccine (TBV)

Kajian Awal Pembuatan Bioetanol Dari Buah Pepaya Afkir Menggunakan Bakteri Zymomonas Mobilis dan. Saccharomyces Cerevisiae