BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke
2.1.1. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO), Stroke adalah suatu tanda
klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1999).
Stroke ialah bencana atau gangguan peredaran darah di otak. Dalam
bahasa Inggris dinamai juga sebagai Cerebro-vascular Accident. Gangguan peredaran darah ini dapat berupa iskemia dan perdarahan. Iskemia adalah aliran
darah berkurang atau terhenti pada sebagian dearah di otak, manakala perdarahan
adalah terjadi karena dinding pembuluh darah robek. Gangguan peredaran darah
ini mengakibatkan fungsi otak terganggu, dan bila berat dapat mengakibatkan
kematian sebagian sel-sel otak disebut infark (Lumbantobing, 1994).
2.1.2. Epidemiologi
Sekitar 0,2% dari populasi Barat terkena stroke setiap tahunnya yang
sepertiganya akan meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan
hidup dengan kecacatan, dan sepertiga sisanya dapat sembuh kembali seperti
semula. Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke sebagai penyebab
kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta) dari total 50,5 juta kematian per tahunnya
(Hankey, 1999).
Di Amerika Serikat angka insidens stroke adalah 500.000 per tahunnya,
dengan angka kematian sekitar 150.300 dalam tahun 1988. Selanjutnya, dengan
adanya kontrol yang baik dalam hal faktor resiko, angka insidens dapat ditekan
Berdasarkan analisis, data beberapa studi epidemiologi, Caplan (1993)
menyatakan bahwa terdapat sekitar 80% dari semua stroke adalah suatu jenis
iskemik dan 20% sisanya adalah jenis hemoragik. Hasil penelitian ini mirip
dengan penelitian Rasmussen dkk. (1992) pada pemeriksaan CT Sken otak
terhadap 245 penderita stroke baru sekitar 1-7 hari sesudah serangan stroke dan
dirawat di Rumah Sakit Kopenhagen. Dalam masa satu tahun ditemukan 76%
pasien jenis iskemik, 11% mengalami pendarahan, sedangkan 13% tidak
menunjukkan tanda-tanda lesi akut. Kebanyakan pasien berusia lanjut dengan
perbandingan wanita lebih banyak daripada pria. Letak lesi terbanyak di daerah
basal ganglia (41,2%), kemudian berturut-turut diikuti di daerah temporal, parietal,
dan frontal. Luas lesi terbanyak adalah 2x2x2 cm atau lebih (63,3%) yang terdapat
di hemisfer kanan (40,4%) daripada di hemisfer kiri (35%).
Usia merupakan faktor resiko yang paling penting bagi semua jenis stroke.
Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia. Di
Oxfordshire, selama tahun 1981 – 1986, tingkat insiden (kasus baru per tahun)
stroke pada kelompok usia 45-54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk
dibanding 1987 kasus per 100.000 penduduk pada kelompok usia 85 tahun ke atas
(Lumbantobing, 2001). Sedangkan di Auckland, Selandia Baru, insiden stroke
pada kelompok usia 55 – 64 tahun ialah 20 per 10.000 penduduk. Di Soderhamn,
Swedia, insiden stroke pada kelompok usia yang sama 32 per 10.000 penduduk.
Pada kelompok usia di atas 85 tahun dijumpai insiden stroke dari 184 per 10.000
di Rochester, Minnesota, dan 397 per 10.000 penduduk di Soderhamn, Swedia
(Fieschi, et al,1998).
Berdasarkan jenis kelamin, insidens stroke di Amerika Serikat 270 per
100.000 pada pria dan 201 per 100.000 pada wanita. Di Denmark, insidens stroke
270 per 100.000 pada pria dan 189 per 100.000 pada wanita. Di Inggris insidens
stroke 174 per 100.000 pada pria dan 233 per 100.000 pada wanita. Di Swedia,
insidens stroke 221 per 100.000 pada pria dan 196 per 100.000 pada wanita
Data di Indonesia menunjukkan terjadinya kecendrungan peningkatan
insidens stroke. Di Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun 2010 dirawat inap,
ada 365 orang penderita stroke, 40% menderita stroke iskemik dan 18% menderita
stroke hemoragik (Departemen/SMF Neurologi FKUSU/RSHAM 2011).
2.1.3. Klasifikasi
Dikenal bermacam- macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas
gambaran klinik, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya
(WHO, 1989; Ali, et al, 1996; Misbach, 1999; Widjaja, 1999).
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke
mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun
patogenesisnya serupa (Ali, et al, 1996; Misbach, 1999). Adapun klasifikasi tersebut, antara lain
I.
: (Misbach, 1999)
a)
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
Transient Ischemic Attack (TIA) Stroke Iskemik
Trombosis serebri
Emboli serebri
Perdarahan intraserebral Stroke Hemoragik
Perdarahan subarachnoid II.
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu:
b. Stroke in evolution c. Completed Stroke
III.
1. Sistem karotis
Berdasarkan sistem pembuluh darah:
IV.
1. Partial Anterior Circulation Infark (PACI)
Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu (Soertidewi, 2007):
2. Total Anterior Circulation Infark (TACI) 3. Lacunar Infarct (LACI)
4. Posterior Circulation Infark (POCI)
Sedangkan penggunaan klinis yang lebih praktis lagi adalah klasifikas i
dari NewYork Neurological Institute, di mana stroke menurut mekanisme terjadinya dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: Stroke Iskemik (85%) yang
terdiri dari: thrombosis 75 – 80%, emboli 15 – 20%, lain-lain 5%: vaskulitis,
koagulopati, hipoperfusi dan Stroke Hemoragik (10 – 15%) yang terdiri dari:
intraserebral (parenchymal) dan subarachnoid (WHO, 1989; Ozer, et al,1994; Iswadi, 1999; Widjaja, 1999; Caplan, 2000).
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan
proses patologik (kausal):
Klasifikasi Stroke Non Hemoragik
a. Berdasarkan manifestasi klinik:
Defisit neurologis yang sementara yang disebabkan oleh disfungsi otak
fokal, medulla spinalis atau iskemi retina tanpa ada infark akut. i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama
dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
Deficit (RIND)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi. iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
b. Berdasarkan Kausal:
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama
makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran
darah ini menyebabakan iskemik (Japardi, 2002). Trombosis serebri adalah
obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh
darah lokal (Caplan, 2000). 1) Stroke akibat trombosis serebri
Selain oklusi trombotik pada tempat aterosklerosis arteri serebral,
infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi
atheromatus yang terletak pada pembuluh yang lebih distal.
Gumpalan-gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke
tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang
distal akan berhenti, mengakibatkan infark jaringan otak distal karena
kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari penyebab stroke
(Anonim, 2010).
Klasifikasi Stroke Hemoragik
a.
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:
Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan dari salah satu arteri
otak ke dalam jaringan otak. Lesi ini menyebabkan gejala yang terlihat
mirip dengan stroke iskemik. Diagnosis perdarahan intraserebral
tergantung pada neuroimaging yang dapat dibedakan dengan stroke
iskemik. Stroke ini lebih umum terjadi di negara-negara berkembang
daripada negara-negara maju, penyebabnya masih belum jelas namun
variasi dalam diet, aktivitas fisik, pengobatan hipertensi, dan predisposisi
genetik dapat mempengaruhi penyakit stroke tersebut (WHO, 2005).
b.
Perdarahan subarachnoid dicirikan oleh perdarahan arteri di ruang
antara dua meningen yaitu piameter dan arachnoidea. Gejala yang terlihat
jelas penderita tiba-tiba mengalami sakit kepala yang sangat parah dan
biasanya terjadi gangguan kesadaran. Gejala yang menyerupai stroke
dapat sering terjadi tetapi jarang. Diagnosis dapat dilakukan dengan
neuroimaging dan lumbal puncture (WHO, 2005). Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
2.1.4. Faktor Resiko
Resiko stroke akan meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya
faktor resiko. Data epidemiologi menyebutkan resiko untuk timbulnya serangan
ulang stroke adalah 30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki
kemungkinan serangan ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal.
yang penting. Kira-kira 40%-60% pasien diabetes terkomplikasi dengan hipertensi
terjadi bersamaan, resiko untuk stroke semakin meningkat secara drastik (Gilroy,
2000; Eguchi dkk, 2003; Kelompok Studi Serebrovaskuler Perdossi, 2004; Hu
dkk, 2005; Harmsen dkk, 2006; Goldstein, 2006).
Faktor Resiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat diklasifikasikan
berdasarkan pada kemungkinannya untuk dimodifikasi (nonmodifiable, modifiable, or potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented or less well documented) (Goldstein, 2006).
I. Nonmodifiable risk factors:
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Berat badan lahir rendah
4. Bangsa / ras
5. Keturunan / genetik
II. Modifiable risk factor:
A. Well documented and modifiable risk factor
1. Penyakit hipertensi
2. Merokok
3. Diabtes Mellitus
4. Atrial fibrillasi
5. Dislipidemia
6. Carotid artery stenosis
7. Penyakit Sel Sickle
8. Postmenopausal hormone therapy 9. Poor Diet
10.Inaktivasi fisikal
B. Less well-documented and modifiable risk factor 1. Metabolic Syndrome
2. Alkoholik
3. Kontrasepsi oral
4. Sleep-dirordered breathing 5. Migraine headache
6. Hyperhomocysteinemia 7. Peningkatan lipoprotein (a)
8. Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase 9. Hiperkoagulabilitas
10.Inflamasi
11.Infeksi
Efek faktor resiko pada insidens stroke biasanya bertambah atau berlipat
ganda, sehingga dengan adanya beberapa faktor resiko akan menempatkan
seseorang pada resiko tinggi.
Major Risk Factors:
1. Hipertensi
2. Merokok
3. Diabetes Mellitus
4. Kelainan Jantung
5. Kolesterol
Pada penelitian Grau dkk. (2001) didapati secara signifikan (p<0,001)
faktor resiko hipertensi (67%), bukan peminum alcohol (48%),
hiperkolesterolemia (35%), diabetes mellitus (29%), merokok (28%), aritmia
2.1.5. Gejala Klinis
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah (Mangunsong dan Hadinoto, 1992):
Gejala Stroke Non Hemoragik
i. Buta mendadak (amaurosis fugaks).
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
ii. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan.
iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
i. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol. b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
ii. Gangguan mental.
iii. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
iv. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
v. Bisa terjadi kejang-kejang.
i. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan.
Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol. c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
ii. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
iii. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
i. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas. d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
ii. Meningkatnya refleks tendon.
iii. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
iv. Gejala-gejala serebelum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo).
v. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
vi. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga
vii. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi).
viii. Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
ix. Gangguan pendengaran.
x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
i. Koma
e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
ii. Hemiparesis kontralateral.
iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia). iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara
kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walaupun
sebagian di antaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya
kerusakan otak.
f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur
ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu
Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya
disebut Global alexia.
iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah terjadinya kerusakan otak.
v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan
gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan
tertentu. Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita
tidak boleh melihat jarinya).
vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang.
vii. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang
menyebabkan terjadinya gangguan bicara.
viii. Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa
di otak.
ix. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan.
Gejala Stroke Hemoragik
Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri
kepala berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada
pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan
sering kali pada siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran
biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam,
23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam) (Mangunsong dan Hadinoto,
1992).
Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di
leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk
mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi
gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam
setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat
antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan
perubahan pada EKG (Mangunsong dan Hadinoto, 1992). b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis Stroke Non Hemoragik(Aliah, 2007).
a.
Diagnosis didasarkan atas hasil:
i.
Penemuan Klinis
Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang
mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke. Anamnesis
ii.
Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti
hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya. Pemeriksaan Fisik
b.
i.
Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase akut.
Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila sken tidak
jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, seringkali dapat membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik perdarahan intraserebral (PIS)
ii.
Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan
darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila perlu
gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit, Doppler,
Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan lain-lain
a.
Diagnosis Stroke Hemoragik
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda-tanda klinis dari hasil
pemeriksaan. Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan
Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), Magnetic Resonance I maging (MRI), Elektrokardiografi (EKG), Elektroensefalografi (EEG),
Ultrasonografi (USG), dan Angiografi cerebral. Perdarahan Intraserebral (PIS)
b.
Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan
tambahan dapat dilakukan dengan Multislices CT-Angiografi, MR Angiografi atau Digital Substraction Angiography (DSA).
Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka
untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya
sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat
1.
Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:
Tabel 2.1. Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragi
Tanda/Gejala
k (Djoenaidi, 1988)
Skor
1. TIA sebelum serangan
2. Permulaan serangan
Sangat mendadak (1-2 menit)
Mendadak (beberapa menit-1 jam)
Pelan-pelan (beberapa jam)
3. Waktu serangan
Waktu kerja (aktivitas)
Waktu istirahat/duduk/tidur
Waktu bangun tidur
4. Sakit kepala waktu serangan
Sangat hebat
Pelan-pelan (1 hari atau lebih)
Tak ada
6. Kesadaran
Hilang waktu serangan (langsung)
2. Tabel 2.2. Guy's Hospital Score (1985)
1. Derajat kesadaran 24 jam setelah MRS Gejala/Tanda Klinis dan Skor
Mengantuk + 7.3
Tak dapat dibangunkan + 14.6
2. Babinski bilateral + 7.1
3. Permulaan serangan
Sakit kepala dalam 2 jam setelah serangan atau kaku kuduk: + 21.9
4. Tekanan darah diastolik setelah 24 jam + (tekanan darah diastolik x 0.17)
5. Penyakit katub aorta/mitral -4.3
6. Gagal jantung - 4.3
7. Kardiomiopati - 4.3
8. Fibrilasi atrial - 4.3
9. Rasio kardio-torasik > 0.5 (pada x-foto toraks) - 4.3
10.Infark jantung (dalam 6 bulan) - 4.3
11.Angina, klaudikasio atau diabetes - 3.7
12.TIA atau stroke sebelumnya - 6.7
13.Anemnesis adanya hipertensi - 4.1
Pembacaan:
Skor : < + 25: Infark (stroke non hemoragik)
> + - 5: Perdarahan (stroke hemoragik)
+ 14: Kemungkinan infark dan perdarahan 1 : 1
< + 4: Kemungkinan perdarahan 10%
Sensivitas: Untuk stroke hemoragik: 81-88%; stroke non hemoragik (infark)
76-82%.
3. Tabel 2.3. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991)
Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x
tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.
Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan
darah
diastolik) – (3 x atheroma) – 12.
Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah:
tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam:
tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma:
tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
Pembacaan:
Skor > 1: Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark: 93.2%.
2.1.7. Penatalaksanaan
A) Terapi medik stroke iskemik (Lumbantobing, 1994)
Berikut ini ada beberapa macam obat yang digunakan pada stroke iskemik:
Pada fase akut stroke dapat terjadi edema di otak. Bila edema ini berat
akan mengganggu sirkulasi darah di otak dan dapat juga mengakibatkan keadaan
lebih buruk atau dapat juga menyebabkan kematian. 1. Obat untuk sembab otak (edema otak)
Obat antiedema otak ialah cairan hiperosmolar (misalnya larutan manitol
20%; larutan gliserol 10%). Membatasi jumlah cairan yang diberikan juga
membantu mencegah bertambahnya edema di otak. Obat deksametason, suatu
kortikosteroid, dapat digunakan juga.
Ada obat yang dapat mencegah menggumpalnya trombosit darah dan
dengan demikian mencegah terbentuknya trombus (gumpalan darah) yang dapat
menyumbat pembuluh darah. Obat sedemikian dapat digunakan pada stroke
iskemik, misalnya pada TIA. Obat yang banyak digunakan ialah asetosal (aspirin).
Dosis asetosal berkisar dari 40 mg sehari sampai 1,3 gram sehari. Akhir-akhir ini
juga digunakan obat tiklopidin untuk maksud yang sama, dengan dosis 2 x 250mg
atau klopidogrel dengan dosis 1 x 75 mg sehari. Pada TIA, untuk mencegah
kambuhnya, atau untuk mencegah terjadinya stroke yang lebih berat, lama
pengobatan dengan antiagregasi berlangsung 1-2 tahun, atau lebih. 2. Obat antiagregasi trombosit
Tentu kita harus juga menanggulangi faktor-faktor resiko yang ada dengan
baik.
Antikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi
trombus. Antikoagulansia masih sering digunakan pada penderita stroke dengan
kelainan jantung yang dapat menimbulkan embolus. Obat yang digunakan ialah
Terapi trombolitik pada stroke iskemik didasari anggapan bahwa bila
sumbatan oleh trombus dapat segera dihilangkan atau dikurangi (rekanalisasi),
maka sel-sel neuron yang sekarat dapat ditolong.
4. Obat Trombolitik (obat yang dapat menghancurkan trombus)
Penelitian yang cukup besar, yang membuktikan efektivitas penggunaan
rt-PA pada stroke iskemik, ialah penelitian NINDS, yang melibatkan 624
penderita dan pengobatan dimulai dalam kurun waktu 3 jam setelah mulainya
stroke. Terjadinya perdarahan sebagai akibat pengobatan ini cukp tinggi (6,4%
dibanding 0,6% pada kelompok tanpa trombolitik (plasebo)). Namun demikian,
pasien yang dapat rt-PA, yaitu 48% dibanding 36% pada plasebo. Terapi
trombolitik pada stroke iskemik merupakan terapi yang poten, dan cukup
berbahaya bila tidak dilakukan dengan seksama.
Berbagai obat dan tindakan telah diteliti dan dilaporkan di kepustakaan
dengan tujuan memperbaiki tau mengoptimasi keadaan otak, metabolismenya dan
sirkulasinya. Hasilnya masih kontroversial dan masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut.
5. Obat atau tindakan lain
Obat-obat ini misalnya: kodergokrin mesilat (Hydergin), nimodipin
(Nimotop), pentoksifilin (Trental), sitikolin (Nicholin).
Tindakan yang perlu penelitian lebih lanjut ialah: hemodilusi,
mengencerkan darah. Hal ini dilakukan bila darah kental pada fase akut stroke.
Bila darah kental, misalnya hematokrit lebih dari 44-55%, darah dikeluarkan
sebanyak 250cc, diganti dengan larutan dekstran-40 atau larutan lainnya. Bila
masih kental juga, dapat dikeluarkan lagi 250cc keesokan harinya.
Penatalaksanaan medik perdarahan subaraknoid oleh pecahnya anerisma
atau robeknya malformasi arteri-vena belumlah baku. Panatalaksanaan ini
mencakup:
B) Terapi medik perdarahan subaraknoid (Lumbantobing, 1994)
a) tirah baring di ruang tenang, b) mengupayakan agar penderita tidak mengedan,
Tindakan ini merupakan rekomendasi konvensional. Belum dapat
dibuktikan bahwa tindakan ini mengurangi perdarahan ulang atau vasospasme
(menciutnya pembuluh darah). Namun meningkatnya tekanan intrakranial dan
tekanan darah oleh aktivitas fisik atau lonjakan emosional memang dapat dicegah,
dan sebaiknya dicegah.
1. Menurunkan tekanan darah untuk mencegah perdarahan ulang. Pada orang
yang dasarnya normotensif (tensi normal) diturunkan sampai sistolik 160mmHg,
pada orang yang hipertensif sedikit lebih tinggi. Tujuan terapi medik antara lain ialah:
2. Penderita harus istirahat total, paling sedikit 4 minggu, agar proliferasi
fibroblastik dan penyembuhan luka pembuluh darah lebih baik.
3. Tekanan dalam rongga tengkorak diturunkan dengan cara
a. Meningkatkan posisi kepala 15-30% (satu bantal)
:
b. Memberikan obat antiedem
c. Memberikan obat deksametason, selain sebagai antiedem juga untuk mencegah
perlekatan pada arakhnoid yang dapat mengakibatkan hidrosefalus dan peninggian
tekanan dalam tengkorak.
4. Mencegah perdarahan ulang, paling sering terjadi selama 2-4 minggu pertama.
Untuk maksud ini dapat diberi obat dari golongan antifibrinolitik misalnya asam
traneksamat 4-6 gram intravena selama 2 minggu.
5. Mencegah spasme arteri, yang sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 10. Untuk
maksud ini dapat diberi obat nimodipine, 4 x 30-60 mg sehari selama 2 minggu.
C) Terapi medik perdarahan intraserebral (dalam jaringan otak) (Lumbantobing,
1994)
1. Mencegah akibat buruk dari meningkatnya tekanan intrakranial Tujuan terapi antara lain mencakup:
2. Mencegah komplikasi sekunder sebagai akibat menurunnya kesadaran misalnya
gangguan pernafasan, aspirasi, hipoventilasi.
3. Identifikasi sumber perdarahan yang mungkin dapat diperbaiki dengan tindakan
Belum ada persesuaian pendapat mengenai peranan pembedahan pada
stroke hemoragik. Namun, pada keadaan tertentu dibutuhkan operasi darurat
untuk mengeluarkan bekuan darah dari otak.
Pada bekuan darah di otak kecil, umumnya dibutuhkan tindakan operasi,
mencegah terjadinya tekanan pada batang otak dan terjadinya hidrosefalus.
2.1.8. Pencegahan
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu:
i.
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko Pencegahan Primordial
stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial
dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye
tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang
dapat menarik perhatian masyarakat.
Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program
pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit
stroke melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard.
ii.
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko
stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan
gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain: Pencegahan Primer
a. Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan,
obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.
b. Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.
c. Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium,
infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vaskular
d. Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran,
buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, serealia dan susu
rendah lemak serta dianjurkan berolah raga secara teratur.
iii.
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pencegahan Sekunder
Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke
tidak berlanjut menjadi kronis.
a. Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai
obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320
mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit
jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi
koagulopati yang lain.
Tindakan yang dilakukan adalah:
b. Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontraindikasi
terhadap asetosal (aspirin).
c. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat
antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat
hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat
antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti
mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak.
iv.
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mereka yang telah menderita
stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pencegahan tertier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan
sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan
a.
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu
proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama
adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris
penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan
keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi
okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi,
memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan
bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan
dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain. Rehabilitasi Fisik
b.
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat Rehabilitasi Mental
mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak
bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami akan
mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi.
Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan
konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis.
c.
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita
stroke menghadapi masalah sosial seperti mengatasi perubahan gaya hidup,
hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial
akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan
2.2. Prilaku
Prilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
berkaitan. Maka, prilaku manusia merupakan sesuatu aktivitas dari manusia itu
sendiri. Terdapat 2 hal yang dapat mempengaruhi prilaku yaitu faktor genetik
(keturunan) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan konsepsi dasar
untuk perkembangan prilaku mahluk hidup itu. Lingkungan adalah kondisi untuk
perkembangan prilaku tersebut.
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa prilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon). Terdapat 2 jenis respon yaitu:
a) Respondent respon yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Respon yang timbul umumnya relatif tetap.
b) Operant respon ialah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsangan tertentu. Perangsangan semacam ini dikenal sebagai
reinforcing stimuli karena perangsangan-peransangannya memperkuat respon yang telah dilakukan organisme.
Prilaku kesehatan adalah suatu proses seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan makanan
serta lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003) mengajukan klasifikasi prilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) seperti berikut:
a) Prilaku kesehatan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan
atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.
b) Prilaku sakit ialah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang
merasakan sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya
atau rasa sakit.
c) Prilaku peran sakit yakni segala tindakan yang dilakukan oleh individu
yang sedang sakit untuk memperolehi kesembuhan.
Bloom (1908) membagi prilaku ke dalam 3 domain tapi tidak mempunyai
2.2.1. Pengetahuan
Pengetahuan secara luas berarti segala sesuatu yang kita ketahui (Balai
Pustaka dan Depdiknas, 2005). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi
setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek, baik malalui
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan hasil penggunaan panca indera dan akan menimbulkan
kesan dalam pikiran manusia (Soekanto, 2003).
Menurut Piaget (1999), pengetahuan adalah interaksi yang terus menerus
antara individu dan lingkungan. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu
proses, bukan suatu ‘barang”. Hutojo menyatakan bahwa pengetahuan adalah
tekanan kepada proses psikologi ingatan atau kognitif (Hudojo, 2003 dalam
Hasanah, 2007). Benjamin, Bloom, dkk seperti dikutip Sudijono mengemukakan
bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan harus mengacu kepada tiga
jenis ranah, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik.
1.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan mempunyai enam tingkatan,
yaitu:
Tahu adalah suatu keadaan di mana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengatahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu,“tahu” ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Tahu (know)
2.
Paham diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang mampu menjelaskan
dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Paham (comprehension)
3.
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
4.
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam
komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada
kaitannya satu sama lain, misalnya mengelompokkan dan membedakan. Analisis (analysis)
5.
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis (synthesis)
6.
Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Evaluasi (evaluation)
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.
Menurut Notoatmodjo (2005) dari berbagai macam cara yang telah
digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni:
Cara Kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara
sistematik dan logis.
1. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan
a.
Cara-cara ini antara lain:
Melalui cara coba-coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and error”. Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan yang lain.
Cara coba-coba (Trial and Error)
b. Cara kekuasaan atau otoritas
Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan,
baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu
pengetahuan.
c. Berdasarkan pengalaman pribadi
Dengan cara mengulanag kembali pengalaman yang diperoleh dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.
d. Melalui jalan pikiran
Kemampuan manusia menggunakan penalarannya dalam memperoleh
pengetahuannya. Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia
menggunakan jalan pikirannya.
Cara ini disebut “metode penelitian”, atau lebih popular disebut metodologi
penelitian (research methodology). Menurut Deobold van Dalen, mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan pengamatan dilakukan dengan
mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap
semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati. Pencatatan ini mencakup
tiga hal pokok, yaitu:
2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
a) Segala sesuatu yang positif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan
pengamatan.
b) Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan
pengamatan.
c) Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubah
pada kondisi-kondisi tertentu.
2.2.2. Sikap
Menurut Sarwono, sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak
secara tertentu terhadap hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula
bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati,
menyenangi, mengharapkan objek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif
terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai
obyek tertentu (Sarwono, Sarlito, 2006). Sikap menurut Fishbein dan Ajzen (1975)
adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau
1.
Menurut Notoatmodjo S. (2005) Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni:
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Menerima (Receiving)
2.
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan. Merespon (Responding)
3.
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah. Menghargai (Valuing)
4.
Bertanggung jawab akan segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko.
Bertanggung Jawab (Responsible)
Menurut Secord dan Backman (1964) dalam Hasanah N L(2007) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Selanjutnya menurut Azwar struktur sikap terdiri
atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu:
1) Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang
dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini
dapat disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut
masalah isu atau problem yang kontraversial.
2) Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan
menyangkut masalah emosional subyektif terhadap suatu obyek. Apabila
individu percaya bahwa obyek sikap tersebut membawa dampak yang
tidak baik, maka akan terbentuk perasaan tidak suka atau afeksi yang tak
favorable terhadap obyek sikap tersebut.
3) Komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan
berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap
Keterkaitan tiga komponen tersebut harus selaras dan konsisten agar bisa
memunculkan suatu sikap tertentu. Dalam kata lain, apabila dihadapkan pada
suatu obyek sikap yang sama, maka ketiga komponen tersebut harus mempolakan
hal yang sama. Sikap berhubungan dengan seberapa luasnya pengetahuan individu
terhadap obyek yang dihadapi. Orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang
suatu obyek tidak akan mempunyai sikap positif terhadap obyek tersebut. Hal itu
berarti bahwa aspek kognitif yang diwujudkan melalui pengaruh pemikiran dan
keyakinan seseorang memerlukan landasan pengetahuan yang relevan
menanggapi obyek sikap. Dengan demikian pengetahuan mengenai konsep
tentang mikrobiologi diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sikap
positif terhadap kesehatan. Demikian juga dengan pendidikan merupakan modal
manusia melakukan transformasi sikap terhadap kesehatan.
Oleh itu, pengertian sikap adalah: Pertama, sikap merupakan kecenderungan
bertingkah laku untuk bertindak terhadap obyek, terhadap situasi atau nilai
tertentu. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap
relatif lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan baik atau buruk, penting atau tidak penting.
2.2.3. Tindakan
Sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain: fasilitas. Di
samping fasilitas juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain (Nototmodjo,
2003).
a)
Menurut Notoadmodjo (2003) tingkat-tingkat praktek sebagai berikut:
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
b)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Respon terpimpin (Guided Response)
c)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis atau sesuatu kegiatan itu sudah menjadi suatu kebiasaan, maka ia
sudah mencapai praktek tingkat ketiga. Mekanisme ( Mechanism)
d)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut. Adaptasi (Adaptation)
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,