• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Angkatan 2008 tentang Stroke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Angkatan 2008 tentang Stroke"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke

2.1.1. Definisi

Menurut World Health Organization (WHO), Stroke adalah suatu tanda

klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan

gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan

kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1999).

Stroke ialah bencana atau gangguan peredaran darah di otak. Dalam

bahasa Inggris dinamai juga sebagai Cerebro-vascular Accident. Gangguan peredaran darah ini dapat berupa iskemia dan perdarahan. Iskemia adalah aliran

darah berkurang atau terhenti pada sebagian dearah di otak, manakala perdarahan

adalah terjadi karena dinding pembuluh darah robek. Gangguan peredaran darah

ini mengakibatkan fungsi otak terganggu, dan bila berat dapat mengakibatkan

kematian sebagian sel-sel otak disebut infark (Lumbantobing, 1994).

2.1.2. Epidemiologi

Sekitar 0,2% dari populasi Barat terkena stroke setiap tahunnya yang

sepertiganya akan meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan

hidup dengan kecacatan, dan sepertiga sisanya dapat sembuh kembali seperti

semula. Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke sebagai penyebab

kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta) dari total 50,5 juta kematian per tahunnya

(Hankey, 1999).

Di Amerika Serikat angka insidens stroke adalah 500.000 per tahunnya,

dengan angka kematian sekitar 150.300 dalam tahun 1988. Selanjutnya, dengan

adanya kontrol yang baik dalam hal faktor resiko, angka insidens dapat ditekan

(2)

Berdasarkan analisis, data beberapa studi epidemiologi, Caplan (1993)

menyatakan bahwa terdapat sekitar 80% dari semua stroke adalah suatu jenis

iskemik dan 20% sisanya adalah jenis hemoragik. Hasil penelitian ini mirip

dengan penelitian Rasmussen dkk. (1992) pada pemeriksaan CT Sken otak

terhadap 245 penderita stroke baru sekitar 1-7 hari sesudah serangan stroke dan

dirawat di Rumah Sakit Kopenhagen. Dalam masa satu tahun ditemukan 76%

pasien jenis iskemik, 11% mengalami pendarahan, sedangkan 13% tidak

menunjukkan tanda-tanda lesi akut. Kebanyakan pasien berusia lanjut dengan

perbandingan wanita lebih banyak daripada pria. Letak lesi terbanyak di daerah

basal ganglia (41,2%), kemudian berturut-turut diikuti di daerah temporal, parietal,

dan frontal. Luas lesi terbanyak adalah 2x2x2 cm atau lebih (63,3%) yang terdapat

di hemisfer kanan (40,4%) daripada di hemisfer kiri (35%).

Usia merupakan faktor resiko yang paling penting bagi semua jenis stroke.

Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia. Di

Oxfordshire, selama tahun 1981 – 1986, tingkat insiden (kasus baru per tahun)

stroke pada kelompok usia 45-54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk

dibanding 1987 kasus per 100.000 penduduk pada kelompok usia 85 tahun ke atas

(Lumbantobing, 2001). Sedangkan di Auckland, Selandia Baru, insiden stroke

pada kelompok usia 55 – 64 tahun ialah 20 per 10.000 penduduk. Di Soderhamn,

Swedia, insiden stroke pada kelompok usia yang sama 32 per 10.000 penduduk.

Pada kelompok usia di atas 85 tahun dijumpai insiden stroke dari 184 per 10.000

di Rochester, Minnesota, dan 397 per 10.000 penduduk di Soderhamn, Swedia

(Fieschi, et al,1998).

Berdasarkan jenis kelamin, insidens stroke di Amerika Serikat 270 per

100.000 pada pria dan 201 per 100.000 pada wanita. Di Denmark, insidens stroke

270 per 100.000 pada pria dan 189 per 100.000 pada wanita. Di Inggris insidens

stroke 174 per 100.000 pada pria dan 233 per 100.000 pada wanita. Di Swedia,

insidens stroke 221 per 100.000 pada pria dan 196 per 100.000 pada wanita

(3)

Data di Indonesia menunjukkan terjadinya kecendrungan peningkatan

insidens stroke. Di Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun 2010 dirawat inap,

ada 365 orang penderita stroke, 40% menderita stroke iskemik dan 18% menderita

stroke hemoragik (Departemen/SMF Neurologi FKUSU/RSHAM 2011).

2.1.3. Klasifikasi

Dikenal bermacam- macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas

gambaran klinik, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya

(WHO, 1989; Ali, et al, 1996; Misbach, 1999; Widjaja, 1999).

Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke

mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun

patogenesisnya serupa (Ali, et al, 1996; Misbach, 1999). Adapun klasifikasi tersebut, antara lain

I.

: (Misbach, 1999)

a)

Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

Transient Ischemic Attack (TIA) Stroke Iskemik

 Trombosis serebri

 Emboli serebri

 Perdarahan intraserebral Stroke Hemoragik

 Perdarahan subarachnoid II.

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu:

b. Stroke in evolution c. Completed Stroke

III.

1. Sistem karotis

Berdasarkan sistem pembuluh darah:

(4)

IV.

1. Partial Anterior Circulation Infark (PACI)

Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu (Soertidewi, 2007):

2. Total Anterior Circulation Infark (TACI) 3. Lacunar Infarct (LACI)

4. Posterior Circulation Infark (POCI)

Sedangkan penggunaan klinis yang lebih praktis lagi adalah klasifikas i

dari NewYork Neurological Institute, di mana stroke menurut mekanisme terjadinya dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: Stroke Iskemik (85%) yang

terdiri dari: thrombosis 75 – 80%, emboli 15 – 20%, lain-lain 5%: vaskulitis,

koagulopati, hipoperfusi dan Stroke Hemoragik (10 – 15%) yang terdiri dari:

intraserebral (parenchymal) dan subarachnoid (WHO, 1989; Ozer, et al,1994; Iswadi, 1999; Widjaja, 1999; Caplan, 2000).

(5)

Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan

proses patologik (kausal):

Klasifikasi Stroke Non Hemoragik

a. Berdasarkan manifestasi klinik:

Defisit neurologis yang sementara yang disebabkan oleh disfungsi otak

fokal, medulla spinalis atau iskemi retina tanpa ada infark akut. i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)

ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological

Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama

dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.

Deficit (RIND)

Gejala neurologik makin lama makin berat.

iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)

Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi. iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)

b. Berdasarkan Kausal:

Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya

penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama

makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran

darah ini menyebabakan iskemik (Japardi, 2002). Trombosis serebri adalah

obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh

darah lokal (Caplan, 2000). 1) Stroke akibat trombosis serebri

Selain oklusi trombotik pada tempat aterosklerosis arteri serebral,

infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi

atheromatus yang terletak pada pembuluh yang lebih distal.

Gumpalan-gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke

tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang

(6)

distal akan berhenti, mengakibatkan infark jaringan otak distal karena

kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari penyebab stroke

(Anonim, 2010).

Klasifikasi Stroke Hemoragik

a.

Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:

Perdarahan Intraserebral (PIS)

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan dari salah satu arteri

otak ke dalam jaringan otak. Lesi ini menyebabkan gejala yang terlihat

mirip dengan stroke iskemik. Diagnosis perdarahan intraserebral

tergantung pada neuroimaging yang dapat dibedakan dengan stroke

iskemik. Stroke ini lebih umum terjadi di negara-negara berkembang

daripada negara-negara maju, penyebabnya masih belum jelas namun

variasi dalam diet, aktivitas fisik, pengobatan hipertensi, dan predisposisi

genetik dapat mempengaruhi penyakit stroke tersebut (WHO, 2005).

b.

Perdarahan subarachnoid dicirikan oleh perdarahan arteri di ruang

antara dua meningen yaitu piameter dan arachnoidea. Gejala yang terlihat

jelas penderita tiba-tiba mengalami sakit kepala yang sangat parah dan

biasanya terjadi gangguan kesadaran. Gejala yang menyerupai stroke

dapat sering terjadi tetapi jarang. Diagnosis dapat dilakukan dengan

neuroimaging dan lumbal puncture (WHO, 2005). Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)

2.1.4. Faktor Resiko

Resiko stroke akan meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya

faktor resiko. Data epidemiologi menyebutkan resiko untuk timbulnya serangan

ulang stroke adalah 30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki

kemungkinan serangan ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal.

(7)

yang penting. Kira-kira 40%-60% pasien diabetes terkomplikasi dengan hipertensi

terjadi bersamaan, resiko untuk stroke semakin meningkat secara drastik (Gilroy,

2000; Eguchi dkk, 2003; Kelompok Studi Serebrovaskuler Perdossi, 2004; Hu

dkk, 2005; Harmsen dkk, 2006; Goldstein, 2006).

Faktor Resiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat diklasifikasikan

berdasarkan pada kemungkinannya untuk dimodifikasi (nonmodifiable, modifiable, or potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented or less well documented) (Goldstein, 2006).

I. Nonmodifiable risk factors:

1. Umur

2. Jenis Kelamin

3. Berat badan lahir rendah

4. Bangsa / ras

5. Keturunan / genetik

II. Modifiable risk factor:

A. Well documented and modifiable risk factor

1. Penyakit hipertensi

2. Merokok

3. Diabtes Mellitus

4. Atrial fibrillasi

5. Dislipidemia

6. Carotid artery stenosis

7. Penyakit Sel Sickle

8. Postmenopausal hormone therapy 9. Poor Diet

10.Inaktivasi fisikal

(8)

B. Less well-documented and modifiable risk factor 1. Metabolic Syndrome

2. Alkoholik

3. Kontrasepsi oral

4. Sleep-dirordered breathing 5. Migraine headache

6. Hyperhomocysteinemia 7. Peningkatan lipoprotein (a)

8. Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase 9. Hiperkoagulabilitas

10.Inflamasi

11.Infeksi

Efek faktor resiko pada insidens stroke biasanya bertambah atau berlipat

ganda, sehingga dengan adanya beberapa faktor resiko akan menempatkan

seseorang pada resiko tinggi.

Major Risk Factors:

1. Hipertensi

2. Merokok

3. Diabetes Mellitus

4. Kelainan Jantung

5. Kolesterol

Pada penelitian Grau dkk. (2001) didapati secara signifikan (p<0,001)

faktor resiko hipertensi (67%), bukan peminum alcohol (48%),

hiperkolesterolemia (35%), diabetes mellitus (29%), merokok (28%), aritmia

(9)

2.1.5. Gejala Klinis

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah (Mangunsong dan Hadinoto, 1992):

Gejala Stroke Non Hemoragik

i. Buta mendadak (amaurosis fugaks).

a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.

ii. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan.

iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.

i. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol. b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.

ii. Gangguan mental.

iii. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.

iv. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.

v. Bisa terjadi kejang-kejang.

i. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan.

Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol. c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.

ii. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.

iii. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).

i. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas. d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.

ii. Meningkatnya refleks tendon.

iii. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.

iv. Gejala-gejala serebelum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo).

v. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).

vi. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga

(10)

vii. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi).

viii. Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).

ix. Gangguan pendengaran.

x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.

i. Koma

e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior

ii. Hemiparesis kontralateral.

iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia). iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.

i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara

kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walaupun

sebagian di antaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya

kerusakan otak.

f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur

ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu

Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya

disebut Global alexia.

(11)

iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah terjadinya kerusakan otak.

v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan

gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan

tertentu. Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita

tidak boleh melihat jarinya).

vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang.

vii. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang

menyebabkan terjadinya gangguan bicara.

viii. Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa

di otak.

ix. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan.

Gejala Stroke Hemoragik

Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri

kepala berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada

pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan

sering kali pada siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran

biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam,

23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam) (Mangunsong dan Hadinoto,

1992).

(12)

Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di

leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk

mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi

gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam

setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat

antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan

perubahan pada EKG (Mangunsong dan Hadinoto, 1992). b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis Stroke Non Hemoragik(Aliah, 2007).

a.

Diagnosis didasarkan atas hasil:

i.

Penemuan Klinis

Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang

mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke. Anamnesis

ii.

Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti

hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya. Pemeriksaan Fisik

b.

i.

Pemeriksaan tambahan/Laboratorium

Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase akut.

Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila sken tidak

jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, seringkali dapat membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik perdarahan intraserebral (PIS)

(13)

ii.

Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan

darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila perlu

gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit, Doppler,

Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan lain-lain

a.

Diagnosis Stroke Hemoragik

Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda-tanda klinis dari hasil

pemeriksaan. Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan

Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), Magnetic Resonance I maging (MRI), Elektrokardiografi (EKG), Elektroensefalografi (EEG),

Ultrasonografi (USG), dan Angiografi cerebral. Perdarahan Intraserebral (PIS)

b.

Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan

tambahan dapat dilakukan dengan Multislices CT-Angiografi, MR Angiografi atau Digital Substraction Angiography (DSA).

Perdarahan Subarakhnoid (PSA)

Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka

untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya

sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat

(14)

1.

Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:

Tabel 2.1. Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragi

Tanda/Gejala

k (Djoenaidi, 1988)

Skor

1. TIA sebelum serangan

2. Permulaan serangan

Sangat mendadak (1-2 menit)

Mendadak (beberapa menit-1 jam)

Pelan-pelan (beberapa jam)

3. Waktu serangan

Waktu kerja (aktivitas)

Waktu istirahat/duduk/tidur

Waktu bangun tidur

4. Sakit kepala waktu serangan

Sangat hebat

Pelan-pelan (1 hari atau lebih)

Tak ada

6. Kesadaran

Hilang waktu serangan (langsung)

(15)

2. Tabel 2.2. Guy's Hospital Score (1985)

1. Derajat kesadaran 24 jam setelah MRS Gejala/Tanda Klinis dan Skor

Mengantuk + 7.3

Tak dapat dibangunkan + 14.6

2. Babinski bilateral + 7.1

3. Permulaan serangan

Sakit kepala dalam 2 jam setelah serangan atau kaku kuduk: + 21.9

4. Tekanan darah diastolik setelah 24 jam + (tekanan darah diastolik x 0.17)

5. Penyakit katub aorta/mitral -4.3

6. Gagal jantung - 4.3

7. Kardiomiopati - 4.3

8. Fibrilasi atrial - 4.3

9. Rasio kardio-torasik > 0.5 (pada x-foto toraks) - 4.3

10.Infark jantung (dalam 6 bulan) - 4.3

11.Angina, klaudikasio atau diabetes - 3.7

12.TIA atau stroke sebelumnya - 6.7

13.Anemnesis adanya hipertensi - 4.1

Pembacaan:

Skor : < + 25: Infark (stroke non hemoragik)

> + - 5: Perdarahan (stroke hemoragik)

+ 14: Kemungkinan infark dan perdarahan 1 : 1

< + 4: Kemungkinan perdarahan 10%

Sensivitas: Untuk stroke hemoragik: 81-88%; stroke non hemoragik (infark)

76-82%.

(16)

3. Tabel 2.3. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991)

Versi orisinal:

= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x

tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi disederhanakan:

= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan

darah

diastolik) – (3 x atheroma) – 12.

Kesadaran:

Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2

Muntah:

tidak = 0 ; ya = 1

Sakit kepala dalam 2 jam:

tidak = 0 ; ya = 1

Tanda-tanda ateroma:

tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1

(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)

Pembacaan:

Skor > 1: Perdarahan otak

< -1: Infark otak

Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.

Untuk infark: 93.2%.

(17)

2.1.7. Penatalaksanaan

A) Terapi medik stroke iskemik (Lumbantobing, 1994)

Berikut ini ada beberapa macam obat yang digunakan pada stroke iskemik:

Pada fase akut stroke dapat terjadi edema di otak. Bila edema ini berat

akan mengganggu sirkulasi darah di otak dan dapat juga mengakibatkan keadaan

lebih buruk atau dapat juga menyebabkan kematian. 1. Obat untuk sembab otak (edema otak)

Obat antiedema otak ialah cairan hiperosmolar (misalnya larutan manitol

20%; larutan gliserol 10%). Membatasi jumlah cairan yang diberikan juga

membantu mencegah bertambahnya edema di otak. Obat deksametason, suatu

kortikosteroid, dapat digunakan juga.

Ada obat yang dapat mencegah menggumpalnya trombosit darah dan

dengan demikian mencegah terbentuknya trombus (gumpalan darah) yang dapat

menyumbat pembuluh darah. Obat sedemikian dapat digunakan pada stroke

iskemik, misalnya pada TIA. Obat yang banyak digunakan ialah asetosal (aspirin).

Dosis asetosal berkisar dari 40 mg sehari sampai 1,3 gram sehari. Akhir-akhir ini

juga digunakan obat tiklopidin untuk maksud yang sama, dengan dosis 2 x 250mg

atau klopidogrel dengan dosis 1 x 75 mg sehari. Pada TIA, untuk mencegah

kambuhnya, atau untuk mencegah terjadinya stroke yang lebih berat, lama

pengobatan dengan antiagregasi berlangsung 1-2 tahun, atau lebih. 2. Obat antiagregasi trombosit

Tentu kita harus juga menanggulangi faktor-faktor resiko yang ada dengan

baik.

Antikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi

trombus. Antikoagulansia masih sering digunakan pada penderita stroke dengan

kelainan jantung yang dapat menimbulkan embolus. Obat yang digunakan ialah

(18)

Terapi trombolitik pada stroke iskemik didasari anggapan bahwa bila

sumbatan oleh trombus dapat segera dihilangkan atau dikurangi (rekanalisasi),

maka sel-sel neuron yang sekarat dapat ditolong.

4. Obat Trombolitik (obat yang dapat menghancurkan trombus)

Penelitian yang cukup besar, yang membuktikan efektivitas penggunaan

rt-PA pada stroke iskemik, ialah penelitian NINDS, yang melibatkan 624

penderita dan pengobatan dimulai dalam kurun waktu 3 jam setelah mulainya

stroke. Terjadinya perdarahan sebagai akibat pengobatan ini cukp tinggi (6,4%

dibanding 0,6% pada kelompok tanpa trombolitik (plasebo)). Namun demikian,

pasien yang dapat rt-PA, yaitu 48% dibanding 36% pada plasebo. Terapi

trombolitik pada stroke iskemik merupakan terapi yang poten, dan cukup

berbahaya bila tidak dilakukan dengan seksama.

Berbagai obat dan tindakan telah diteliti dan dilaporkan di kepustakaan

dengan tujuan memperbaiki tau mengoptimasi keadaan otak, metabolismenya dan

sirkulasinya. Hasilnya masih kontroversial dan masih membutuhkan penelitian

lebih lanjut.

5. Obat atau tindakan lain

Obat-obat ini misalnya: kodergokrin mesilat (Hydergin), nimodipin

(Nimotop), pentoksifilin (Trental), sitikolin (Nicholin).

Tindakan yang perlu penelitian lebih lanjut ialah: hemodilusi,

mengencerkan darah. Hal ini dilakukan bila darah kental pada fase akut stroke.

Bila darah kental, misalnya hematokrit lebih dari 44-55%, darah dikeluarkan

sebanyak 250cc, diganti dengan larutan dekstran-40 atau larutan lainnya. Bila

masih kental juga, dapat dikeluarkan lagi 250cc keesokan harinya.

Penatalaksanaan medik perdarahan subaraknoid oleh pecahnya anerisma

atau robeknya malformasi arteri-vena belumlah baku. Panatalaksanaan ini

mencakup:

B) Terapi medik perdarahan subaraknoid (Lumbantobing, 1994)

a) tirah baring di ruang tenang, b) mengupayakan agar penderita tidak mengedan,

(19)

Tindakan ini merupakan rekomendasi konvensional. Belum dapat

dibuktikan bahwa tindakan ini mengurangi perdarahan ulang atau vasospasme

(menciutnya pembuluh darah). Namun meningkatnya tekanan intrakranial dan

tekanan darah oleh aktivitas fisik atau lonjakan emosional memang dapat dicegah,

dan sebaiknya dicegah.

1. Menurunkan tekanan darah untuk mencegah perdarahan ulang. Pada orang

yang dasarnya normotensif (tensi normal) diturunkan sampai sistolik 160mmHg,

pada orang yang hipertensif sedikit lebih tinggi. Tujuan terapi medik antara lain ialah:

2. Penderita harus istirahat total, paling sedikit 4 minggu, agar proliferasi

fibroblastik dan penyembuhan luka pembuluh darah lebih baik.

3. Tekanan dalam rongga tengkorak diturunkan dengan cara

a. Meningkatkan posisi kepala 15-30% (satu bantal)

:

b. Memberikan obat antiedem

c. Memberikan obat deksametason, selain sebagai antiedem juga untuk mencegah

perlekatan pada arakhnoid yang dapat mengakibatkan hidrosefalus dan peninggian

tekanan dalam tengkorak.

4. Mencegah perdarahan ulang, paling sering terjadi selama 2-4 minggu pertama.

Untuk maksud ini dapat diberi obat dari golongan antifibrinolitik misalnya asam

traneksamat 4-6 gram intravena selama 2 minggu.

5. Mencegah spasme arteri, yang sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 10. Untuk

maksud ini dapat diberi obat nimodipine, 4 x 30-60 mg sehari selama 2 minggu.

C) Terapi medik perdarahan intraserebral (dalam jaringan otak) (Lumbantobing,

1994)

1. Mencegah akibat buruk dari meningkatnya tekanan intrakranial Tujuan terapi antara lain mencakup:

2. Mencegah komplikasi sekunder sebagai akibat menurunnya kesadaran misalnya

gangguan pernafasan, aspirasi, hipoventilasi.

3. Identifikasi sumber perdarahan yang mungkin dapat diperbaiki dengan tindakan

(20)

Belum ada persesuaian pendapat mengenai peranan pembedahan pada

stroke hemoragik. Namun, pada keadaan tertentu dibutuhkan operasi darurat

untuk mengeluarkan bekuan darah dari otak.

Pada bekuan darah di otak kecil, umumnya dibutuhkan tindakan operasi,

mencegah terjadinya tekanan pada batang otak dan terjadinya hidrosefalus.

2.1.8. Pencegahan

Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu:

i.

Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko Pencegahan Primordial

stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial

dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye

tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang

dapat menarik perhatian masyarakat.

Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program

pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit

stroke melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard.

ii.

Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko

stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan

gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain: Pencegahan Primer

a. Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan,

obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.

b. Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.

c. Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium,

infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vaskular

(21)

d. Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran,

buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, serealia dan susu

rendah lemak serta dianjurkan berolah raga secara teratur.

iii.

Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pencegahan Sekunder

Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke

tidak berlanjut menjadi kronis.

a. Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai

obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320

mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit

jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi

koagulopati yang lain.

Tindakan yang dilakukan adalah:

b. Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontraindikasi

terhadap asetosal (aspirin).

c. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat

antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat

hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat

antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti

mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak.

iv.

Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mereka yang telah menderita

stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi

ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pencegahan tertier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan

sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli

fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan

(22)

a.

Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu

proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama

adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris

penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan

keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi

okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi,

memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan

bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan

dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain. Rehabilitasi Fisik

b.

Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat Rehabilitasi Mental

mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak

bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami akan

mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi.

Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan

konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis.

c.

Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita

stroke menghadapi masalah sosial seperti mengatasi perubahan gaya hidup,

hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial

akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan

(23)

2.2. Prilaku

Prilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang

berkaitan. Maka, prilaku manusia merupakan sesuatu aktivitas dari manusia itu

sendiri. Terdapat 2 hal yang dapat mempengaruhi prilaku yaitu faktor genetik

(keturunan) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan konsepsi dasar

untuk perkembangan prilaku mahluk hidup itu. Lingkungan adalah kondisi untuk

perkembangan prilaku tersebut.

Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa prilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon). Terdapat 2 jenis respon yaitu:

a) Respondent respon yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Respon yang timbul umumnya relatif tetap.

b) Operant respon ialah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsangan tertentu. Perangsangan semacam ini dikenal sebagai

reinforcing stimuli karena perangsangan-peransangannya memperkuat respon yang telah dilakukan organisme.

Prilaku kesehatan adalah suatu proses seseorang terhadap stimulus yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan makanan

serta lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003) mengajukan klasifikasi prilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) seperti berikut:

a) Prilaku kesehatan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan

atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan

kesehatannya.

b) Prilaku sakit ialah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang

merasakan sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya

atau rasa sakit.

c) Prilaku peran sakit yakni segala tindakan yang dilakukan oleh individu

yang sedang sakit untuk memperolehi kesembuhan.

Bloom (1908) membagi prilaku ke dalam 3 domain tapi tidak mempunyai

(24)

2.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan secara luas berarti segala sesuatu yang kita ketahui (Balai

Pustaka dan Depdiknas, 2005). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi

setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek, baik malalui

indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan merupakan hasil penggunaan panca indera dan akan menimbulkan

kesan dalam pikiran manusia (Soekanto, 2003).

Menurut Piaget (1999), pengetahuan adalah interaksi yang terus menerus

antara individu dan lingkungan. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu

proses, bukan suatu ‘barang”. Hutojo menyatakan bahwa pengetahuan adalah

tekanan kepada proses psikologi ingatan atau kognitif (Hudojo, 2003 dalam

Hasanah, 2007). Benjamin, Bloom, dkk seperti dikutip Sudijono mengemukakan

bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan harus mengacu kepada tiga

jenis ranah, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik.

1.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan mempunyai enam tingkatan,

yaitu:

Tahu adalah suatu keadaan di mana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengatahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu,“tahu” ini

merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Tahu (know)

2.

Paham diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang mampu menjelaskan

dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Paham (comprehension)

3.

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

(25)

4.

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam

komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada

kaitannya satu sama lain, misalnya mengelompokkan dan membedakan. Analisis (analysis)

5.

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis (synthesis)

6.

Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu

materi atau objek. Evaluasi (evaluation)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat

kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.

Menurut Notoatmodjo (2005) dari berbagai macam cara yang telah

digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat

dikelompokkan menjadi dua, yakni:

Cara Kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran

pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara

sistematik dan logis.

1. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan

a.

Cara-cara ini antara lain:

Melalui cara coba-coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and error”. Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan yang lain.

Cara coba-coba (Trial and Error)

b. Cara kekuasaan atau otoritas

Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan,

baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu

pengetahuan.

(26)

c. Berdasarkan pengalaman pribadi

Dengan cara mengulanag kembali pengalaman yang diperoleh dalam

memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

d. Melalui jalan pikiran

Kemampuan manusia menggunakan penalarannya dalam memperoleh

pengetahuannya. Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia

menggunakan jalan pikirannya.

Cara ini disebut “metode penelitian”, atau lebih popular disebut metodologi

penelitian (research methodology). Menurut Deobold van Dalen, mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan pengamatan dilakukan dengan

mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap

semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati. Pencatatan ini mencakup

tiga hal pokok, yaitu:

2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan

a) Segala sesuatu yang positif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan

pengamatan.

b) Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan

pengamatan.

c) Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubah

pada kondisi-kondisi tertentu.

2.2.2. Sikap

Menurut Sarwono, sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak

secara tertentu terhadap hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula

bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati,

menyenangi, mengharapkan objek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif

terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai

obyek tertentu (Sarwono, Sarlito, 2006). Sikap menurut Fishbein dan Ajzen (1975)

adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau

(27)

1.

Menurut Notoatmodjo S. (2005) Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni:

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). Menerima (Receiving)

2.

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan. Merespon (Responding)

3.

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah. Menghargai (Valuing)

4.

Bertanggung jawab akan segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko.

Bertanggung Jawab (Responsible)

Menurut Secord dan Backman (1964) dalam Hasanah N L(2007) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Selanjutnya menurut Azwar struktur sikap terdiri

atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu:

1) Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang

dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini

dapat disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut

masalah isu atau problem yang kontraversial.

2) Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan

menyangkut masalah emosional subyektif terhadap suatu obyek. Apabila

individu percaya bahwa obyek sikap tersebut membawa dampak yang

tidak baik, maka akan terbentuk perasaan tidak suka atau afeksi yang tak

favorable terhadap obyek sikap tersebut.

3) Komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan

berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap

(28)

Keterkaitan tiga komponen tersebut harus selaras dan konsisten agar bisa

memunculkan suatu sikap tertentu. Dalam kata lain, apabila dihadapkan pada

suatu obyek sikap yang sama, maka ketiga komponen tersebut harus mempolakan

hal yang sama. Sikap berhubungan dengan seberapa luasnya pengetahuan individu

terhadap obyek yang dihadapi. Orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang

suatu obyek tidak akan mempunyai sikap positif terhadap obyek tersebut. Hal itu

berarti bahwa aspek kognitif yang diwujudkan melalui pengaruh pemikiran dan

keyakinan seseorang memerlukan landasan pengetahuan yang relevan

menanggapi obyek sikap. Dengan demikian pengetahuan mengenai konsep

tentang mikrobiologi diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sikap

positif terhadap kesehatan. Demikian juga dengan pendidikan merupakan modal

manusia melakukan transformasi sikap terhadap kesehatan.

Oleh itu, pengertian sikap adalah: Pertama, sikap merupakan kecenderungan

bertingkah laku untuk bertindak terhadap obyek, terhadap situasi atau nilai

tertentu. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap

relatif lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan baik atau buruk, penting atau tidak penting.

2.2.3. Tindakan

Sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain: fasilitas. Di

samping fasilitas juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain (Nototmodjo,

2003).

a)

Menurut Notoadmodjo (2003) tingkat-tingkat praktek sebagai berikut:

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

(29)

b)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan

contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Respon terpimpin (Guided Response)

c)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis atau sesuatu kegiatan itu sudah menjadi suatu kebiasaan, maka ia

sudah mencapai praktek tingkat ketiga. Mekanisme ( Mechanism)

d)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi

kebenaran tindakan tersebut. Adaptasi (Adaptation)

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,

Gambar

Gambar 1. Perbedaan Tempat Stroke Non Hemoragik dan Stroke Hemoragik

Referensi

Dokumen terkait

Pada kondisi ideal, hasilnya bisa berupa kristal tunggal, yang semua atom-atom dalam padatannya &#34;terpasang&#34; pada kisi atau struktur kristal yang sama, tapi, secara

Jurnal ini bertujuan untuk mengupas secara detail pola-pola patronase yang diterapkan dibaik kasus kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kampar hingga mampu memunculkan

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terhadap kinerja Guru Madrasah „Aliyah Negeri Purbalingga, tetapi dalam penelitian ini peneliti membatasi pada pengaruh secara

Hasil penelitian menunjukan bahwa peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian dalam penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan visa di Provinsi Kepulauan Bangka

Selain itu, Sunan Kudus diceritakan begitu buruk sifatnya meskipun beliau adalah salah satu anggota Walisongo, juga diceritakan bagaimana sifat buruk Sunan Kudus

Dengan demikian, maka peneliti tertarik untuk mengkaji tentang hakikat agama dalam perspektif filsafat perenial untuk menjelaskan kekeliruan yang selama ini tumbuh dalam

Sudirman (Pintu Tol Serang Timur) No. Pangeran Diponegoro No. Otto Iskandardinata No.. 307 Sukabumi Jawa Barat Hermina Sukabumi, RS Jl. Oen Solo Baru, RS Komp. Perumahan Solo

Penambahan Besi (III) klorida digunakan untuk mengetahui adanya senyawa fenolik termasuk flavonoid. Terbentuknya warna hijau biru menunjukkan adanya flavonoid. Dari hasil