• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 1 Nomor 1 Juni 2015 Halaman 1-12

Website: http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ft

Hakikat Agama dalam Perspektif Filsafat Perenial

Muhammad Nur

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG (m.nur@iainradenintan.ac.id)

ABSTRAK

Tulisan ini hendak menjelaskan bagaimana filsafat perennial melihat hakikat agama. Dalam faham keagamaan, kepercayaan pada adanya Tuhan merupakan dasar yang utama sekali (ultimate), namun adanya truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) membuat manusia memiliki pandangan yang eksklusif terhadap perbedaan agama. Dalam hal inilah filsafat perennial menemukan perannya. Filsafat perenial merupakan filsafat tradisional yang membicarakan tentang hal-hal yang suci/ dan yang Satu. Filsafat perenial tidak hanya menjelaskan hal yang bersifat fisik, tetapi jauh daripada itu untuk menemukan hakikat. Filsafat perenial menerobos pada pembahasan yang bersifat metafisik, ia memiliki kajian yang universal dalam memahami agama. Filsafat perenial berpendapat bahwa kebenaran Mutlak hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari yang satu ini memancarkan berbagai kebenaran.

The Essence of religion in Perennial Philosophy Perspective

This article wants to explain how perennial philosophy sees the essence of religion in the concept of religion, the belief to the existence of God is considered as ultimate base. However, the existence of truth claim and salvation claim makes human have exclusive view to the differences in religion. In this case, perennial philosophy finds its role. Perennial philosophy is a traditional philosophy that talks about the sacred things and the One. Perennial philosophy not only explain the things that are physically that far from that it’s also used to find the essence. Perennial philosophy breaks through into discussions that are metaphysical. It has a universal study in understanding religion. Perennial philosophy thinks that the ultimate truth is only one and undivided. But from this One, it will spark various truths.

(2)

A. Pendahuluan

Pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari manusia harus saling berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain untuk mewujudkan tujuan pembangunan bangsa. Di sisi lain, berbagai perbedaan yang salah satunya adalah agama sering menjadi masalah pokok yang menyebabkan konflik, teror, permusuhan dan tidak jarang berujung pada rusaknya lingkungan dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Adanya truth claim (klaim kebenaran) dan salvation

claim (klaim keselamatan) membuat manusia memiliki pandangan yang

eksklusif terhadap perbedaan agama dan cenderung menutup diri dari kebenaran di luar ajaran agama yang diyakininya. Bahkan ada sekelompok kecil orang yang mengatasnamakan tindakannya sebagai bentuk pembelaan (baca: jihad/misionaris) kepada Tuhan.

Kepercayaan pada adanya Tuhan merupakan dasar yang utama sekali (ultimate) dalam faham keagamaan. Kekuatan gaib itu, kecuali dalam agama-agama yang bersifat primitif disebut dengan Tuhan. Idealnya dalam membuktikan kebenaran sebuah keyakinan, tidak lah harus mengklaim bahwa keyakinan orang lain adalah salah dan sesat. Pola pandang dominatif bukan saja gagal dalam mengemban misi agama, tapi juga menyimpang dari tujuan luhur agama-agama untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan harmoni. Mengutip pendapat Mun’im A. Sirry bahwa para Nabi tidak bermaksud membentuk agama identitas (Religion of Identitif) melainkan agama kebenaran

(Religion of truth). Umat beragama memang selalu dalam posisi mencari dan

tidak memonopoli kebenaran. Sebab, manakala mereka merasa telah menggenggam kebenaran, maka saat itu pula mereka mengalami krisis identitas.1

Tumbuhnya sikap bermusuhan bahkan merusak cenderung tidak terhindarkan lagi. Dampaknya bukan saja dari individu ke individu, tetapi juga komunitas dan lingkungan. Semakin banyak kerusakan yang disebabkan kurangnya pemahaman terhadap agama. Hal tersebut tentu saja akan menjadi penghambat dalam proses pembangunan bangsa. Padahal jauh daripada itu agama tidak dapat dipahami hanya dari perbedaan bentuknya saja. Melainkan juga harus dipahami substansi dari suatu agama agar terhindar dari kesalahpahaman sudut pandang. Manusia terlebih dahulu harus mengetahui hakikat dari agama dan mengapa ada berbagai macam perbedaan bentuk agama di dunia ini.

Sebagaimana analoginya dengan manusia, agama juga memiliki dua unsur yakni bentuk (fisik) dan substansi (metafisik). Keanekaragaman agama yang muncul di tengah-tengah kehidupan kemanu-siaan ini merupakan bukti bahwa agama lahir dalam bentuk yang bermacam-macam. Hal tersebut dikarenakan

1 Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern

(Jakarta: Erlangga, 2003), h. 133-134.

(3)

faktor eksoterik masya-rakat yang menerima suatu agama tersebut, sehingga berpengaruh pula pada keragaman bentuk yang ditampilkan oleh agama. Semua agama mengajarkan kebenaran as such yakni kebenaran yang dibuktikan bukan dengan menyesatkan yang lain, melainkan kebenaran yang mampu berinteraksi dengan kebenaran lain.2

Dalam perkembangan ilmu kefilsafatan selanjutnya, Huston Smith menyatakan tentang adanya dua corak filsafat yang sangat kontras, yakni filsafat tradisional (perenial) dan filsafat modern (sains). Tradisi filsafat tradisional (perenial) dianggap asing dalam dunia filsafat, karena filsafat ini disebut-sebut sebagai filsafat semu (Pseudo Philosophy), sehingga pada zaman modern tidak pernah dibicarakan apalagi menja-dikannya sebagai perspektif. Karena masyarakat modern menganggap bahwa semua kebutuhan manusia sudah dapat terpenuhi dengan sains dan teknologi.

Mengutip pendapat Arthur J. D’Adamo dalam tulisan Komarudin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, yang merupakan seorang sarjana Matema-tika yang telah menghabiskan waktu lebih dari dua puluh tahun mempelajari agama-agama menga-takan, “Tidak seperti agama-agama yang menuntut iman terlebih dahulu (secara dogmatis), yang lepas atau malah bertentangan dengan pengertian, sains mencari pengertian terlebih dahulu. Dalam sains keyakinan didasarkan pada pengertian. Sedangkan dalam agama pengertian itu didasarkan pada keyakinan iman”.3

Filsafat perenial merupakan filsafat tradisional yang membica-rakan tentang hal-hal yang suci/ yang satu. Filsafat perenial tidak hanya menjelaskan hal yang bersifat fisik, tetapi jauh daripada itu untuk menemukan hakikat, filsafat perenial menerobos pada pembahasan yang bersifat metafisik.

Pada abad ke-20, manusia mulai menyadari bahwa sains dan teknologi tidak selamanya dapat menjawab persoalan-persoalan yang dihadapai manusia. Apalagi untuk mencari hakikat dari hal yang bersifat metafisik. Sains yang tadinya memperoleh kejayaan ternyata tidak selalu berdampak baik. Kecanggihan sains justru dalam blakangan ini dinilai merusak kehidupan manusia. Kecanggihan yang ditawarkan justru membuat manusia semakin mudah melakukan kerusuhan di mana-mana.

Maka dari itu filsafat tradisional (perenial) kembali menampakkan diri ke permukaan. Hal ini terbukti dari semakin banyak munculnya tokoh-tokoh dengan gagasan perenialnya seperti Marcilio Ficino, Giovani Picodella Miradola, Agostino Steuco, Sayyed Hossein Nasr, Frithjof Schuon, Ananda K. Coomaraswamy, dan yang blakangan ini muncul ada Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis dll.

2 Ibid, h.133.

3 Komaruddin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial,

(Jakarta: Paramadina, 1995), h. xxvi.

(4)

Dengan demikian, maka peneliti tertarik untuk mengkaji tentang hakikat agama dalam perspektif filsafat perenial untuk menjelaskan kekeliruan yang selama ini tumbuh dalam mengartikan perbedaan agama, yang hanya dilihat sebatas bentuk tanpa memperhatikan makna hakiki dari agama. Seringkali sebagian umat beragama menganggap penganut agama lain sebagai lawannya, padahal lawan yang berbahaya bagi umat beragama bukanlah penganut agama lain, akan tetapi manusia yang tidak beragama atau manusia yang anti agama.4

Untuk menjalin hubungan baik dengan Tuhan, maka kita memerlukan jalan keselamatan yakni agama. Kesalahpahaman dalam memaknai agama tidak dapat di biarkan begitu saja, maka dari itu peneliti ingin melakukan pendekatan dengan menggunakan perspektif filsafat perenial, untuk menjelaskan hakikat agama yang sebenarnya. Karena filsafat perenial memiliki kajian yang universal dalam memahami agama.

B. Teori tentang Agama

Secara umum pengertian agama dapat didekati dengan dua cara, yaitu secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi berarti mengulas dari sisi bahasa, sementara terminologi yaitu mengkaji batasan-batasan dengan definisi atau bahasa ilmiah yang dibuat oleh para ahli agama dan ilmuwan.

1. Pengertian secara Etimologis

Salah satu teori menjelaskan bahwa agama berasal dari akar kata gam, mendapat awalan “A” dan akhiran “A” sehingga menjadi A-gam-a. Akar kata agama ada pula yang mendapat awalan “I” dengan akhiran yang sama (menjadi I-gam-a) dan ada pula yang mendapat awalan “U” dengan akhiran yang sama (menjadi U-gama). Bahasa Sansekerta masuk rumpun bahasa Indo-Jerman. Dalam bahasa Belanda dan Inggris, anggota-anggota rumpun itu, ditemukan kata-kata ga, gaan (Belanda) dan go (Inggris) yang pengertiannya sama dengan gam yaitu pergi. Setelah mendapat awalan dan akhiran A pengertiannya berubah menjadi jalan.5

Orang Barat sendiri menyebut agama dengan religie atau religion. Kemudian bangsa Arab dan bangsa-bangsa selain Arab yang berbahasa dengan bahasa Arab menyebutnya dengan al-dien. Selain para pemeluk agama Islam yang berbahasa dengan bahasa Arab menyebut agama dengan millah dan mazhab.6 Kata Ad-dien berasal dari kata kerja

dayanya yang berarti hakama, yaitu hukum atau undang-undang sebagai pemegang tampuk kekuasaan dan kewibawaan. Allah sang pemegang

4 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. ix.

5 Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan Bintang,1978), h. 95. 6 K Sukardji, Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya (Bandung: Angkasa, 2007), h.

26.

(5)

tampuk kekuasaan dan perundang-undangan tertinggi ini disebut

Ad-dayyan, yang berarti penata undang-undang atau penata agama.7 Kata

“agama” bukanlah berasal dari agama tertentu, melainkan ia dipinjam dari bahasa Sansekerta untuk menunjuk sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme.

Selanjutnya mengutip pendapat Fachrudin al Khairi dalam tulisan Arqom Kuswanjono ia mengartikan “a” adalah cara dan “gama” berarti jalan. Agama berarti cara-cara berjalan untuk sampai kepada keridhaan Tuhan.8 Orang Barat sering mengidentikkan istilah agama dengan

religie. Secara etimologi religi berasal dari bahasa Yunani relegere atau religare. Yang dimaksud dengan relegere adalah berhati-hati dan

pengertian asasnya adalah observasi (berpegang pada norma-norma atau aturan-aturan yang ketat). Sedangkan religare berarti mengikat. Pengertian asasnya adalah ikatan manusia dengan suatu tenaga yaitu tenaga gaib, dan yang gaib itu adalah yang kudus, yang kudus itu adalah hakikat. Dan yang bersifat hakikat adalah yang mutlak.

Religi juga diartikan sebagai hubungan manusia dengan sesuatu yang bersifat kudus dan berbeda dengan penganut religi. Sesuatu itu mungkin tenaga atau gejala yang tidak mempunyai benda, tapi mungkin pula berbentuk pribadi, manusia yang didewakan, dewa-dewa/ Tuhan. Apa dan siapa yang sesuatu itu, bergantung pada tujuan kepercayaan masing-masing religi. Dengan demikian pengertian religi luas sekali.9

2. Pengertian Agama secara Terminologis

Rumusan pengertian atau batasan tentang agama merupakan dasar untuk mempelajari agama, dengan demikian perlu mengkajinya terlebih dahulu sebelum jauh membahas tentang aspek lainnya. Berikut ini akan dijelaskan sedikit tentang pengertian agama.

K.Sukardji dalam bukunya yang berjudul “Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya” menjelaskan bahwa agama adalah tata aturan Tuhan yang berfungsi dan berperan, mendorong, memberi arah, bimbingan dan isi serta warna perilaku orang yang berakal dan mengembangkan potensi-potensi dasar yang dimiliki dan melaksanakan tugas-tugas hidupnya yang seimbang antara lahiriah dan batiniah dalam usahanya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan bekal kebahagiaan hidup di akherat kelak.

Mengutip pendapat M. Rasjidi yang menulis tentang seorang ahli agama bernama William Temple mengatakan bahwa pokok dari agama bukanlah pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi perhubungan antara

7 Sidi Ghazalba, Op.cit, h. 79.

8 Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telah Filsafat Perenial Refleksi Pluralisme Agama di Indonesia

(Yogyakarta: BPFU, 2006), h. 74.

9 Sidi Ghazalba, Sistematika Filsafat Jilid 1, Op.cit, h. 101.

(6)

seseorang manusia dengan Tuhan. Suatu hal yang penting diketahui tentang agama ialah rasa pengabdian. Tiap-tiap pengikut agama merasa, bahwa ia harus mengabdikan dirinya sekuat-kuatnya kepada agama yang dianutnya.10

Di sisi lain, Max Mulller mengatakan bahwa definisi agama secara lengkap belum bisa tercapai. Hal ini disebabkan penelitian terhadap agama masih terus dilakukan dan para ahli agama masih menyelidiki asal-usul agama. Jadi definisi agama yang pasti dan lengkap tentang agama belum dapat terealisir. Meski Max Muller mengatakan bahwa definisi agama belum lengkap, namun dari definisi yang sudah dijelaskan beberapa unsur pokok dalam agama telah terungkap yaitu masalah yang gaib. Adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut, maka muncullah respon emosional dari manusia, baik respon dalam bentuk rasa takut, atau perasaan cinta , dan adanya yang suci, seperti kitab suci atau tempat suci.11

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa agama merupakan jalan keselamatan dan hubungan antara manusia dengan yang kudus, yang berisi tentang ajaran-ajaran, hukum, maupun aturan yang memiliki sifat mengikat. Aturan tersebut dibuat oleh Tuhan yang memiliki kekuatan melebihi segala hal yang ada, melalui wahyu yang disampaikan kepada utusan-Nya berupa doktrin-doktrin agama dan kitab suci. Agama menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat gaib dibalik alam materi. Beberapa ciri-ciri agama antara lain percaya kepada yang kudus, melakukan hubungan dengan yang kudus berupa ritus (upacara) dan kultus (pemujaan, penyembahan), permohonan, doktrin yang mengajarkan kepercayaan dan selanjutnya memberikan sebuah sikap hidup seseorang dalam kesehariannya.

Dalam pengertian lebih luas, yang kudus adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan, atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini pengertian tentang yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, maka banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan (profan), tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan gagasan-gagasan dapat dianggap sebagai kudus. Dalam pengertian yang lebih sempit, yang kudus adalah sesuatu yang dilindungi, khususnya oleh agama, terhadap pelanggaran, pengacauan, atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, dan keramat. Berbeda dengan yang

10 M. Rasjidi, Filsafat Agama (Jakarta:Bulan Bintang, 2002), h. 4.

11 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: Rajawali Press,

2014) h. 14.

(7)

profan yaitu sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, bersifat sementara, pendek kata yang ada di luar yang religius.12

C. Agama dalam Perspektif Filsafat Perenial

Di atas telah disinggung bahwa sesuatu yang ada (being), baik itu manusia ataupun agama memiliki dua unsur yakni fisik dan metafisik. Yang metafisik tidak dapat dilihat dengan panca indra, maka dari itu diperlukan sebuah pendekatan yang dapat memberikan pemahaman untuk hal tersebut. Menurut pandangan tradisional hal-hal yang bersifat metafisik itulah yang merupakan hakikat dari segala sesuatu yang ada. Maka dari itu perspektif yang diambil dalam penelitian ini adalah perspektif filsafat perenial. Sebuah corak filsafat yang akan membahas permasalahan hakikat agama dengan pendekatan eksoterik dan esoterik agar tidak terdapat lagi kesalahpahaman dalam memahami agama.

Kesan empiris tentang adanya agama-agama yang majemuk itu tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja, tetapi kemudian dilanjutkan bahwa ada satu realitas yang menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut, yang dalam bahasa simbolis dapat disebut dengan “Agama itu” (The Religion). David Steindl-Rast bahkan mengungkapkan bahwa penting untuk membedakan “Agama”, yang kita tulis dengan A besar, dan “agama” (dengan a kecil) yang mana menurutnya dua kata tersebut adalah dua hal yang berbeda.13 Sampai di

sini, penting penting rasanya untuk memahami aspek-aspek universal dan substantive dari agama. Dalam hal ini pemahaman dari sudut filsafat perennial penting untuk diambil.

Secara etimologis, kata perenial berasal dari bahasa Latin yaitu perenis yang artinya kekal selama-lamanya atau abadi, sehingga filsafat perenial dikatakan juga sebagai filsafat keabadian. Sebagaimana dikatakan oleh Frithjof Schuon bahwa filsafat perenial adalah suatu pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya.14

Philosophia perenis arti harfiahnya adalah filsafat yang abadi. Mengenai

kata “abadi” ini, ada dua macam penafsiran yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh dua tokoh filsafat Karl Jaspers dan Charles B. Schmitt. Jaspers tidak menerima filsafat perenial sebagai suatu sistem. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya filsafat apapun bentuk dan jenisnya adalah perenial atau abadi. Filsafat adalah kontemplasi yang berkelanjutan dan tanpa akhir terhadap misteri wujud yang eternal yang merupakan satu dan hanya satu-satunya objek, dimana para pemikir tiap-tiap zaman memberi kontribusi yang sama-sama validnya. Pandangan Jaspers diperkuat oleh James Collins, yang dengan tegas

12 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h.87 13 Ibid., h. xx.

14 Arqom Kuswanjono, op.cit, h. 10.

(8)

menolak pemakaian istilah filsafat perenial sebagai proper name dari suatu sistem filsafat tertentu. Istilah filsafat perenial menurutnya adalah kata sifat, yaitu filsafat yang perenial atau filsafat yang abadi.

Berbeda dari Karl Jaspers, ada seorang tokoh yaitu Charles B. Schmitt yang justru menganggap istilah filsafat perenial sebagai suatu proper name yaitu nama suatu sistem filsafat tertentu. Schmitt menyebutkan bahwa sejak kemunculan pola-pola pemikiran filsafat perenial pada zaman dahulu (masa para pemikir awal), baru pada abad ke-16, istilah filsafat perenial dipakai sebagai nama sistem filsafat. Istilah perenial dari jenis filsafat ini menurut Schmitt bermakna bahwa filsafat ini tetap bertahan terus sepanjang zaman dan kesejatiannya dapat diwariskan dari generasi ke generasi serta dapat melampaui kecenderungan corak filsafat yang silih berganti.15

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Huston Smith berpandangan terdapat dua tradisi besar filsafat yang sangat kontras, yaitu “Filsafat Modern” dan “Filsafat Tradisional”. Filsafat tradisional atau yang lebih dikenal dengan filsafat perenial selalu membicarakan tentang adanya “Yang Suci” (The

Sacred) atau “Yang Satu” (The One) dalam seluruh manifestasinya, seperti

dalam agama, filsafat, sains dan seni. Sedangkan filsafat modern justru sebaliknya membersihkan “Yang Suci” dan “Yang Satu”. Mereka tidak hanya memisahkan persoalan spiritualitas dari keduniawian, bahkan ingin menghilangkan sama sekali. 16

Perkembangan filsafat perenial menurut Griffiths mengalami masa kejayaannya kira-kira antara abad ke-6 hingga abad ke-15, yang tidak hanya terjadi di dunia Barat dan dalam konteks Kristianitas saja, melainkan juga terjadi di wilayah lain dunia serta dalam konteks agama lain pula, walaupun memang perkembangannya lebih tampak di dunia Barat. Augustino Steuco yang merupakan seorang perenialis dari abad Renaisans dan juga seorang sarjana alkitab dan teolog.17 Karyanya mempengaruhi banyak orang antara lain

Ficino dan Pico. Bagi Ficino filsafat perenial disebutnya sebagai filsafat kuno yang antik (philosophia priscorium).

Steuco mengindikasikan keyakinan akan adanya suatu prinsip tunggal dari segala sesuatu, yang satu dan selalu sama dalam pengetahuan semua manusia. Keyakinan ini ia dapatkan setelah mencoba memahami sejarah yang dianggap berjalan seperti perjalanan waktu, tidak mengenal zaman kegelapan atau kebangkitan. Hanya ada satu kesejatian tunggal yang mencakup semua periode

15 Emanuel Wora, Perenialisme Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius,

2006), h. 12-13.

16 Komaruddin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial

(Jakarta: Paramadina, 1995), h. xxii.

17 Emanuel Wora, Op.cit, h. 18.

(9)

sejarah. Menurut Steuco tidak ada perubahan dalam sejarah, yang terjadi hanyalah berupa suatu gerak ke depan atau perkembangan waktu.18

Sebagaimana produk pemikiran yang lain, maka begitu juga perkembangan pemikiran perenalisme yang hadir dengan banyak kritik. Banyak para ahli tidak sependapat dengan adanya “kesatuan transenden agama” karena melihat kenyataan empiris terdapat perbedaan-perbedaan mendasar di dalam agama yang sulit dipertemukan dan bahkan tidak jarang menimbulkan konflik. F. Zaehner (seorang kristen yang ahli Hindu) menyatakan bahwa jangankan kesatuan, justru lebih banyak pertentangan dalam agama satu dengan yang lain. Ziauddin Sarder dan Sayyed Naguib Al-Attas juga menolak kesatuan transenden.19

Filsafat perenial dalam pembahasan ini sesungguhnya tidak dimaknai sebagai paham atau filsafat yang berpendapat bahwa agama adalah sama secara keseluruhan. Tentunya pendapat seperti ini adalah suatu pandangan yang sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular. Namun filsafat perenial berpandangan bahwa Kebenaran Mutlak (the truth) hanyalah satu, tunggal dan tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran”. Seperti halnya matahari yang memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatan cahayanya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan yang beraneka warna.

Filsafat perenial oleh Nasr juga dikatakan sebagai tradisi, namun bukan dalam pengertian mitologi yang sudah kuno dan berlaku pada masa lampau, melainkan sebuah pengetahuan yang riil. Dalam tradisi intelektual Islam, cikal bakal filsafat perenial sudah ada dalam ajaran para Nabi terdahulu. Seperti metode hermeneutika yang digunakan oleh Nabi Idris untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada umatnya dengan cara mereduksi pesan Tuhan tersebut dengan pembahasan dan pengungkapan yang mudah difahami oleh banyak orang, karena tingkat kecerdasan serta situasi psikologis dan sosiologis rakyatnya.20

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pesan Tuhan bersifat absolut dan perenial, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, adapun para Nabi diutus kepada umatnya untuk menyampaikan pesan tersebut dan membahasakan firman Tuhan dengan bahasa manusia yang tentunya dalam pengungkapannya sangat diperlukan penyesuaian pola fikir serta situasi dan kondisi masyarakat. Ketika pesan itu disebarkan kembali kepada orang lain sangatlah mungkin terjadi keberagaman di dalam memahami maupun dalam pengungkapan kembali, sehingga terjadi pluralitas agama.

18 Ibid, h. 20.

19 Arqom Kuswanjono, op.cit, h. 26. 20 Arqom Kuswanjono, Op.cit, h. 12.

(10)

Tradisi primordial ini lalu dipandang Nasr sebagai kebijaksanaan perenial, yang menurutnya berada di pusat setiap agama. Istilah kebijaksanaan perenial inilah yang dalam tradisi Barat dikenal sebagai filsafat perenial (philosophia

perenis), sementara dalam tradisi Hindu dikenal sebagai Sanata Dharma, dan

dalam dunia Islam sebagai al-hikmat al-khalidah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebangkitan perenialisme sebagai munculnya suatu kesadaran untuk meraih kembali pengetahuan akan Yang Kudus atau dengan kata lain suatu penemuan kembali akan Yang Kudus. Lebih jauh lagi, kesadaran akan

Yang Kudus ini sebetulnya merupakan doktrin paling mendasar dari filsafat

perenial itu sendiri.21

Sementara itu menurut Huxley ada tiga konsep dasar filsafat perenial, yaitu: pertama metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam kehidupan dan pikiran. Kedua, psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam roh/ jiwa manusia yang identik dengan kenyataan Ilahi itu. Ketiga, etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan akan dasar semua yang ada, yang bersifat imanen maupun transenden.22

Pada umumnya, kaum perenialis menggunakan pendekatan mistik untuk memahami realitas agama dan keberagamaan yang begitu plural dan kompleks, serta berusaha melacak akar religiusitas dari berbagai bentuk agama di dalam memahami aspek ketuhanan dan secara ideal berusaha menemukan titik-titik simpul keragaman pemahaman itu, sehingga ditemukan pemahaman transendental tentang Yang Satu. Secara eksistensial Tuhan adalah tunggal. Persoalan yang akan muncul adalah mengapa dari yang Tunggal itu, dalam realitas konkrit muncul pemahaman yang plural? Jawaban atas persoalan ini bagi kaum perenialis tentunya tidak dapat hanya dipahami secara logis rasional semata, namun sangat diperlukan pemahaman yang bersifat mystical.23 Begitu

pula dalam memahami keberagamaan bentuk yang ditampilkan agama. Secara metafisik dinyatakan, hanya realitas puncaklah yang absolut dan sekaligus wajib murni dan bebas murni. Hanya Tuhan yang secara sempurna wajib dan bebas, wujud yang absolut dan tak terbatas.24

Dari suatu sudut pandang tertentu, hanya ada satu tradisi yaitu Tradisi Primordial, yang satu dan hanya satu-satunya. Ia adalah kesejatian tunggal yang menjadi inti dan asal semua kesejatian. Seluruh tradisi adalah cerminan duniawi

arketip surgawinya, yaitu Tradisi Primordial, seperti halnya semua pewahyuan

berkaitan erat dan menjadi salah satu aspek Logos Universal, yang dalam arti tertentu dapat disebut sebagai Logos Universal itu sendiri.

Yang Abadi adalah Yang Sakral itu sendiri, sedangkan manifestasi Realitas ini adalah kepemilikan terhadap kualitas kesakralan. Yang Sakral itu sendiri

21 Emanuel Wora, Op.cit, h. 69.

22 Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, op.cit, h. xxix. 23 Ibid, h. 73.

24 Sayyed Hussein Nasr, Inteligensi & Spiritualitas Agama-agama, (Jakarta: Inisiani Press, 2004), h.151.

(11)

sumber tradisi, dan apa yang tradisional tidak dapat dipisahkan dari yang sakral. Barang siapa yang tidak memiliki kemampuan merasakan yang sakral tidak akan dapat menggunakan sudut pandang tradisional, karena manusia tradisional tidak terpisahkan dari yang sakral. Dapat diibaratkan bahwa yang sakral merupakan darah yang mengalir melalui pembuluh tradisi.25

Akibat lebih lanjut dari perbedaan esoteris/ eksoteris ini amat luas. Bagi kaum eksoteris, Tuhan yang berpribadi adalah satu-satunya bentuk yang dipahaminya. Sedangkan bagi kaum esoteris, bentuk tersebut jauh lebih tinggi dan akhirnya tanpa bentuk sama sekali. Yang Absolut, Yang Ilahi, Tao yang tak dapat dijelaskan.26 Schuon membuat perumpamaan dalam bentuk sebuah segitiga yang memiliki garis tengah horizontal untuk membedakan antara kedua sisinya. Schuon memberikan penjelasan bahwa bagian bawah segitiga sebagai dataran eksoteris yang memiliki pluralitas bentuk/ kepercayaan. Sedangkan segitiga bagian atas sebagai dataran esoteris yang memiliki satu kesatuan transendental yang bisa di capai dengan pengetahuan mistik.

Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah, yang berada di tingkat tertinggi, terdapat titik temu berbagai agama. Sedangkan di tingkat bawahnya, agama-agama tadi saling berbeda. Sehubungan dengan kenyataan metafisika ini, dari segi epistemologis dapat pula dikatakan bahwa perbedaan antara agama yang satu dengan yang lain juga mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi,sedangkan di tingkat bawahnya berbagai agama itu terpecah-pecah. Menurutnya, dalam inti agama-agama itu terdapat suatu kesatuan. Kesatuan tersebut bukan saja bersifat moral, melainkan juga teologis. Tapi ia bukan saja teologis, melainkan juga metafisik dalam arti sebenarnya. Karena sifatnya yang adikodrati, tidak seorangpun mampu menjelaskannya dengan nada yang sama.27

D. Penutup

Filsafat perenial yang memiliki bahasa latin philosophia perennis adalah filsafat keabadian yang mengalami masa keemasan pada abad pertengahan. Istilah filsafat perenial dipopulerkan oleh Augustino Steuco yang terkenal dengan ungkapannya prinsip tunggal dari segala sesuatu. Filsafat perenial berpendapat bahwa kebenaran Mutlak hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari yang satu ini memancarkan berbagai kebenaran.

Agama merupakan elemen warna yang satu yang memancar dan ditangkap oleh berbagai kebudayaan, historisitas dan pola fikir yang berbeda. Sehingga dari warna yang satu akan muncul warna yang berbeda. Masing-masing warna tidak dapat mengklaim kebenarannya, karena pada dasarnya warna tersebut

25 Ahmad Norma Permata, Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996),

h. 155.

26 Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 31. 27 Ibid, h. 26.

(12)

memiliki kedudukan yang sama. Seperti halnya agama yang diperoleh melalui pancaran ilahi yang hadir tidak secara simultan dan melewati keadaan historisitas dan kebudayaan yang berbeda, sehingga menyebabkan perbedaan dalam bentuknya. Filsafat perennial tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama, namun berpendapat bahwa pada hakikatnya kebenaran agama terdapat pada substansi yang berasal dari satu realitas yang Mutlak.

Dengan bertitik tolak pada pemahaman seperti ini, maka dialog dan toleransi antar umat beragama akan semakin dimungkinkan untuk dikembangkan. Sehingga agama tidak akan menjadi bagian dari sumber konflik, namun sebaliknya menjadi sebuah media dalam menuju terwujudnya dunia yang damai dan berkeadaban.

Daftar Pustaka

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995) Gazalba, Sidi, Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, Jakarta:

Bulan Bintang, 1978

Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis

Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998

Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan

Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1992

Kuswanjono, Arqom, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perenial Refleksi

Pluralisme Agama di Indonesia, Arqom, Yogyakarta: CV Arindo Nusa

Media, 2006.

Mariasusai, Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Nasr, Sayyed Hussein, Inteligensi & Spiritualitas Agama-agama, Jakarta: Inisiani

Press, 2004

Permata, Ahmad Norma, Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Rasjidi, M, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 2002

Sirry, A. Mun’im, Membendung Militansi Agama Iman dan Politik dalam

Masyarakat Modern, Jakarta: Erlangga, 2003

Sukardji, K, Agama-agama Yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya, Bandung: Angkasa, 2007.

Wora, Emanuel, Perenialisme Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan contoh kalimat di  atas,  ternyata bentuk  ulang yang bukan kata 

adalah didasarkan pada kerangka instrumen penelitian dan penganalisaannya dilakukan secara kualitatif. Dari hasil pengolahan data ditetapkan data-data

To get more comprehensive study, the writer includes the types of norms, American and News Values, Republican and Democratic Parties, functions of media,

The data of this study was taken from the utterances of the female characters of ‘Desperate Housewives’ TV Drama Series and analyzed by using the parameters of positive politeness

Peserta didik memiliki berbagai potensi yang siap untuk berkembang, misalnya kebutuhan, minat, tujuan, intelegensi, emosi, dan lain-lain. Tiap individu siswa mampu

Gambar 2 menunjukkan bahwa jika terdapat komputer client yang tidak merespon, maka sistem akan langsung mengirimkan sms kepada administrator untuk menginformasikan bahwa

Kedua: Infrastruktur wilayah Air Pacah dalam mendukung pengembangan pembangunan pusat pemerintahan dan perkantoran dilihat dari kondisi keadaan jalan di sepanjang

Tekanan tanah lateral saat diam ( lateral eart pressure at rest ), adalah tekanan tanah ke arah lateral dengan tidak ada regangan yang terjadi dalam