BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Motivasi
2.1.1 Pengertian Motivasi
Suatu instansi pemerintah/swasta, memerlukan pegawai sebagai tenaga
gerak dalam melaksanakan segala kegiatan atau aktivitasnya. Kegiatan atau
aktivitas tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi faktor-faktor tertentu. Motivasi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut dalam
mencapai tujuannya.
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin “movere”, yang berarti bergerak. Motivasi erat hubungannya dengan hasrat, keinginan, tujuan, sasaran, kebutuhan,
dorongan, dan insentif. Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi
fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang
ditujukan untuk tujuan atau insentif. Proses motivasi bergantung pada pengertian
dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan insentif (Luthars, 2006: 268).
Kebutuhan membentuk dorongan yang bertujuan pada insentif. Motivasi
mencakup tiga elemen yang berinteraksi dan saling tergantung, yaitu (Luthars,
2006: 270).
1. Kebutuhan
Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis.
Dorongan terbentuk untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan fisiologis dapat
didefenisikan sebagai kehilangan petunjuk. Dorongan fisiologis dan psikologis
adalah tindakan yang berorientasi dan menghasilkan daya dorong dalam
meraih insentif. Hal tersebut adalah motivasi.
3. Insentif
Pada akhir siklus motivasi adalah insentif, didefenisikan sebagai semua yang
akan mengurangi sebuah kebutuhan dan dorongan. Dengan memperoleh
insentif akan cenderung memulihkan keseimbangan fisiologis atau psikologis
dan akan mengurangi dorongan.
Pengertian motivasi juga diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut
ini :
1. Sardiman
Motivasi adalah motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya felling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan (Sardiman, 2006: 73).
2. Chung dan Megginson
Motivasi dalam (Gomes, 2003: 177) merupakan hal yang berkaitan dengan
tingkat usaha yang dilakukan seseorang dalam mengejar suatu tujuan.
3. Mulyasa
Motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya
tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Sumber :
Motivasi seseorang atau pegawai tergantung pada kekuatan atau motivasi
itu sendiri. Dorongan menyebabkan seseorang berusaha mencapai tujuan-tujuan,
baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan juga menyebabkan seseorang atau
pegawai berperilaku yang dapat mengendalikan dan memelihara
kegiatan-kegiatan, dan yang menetapkan arah yang harus ditempuh oleh seorang pegawai
(Thoha, 2008: 207-208).
Seseorang bekerja mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Ada orang
yang termotivasi mengerjakan sesuatu karena uang yang banyak, meskipun
kadang-kadang pekerjaan itu secara hukum tidak benar. Ada juga yang
termotivasi karena rasa aman atau keselamatan meskipun bekerja dengan jarak
yang jauh. Bahkan ada orang yang termotivasi bekerja hanya karena pekerjaan
tersebut memberikan prestise yang tinggi walaupun gajinya sangat kecil.
Hal yang mendasar dari motivasi adalah self concept realization, yaitu merealisasikan konsep dirinya. Self concept realization bermakna bahwa seseorang akan selalu termotivasi jika (Arep & Tanjung, 2003: 13) :
1. Ia hidup dalam suatu cara yang sesuai dengan peran yang lebih ia sukai.
2. Diperlakukan sesuai dengan tingkatan yang lebih ia sukai.
3. Dihargai sesuai dengan cara yang mencerminkan penghargaan seseorang atas
kemampuannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka ada 3 hal yang diperlukan dalam memotivasi
seseorang yaitu peran, perlakuan, dan penghargaan.
John R. Schermerhorn dalam Winardi (2001: 4) menjelaskan motivasi
untuk bekerja merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang perilaku
kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang menjadi penyebab
timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal
bekerja. Dengan demikian analisis mengenai motivasi akan bersinggunggan
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi. Ditegaskan Atkinson dalam
Winardi (2001: 4) bahwa analisis motivasi perlu memusatkan perhatian pada
faktor-faktor yang menimbulkan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas seseorang.
Wahjosumidjo mengatakan motivasi merupakan daya dorong sebagai hasil
proses interaksi antara sikap, kebutuhan, dan persepsi bawahan dari seseorang
dengan lingkungan, motivasi timbul diakibatkan oleh faktor dari dalam dirinya
sendiri disebut faktor intrinsik, dan faktor yang dari luar diri seseorang disebut
faktor ekstrinsik. Selanjutnya faktor intrinsik dapat berupa kepribadian, sikap,
pengalaman, pendidikan atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau masa
depan
(http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2116186-insentif-dibagi-menjadi-dua-macam/#ixzz2PbGGrrLY, diakses pada tanggal 2 September 2013
pukul 11.00 WIB).
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai motivasi, dapat disimpulkan
bahwa motivasi adalah daya dorong yang ada pada pegawai baik dorongan
internal yaitu kepuasan maupun dorongan eksternal yaitu proses yang
menyebabkan seseorang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.
2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi
Chung & Megginson dalam (Winardi, 2001: 5) menjelaskan, motivasi
melibatkan beberapa faktor, anatra lain :
Faktor-faktor individual meliputi :
a. kebutuhan-kebutuhan (needs) b.tujuan-tujuan (goals)
c. sikap (attitude)
d. kemampuan-kemampuan (abilities). 2. Faktor-faktor organisasional
Faktor-faktor organisasional meliputi :
a. pembayaran atau gaji (pay) b. keamanan pekerjaan (job security) c. sesama pekerja (co-workers) d. pengawasan (supervision) e. pujian (praise),
f. pekerjaan itu sendiri (job itself).
Helleriegel dan Slocum (Winardi, 2001: 8) mengklasifikasikan tiga faktor
utama yang mempengaruhi motivasi meliputi:
1. Perbedaan karakteristik individu
Karakteristik individu yang berbeda jenis kebutuhan, sikap dan minat
menimbulkan motivasi yang bervariasi, misalnya pegawai yang mempunyai
motivasi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya akan bekerja keras
dengan resiko tinggi dibanding dengan pegawai yang mempunyai motivasi
keselamatan, dan akan berbeda pada pegawai yang bermotivasi untuk
memperoleh prestasi. Setiap pekerjaan yang berbeda membutuhkan persyaratan
keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan tipe-tipe
2. Perbedaan karakteristik pekerjaan
Perbedaan karakteristik yang melekat pada pekerjaan itu membutuhkan
pengorganisasian dan penempatan orang secara tepat sesuai dengan kesiapan
masing-masing pegawai. Setiap organisasi juga mempunyai peraturan,
kebijakan, sistem pemberian hadiah, dan misi yang berbeda-beda yang akan
berpengaruh pada setiap pegawainya.
3. Perbedaan karakteristik lingkungan kerja atau organisasi. Motivasi seseorang
dipengaruhi oleh stimuli kekuatan intrinsik yang ada pada diri
seseorang/individu yang bersangkutan, stimuli eksternal mungkin juga dapat
mempengaruhi motivasi, tetapi motivasi itu sendiri mencerminkan reaksi
individu terhadap stimuli tersebut.
2.1.3 Manfaat Motivasi
Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga
produktivitas kerja meningkat. Manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan
orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat.
Artinya, pekerjaan diselesaikan dengan standart yang benar dan dalam skala
waktu yang sudah ditentukan, serta orang akan senang melakukan suatu
pekerjaan. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan
membuat orang senang mengerjakan suatu pekerjaan. Seseorang juga akan merasa
dihargai/diakui. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu dihargai oleh orang yang
termotivasi. Melalui penghargaan tersebut, seseorang akan bekerja keras. Hal ini
terjadi karena dorongan yang tinggi untuk menghasilkan sesuai target yang
membutuhkan terlalu banyak pengawasan. Individu tersebut akan berkerja dengan
motivasi yang tinggi (Arep & Tanjung, 2003: 16-17).
2.1.4 Teori Motivasi
Teori motivasi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu :
I. Teori Kepuasan
Teori kepuasan motivasi menentukan apa yang memotivasi orang dalam
pekerjaan. Ahli teori kepuasan berfokus pada identifikasi kebutuhan dan dorongan
pada diri seseorang dan bagaimana kebutuhan dan dorongan tersebut
diprioritaskan. Mereka menitikberatkan jenis insentif dan tujuan yang berusaha
dicapai oleh seseorang untuk dipuaskan dan dilakukan dengan baik. Teori
kepuasan mengacu pada statis, karena teori tersebut berhubungan hanya pada satu
atau beberapa hal dalam suatu waktu tertentu, baik masa lalu maupun sekarang.
Oleh karena itu, teori ini tidak memprediksikan motivasi atau perilaku kerja,
tetapi memahami apa yang memotivasi orang dalam bekerja. Hal yang
memotivasi semangat bekerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan materil maupun non materil yang diperoleh dari hasil pekerjaan, yakni
tinggi atau rendah tingkat kebutuhan dan kepuasan yang ingin dicapai seseorang
mencerminkan semangat kerja orang tersebut. Teori motivasi dapat dibedakan
menjadi (Winardi, 2011: 11) :
1. Teori Hierarki Kebutuhan (Abraham H.Maslow)
Abraham H. Maslow pada tahun 1943. Teori ini diilhami oleh Human Science Theory dari Elton Mayo (1880-1949) yang menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan itu bersifat jamak yaitu kebutuhan biologis dan psikologis berupa
materil dan non materil.
Abraham H. Maslow mengemukakan sejumlah proposisi penting tentang
perilaku pegawai sebagai berikut:
1. Pegawai adalah makhluk yang serba berkeinginan (man is a wanting being). Ia
senantiasa menginginkan sesuatu dan ia senantiasa menginginkan lebih
banyak. Apa yang diinginkan, tergantung pada apa yang sudah dimiliki.
2. Sebuah kebutuhan yang dipenuhi, bukanlah sebuah motivator perilaku. Hanya
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, memotivasi perilaku.
3. Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan suatu hierarki menurut
pentingnya masing-masing kebutuhan. Segera setelah kebutuhan-kebutuhan
pada tingkatan lebih rendah, kurang lebih terpenuhi, maka muncul
kebutuhan-kebutuhan pada tingkat berikut yang lebih tinggi, yang menuntut pemuasan.
Tingkatan kebutuhan pegawai tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kebutuhan-kebutuhan Fisiologikal
Pada tingkatan terendah pada hierarki yang ada, dan pada titik awal teori
motivasi, terdapat kebutuhan-kebutuhan fisiologikal. Kebutuhan-kebutuhan
inilah yang perlu dipenuhi untuk mempertahankan hidup.
Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal memiliki sejumlah karakteristik sebagai
berikut:
2. Dalam banyak kasus mereka dapat diidentifikasi dengan sebuah lokasi
khusus di dalam tubuh (misalnya perasaan lapar luar biasa, dapat dikaitkan
dengan perut).
3. Pada sebuah kultur bercukupan (an affluent culture), kebutuhan-kebutuhan demikian bukan merupakan motivator-motivator tipikal, melainkan
motivator-motivator yang tidak biasa.
4. Akhirnya dapat dikatakan bahwa mereka harus dipenuhi secara
berulang-ulang dalam periode waktu yang relatif singkat, agar tetap terpenuhi.
Apabila kebutuhan-kebutuhan fisiologikal tidak terpenuhi, maka
mereka akan lebih terasa dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Maka boleh dikatakan bahwa seseorang individu, yang tidak memiliki apa-apa
dalam kehidupan, mungkin sekali akan termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan
fisiologikal.
b. Kebutuhan akan keamanan
Kebutuhan akan keamanan dinyatakan dalam wujud akan keinginan akan
proteksi terhadap bahaya fiskal, keinginan untuk mendapatkan kepastian ekonomi,
prefensi terhadap hal-hal yang dikenal, dan menjauhi hal-hal yang tidak dikenal,
dan keinginan atau dambaan orang akan dunia yang teratur, serta yang dapat
diprediksi.
Kebutuhan-kebutuhan akan keamanan, juga mencakup keinginan unuk
mengatahui batas-batas perilaku yang diperkenankan. Maksudnya adalah
keinginan akan kebebasan di dalam batas-batas tertentu daripada kebebasan yang
batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan
yang sangat terancam.
Sebagian besar pegawai tergantung pada organisasi tempat ia bekerja
sehubungan dengan ketenteraman, supervisi, keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan pekerjaannya dan peluang kerja yang berkesinambungan.
c. Kebutuhan-kebutuhan sosial
Kebutuhan fisiologikal manusia dan kebutuhan akan keamanan pegawai
relatif terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan sosial yang merupakan kebutuhan
pada tingkatan berikutnya menjadi motivator penting bagi perilaku. Seorang
pegawai ingin tergolong pada kelompok-kelompok tertentu. Pegawai ingin
berasosiasi dengan pihak lain, ingin diterima oleh rekan-rekannya, ingin berbagi
dan menerima sikap berkawan, dan afeksi.
d. Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan
Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (egoistik) terdiri dari
penghargaan diri dan penghargaan dari pihak lain. Kebutuhan akan penghargaan
diri, prestasi, kompetensi, pengetahuan, penghargaan diri, dan kebebasan serta
idepedensi (ketidaktergantungan). Kelompok kedua, kebutuhan-kebutuhan akan
penghargaan dari pihak lain mencakup kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan
dengan reputasi seseorang pegawai, atau penghargaan dari pihak lain, kebutuhan
akan status, pengakuan, apresiasi terhadap dirinya, dan respek yang diberikan oleh
pihak lain.
Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampui prestasi
orang-orang lain yang merupakan sifat universal manusia. Kebutuhan pokok akan
kinerja keorganisasian yang luar biasa. Tidak seperti kebutuhan-kebutuhan
tingkatan lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan jarang sekali terpenuhi
secara sempurna.
e. Kebutuhan untuk merealisasikan diri (aktualisasi)
Kebutuhan-kebutuhan ini berupa kebutuhan-kebutuhan individu untuk
merealisasi potensi yang ada pada diri pegawai untuk mencapai pengembangan
diri secara berkelanjutan dan menjadi kreatif. Bentuk khusus kebutuhan ini
berbeda pada setiap pegawai (Winardi, 2001: 14-16).
2. Teori Kebutuhan Berprestasi (David McClelland)
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau
Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. McClelland
merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan melaksanakan
sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau
mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal
tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang
berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi, dan mencapai
performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan
pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara
berhasil.
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
a. Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan
b. Menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya
mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran.
c. Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka,
dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah (Winardi, 2001: 17-18).
3. Teori ERG (Clyton Alderfer)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam
teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E =
Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan).
1. Secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang
dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena existence dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow. Relatedness senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep
Maslow. Growth mengandung makna sama dengan self actualization menurut Maslow.
2. Teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu
diusahakan pemuasannya secara serentak. Teori Alderfer menunjukkan bahwa:
a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula
keinginan untuk memuaskannya.
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi semakin besar
apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih
tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih
Pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya,
karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada
kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya
kepada hal-hal yang mungkin dicapainya (Winardi, 2001: 19-20).
4. Teori Dua Faktor (Frederick Herzberg)
Herzberg dikenal dengan teori dua faktor yaitu faktor motivasional dan
faktor hygiene atau pemeliharaan. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik,
yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan
faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang
dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain
ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh,
kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor
hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang
dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para
penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja
dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg
ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat
dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik atau yang bersifat
II. Teori Proses
Teori proses dapat dibedakan atas empat bagian, yaitu :
1. Teori Keadilan (Equity Theory)
S. Adams dalam teori ini mengemukakan bahwa manusia terdorong untuk
menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi
dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai
persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat
terjadi, yaitu :
1. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar.
2. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang
menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan
empat hal sebagai pembanding, yaitu :
1. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima
berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat
pekerjaan dan pengalamannya.
2. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan
sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
3. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang
sama serta melakukan kegiatan sejenis.
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis
imbalan yang merupakan hak para pegawai.
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa
sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai.
Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi
organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering
terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau
bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain (Winardi, 2010: 23).
2. Teori penetapan tujuan (Goal Setting Theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki
empat macam mekanisme motivasional yakni :
a. Tujuan-tujuan mengarahkan perhatian
b. Tujuan-tujuan mengatur upaya
c. Tujuan-tujuan meningkatkan persistensi
d. Tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.
Teori ini juga mengungkapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Kuat lemahnya tingkah laku manusia ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak
dicapai.
b. Kecenderungan manusia untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan,
apabila tujuan itu jelas, dipahami dan bermanfaat.
c. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan makin besar
keengganan untuk bertingkah laku (Dharma, 2010: 36).
3. Teori Harapan (Expectacy Theory)
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul Work And Motivation mengtengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai Teori Harapan. Menurut teori
dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil
yang diinginkan. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata
bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh
sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk
memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal
yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Teori ini bagi kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber
daya manusia mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang
pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan
hal-hal yang diinginkan serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk
mewujudkan keinginan. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman
menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang
diinginkan, apalagi cara untuk memperoleh (Dharma, 2010: 36-37).
4. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku (Reinforcement Theory)
Teori ini dikemukakan oleh B.F. Skinner yang didasarkan atas hukum
pengaruh. Tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang,
sementara tingkah laku dengan konsekuensi negatif cenderung untuk tidak
diulang. Rangsangan yang didapat akan mengakibatkan atau memotivasi
timbulnya respon dari seseorang yang selanjutnya akan menghasilkan suatu
konsekuensi yang akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya. Konsekuensi yang
direspon kembali dan menghasilkan konsekuensi lagi. Demikian seterusnya
sehingga motivasi mereka akan tetap terjaga untuk menghasilkan hal-hal yang
positif
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu
menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut
mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang
dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekuensi perilakunya itu, ia
lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan
berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan
komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya
diharapkan mempunyai konsekuensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat
berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan
dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi
sebagai konsekuensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi
perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk
modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang
harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan gaya yang
manusiawi pula (Winardi, 2001: 24-25).
2.2 Kinerja Pegawai
2.2.1 Pengertian Kinerja Pegawai
accomplishment atau dengan kata lain kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi.
Pengertian kinerja telah dirumuskan oleh beberapa ahli manajemen dalam
(Tika, 2006: 121) antara lain sebagai berikut :
1. Stoner, dalam bukunya Management mengemukakan bahwa kinerja adalah fungsi dari motivasi, kecakapan, dan persepsi peranan.
2. Bernardin dan Russel, mendefenisikan kinerja sebagai pencatatan hasil-hasil
yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama
kurun waktu tertentu.
3. Handoko, mendefenisikan kinerja sebagai proses dimana organisasi
mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.
4. Prawiro Suntoro, mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam rangka
mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.
Dari empat defenisi kinerja diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur
yang terdapat dalam kinerja terdiri dari :
1. Hasil-hasil fungsi pekerjaan
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan/pegawai seperti :
motivasi, kecakapan, persepsi, peranan, dan sebagainya.
3. Pencapaian tujuan organisasi
4. Periode waktu tertentu
Sedangkan pengertian pegawai negeri sipil adalah unsur aparatur negara,
abdi negara dan abdi masyarakat yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan
keperibadian, harga diri, punya posisi sebagai aparatur negara dan abdi
masyarakat yang memahami kewajiban dan tanggungjawabnya. Pegawai negeri
sipil yang demikianlah yang diharapkan memiliki kegairahan dan kegembiraan
bekerja, penuh inisiatif dan langkah-langkah yang positif untuk menciptakan
prestasi kerja yang bermutu dan sikap mental dalam dinas dan pergaulan
masyarakat yang dapat diandalkan menjadi contoh (Situmorang, 1990: 27).
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja seorang
pegawai negeri sipil adalah adalah tingkat pencapaian hasil kerja pegawai yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kurun waktu tertentu yang diketahui
melalui evaluasi prestasi kerja pegawai.
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Davis dalam (Mangkunegara, 2006: 57) faktor yang
mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi dan merumuskan bahwa : Human performance = ability x motivation
Motivation = atitude x situation Ability = knowledge x skill a. Faktor kemampuan (ability)
Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan (IQ) dan
kemampuan reality (knowledge-skill). Artinya, pemimpin dan pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata IQ 110-120 apalagi IQ superior, very superior, gilfed dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai
b. Faktor motivasi (motivation)
Motivasi diartikan suatu sikap (atitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja
tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi
kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah.
Menurut Henry Simamora dalam (Mangkunegara, 2006: 14), kinerja
(performence) akan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
1. Faktor individual yang terdiri dari : kemampuan dan keahlian, latar belakang,
demografi.
2. Faktor psikologis yang terdiri dari : persepsi, atitude, personality, pembelajaran, motivasi.
3. Faktor organisasi yang terdiri dari : sumber daya alam, kepemimpinan,
penghargaan, struktur, job design.
Mitchel dalam (Sinambela, 2006: 140) berpendapat yang sama, bahwa
kinerja yang baik akan dipengaruhi oleh dua hal yaitu tingkat kemampuan dan
motivasi kerja yang baik. Kemampuan seseorang dipengaruhi pemahamannya atas
jenis pekerjaan dan keterampilan melakukannya, oleh karena itu seseorang harus
dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya. Selain itu kontribusi
motivasi kerja terhadap kinerja tidaklah dapat diabaikan. Meskipun kemampuan
pegawai sangat baik apabila motivasi kerjanya rendah, sudah tentu kerjanya juga
akan rendah. Dengan demikian, Mitchel memformulasikan kinerja adalah fungsi
2.2.3 Indikator Kinerja
Analisis mengenai kinerja merupakan suatu penelitian terhadap suatu
organisasi, bagaimana sasaran kerja, program-program atau tugas-tugas khusus
yang telah dilakukan, diukur atau dievaluasi dengan menggunakan berbagai
metode.
Pengukuran kinerja (Mahsum, 2006: 34) merupakan suatu aktivitas
penilaian pencapaian target-target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis
organisasi. Mahsun menjelaskan terdapat perbedaan pengukuran kinerja sektor
publik dan sektor bisnis. Pengukuran kinerja pada sektor bisnis (organisasi yang
berorientasi pada laba) lebih mudah dilakukan, jika dibandingkan dengan
organisasi sektor publik (organisasi yang tidak berorientasi pada laba).
Pada organisasi bisnis, kinerja penyelenggaraannya dapat dilakukan dengan
cara, misalnya tingkat laba yang berhasil diperolehnya. Pada organisasi sektor
publik, pengukurannya keberhasilannya lebih kompleks, karena hal-hal yang
dapat diukur lebih beraneka ragam, terkadang bersifat abstrak sehingga
pengukurannya tidak dapat dilakukan dengan hanya menggunakan satu variabel
saja.
Pengukuran kinerja bukanlah hasil akhir, melainkan merupakan alat agar
keberhasilan manajemen alat agar dihasilkan manajemen yang efisien dan terjadi
peningkatan kinerja. Hasil dari pengukuran kinerja akan memberi tahu kita apa
yang telah terjadi, bukan mengapa hal itu terjadi atau apa yang harus dilakukan.
Pengukuran kinerja (Mahsun, 2006: 35) menyediakan organisasi untuk menilai :
2. Membantu dalam mengenali area-area kekuatan dan kelemahan.
3. Menentukan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja.
4. Menunjukkan bagaimana kegiatan mendukung tujuan organisasi.
5. Membantu dan membuat keputusan-keputusan dengan langkah inisiatif.
6. Meningkatkan produk-produk dan jasa-jasa kepada pelanggan.
Dharma dalam bukunya Managemen Supervisi (2003: 355) mengatakan
hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.
a. Protes kerja dan kondisi pekerjaan
b. Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan
c. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan
d. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja
2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).
a. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan
b. Tingkat kemampuan dalam bekerja
c. Kemampuan menganalisis data atau informasi , kemampuan menggunakan
mesin atau peralatan.
d. Kemampuan mengevaluasi.
3. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.
Aspek-aspek standar kinerja menurut Mangkunegara (2009: 18) terdiri
aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:
1. Proses kerja dan kondisi pekerjaan.
3. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan.
4. Jumlah dan jenis dalam pemberian pekerjaan.
Aspek kualitatif meliputi:
1. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan.
2. Tingkat kemampuan dalam bekerja
3. Kemampuan menganalisis data atau informasi dan kemampuan menggunakan
mesin atau peralatan.
4. Kemampuan mengevaluasi.
2.2.4 Tujuan Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja
organisasi melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik,
tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan oleh Sunyoto dalam
(Mangkunegara, 2006: 240) adalah :
1. Meningkatkan saling pengertian antar pegawai tentang persyaratan kinerja.
Dalam melakukan penilaian atas kinerja para pegawai harus terdapat interaksi
yang positif dan kontinu antara pemimpin dengan pegawai. Penilaian yang
dilakukan pada serangkaian tolak ukur tertentu realistik, berkaitan langsung
dengan tugas seorang pegawai serta kriteria yang ditetapkan dan yang
diterapkan secara objektif sehingga pada gilirannya memuaskan bagi pegawai
karena memperoleh perlakuan yang adil.
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai.
Hal ini dilakukan agar pegawai termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau
dapat dijadikan sebagai ukuran sejauh mana pegawai itu dapat menyelesaikan
atau menjalankan pekerjaan.
3. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap
pekerjaan yang diembannya sekarang. Dengan melakukan penilaian kinerja
maka akan membantu organisasi dalam memberikan kesempatan bagi setiap
pegawai dalam memaksimalkan potensinya. Memberikan bahan pertimbangan
dalam merancang program pelatihan untuk mengatasi permasalahan yang akan
muncul atau dalam rangka pengembangan pegawai yang dinilai memiliki
potensi tetapi belum dikembangkan secara efektif.
4. Mendefenisikan dan merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga
pegawai termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
Mengupayakan agar pegawai tidak cepat puas dengan apa yang telah mereka
capai, artinya meskipun kinerjanya dimasa lalu dianggap sudah cukup
memuaskan, perlu ditanamkan kesadaran bahwa kinerja yang memuaskan itu
masih harus ditingkatkan. Apabila kinerja telah memuaskan maka pegawai
akan termotivasi untuk berprestasi kedepannya.
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai kebutuhan
pelatihan, khusus secara diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika ada
hal-hal yang perlu diubah. Dari analisa kinerja yang telah diperoleh maka akan
membantu evaluasi kebutuhan pelatihan diri bagi para pegawai melalui
berbagai audit keterampilan dan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan
kemampuan dirinya yang pada akhirnya dapat menghasilkan potensi pegawai
Penilaian ini berperan bagi pegawai sebagai umpan balik tentang berbagai
hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan, dan potensinya yang pada
gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana, dan
pengembangan karirnya.
Tujuan penilaian kinerja akan tercapai dengan baik jika pegawai
memahami dan menerima dengan baik tujuan yang ingin dicapai serta mereka
mempunyai kemampuan melakukan tugas untuk mencapai tujuan tersebut.
Seorang pegawai haruslah dapat memahami dan menerima tujuan organisasi,
dengan pemahaman tersebut dia akan mengarahkan tenaga dan pikirannya
sehingga tujuan yang ditetapkan organisasi dapat dicapai. Selain pemahaman dan
penerimaan akan tujuan, tentu saja kemampuan pegawai melaksanakan tugasnya
haruslah ditingkatkan (Sinambela, 2006: 141).
2.2.5 Sistem Penilaian Kinerja
Dalam melaksanakan pengukuran atau penilaian terhadap pelaksanaan
kerja atau prestasi kerja dibutuhkan suatu sistem penilaian terhadap pelaksanaan
kerja atau prestasi kerja dibutuhkan suatu sistem penilaian yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Menurut Wayne F.Cascio dan M.Awad dalam (Soeprihanto, 2000,
9) menyebutkan syarat-syarat dari penilaian kinerja pegawai adalah :
1. Relevance, berarti bahwa suatu sistem penilaian digunakan untuk mengukur hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya. Hubungan yang ada
kesesuaian antara hasil pekerjaan dan tujuan yang telah ditetapkan lebih
2. Acceptability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat diterima dalam hubungannya dengan kesuksesan dari pelaksanaan pekerjaan dalam suatu
organisasi.
3. Reliability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat dipercaya (konsisten dan stabil), reliabilitas sistem penilaian dipengaruhi oleh waktu dan
frekuensi penilaian. Dalam hubungannya dengan sistem penilaian, tingkat
reliabilitas yang tinggi apabila dua penilai atau lebih terhadap pegawai yang
sama memperoleh hasil nilai yang tingkatnya relatif sama.
4. Sensitivity, berarti sistem penilaian tersebut cukup peka dalam membedakan atau menunjukkan kegiatan yang berhasil/sukses, cukup ataupun gagal/jelek
telah dilakukan oleh seorang pegawai.
5. Practicality, berarti bahwa sistem penilaian dapat mendukung secara langsung tercapainya tujuan organisasi perusahaan melalui peningkatan produktivitas
para karyawan.
Berdasarkan persyaratan tersebut dilakukan penilaian kinerja pegawai.
Setelah itu ditentukan kriteria keberhasilan yang meliputi : kuantitas, kualitas, dan
waktu yang digunakan.
Robert Becal dalam (Tika, 2006: 124) menerangkan ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan untuk meningkatkan kinerja pegawai sebagai berikut :
1. Membuat pola pikir yang modern
Pimpinan harus menggunakan pola pikir modern dengan cara memberikan
panutan dan mengoptimalkan komunikasi dua arah dengan pegawai. Selain
itu, pimpinan harus mampu menemukan dan memanfaatkan pengetahuan,
2. Kelola kinerja
Penilaian kinerja pegawai merupakan bagian kecil dari manajemen kerja. Hal
yang terpenting adalah merencanakan kinerja dan mengomunikasikannya
berdasarkan pengamatan dan pengumpulan data yang dimiliki termasuk
rintangan-rintangan atau hambatan yang telah dan akan dihadapi.
3. Berfokus pada komunikasi
Komunikasi merupakan bagian paling penting untuk membangun relasi dan
menumbuhkan motivasi antar pimpinan dengan pegawai, sehingga terbina
suatu kerja sama yang harmonis.
4. Peninjauan kinerja
Peninjauan kinerja harus dipersiapkan secara detail dari sistem manajemen
kinerja seperti deskripsi pekerjaan, tanggungjawab, rencana kinerja yang
terlaksana berdasarkan dokumentasi yang ada dan terkait satu sama lain
sehingga hasilnya dapat membangkitkan motivasi dan semangat kerja
karyawan.
5. Kinerja dokumentasi
Dokumentasi setiap informasi tentang kinerja pegawai baik itu mengenai
kinerja, catatan-catatan permasalahan kinerja maupun tindakan indisipliner
yang dapat digunakan untuk bahan kajian dan perbaikan pegawai maupun
pimpinan.
2.2.6 Manfaat Penilaian Kinerja
Pengalaman dari banyak organisasi pemerintahan maupun swasta
menunjukkan sistem penilaian kinerja yang baik sangat bermanfaat untuk
1. Mendorong peningkatan kinerja yang terlibat dapat mengambil berbagai
langkah yang diperlukan agar kinerja para pegawai lebih meningkat lagi
dimasa-masa yang akan datang.
2. Sebagai bahan pengambilan keputusan dalam pemberian imbalan.
Keputusan tentang siapa yang berhak menerima imbalan berdasarkan penilaian
atas kinerja pegawai.
3. Untuk kepentingan mutasi
Kinerja seseorang dimasa lalu merupakan dasar bagi pengambilan keputusan
mutasi baginya dimasa yang akan datang, apapun bentuk mutasi tersebut
seperti promosi, alih tugas, alih wilayah, ataupun demosi.
2.3 Defenisi Konsep
Suatu konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan
dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis.
Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa
yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk
merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan
menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah
pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112).
Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian adalah :
a. Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua faktor atau lebih yang
b. Motivasi adalah daya dorong yang ada pada pegawai baik dorongan internal
yaitu kepuasan (hierarki kebutuhan Maslow) maupun dorongan eksternal yaitu
proses (penguatan dan modifikasi perilaku) yang menyebabkan seseorang
melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.
c. Kinerja pegawai adalah tingkat pencapaian hasil kerja pegawai yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kurun waktu tertentu yang diketahui
melalui evaluasi prestasi kerja pegawai.
2.4 Defenisi Operasional
Defenisi operasional merupakan defenisi yang menyatakan seperangkat
petunjuk atau kriteria atau operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati
dan bagaimana mengamati dengan memiliki rujukan-rujukan empiris (Silalahi,
2009: 120).
Adapun defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :
Variabel bebas (x1) yaitu motivasi kepuasan (hierarki kebutuhan Maslow) yang
diukur dengan indikator berupa :
1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal
a. Kebutuhan sandang terpenuhi.
b. Kebutuhan pangan terpenuhi.
c. Kebutuhan papan terpenuhi.
2. Kebutuhan akan keamanan
a. Situasi dan kondisi yang kondusif di tempat kerja.
3. Kebutuhan-kebutuhan sosial
a. Memiliki rekan kerja yang baik
b. Dapat bekerja sama dengan rekan kerja
c. Keberadaan seorang pegawai diterima oleh rekan-rekannya
d. Ingin berbagi dan menerima sikap berkawan dengan rekan kerja
4. Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan
a. Penghargaan/apresiasi terhadap prestasi kerja
b. Mendapat pengakuan dari rekan kerja atas hasil kerja
5. Kebutuhan untuk merealisasikan diri (aktualisasi)
Memiliki kesempatan memperoleh pendidikan baik di dalam maupun di luar
organisasi.
Variabel bebas (x2) yaitu motivasi proses (penguatan dan modifikasi perilaku)
yang diukur dengan indikator berupa :
1. Tingkah laku pegawai diperhatikan oleh atasan.
2. Mengetahui batas-batas perilaku (peraturan) yang diperkenankan saat bekerja.
3. Mengetahui keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan.
4. Fasilitas kantor yang memadai
5. Mendapat pengakuan dari rekan kerja atas hasil kerja
6. Tingkah laku positif mendapat pujian dari atasan atau rekan kerja.
7. Tingkah laku negatif mendapat teguran atau sanksi dari atasan.
8. Konsekuensi pofitif cenderung diulangi.
9. Konsekuensi negatif tidak diulangi dan diperbaiki.
10. Kenaikan pangkat memberi motivasi.
12. Memiliki kesempatan memperoleh pendidikan baik di dalam maupun di luar
organisasi.
Variabel terikat (y) yaitu kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diukur dengan
indikator berupa :
1. Kuantitas,yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.
2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).