• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Motivasi 2.1.1 Pengertian Motivasi - Relationship Motivation In Improving Performance of Civil Servants (Studies in North Sumatera Provincial Foresty Office)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Motivasi 2.1.1 Pengertian Motivasi - Relationship Motivation In Improving Performance of Civil Servants (Studies in North Sumatera Provincial Foresty Office)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Motivasi

2.1.1 Pengertian Motivasi

Suatu instansi pemerintah/swasta, memerlukan pegawai sebagai tenaga

gerak dalam melaksanakan segala kegiatan atau aktivitasnya. Kegiatan atau

aktivitas tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi faktor-faktor tertentu. Motivasi

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut dalam

mencapai tujuannya.

Kata motivasi berasal dari bahasa Latin “movere”, yang berarti bergerak. Motivasi erat hubungannya dengan hasrat, keinginan, tujuan, sasaran, kebutuhan,

dorongan, dan insentif. Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi

fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang

ditujukan untuk tujuan atau insentif. Proses motivasi bergantung pada pengertian

dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan insentif (Luthars, 2006: 268).

Kebutuhan membentuk dorongan yang bertujuan pada insentif. Motivasi

mencakup tiga elemen yang berinteraksi dan saling tergantung, yaitu (Luthars,

2006: 270).

1. Kebutuhan

Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis.

(2)

Dorongan terbentuk untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan fisiologis dapat

didefenisikan sebagai kehilangan petunjuk. Dorongan fisiologis dan psikologis

adalah tindakan yang berorientasi dan menghasilkan daya dorong dalam

meraih insentif. Hal tersebut adalah motivasi.

3. Insentif

Pada akhir siklus motivasi adalah insentif, didefenisikan sebagai semua yang

akan mengurangi sebuah kebutuhan dan dorongan. Dengan memperoleh

insentif akan cenderung memulihkan keseimbangan fisiologis atau psikologis

dan akan mengurangi dorongan.

Pengertian motivasi juga diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut

ini :

1. Sardiman

Motivasi adalah motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang

ditandai dengan munculnya felling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan (Sardiman, 2006: 73).

2. Chung dan Megginson

Motivasi dalam (Gomes, 2003: 177) merupakan hal yang berkaitan dengan

tingkat usaha yang dilakukan seseorang dalam mengejar suatu tujuan.

3. Mulyasa

Motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya

tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Sumber :

(3)

Motivasi seseorang atau pegawai tergantung pada kekuatan atau motivasi

itu sendiri. Dorongan menyebabkan seseorang berusaha mencapai tujuan-tujuan,

baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan juga menyebabkan seseorang atau

pegawai berperilaku yang dapat mengendalikan dan memelihara

kegiatan-kegiatan, dan yang menetapkan arah yang harus ditempuh oleh seorang pegawai

(Thoha, 2008: 207-208).

Seseorang bekerja mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Ada orang

yang termotivasi mengerjakan sesuatu karena uang yang banyak, meskipun

kadang-kadang pekerjaan itu secara hukum tidak benar. Ada juga yang

termotivasi karena rasa aman atau keselamatan meskipun bekerja dengan jarak

yang jauh. Bahkan ada orang yang termotivasi bekerja hanya karena pekerjaan

tersebut memberikan prestise yang tinggi walaupun gajinya sangat kecil.

Hal yang mendasar dari motivasi adalah self concept realization, yaitu merealisasikan konsep dirinya. Self concept realization bermakna bahwa seseorang akan selalu termotivasi jika (Arep & Tanjung, 2003: 13) :

1. Ia hidup dalam suatu cara yang sesuai dengan peran yang lebih ia sukai.

2. Diperlakukan sesuai dengan tingkatan yang lebih ia sukai.

3. Dihargai sesuai dengan cara yang mencerminkan penghargaan seseorang atas

kemampuannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka ada 3 hal yang diperlukan dalam memotivasi

seseorang yaitu peran, perlakuan, dan penghargaan.

John R. Schermerhorn dalam Winardi (2001: 4) menjelaskan motivasi

untuk bekerja merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang perilaku

(4)

kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang menjadi penyebab

timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal

bekerja. Dengan demikian analisis mengenai motivasi akan bersinggunggan

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi. Ditegaskan Atkinson dalam

Winardi (2001: 4) bahwa analisis motivasi perlu memusatkan perhatian pada

faktor-faktor yang menimbulkan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas seseorang.

Wahjosumidjo mengatakan motivasi merupakan daya dorong sebagai hasil

proses interaksi antara sikap, kebutuhan, dan persepsi bawahan dari seseorang

dengan lingkungan, motivasi timbul diakibatkan oleh faktor dari dalam dirinya

sendiri disebut faktor intrinsik, dan faktor yang dari luar diri seseorang disebut

faktor ekstrinsik. Selanjutnya faktor intrinsik dapat berupa kepribadian, sikap,

pengalaman, pendidikan atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau masa

depan

(http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2116186-insentif-dibagi-menjadi-dua-macam/#ixzz2PbGGrrLY, diakses pada tanggal 2 September 2013

pukul 11.00 WIB).

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai motivasi, dapat disimpulkan

bahwa motivasi adalah daya dorong yang ada pada pegawai baik dorongan

internal yaitu kepuasan maupun dorongan eksternal yaitu proses yang

menyebabkan seseorang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi

Chung & Megginson dalam (Winardi, 2001: 5) menjelaskan, motivasi

melibatkan beberapa faktor, anatra lain :

(5)

Faktor-faktor individual meliputi :

a. kebutuhan-kebutuhan (needs) b.tujuan-tujuan (goals)

c. sikap (attitude)

d. kemampuan-kemampuan (abilities). 2. Faktor-faktor organisasional

Faktor-faktor organisasional meliputi :

a. pembayaran atau gaji (pay) b. keamanan pekerjaan (job security) c. sesama pekerja (co-workers) d. pengawasan (supervision) e. pujian (praise),

f. pekerjaan itu sendiri (job itself).

Helleriegel dan Slocum (Winardi, 2001: 8) mengklasifikasikan tiga faktor

utama yang mempengaruhi motivasi meliputi:

1. Perbedaan karakteristik individu

Karakteristik individu yang berbeda jenis kebutuhan, sikap dan minat

menimbulkan motivasi yang bervariasi, misalnya pegawai yang mempunyai

motivasi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya akan bekerja keras

dengan resiko tinggi dibanding dengan pegawai yang mempunyai motivasi

keselamatan, dan akan berbeda pada pegawai yang bermotivasi untuk

memperoleh prestasi. Setiap pekerjaan yang berbeda membutuhkan persyaratan

keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan tipe-tipe

(6)

2. Perbedaan karakteristik pekerjaan

Perbedaan karakteristik yang melekat pada pekerjaan itu membutuhkan

pengorganisasian dan penempatan orang secara tepat sesuai dengan kesiapan

masing-masing pegawai. Setiap organisasi juga mempunyai peraturan,

kebijakan, sistem pemberian hadiah, dan misi yang berbeda-beda yang akan

berpengaruh pada setiap pegawainya.

3. Perbedaan karakteristik lingkungan kerja atau organisasi. Motivasi seseorang

dipengaruhi oleh stimuli kekuatan intrinsik yang ada pada diri

seseorang/individu yang bersangkutan, stimuli eksternal mungkin juga dapat

mempengaruhi motivasi, tetapi motivasi itu sendiri mencerminkan reaksi

individu terhadap stimuli tersebut.

2.1.3 Manfaat Motivasi

Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga

produktivitas kerja meningkat. Manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan

orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat.

Artinya, pekerjaan diselesaikan dengan standart yang benar dan dalam skala

waktu yang sudah ditentukan, serta orang akan senang melakukan suatu

pekerjaan. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan

membuat orang senang mengerjakan suatu pekerjaan. Seseorang juga akan merasa

dihargai/diakui. Hal ini terjadi karena pekerjaannya itu dihargai oleh orang yang

termotivasi. Melalui penghargaan tersebut, seseorang akan bekerja keras. Hal ini

terjadi karena dorongan yang tinggi untuk menghasilkan sesuai target yang

(7)

membutuhkan terlalu banyak pengawasan. Individu tersebut akan berkerja dengan

motivasi yang tinggi (Arep & Tanjung, 2003: 16-17).

2.1.4 Teori Motivasi

Teori motivasi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu :

I. Teori Kepuasan

Teori kepuasan motivasi menentukan apa yang memotivasi orang dalam

pekerjaan. Ahli teori kepuasan berfokus pada identifikasi kebutuhan dan dorongan

pada diri seseorang dan bagaimana kebutuhan dan dorongan tersebut

diprioritaskan. Mereka menitikberatkan jenis insentif dan tujuan yang berusaha

dicapai oleh seseorang untuk dipuaskan dan dilakukan dengan baik. Teori

kepuasan mengacu pada statis, karena teori tersebut berhubungan hanya pada satu

atau beberapa hal dalam suatu waktu tertentu, baik masa lalu maupun sekarang.

Oleh karena itu, teori ini tidak memprediksikan motivasi atau perilaku kerja,

tetapi memahami apa yang memotivasi orang dalam bekerja. Hal yang

memotivasi semangat bekerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan dan

kepuasan materil maupun non materil yang diperoleh dari hasil pekerjaan, yakni

tinggi atau rendah tingkat kebutuhan dan kepuasan yang ingin dicapai seseorang

mencerminkan semangat kerja orang tersebut. Teori motivasi dapat dibedakan

menjadi (Winardi, 2011: 11) :

1. Teori Hierarki Kebutuhan (Abraham H.Maslow)

(8)

Abraham H. Maslow pada tahun 1943. Teori ini diilhami oleh Human Science Theory dari Elton Mayo (1880-1949) yang menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan itu bersifat jamak yaitu kebutuhan biologis dan psikologis berupa

materil dan non materil.

Abraham H. Maslow mengemukakan sejumlah proposisi penting tentang

perilaku pegawai sebagai berikut:

1. Pegawai adalah makhluk yang serba berkeinginan (man is a wanting being). Ia

senantiasa menginginkan sesuatu dan ia senantiasa menginginkan lebih

banyak. Apa yang diinginkan, tergantung pada apa yang sudah dimiliki.

2. Sebuah kebutuhan yang dipenuhi, bukanlah sebuah motivator perilaku. Hanya

kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, memotivasi perilaku.

3. Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan suatu hierarki menurut

pentingnya masing-masing kebutuhan. Segera setelah kebutuhan-kebutuhan

pada tingkatan lebih rendah, kurang lebih terpenuhi, maka muncul

kebutuhan-kebutuhan pada tingkat berikut yang lebih tinggi, yang menuntut pemuasan.

Tingkatan kebutuhan pegawai tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kebutuhan-kebutuhan Fisiologikal

Pada tingkatan terendah pada hierarki yang ada, dan pada titik awal teori

motivasi, terdapat kebutuhan-kebutuhan fisiologikal. Kebutuhan-kebutuhan

inilah yang perlu dipenuhi untuk mempertahankan hidup.

Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal memiliki sejumlah karakteristik sebagai

berikut:

(9)

2. Dalam banyak kasus mereka dapat diidentifikasi dengan sebuah lokasi

khusus di dalam tubuh (misalnya perasaan lapar luar biasa, dapat dikaitkan

dengan perut).

3. Pada sebuah kultur bercukupan (an affluent culture), kebutuhan-kebutuhan demikian bukan merupakan motivator-motivator tipikal, melainkan

motivator-motivator yang tidak biasa.

4. Akhirnya dapat dikatakan bahwa mereka harus dipenuhi secara

berulang-ulang dalam periode waktu yang relatif singkat, agar tetap terpenuhi.

Apabila kebutuhan-kebutuhan fisiologikal tidak terpenuhi, maka

mereka akan lebih terasa dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Maka boleh dikatakan bahwa seseorang individu, yang tidak memiliki apa-apa

dalam kehidupan, mungkin sekali akan termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan

fisiologikal.

b. Kebutuhan akan keamanan

Kebutuhan akan keamanan dinyatakan dalam wujud akan keinginan akan

proteksi terhadap bahaya fiskal, keinginan untuk mendapatkan kepastian ekonomi,

prefensi terhadap hal-hal yang dikenal, dan menjauhi hal-hal yang tidak dikenal,

dan keinginan atau dambaan orang akan dunia yang teratur, serta yang dapat

diprediksi.

Kebutuhan-kebutuhan akan keamanan, juga mencakup keinginan unuk

mengatahui batas-batas perilaku yang diperkenankan. Maksudnya adalah

keinginan akan kebebasan di dalam batas-batas tertentu daripada kebebasan yang

(10)

batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan

yang sangat terancam.

Sebagian besar pegawai tergantung pada organisasi tempat ia bekerja

sehubungan dengan ketenteraman, supervisi, keputusan-keputusan yang berkaitan

dengan pekerjaannya dan peluang kerja yang berkesinambungan.

c. Kebutuhan-kebutuhan sosial

Kebutuhan fisiologikal manusia dan kebutuhan akan keamanan pegawai

relatif terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan sosial yang merupakan kebutuhan

pada tingkatan berikutnya menjadi motivator penting bagi perilaku. Seorang

pegawai ingin tergolong pada kelompok-kelompok tertentu. Pegawai ingin

berasosiasi dengan pihak lain, ingin diterima oleh rekan-rekannya, ingin berbagi

dan menerima sikap berkawan, dan afeksi.

d. Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan

Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (egoistik) terdiri dari

penghargaan diri dan penghargaan dari pihak lain. Kebutuhan akan penghargaan

diri, prestasi, kompetensi, pengetahuan, penghargaan diri, dan kebebasan serta

idepedensi (ketidaktergantungan). Kelompok kedua, kebutuhan-kebutuhan akan

penghargaan dari pihak lain mencakup kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan

dengan reputasi seseorang pegawai, atau penghargaan dari pihak lain, kebutuhan

akan status, pengakuan, apresiasi terhadap dirinya, dan respek yang diberikan oleh

pihak lain.

Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampui prestasi

orang-orang lain yang merupakan sifat universal manusia. Kebutuhan pokok akan

(11)

kinerja keorganisasian yang luar biasa. Tidak seperti kebutuhan-kebutuhan

tingkatan lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan jarang sekali terpenuhi

secara sempurna.

e. Kebutuhan untuk merealisasikan diri (aktualisasi)

Kebutuhan-kebutuhan ini berupa kebutuhan-kebutuhan individu untuk

merealisasi potensi yang ada pada diri pegawai untuk mencapai pengembangan

diri secara berkelanjutan dan menjadi kreatif. Bentuk khusus kebutuhan ini

berbeda pada setiap pegawai (Winardi, 2001: 14-16).

2. Teori Kebutuhan Berprestasi (David McClelland)

McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau

Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. McClelland

merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan melaksanakan

sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau

mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal

tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang

berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi, dan mencapai

performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan

pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara

berhasil.

Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :

a. Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan

(12)

b. Menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya

mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran.

c. Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka,

dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah (Winardi, 2001: 17-18).

3. Teori ERG (Clyton Alderfer)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam

teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E =

Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan).

1. Secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang

dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena existence dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow. Relatedness senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep

Maslow. Growth mengandung makna sama dengan self actualization menurut Maslow.

2. Teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu

diusahakan pemuasannya secara serentak. Teori Alderfer menunjukkan bahwa:

a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula

keinginan untuk memuaskannya.

b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi semakin besar

apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.

c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih

tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih

(13)

Pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya,

karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada

kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya

kepada hal-hal yang mungkin dicapainya (Winardi, 2001: 19-20).

4. Teori Dua Faktor (Frederick Herzberg)

Herzberg dikenal dengan teori dua faktor yaitu faktor motivasional dan

faktor hygiene atau pemeliharaan. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik,

yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan

faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang

dalam kehidupan seseorang.

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain

ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh,

kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor

hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang

dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para

penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja

dan sistem imbalan yang berlaku.

Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg

ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat

dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik atau yang bersifat

(14)

II. Teori Proses

Teori proses dapat dibedakan atas empat bagian, yaitu :

1. Teori Keadilan (Equity Theory)

S. Adams dalam teori ini mengemukakan bahwa manusia terdorong untuk

menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi

dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai

persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat

terjadi, yaitu :

1. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar.

2. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang

menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan

empat hal sebagai pembanding, yaitu :

1. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima

berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat

pekerjaan dan pengalamannya.

2. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan

sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;

3. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang

sama serta melakukan kegiatan sejenis.

4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis

imbalan yang merupakan hak para pegawai.

Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa

(15)

sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai.

Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi

organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering

terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat

kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau

bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain (Winardi, 2010: 23).

2. Teori penetapan tujuan (Goal Setting Theory)

Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki

empat macam mekanisme motivasional yakni :

a. Tujuan-tujuan mengarahkan perhatian

b. Tujuan-tujuan mengatur upaya

c. Tujuan-tujuan meningkatkan persistensi

d. Tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.

Teori ini juga mengungkapkan hal-hal sebagai berikut :

a. Kuat lemahnya tingkah laku manusia ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak

dicapai.

b. Kecenderungan manusia untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan,

apabila tujuan itu jelas, dipahami dan bermanfaat.

c. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan makin besar

keengganan untuk bertingkah laku (Dharma, 2010: 36).

3. Teori Harapan (Expectacy Theory)

Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul Work And Motivation mengtengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai Teori Harapan. Menurut teori

(16)

dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil

yang diinginkan. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan

jalan terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya

mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata

bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh

sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk

memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal

yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Teori ini bagi kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber

daya manusia mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang

pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan

hal-hal yang diinginkan serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk

mewujudkan keinginan. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman

menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang

diinginkan, apalagi cara untuk memperoleh (Dharma, 2010: 36-37).

4. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku (Reinforcement Theory)

Teori ini dikemukakan oleh B.F. Skinner yang didasarkan atas hukum

pengaruh. Tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang,

sementara tingkah laku dengan konsekuensi negatif cenderung untuk tidak

diulang. Rangsangan yang didapat akan mengakibatkan atau memotivasi

timbulnya respon dari seseorang yang selanjutnya akan menghasilkan suatu

konsekuensi yang akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya. Konsekuensi yang

(17)

direspon kembali dan menghasilkan konsekuensi lagi. Demikian seterusnya

sehingga motivasi mereka akan tetap terjaga untuk menghasilkan hal-hal yang

positif

Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu

menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut

mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang

dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekuensi perilakunya itu, ia

lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan

berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan

komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya

diharapkan mempunyai konsekuensi positif lagi di kemudian hari.

Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat

berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan

dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi

sebagai konsekuensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi

perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.

Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk

modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang

harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan gaya yang

manusiawi pula (Winardi, 2001: 24-25).

2.2 Kinerja Pegawai

2.2.1 Pengertian Kinerja Pegawai

(18)

accomplishment atau dengan kata lain kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi.

Pengertian kinerja telah dirumuskan oleh beberapa ahli manajemen dalam

(Tika, 2006: 121) antara lain sebagai berikut :

1. Stoner, dalam bukunya Management mengemukakan bahwa kinerja adalah fungsi dari motivasi, kecakapan, dan persepsi peranan.

2. Bernardin dan Russel, mendefenisikan kinerja sebagai pencatatan hasil-hasil

yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama

kurun waktu tertentu.

3. Handoko, mendefenisikan kinerja sebagai proses dimana organisasi

mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.

4. Prawiro Suntoro, mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai

seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam rangka

mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.

Dari empat defenisi kinerja diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur

yang terdapat dalam kinerja terdiri dari :

1. Hasil-hasil fungsi pekerjaan

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan/pegawai seperti :

motivasi, kecakapan, persepsi, peranan, dan sebagainya.

3. Pencapaian tujuan organisasi

4. Periode waktu tertentu

Sedangkan pengertian pegawai negeri sipil adalah unsur aparatur negara,

abdi negara dan abdi masyarakat yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan

(19)

keperibadian, harga diri, punya posisi sebagai aparatur negara dan abdi

masyarakat yang memahami kewajiban dan tanggungjawabnya. Pegawai negeri

sipil yang demikianlah yang diharapkan memiliki kegairahan dan kegembiraan

bekerja, penuh inisiatif dan langkah-langkah yang positif untuk menciptakan

prestasi kerja yang bermutu dan sikap mental dalam dinas dan pergaulan

masyarakat yang dapat diandalkan menjadi contoh (Situmorang, 1990: 27).

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja seorang

pegawai negeri sipil adalah adalah tingkat pencapaian hasil kerja pegawai yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kurun waktu tertentu yang diketahui

melalui evaluasi prestasi kerja pegawai.

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Davis dalam (Mangkunegara, 2006: 57) faktor yang

mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi dan merumuskan bahwa : Human performance = ability x motivation

Motivation = atitude x situation Ability = knowledge x skill a. Faktor kemampuan (ability)

Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan (IQ) dan

kemampuan reality (knowledge-skill). Artinya, pemimpin dan pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata IQ 110-120 apalagi IQ superior, very superior, gilfed dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai

(20)

b. Faktor motivasi (motivation)

Motivasi diartikan suatu sikap (atitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja

tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi

kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah.

Menurut Henry Simamora dalam (Mangkunegara, 2006: 14), kinerja

(performence) akan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

1. Faktor individual yang terdiri dari : kemampuan dan keahlian, latar belakang,

demografi.

2. Faktor psikologis yang terdiri dari : persepsi, atitude, personality, pembelajaran, motivasi.

3. Faktor organisasi yang terdiri dari : sumber daya alam, kepemimpinan,

penghargaan, struktur, job design.

Mitchel dalam (Sinambela, 2006: 140) berpendapat yang sama, bahwa

kinerja yang baik akan dipengaruhi oleh dua hal yaitu tingkat kemampuan dan

motivasi kerja yang baik. Kemampuan seseorang dipengaruhi pemahamannya atas

jenis pekerjaan dan keterampilan melakukannya, oleh karena itu seseorang harus

dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya. Selain itu kontribusi

motivasi kerja terhadap kinerja tidaklah dapat diabaikan. Meskipun kemampuan

pegawai sangat baik apabila motivasi kerjanya rendah, sudah tentu kerjanya juga

akan rendah. Dengan demikian, Mitchel memformulasikan kinerja adalah fungsi

(21)

2.2.3 Indikator Kinerja

Analisis mengenai kinerja merupakan suatu penelitian terhadap suatu

organisasi, bagaimana sasaran kerja, program-program atau tugas-tugas khusus

yang telah dilakukan, diukur atau dievaluasi dengan menggunakan berbagai

metode.

Pengukuran kinerja (Mahsum, 2006: 34) merupakan suatu aktivitas

penilaian pencapaian target-target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis

organisasi. Mahsun menjelaskan terdapat perbedaan pengukuran kinerja sektor

publik dan sektor bisnis. Pengukuran kinerja pada sektor bisnis (organisasi yang

berorientasi pada laba) lebih mudah dilakukan, jika dibandingkan dengan

organisasi sektor publik (organisasi yang tidak berorientasi pada laba).

Pada organisasi bisnis, kinerja penyelenggaraannya dapat dilakukan dengan

cara, misalnya tingkat laba yang berhasil diperolehnya. Pada organisasi sektor

publik, pengukurannya keberhasilannya lebih kompleks, karena hal-hal yang

dapat diukur lebih beraneka ragam, terkadang bersifat abstrak sehingga

pengukurannya tidak dapat dilakukan dengan hanya menggunakan satu variabel

saja.

Pengukuran kinerja bukanlah hasil akhir, melainkan merupakan alat agar

keberhasilan manajemen alat agar dihasilkan manajemen yang efisien dan terjadi

peningkatan kinerja. Hasil dari pengukuran kinerja akan memberi tahu kita apa

yang telah terjadi, bukan mengapa hal itu terjadi atau apa yang harus dilakukan.

Pengukuran kinerja (Mahsun, 2006: 35) menyediakan organisasi untuk menilai :

(22)

2. Membantu dalam mengenali area-area kekuatan dan kelemahan.

3. Menentukan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja.

4. Menunjukkan bagaimana kegiatan mendukung tujuan organisasi.

5. Membantu dan membuat keputusan-keputusan dengan langkah inisiatif.

6. Meningkatkan produk-produk dan jasa-jasa kepada pelanggan.

Dharma dalam bukunya Managemen Supervisi (2003: 355) mengatakan

hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.

a. Protes kerja dan kondisi pekerjaan

b. Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan

c. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan

d. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja

2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).

a. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan

b. Tingkat kemampuan dalam bekerja

c. Kemampuan menganalisis data atau informasi , kemampuan menggunakan

mesin atau peralatan.

d. Kemampuan mengevaluasi.

3. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.

Aspek-aspek standar kinerja menurut Mangkunegara (2009: 18) terdiri

aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:

1. Proses kerja dan kondisi pekerjaan.

(23)

3. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan.

4. Jumlah dan jenis dalam pemberian pekerjaan.

Aspek kualitatif meliputi:

1. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan.

2. Tingkat kemampuan dalam bekerja

3. Kemampuan menganalisis data atau informasi dan kemampuan menggunakan

mesin atau peralatan.

4. Kemampuan mengevaluasi.

2.2.4 Tujuan Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja

organisasi melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik,

tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan oleh Sunyoto dalam

(Mangkunegara, 2006: 240) adalah :

1. Meningkatkan saling pengertian antar pegawai tentang persyaratan kinerja.

Dalam melakukan penilaian atas kinerja para pegawai harus terdapat interaksi

yang positif dan kontinu antara pemimpin dengan pegawai. Penilaian yang

dilakukan pada serangkaian tolak ukur tertentu realistik, berkaitan langsung

dengan tugas seorang pegawai serta kriteria yang ditetapkan dan yang

diterapkan secara objektif sehingga pada gilirannya memuaskan bagi pegawai

karena memperoleh perlakuan yang adil.

2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai.

Hal ini dilakukan agar pegawai termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau

(24)

dapat dijadikan sebagai ukuran sejauh mana pegawai itu dapat menyelesaikan

atau menjalankan pekerjaan.

3. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan

aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap

pekerjaan yang diembannya sekarang. Dengan melakukan penilaian kinerja

maka akan membantu organisasi dalam memberikan kesempatan bagi setiap

pegawai dalam memaksimalkan potensinya. Memberikan bahan pertimbangan

dalam merancang program pelatihan untuk mengatasi permasalahan yang akan

muncul atau dalam rangka pengembangan pegawai yang dinilai memiliki

potensi tetapi belum dikembangkan secara efektif.

4. Mendefenisikan dan merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga

pegawai termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.

Mengupayakan agar pegawai tidak cepat puas dengan apa yang telah mereka

capai, artinya meskipun kinerjanya dimasa lalu dianggap sudah cukup

memuaskan, perlu ditanamkan kesadaran bahwa kinerja yang memuaskan itu

masih harus ditingkatkan. Apabila kinerja telah memuaskan maka pegawai

akan termotivasi untuk berprestasi kedepannya.

5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai kebutuhan

pelatihan, khusus secara diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika ada

hal-hal yang perlu diubah. Dari analisa kinerja yang telah diperoleh maka akan

membantu evaluasi kebutuhan pelatihan diri bagi para pegawai melalui

berbagai audit keterampilan dan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan

kemampuan dirinya yang pada akhirnya dapat menghasilkan potensi pegawai

(25)

Penilaian ini berperan bagi pegawai sebagai umpan balik tentang berbagai

hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan, dan potensinya yang pada

gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana, dan

pengembangan karirnya.

Tujuan penilaian kinerja akan tercapai dengan baik jika pegawai

memahami dan menerima dengan baik tujuan yang ingin dicapai serta mereka

mempunyai kemampuan melakukan tugas untuk mencapai tujuan tersebut.

Seorang pegawai haruslah dapat memahami dan menerima tujuan organisasi,

dengan pemahaman tersebut dia akan mengarahkan tenaga dan pikirannya

sehingga tujuan yang ditetapkan organisasi dapat dicapai. Selain pemahaman dan

penerimaan akan tujuan, tentu saja kemampuan pegawai melaksanakan tugasnya

haruslah ditingkatkan (Sinambela, 2006: 141).

2.2.5 Sistem Penilaian Kinerja

Dalam melaksanakan pengukuran atau penilaian terhadap pelaksanaan

kerja atau prestasi kerja dibutuhkan suatu sistem penilaian terhadap pelaksanaan

kerja atau prestasi kerja dibutuhkan suatu sistem penilaian yang memenuhi

syarat-syarat tertentu. Menurut Wayne F.Cascio dan M.Awad dalam (Soeprihanto, 2000,

9) menyebutkan syarat-syarat dari penilaian kinerja pegawai adalah :

1. Relevance, berarti bahwa suatu sistem penilaian digunakan untuk mengukur hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya. Hubungan yang ada

kesesuaian antara hasil pekerjaan dan tujuan yang telah ditetapkan lebih

(26)

2. Acceptability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat diterima dalam hubungannya dengan kesuksesan dari pelaksanaan pekerjaan dalam suatu

organisasi.

3. Reliability, berarti hasil dari sistem penilaian tersebut dapat dipercaya (konsisten dan stabil), reliabilitas sistem penilaian dipengaruhi oleh waktu dan

frekuensi penilaian. Dalam hubungannya dengan sistem penilaian, tingkat

reliabilitas yang tinggi apabila dua penilai atau lebih terhadap pegawai yang

sama memperoleh hasil nilai yang tingkatnya relatif sama.

4. Sensitivity, berarti sistem penilaian tersebut cukup peka dalam membedakan atau menunjukkan kegiatan yang berhasil/sukses, cukup ataupun gagal/jelek

telah dilakukan oleh seorang pegawai.

5. Practicality, berarti bahwa sistem penilaian dapat mendukung secara langsung tercapainya tujuan organisasi perusahaan melalui peningkatan produktivitas

para karyawan.

Berdasarkan persyaratan tersebut dilakukan penilaian kinerja pegawai.

Setelah itu ditentukan kriteria keberhasilan yang meliputi : kuantitas, kualitas, dan

waktu yang digunakan.

Robert Becal dalam (Tika, 2006: 124) menerangkan ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan untuk meningkatkan kinerja pegawai sebagai berikut :

1. Membuat pola pikir yang modern

Pimpinan harus menggunakan pola pikir modern dengan cara memberikan

panutan dan mengoptimalkan komunikasi dua arah dengan pegawai. Selain

itu, pimpinan harus mampu menemukan dan memanfaatkan pengetahuan,

(27)

2. Kelola kinerja

Penilaian kinerja pegawai merupakan bagian kecil dari manajemen kerja. Hal

yang terpenting adalah merencanakan kinerja dan mengomunikasikannya

berdasarkan pengamatan dan pengumpulan data yang dimiliki termasuk

rintangan-rintangan atau hambatan yang telah dan akan dihadapi.

3. Berfokus pada komunikasi

Komunikasi merupakan bagian paling penting untuk membangun relasi dan

menumbuhkan motivasi antar pimpinan dengan pegawai, sehingga terbina

suatu kerja sama yang harmonis.

4. Peninjauan kinerja

Peninjauan kinerja harus dipersiapkan secara detail dari sistem manajemen

kinerja seperti deskripsi pekerjaan, tanggungjawab, rencana kinerja yang

terlaksana berdasarkan dokumentasi yang ada dan terkait satu sama lain

sehingga hasilnya dapat membangkitkan motivasi dan semangat kerja

karyawan.

5. Kinerja dokumentasi

Dokumentasi setiap informasi tentang kinerja pegawai baik itu mengenai

kinerja, catatan-catatan permasalahan kinerja maupun tindakan indisipliner

yang dapat digunakan untuk bahan kajian dan perbaikan pegawai maupun

pimpinan.

2.2.6 Manfaat Penilaian Kinerja

Pengalaman dari banyak organisasi pemerintahan maupun swasta

menunjukkan sistem penilaian kinerja yang baik sangat bermanfaat untuk

(28)

1. Mendorong peningkatan kinerja yang terlibat dapat mengambil berbagai

langkah yang diperlukan agar kinerja para pegawai lebih meningkat lagi

dimasa-masa yang akan datang.

2. Sebagai bahan pengambilan keputusan dalam pemberian imbalan.

Keputusan tentang siapa yang berhak menerima imbalan berdasarkan penilaian

atas kinerja pegawai.

3. Untuk kepentingan mutasi

Kinerja seseorang dimasa lalu merupakan dasar bagi pengambilan keputusan

mutasi baginya dimasa yang akan datang, apapun bentuk mutasi tersebut

seperti promosi, alih tugas, alih wilayah, ataupun demosi.

2.3 Defenisi Konsep

Suatu konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan

dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis.

Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa

yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk

merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan

menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah

pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112).

Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian adalah :

a. Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua faktor atau lebih yang

(29)

b. Motivasi adalah daya dorong yang ada pada pegawai baik dorongan internal

yaitu kepuasan (hierarki kebutuhan Maslow) maupun dorongan eksternal yaitu

proses (penguatan dan modifikasi perilaku) yang menyebabkan seseorang

melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.

c. Kinerja pegawai adalah tingkat pencapaian hasil kerja pegawai yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam kurun waktu tertentu yang diketahui

melalui evaluasi prestasi kerja pegawai.

2.4 Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan defenisi yang menyatakan seperangkat

petunjuk atau kriteria atau operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati

dan bagaimana mengamati dengan memiliki rujukan-rujukan empiris (Silalahi,

2009: 120).

Adapun defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :

Variabel bebas (x1) yaitu motivasi kepuasan (hierarki kebutuhan Maslow) yang

diukur dengan indikator berupa :

1. Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal

a. Kebutuhan sandang terpenuhi.

b. Kebutuhan pangan terpenuhi.

c. Kebutuhan papan terpenuhi.

2. Kebutuhan akan keamanan

a. Situasi dan kondisi yang kondusif di tempat kerja.

(30)

3. Kebutuhan-kebutuhan sosial

a. Memiliki rekan kerja yang baik

b. Dapat bekerja sama dengan rekan kerja

c. Keberadaan seorang pegawai diterima oleh rekan-rekannya

d. Ingin berbagi dan menerima sikap berkawan dengan rekan kerja

4. Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan

a. Penghargaan/apresiasi terhadap prestasi kerja

b. Mendapat pengakuan dari rekan kerja atas hasil kerja

5. Kebutuhan untuk merealisasikan diri (aktualisasi)

Memiliki kesempatan memperoleh pendidikan baik di dalam maupun di luar

organisasi.

Variabel bebas (x2) yaitu motivasi proses (penguatan dan modifikasi perilaku)

yang diukur dengan indikator berupa :

1. Tingkah laku pegawai diperhatikan oleh atasan.

2. Mengetahui batas-batas perilaku (peraturan) yang diperkenankan saat bekerja.

3. Mengetahui keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan.

4. Fasilitas kantor yang memadai

5. Mendapat pengakuan dari rekan kerja atas hasil kerja

6. Tingkah laku positif mendapat pujian dari atasan atau rekan kerja.

7. Tingkah laku negatif mendapat teguran atau sanksi dari atasan.

8. Konsekuensi pofitif cenderung diulangi.

9. Konsekuensi negatif tidak diulangi dan diperbaiki.

10. Kenaikan pangkat memberi motivasi.

(31)

12. Memiliki kesempatan memperoleh pendidikan baik di dalam maupun di luar

organisasi.

Variabel terikat (y) yaitu kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diukur dengan

indikator berupa :

1. Kuantitas,yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.

2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).

Referensi

Dokumen terkait