• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU Desa dan Promosi Pembangunan Desa yan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UU Desa dan Promosi Pembangunan Desa yan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

Perpektif Inklusi Sosial dalam UU 6/2014: Kebijakan dan Tantangan

Implementasinya1 Oleh:

Rikardo Simarmata2 R. Yando Zakaria3

1. Pengantar

Sejauh ini cara untuk mendefinisikan inklusi sosial (social inclusion) adalah dengan

mengacu pada definisi eksklusi sosial (social exclusion). Definisi inklusi sosial adalah

kebalikan dari definisi eksklusi sosial. Nabin Rawal, dengan mengutip P. Francis,

mendefiniskan eksklusi sosial sebagai suatu proses yang membuat individu atau

kelompok tertentu tidak dapat berpartisipasi sebagian atau sepenuhnya, dalam

kehidupan sosial mereka.4 Dengan membalikkan definisi tersebut, maka inklusi sosial dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan individu atau kelompok

tertentu untuk dapat berpartisipasi sebagian atau seluruhnya dalam kehidupan sosial

mereka. Alasan mengapa inklusi sosial didefinisikan dengan cara seperti itu tidak

lepas dari kaitannya dengan eksklusi sosial. Keduanya dilihat sebagai dua sisi dari

satu mata uang.5 Eksklusi sosial adalah counterpart bagi inklusi sosial, dan sebaliknya.6 Dari segi gradasi, Gidley, at al. (2010) membuat gradasi inklusi sosial ke dalam akses, partisipasi dan pemberdayaan.7

Sementara itu, menurut pengertian formal, kelompok-kelompok yang mengalami

eksklusi dalam pembangunan maupun kehidupan sosial diberi nama sebagai

kelompok rentan. Dokumen peraturan dan kebijakan menentukan cakupan kelompok

1

Tulisan ini dimungkinkan oleh keterlibatan kedua penulis sebagai short time consultant pada KOMPAK, Juni – Agustus 2015. Isi sepenuhnya menjadi tanggung-jawab kedua penulis.

2 Staf Pengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menamatkan program

pendidikan S3 dan memperoleh gelar Doctor (Dr.) pada Fakultas Hukum Universitas Leiden, Negeri Belanda.

3

Praktisi antropologi. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM; dan Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta. Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU Desa DPR RI.

4

Nabin Rawal, 2008. “Social Inclusion and Exclusion: A Review”, dalam Dhaulagiri Journal of Sociology and Anthropology, Volume 2, hal. 161-180.

5 Nabin Rawal, 2008: 171.

6 Gidley, J, Hampson, G, Wheeler, L and Bereded-Samuel, E, 2010. “Social inclusion: context, theory

and practice”, dalam The Australasian Journal of University-Community Engagement, vol. 5, no. 1, pp. 6-36.

(2)

2

rentan yaitu perempuan, miskin fakir miskin, manula, korban bencana alam dan

sosial, serta penyandang disabilitas.8 Dalam bentuk yang terbatas, masyarakat adat juga dimasukan ke dalam cakupan tersebut.9 Kelompok yang punya asosiasi dengan kelompok rentan adalah kelompok marginal. Kelompok marginal biasanya dikaitkan

dengan kemiskinan sekalipun tidak selalui demikian. Kelompok marginal bisa

mencakup perempuan, penduduk miskin dan kelompok minoritas agama. Baik

kelompok rentan maupun kelompok marginal diartikan sebagai kelompok yang tidak

memiliki akses terhadap sumberdaya, informasi dan kepercayaan diri.10

Dalam pada itu, pada bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa, selanjutnya disebut UU 6/2014, antara lain disebutkan bahwa

“…pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan

masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta

kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan

antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dengan demikian, UU No. 6/2014

dapat dikatakan menggunakan perspektif inklusi sosial.

Ada tiga bentuk inklusi sosial dalam UU Desa. Pembagian ke dalam 3 bentuk tersebut

didasarkan pada sasaran kelompok marginal. Bentuk pertama berupa pengakuan atas

masyarakat hukum adat untuk menyelenggarakan pemerintahan yang didasarkan pada

hak asal-usul dan susunan asli (subsidiaritas). Pengakuan tersebut memberi

kesempatan pada masyarakat hukum adat untuk berpartisipasi dalam pembangunan

dan penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Bentuk kedua inklusi sosial dalam

UU Desa berupa pemberian kesempatan kepada kelompok miskin dan perempuan

untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan penyelenggaraan desa, serta

pembangunan desa. Adapun bentuk ketiga inklusi sosial dialamatkan kepada semua

8 Lihat dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 17/2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025; UU No. 25/2009 dan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial,2014, ‘Isu-isu strategis penyelenggaraan kesejahteraan sosial 2015 (diunduh dari mail.kemsos.go.id/.../Paparan%20Setjen%20Rakor%2...). Selain ketiga kelompok tersebut, anak dan manula juga dimasukan kedalam cakupan penduduk rentan.

9 Lihat misalnya dalam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional. 2013. “Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif” (diunduh dari

http://www.bappenas.go.id/files/6914/2865/6850/Masyarakat_Adat_di_Indonesia-Menuju_Perlindungan_Sosial_yang_Inklusif.pdf).

(3)

3

warga desa, termasuk kelompok marginal, untuk berpartisipasi dalam penataan desa,

perencanaan desa, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.11

Dalam tulisan ini kami coba memberikan perhatian kepada 3 (tiga) hal berikut:

pertama, karakter kerangka hukum terkait masalah inklusi/eksklusi sosial yang

terkandung dalam UU 4/2016 dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait

dan/atau yang relevan lainnya; kedua, memetakan bentuk-bentuk kegiatan yang

berkaitan dengan promosi program inklusi sosial yang dilakukan oleh para-pihak yang

telah berkembang selama 1 – 2 tahun terakhir ini; dan ketiga, memberikan analisis

peluang keterlaksanaan kerangka hukum yang terkait dengan upaya-upaya inklusi

sosial, berikut pemetaan tentang kondisi-kondisi pemungkin dan penghalangnya.

2. Kerangka Hukum dan Kebijakan Inklusi Sosial dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan dan Pembangunan Desa

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa UU Desa memiliki 3 bentuk inklusi sosial

berdasarkan kelompok sasaran. Tulisan ini hanya akan lebih menekankan pemaparan

terkait bentuk kedua dan ketiga.12 UU Desa menentukan bahwa inklusi sosial berlangsung di sejumlah arena yang meliputi: penataan desa, penyelenggaraan

pemerintahan desa, pembangunan desa dan pembuatan peraturan. Dalam keempat

arena tersebut inklusi sosial tampak dalam dua wujud, yaitu, pertama, hak kelompok marginal. Hak tersebut meliputi: (i) hak untuk berpartisipasi; (ii) hak mendapatkan

layanan dan informasi; dan (iii) hak untuk mengawasi. Kedua, kewajiban pemerintahan desa. Kewajiban tersebut mencakup: (i) keharusan menyelenggarakan

pemerintah dengan prinsip-prinsip tertentu (demokratis, non-diskriminatif); dan (ii)

keharusan berkoordinasi dan melibatkan semua kelompok kepentingan dalam desa.

Pada arena penataan desa inklusi sosial terlihat dalam bentuk keharusan penetapan

dan perubahan status desa dilakukan atas prakarsa atau kehendak masyarakat.13 Pada

11 Perlu disampikan di sini bahwa saat proses legislasi UU Desa ada usulan dari dua kelompok

masyarakat sipil yang peduli dengan masalah kelompok disabilitas dn/atau difabel dan kelompok pemerhati masalah kebecanaan. Kedua jaringan kerja masyarakat sipil ini

menginginkan agar dalam UU Desa ‘kelompok disabilitas dan/atau difabel’ dan ‘kelompok rawan bencana’ disebutkan secara implisit. Namun usulan dimaksud tidak berhasil diterima. Para legislator, meski telah dijelaskan oleh para tenaga ahli bahwa penyebutan secara eksplisit itu penting, tetap beranggapan hal itu sudah cukup tertampung dalam sebutan ‘kelompok marginal’.

12 Ulasan kerangka hukum dan hambatan penerapan kebijakan terkait desa adat ini tidak akan

dilakukan dalam tulisan ini karena telah tercakup dalam uraian tulisan lain yang ada dalam edisi ini.

(4)

4

arena ini inklusi sosial ditujukan pada semua warga desa termasuk kelompok

marginal. Wujud inklusi sosial berupa hak warga desa untuk berpartisipasi (penetapan

dan perubahan status desa). Pada arena penyelenggaraan pemerintahan desa, inklusi

sosial nampak baik dalam wujud kewajiban pemerintahan desa maupun hak

masyarakat. Pada wujud yang pertama inklusi meliputi: (i) penyelenggara

pemerintahan desa (kepala desa, perangkat desa, anggota BPD) diwajibkan

menjalankan pemerintahan desa dengan prinsip-prinsip tertentu seperti demokratis,

partisipatif, berkeadilan gender dan non-diskriminatif; (ii) pemerintahan desa

diwajibkan menjalin koordinasi dan kerjasama dengan semua kelompok kepentingan

di desa; dan (iii) pemerintahan desa diharuskan menyertakan kelompok perempuan

dan masyarakat miskin dalam musyawarah desa. Adapun wujud berupa hak

masyarakat meliputi: (i) hak warga desa untuk mengawasi kegiatan pemerintahan

desa, berpartisipasi dalam pemilihan umum, memperoleh pelayanan yang sama dan

adil, dan hak kelompok perempuan untuk memiliki wakil di Badan Permusyawaratan

Desa.14

Inklusi sosial pada arena penyelenggaraan pemerintahan desa secara khusus menyebut

kelompok miskin dan perempuan dalam konteks musyawarah desa. Selain itu arena

itu juga menekankan inklusi sosial dari sisi kewajiban pemerintahan desa. Wujud

inklusi sosial dalam arena ini adalah kewajiban pemerintahan desa (bekerja dengan

prinsip-prinisip tertentu, berkoordinasi dan bekerjasama, menyertakan kelompok

marginal dalam musyawarah desa), dan hak kelompok marginal (mengawasi

pembangunan desa, memperoleh pelayanan).

Inklusi pada arena pembangunan desa tampak dalam: (i) keterlibatan warga desa

dalam perencanaan desa lewat masyawarah desa; (ii) ikut serta menanggapi laporan

pelaksaaan pembangunan desa; (iii) mendapatkan informasi terkait

perencanaan&pelaksanaan pembangunan desa; dan (iv) terlibat dalam pendirian BUM

Desa. Inklusi pada arena ini tidak dikhususkan pada kelompok marginal tertentu

melainkan kepada semua kelompok marginal.15 Wujud inklusi sosial hanya muncul

dalam bentuk hak kelompok marginal baik untuk berpartisipasi (musdes perencanaan

desa, tanggapan atas laporan pelaksanaan pembangunan desa, pembentukan BUM

14

Pasal 24 huruf d, j dan k, Pasal 26 Ayat (4), Pasal 29, Pasal 51,Pasal 54, Pasal 58, Pasal 63, dan Pasal 64 ayat 1 huruf d, Pasal 68 Ayat (1), dan Pasal 58 Ayat (1).

(5)

5

Desa) maupun mendapatkan informasi terkait perencanaan & pelaksanaan

pembangunan.

Adapun pada arena pembuatan peraturan inklusi sosial terlihat pada hak warga desa

untuk berpartisipasi dalam pembuatan rancangan peraturan desa.16 Sasaran inklusi

sosial pada arena ini adalah seluruh kelompok marginal.

3. Kualitas dan keterlaksanaan kebijakan inklusi sosial dalam UU 6/2016

Untuk memeriksa kualitas kandungan inklusi sosial dalam UU Desa, akan dilakukan

perbandingan dengan UU terkait, yaitu yang mengatur mengenai pelayanan publik

atau organisasi yang menyelenggarakan pelayanan publik, dan perencanaan

pembangunan. Undang-undang yang mengatur pelayanan publik atau organisasi

pelayanan publik adalah: UU Pemerintahan Daerah,17 UU Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,18 UU Pelayanan

Publik19, dan UU Aparatur Sipil Negara.20 Adapun UU yang terkait dengan

perencanaan pembangunan adalah UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.21

Wujud inklusi sosial dalam UU Pemerintahan Daerah terlihat baik dalam bentuk

kewajiban pemerintah maupun hak masyarakat. Wujud berupa kewajiban pemerintah

nampak pada ketentuan yang mengatakan bahwa pelayanan dasar harus bisa diakses

oleh publik. Dalam kaitan dengan itu, pemerintah daerah dilarang untuk membuat

peraturan daerah (perda) yang muatannya menganggu pelayanan dasar. Akses juga

harus disediakan untuk informasi pelayanan publik. Adapun inklusi sosial dalam

wujud hak publik terdapat dalam ketentuan mengenai pertisipasi dalam semua tahap

pembangunan (perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring, evaluasi),

pengelolaan aset atau sumberdaya alam daerah, dan penyusunan

peraturan&kebijakan. Perlu diberi catatan bahwa untuk perencanaan pembangunan,

UU ini menentukan perlunya komunikasi khusus untuk memastikan kepentingan

16Pasal 69 Ayat (9) dan Ayat (10). 17 No. 23/2014.

18 No. 28/1999. 19

No. 25/2009.

(6)

6

kelompok marginal terakomodasi.22 Bentuk partisipasi mulai dari memberikan

masukan sampai ikut memutuskan.

Inklusi sosial dalam UU Pemerintahan Daerah ditujukan pada semua kelompok

marjinal namun dalam situasi tertentu dikhususkan pada perempuan. Inklusi pada

kelompok perempuan terlihat pada penetapan pemberdayaan sebagai salah satu

urusan (wajib) pemerintahan.23

Dalam UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, wujud inklusi

sosial terlihat dalam rupa kewajiban pemerintah dan hak masyarkat. UU ini

mengharuskan pemerintah atau penyelenggara negara terbuka dan tidak boleh

diskriminatif dengan cara membedakan suku, agama, ras dan golongan. Adapun hak

masyarakat berupa berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, dan mendapatkan

pelayanan dasar dan perlindungan hukum yang sama.

Dalam UU Pelayanan publik, inklusi sosial juga terlihat dalam dua wujud yaitu

kewajiban pemerintah dan hak masyarakat. Inklusi sosial ada dalam kewajiban

pemerintah karena UU ini memerintahkan pemerintah untuk menyelenggarakan

pelayanan publik yang adil dan tidak diskriminatif. Kewajiban lain pemerintah adalah

memberikan perlakuan (fasilitas) khusus kepada masyarakat rentan dalam rangka

menciptakan keadilan.24 Ditekankan bahwa pelayanan khusus tersebut tidak boleh

menciptakan biaya tambahan. UU Pelayanan Publik memaksudkan inklusi sosial

ditujukan kepada kelompok rentan yang mencakup penyandang cacat, lanjut usia,

wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam dan sosial.

Inklusi sosial dalam UU Aparatur Sipil Negara hanya terlihat dalam wujud kewajiban

pemerintah yaitu melarang aparatur sipil negara diskriminatif dalam artian

membedakan berdasarkan gender, suku, agama, ras dan golongan.25 Hal serupa juga

pada UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang hanya memiliki wujud

inklusi sosial pada hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan dokumen

perencanaan pembangunan (Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Kerja

22 Penjelasan Pasal 262 Ayat (1). 23Pasal 12 Ayat (2b).

24

Pasal 4 huruf j dan Penjelasannya, Penjelasan Pasal 21 huruf g, dan Pasal 29 Ayat (1) dan Penjelasannya.

(7)

7

Satuan Kerja Pemerintahan Daerah.26 Baik UU Aparatur Sipil Negara dan UU Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional memaksudkan inklusi sosial untuk semua

kelompok marginal tanpa memberikan penekanan pada kelompok tertentu.

Berdasarkan uraian mengenai perbandingan kandungan kualitas inklusi sosial dalam

UU Desa dengan 5 UU terkait lainnya, sebagaimana dipaparkan di atas, ada beberapa

catatan yang perlu dikemukakan. Catatan pertama bahwa, sama seperti 5 UU terkait,

UU Desa meneruskan tradisi inklusif dalam sistem legislasi nasional. Bila yang

menjadi ukuran adalah partisipasiwarga maka hampir semua UU memiliki ketentuan

mengenai hal tersebut. Berbagai UU di bidang pengelolaan sumberdaya alam

mewajibkan pemerintah untuk menyertakan masyarakat dalam pengurusan hutan27,

penyusunan perencanaan perkebunan (nasional dan daerah), 28 pengelolaan

perikanan,29 pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, 30 dan dalam

penyelenggaraan penataan ruang.31

Catatan kedua, jika berbicara mengenai partisipasi, yang merupakan tingkatan kedua

inklusi sosial, maka UU Desa relatif lebih maju dibandingkan dengan UU terkait

lainnya. Bila empat dari lima UU terkait lainnya menentukan partisipasi hanya dalam

bentuk memberikan masukan maka UU Desa sudah sampai pada bentuk mengambil

keputusan. Partisipasi dalam bentuk tersebut ada pada ketentuan yang mewajibkan

adanya wakil unsur perempuan dan masyarakat miskin di dalam musyawarah desa,

serta wakil perempuan dalam keanggotaan BPD. Dalam soal ini hanya UU

Pemerintahan Daerah yang sama dengan UU Desa yang menentukan bahwa

masyarakat ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan aset

dan/atau sumber daya alam daerah. Jika dikaitkan dengan tingkatan tertinggi inklusi

sosial, yaitu pemberdayaan, UU Desa bahkan terlihat sangat maju dibandingkan

dengan UU terkait lainnya. UU Desa memiliki ketentuan mengenai pemberdayaan

baik sebagai tugas pemerintahan desa maupun hak masyarakat desa. Sekali lagi,

dalam hal ini UU Desa hanya bisa disamai oleh UU Pemerintahan Daerah, UU

26 Pasal 2 Ayat(4) huruf d, Pasal 5 Ayat (3), Pasal 6 Ayat (2), dan Pasal 7 Ayat(2). 27

Pasal 68 s/d Pasal 70 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

28 Pasal 8 dan Penjelasannya UU No. 18/2004 tentang Perkebunan. 29 Pasal 6 Ayat (2) dan Penjelasan Umum.

30 Pasal 60&Pasal 61 UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

(8)

8

Kehutanan,32 UU Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 33 dan UU

Perikanan.34

Catatan ketiga yang bisa disampaikan bahwa cara UU Desa untuk inklusif tidak

hanya dengan memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada semua warga

negara, termasuk kelompok marginal. Untuk memastikan bahwa kelompok marginal

mendapatkan hak dan kesempatan yang sama tersebut, sesekali UU Desa memberikan

‘perlakuan khusus’. Perlakuan khusus tersebut tampak dalam ketentuan yang

mensyaratkan keberadaan unsur atau perwakilan kelompok marginal dalam forum

atau lembaga tertentu. Namun dalam hal ini UU Desa masih belum semaju UU

Pelayanan Publik yang menentukan perlakuan khusus tersebut secara eksplisit.

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa UU ini mengharuskan penyelenggara

pelayanan publik untuk memberikan perlakuan khusus kepada kelompok masyarakat

rentan tanpa adanya biaya tambahan.

Jadi, bila dibandingkan dengan kelima UU terkait dan beberapa UU di bidang

pengelolaan sumberdaya alam, kandungan inklusi sosial dalam UU Desa relatif lebih

punya kualitas karena: (i) menaikan tingkat partisipasi ke ikut serta mengambil

keputusan; (ii) mendorong inklusi sosial ke tingkatan pemberdayaan, dan (iii)

memastikan kelompok marginal mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan

memberikan perlakuan khusus. Namun, dalam hal-hal tertentu, kandungan inklusi

sosial dalam UU Desa masih di bawah kandungan UU lain karena UU lain sudah

lebih eksplisit dalam melindungi kelompok marginal. Berhubung UU Desa belum

eksplisit dalam soal tersebut maka perlu untuk memeriksa seberapa jauh peraturan

pelaksannya sudah mengaturnya lebih eksplisit.

Dalam laporan ini peraturan pelaksana UU Desa yang dianalisa terdiri dari 1 PP dan 4

Permen.35 Hampir serupa dengan UU Desa, kelima peraturan pelaksana tersebut

memiliki ketentuan-ketentuan mengenai inklusi sosial yang terdapat pada arena

32

Pasal 67 Ayat (1) huruf c.

33 Pasal 63.

34 Pasal 60 s/d Pasal 64. 35

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP No. 43/2014 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sedangkan peraturan menteri meliputi: (i) Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa; (ii) Permendagri No. 114/2014 tentang Pedoman

(9)

9

penetapan desa, pemerintahan desa, musyawarah desa, peraturan desa, pembangunan

desa, lembaga kemasyarakatan desa, BUM Desa dan kerjasama desa. Kemiripan juga

nampak dari segi bentuk dan wujud. Bentuk berupa hak masyarakat dengan wujud

partisipasi, masih merupakan ketentuan yang paling sarat dengan kandungan inklusi

sosial. Partisipasi misalnya disebutkan dalam ketentuan mengenai penataan desa

(pembentukan, pemekaran dan perubahan), penyelenggaraan pemerintahan desa,

pembangunan desa, peraturan desa, musyawarah desa, BUM Desa, kerjasama desa

dan LKD.

Dengan ketentuan-ketentuan seperti itu maka dapat dikatakan bahwa kelima peraturan

pelaksana tersebut telah menegaskan ketentuan-ketentuan dalam UU Desa dengan

mengaturnya lebih lanjut. Kendati demikian, dalam konteks inklusi sosial, kelima

peraturan pelaksana tersebut membuat kemajuan karena, pertama, memperluas

kelompok marginal yang penyebutannya eksplisit; kedua, menegaskan perlindungan

atau perlakuan khusus, dan ketiga, menegaskan dan memperluas keterlibatan

kelompok marginal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.

Kemajuan pertama terdapat pada PP No. 43/2014 dan Peraturan Menteri Desa dan

PDT No. 2/2015. Kedua peraturan pelaksana tersebut menambah daftar kelompok

marginal yaitu kelompok pemerhati dan perlindungan anak, sebagai unsur yang

harus terwakili dalam musyawarah desa.36 Daftar tersebut bahkan terbuka untuk

bertambah karena kedua peraturan tersebut memberi peluang kelompok lain dengan

mempertimbangkan kondisi sosial budaya.37 Adapun kemajuan kedua bisa dilihat

pada PP No. 43/2014 (Pasal 72 ayat 1) yang memberikan jaminan adanya perwakilan

perempuan dalam keanggotaan BPD. Sebelumnya, UU Desa belum sampai

memberikan jaminan, baru sebatas untuk diperhatikan.

Kemajuan ketiga terbilang yang paling ekstensif. Kemajuan ini paling banyak

ditemukan pada Permendagri No. 114/2014 dan Peraturan Menteri Desa dan PDT No.

2/2015. Contoh yang pertama dari kemajuan ini adalah menyebutkan keterlibatan

kelompok marginal (perempuan) ke dalam proses pemerintahan dan pembangunan,

yang sebelumnya tidak disebutkan di dalam UU Desa maupun PP No. 43/2014.

36

Pasal 80 Ayat (3) huruf i PP No. 43/2014, dan Pasal 5 Ayat (3) huruf i Peraturan Menteri Desa dan PDT No. 2/2015.

(10)

10

Misalnya: (i) Permendagri No. 114/2014 menentukan bahwa perempuan harus terlibat

sebagai tim penyusun RPJM Desa dan Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), serta

masuk dalam tim penyelenggara kegiatan-kegiatan RKP Desa; 38 (ii) keterlibatan

kelompok marginal sebagai panitia penyelenggaran musyawarah desa. Peraturan

Menteri Desa dan PDT No. 2/2015 membuka peluang tersebut dengan mengatakan

bahwa susunan kepanitian musyawarah desa disesuaikan dengan kondisi sosial

budaya masyarakat39; dan (iii) keikutsertaan perempuan dalam delegasi desa untuk

membahas kerjasama antar desa, kerjasama dengan pihak ketiga dan membahas

rencana investasi dengan pihak swasta/investor.40

Contoh kedua dari kemajuan ketiga adalah pertimbangan untuk memperhatikan

kelompok marginal dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Hal ini misalnya

berkaitan dengan musyawarah desa yang menurut Peraturan Menteri Desa dan PDT

No. 2/2015 harus diselenggarakan di tempat yang disesuaikan dengan kondisi

obyektif desa dan kondisi sosial budaya masyarakat.41

Di samping ketiga bentuk kemajuan di atas, kemajuan juga terlihat tatkala inklusi

sosial dimasukan ke dalam agenda pembangunan. Misalnya Peraturan Menteri Desa

dan PDT No. 2/2015, memasukan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

ke dalam ruang lingkup dan bidang kerjasama antar desa.42

4. Peta pandangan dan dinamika insiatif promosi perspektif dan program

inklusi sosial

Sejumlah organisasi dan proyek mempromosikan penggunaan perspektif inklusi sosial

dalam penyelenggaraan pemerintahan atau pembangunan. Promosi tersebut telah

dilakukan bahkan sebelum UU Desa diberlakukan. Kehadiran UU Desa dipandang

sebagai momentum yang bagus untuk menyuarakan kembali signifikansi perspektif

inklusi sosial dalam pembangunan. UU Desa dipandang sebagai momentum yang

tepat karena substansi yang diaturnya menyangkut kepentingan banyak kalangan. UU

Desa dilihat sebagai pintu masuk yang bagus untuk mempromosikan inklusi sosial

38 Pasal 8 Ayat (4), Pasal 33 Ayat (4), dan Pasal 40 Ayat (3). 39 Pasal 7 Ayat(3).

40 Pasal 73 Ayat (1) huruf e, Pasal 78 Ayat(1) huruf e dan Pasal 84 Ayat(1) huruf e Peraturan Menteri Desa dan PDT No. 2/2015.

41 Pasal 9 Ayat (3).

(11)

11

karena berbagai hal-hal konkrit bisa dilakukan. Momentum tersebut juga berpangkal

dari ‘membesarnya kewenangan dan keuangan desa’, sehingga para promotor itu

melihat upaya-upaya promosi inklusi sosial menjadi semakin relevan didorong dari

tingkat desa karena tersedia sumber dana untuk menyelesaikan masalah-masalah yang

dihadapi oleh kelompok marjinal itu.

Peta organisasi dan proyek yang bekerja untuk promosi inklusi sosial mencakup (a)

pandangan atau pemikiran mengenai UU Desa; (b) program dan kegiatan beserta

perkembangannya; (c) pendekatan dan strategi yang digunakan; dan (d) capaiannya.

Meski begitu, organisasi dan proyek yang ditampilkan dalam peta ini hanya yang

bekerja untuk kelompok masyarakat adat, petani, perempuan, dan kelompok

minoritas lainnya seperti orang miskin dan penyandang disabilitas (diffable).

4.1. Pandangan mengenai UU Desa

Pandangan mengenai UU Desa dan peraturan pelaksananya berpusat pada seberapa

jauh kelompok marginal (masyarakat adat, perempuan, orang miskin, penyandang

disabilitas) dapat berpartisipasi dalam pembangunan desa. Berangkat dari fokus

seperti itu, organisasi dan proyek yang bekerja untuk isu gender umumnya

memandang UU Desa dan peraturan pelaksananya terbatas dalam melibatkan

kelompok marginal dalam pembangunan desa. Program Maju Perempuan untuk

Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU) misalnya, menilai UU Desa tidak memberi

ruang yang cukup bagi perempuan untuk terlibat dalam pemerintahan desa.

Pencermatan yang sama juga dikemukakan juga oleh Pusat Telaah dan Informasi

Regional (PATTIRO). Menurut organisasi yang berkonsentrasi di Pulau Jawa ini, UU

Desa memiliki paling tidak 3 kelompok ketentuan yang tidak secara terang

mengharuskan partisipasi, dan perlindungan terhadap perempuan. Partisipasi

menyangkut musyawarah desa (musdes), Musyawarah Rencana Pembangunan Desa

(Musrembangdes) dan Badan Permusyawaratan Desa, sementara perlindungan

menyangkut alokasi anggaran desa.43

Pandangan semacam itu tidak lantas membuat organisasi-organisasi tersebut

berkesimpulan bahwa tidak ada peluang dalam UU Desa dalam mempromosikan

43 Keterangan lengkap mengenai pandangan Pattiro di atas dapat dibaca pada

(12)

12

inklusi sosial. MAMPU melihat ketentuan mengenai asas sudah bagus dan harus

dirujuk sekaligus diaktualisasikan dalam peraturan pelaksananya.44 Peran penting

peraturan pelaksana juga dilihat oleh PATTIRO yang melihat bahwa peraturan daerah

diperlukan untuk mengeksplisitkan partisipasi dan perlindungan terhadap kelompok

perempuan.45

Peluang pada UU Desa juga dilihat oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)

dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). KPA melihat Badan Usaha Milik

Desa (BUM Desa) berpotensi menjadi unit usaha yang mengelola pemanfaatan

tanah hasil redistribusi secara kolektif. Dengan ukuran luas yang sangat kecil,

tanah-tanah hasil redistribusi kepada petani miskin akan lebih efisien dan produktif bila

dikelola secara kolektif. Peluang memanfaatkan BUM Desa juga dipikirkan oleh

MAMPU beserta beberapa mitranya yaitu dengan mendorongnya bekerja

menggunakan falsafah dan manajemen simpan pinjam yang selama ini dijalankan

oleh sejumlah kelompok perempuan.

Pada saat yang sama, AMAN juga melihat UU Desa menyediakan peluang bagi

pengakuan masyarakat adat. Bersama dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.

52/201446, AMAN melihat UU Desa menyediakan satu dari tiga model peluang

pengakuan masyarakat adat.47 Advokasi pengakuan masyarakat adat lewat UU Desa

sangat cocok digunakan bagi komunitas-komuntas adat yang institusi

pemerintahannya sudah melebur ke dalam desa administratif.

4.2. Beberapa contoh program dan kegiatan organisasi masyarakat sipil

44

Ketentuan mengenai asas terdapat dalam Pasal 3. Asas yang relevan dengan inklusi sosial adalah demokrasi, partisipasi dan kesetaraan.

45 Pemikiran bahwa peraturan daerah dapat digunakan untuk mengeksplisitkan pengaturan mengenai

partisipasi dan perlindingan perempuan, saat ini tengah dicoba diwujudkan oleh Intitute Mosintuwu bersama peserta Sekolah Perempuan yang dikelolanya saat ini di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Turut membantu inisiatif ini KARSA dan INFEST (Yogyakarta). Inisiatif ini sedang mengadvokasi Ranperda Perlindungan dan Perluasan Partisipasi Perempuan dalam Penyelengaraan Pemerintah dan Pembanguna Desa.

46

Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

47 Dua peluang lainnya adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Penjelasan mengenai ketiga model pengakuan tersebut didapatkan dalam presentasi berjudul, ‘Peluang dan Tantangan Pengakuan dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat melalui Desa Adat, dalam acara Lokakarya Nasional “Tantangan Masyarakat Adat dan

(13)

13

Berbagai organisasi dan proyek yang bekerja untuk isu sosial inklusi berusaha

merespon pemberlakuan UU Desa. Respon tersebut ada yang berbentuk reaktif

(jangka pendek) namun ada juga yang sudah dirancang sedemikian rupa (jangka

panjang). Respon yang bersifat reaktif seluruhnya berupa kegiatan

sosialisasi/diseminasi UU Desa. Dari segi pengelolaan, kegiatan sosialisasi/diseminasi

dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan sosialisasi/diseminasi sebagai

kegiatan selingan atau materi tambahan dalam sebuah pertemuan, dengan durasi

waktu selama satu sampai dua jam. Kedua, menyelenggarakan sosialisasi/diseminasi

sebagai kegiatan tersendiri dengan memakan waktu satu atau 2 hari.

Adapun respon yang bersifat terencana terjadi apabila organisasi dan proyek memiliki

program baru yang dilahirkan setelah pemberlakuan UU Desa. Sekedar menyebut

contoh adalah Hibah Inovasi MAMPU yang mendukung 2 LSM untuk menguatkan

partisipasi perempuan dalam perencanaan dan pembuatan aturan desa. Contoh lainnya

adalah kursus sehari mengenai UU Desa yang dilakukan oleh KARSA (Yogyakarta).

Kursus sehari tersebut tidak dipungut biaya. Selain dari bentuk atau cara merespon,

inisiatif organisasi dan proyek dalam rangka menjadikan UU Desa sebagai arena

mempromosikan perspektif inklusi sosial juga bisa dicermati dengan melihat program

dan kegiatan yang dikembangkan dan diselenggarakan. Secara garis besar program

dan kegiatan tersebut berkenaan dengan sosialisasi/diseminasi dan implementasi.

Program dan kegiatan implementasi terbilang kompleks karena mencakup berbagai

isu dan kegiatan. Implementasi dapat diurai lagi ke dalam isu dan kegiatan-kegiatan

(a) Mengawal penyusunan rancangan peraturan; (b) Mengawal pelaksanaan; (c)

Meningkatkan Partisipasi warga desa; dan (d) Pengembangan ekonomi desa.

Mengawal penyusunan rancangan peraturan mencakup kegiatan menyusun dan

menyiapkan masukan-masukan terhadap rancangan peraturan yang disiapkan oleh

pihak lain (pemerintah), dan terlibat dalam penyusunan rancangan peraturan.

Pandangan kritis dan masukan atas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang

Penyelenggaraan Desa, yang disusun oleh 50 perwakilan organisasi perempuan pada

Mei 2014 lalu, merupakan contoh dari menyusun masukan terhadap rancangan

peraturan yang disiapkan oleh lembaga lain.48 Di tingkat Kabupaten, Institute

48 Judul lengkap dokumen rumusan masukan tersebut adalah Pandangan Kritis dan Masukan dari

(14)

14

Mosintuwu berupaya menghasilkan rekomendasi bagi UU Desa dan aturan-aturan

pelaksanaannya melalui Kongres Perempuan Poso yang diseleggarakan pada 25 – 27

Maret 2014, yang melibatkan sekitar 1.000 perempuan dari 70 desa yang ada di

Kabupaten Poso. Dalam Rekomendasi Hasil Kongres yang berisikan 10 rekomendasi,

antara lain disebutkan “dalam Peraturan Pemerintah harus ditegaskan bahwa

Pemerintah Desa berkewajiban melibatkan perempuan dalam setiap lembaga-lembaga

pemerintahan desa minimal 50%”; “Pemerintah Desa berkewajiban menganggarkan

kegiatan pemberdayaannperempuan minimal 50% dalam APBDes dan 30% dalam

program pembanguna kabupaten”; “Pemerintah Kabupaten berkewajiban membuat

Peraturan Daerah tentang keterlibatan perempuan minimal 50% dalam perencanaan di

musyawarah desa dan dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa’.49

Adapun contoh untuk kegiatan terlibat dalam pembuatan rancangan peraturan adalah

kegiatan AMAN mendampingi 6 pemerintah daerah untuk menyusun rancangan

peraturan daerah kabupaten mengenai pengakuan keberadaan masyarakat adat.

Contoh lain adalah penyusunan raperda yang mengkomodir keterwakilan perempuan

dalam BPD oleh Satunama. Sedangkan mengawal pelaksanaan mencakup kegiatan

membuat panduan dan rumusan pemikiran yang dapat menjadi rujukan bagi berbagai

pihak untuk memastikan implementasi UU Desa mencapai atau tidak menyimpang

dari tujuan-tujuannya. Untuk kegiatan membuat panduan, PATTIRO sedang proses

menyusun anotasi UU Desa yang diharapkan menjadi rujukan bagi NGOs dan

pemerintah dalam melakukan advokasi dan penyusunan peraturan pelaksana agar

sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam UU Desa. Pada saat bersama

PATTIRO juga menyusun indikator-indikator untuk mengukur kemandirian suatu

desa terutama dalam soal menjalankan otonomi desa. Selain itu ada FPPD yang

membuat buku pintar yang diharapkan dapat membantu pemerintahan desa untuk

mengenali tugas-tugasnya seperti yang diatur dalam UU Desa.

Partisipasi sendiri pada intinya berupa program atau kegiatan yang mendorong

keterlibatan maksimal kelompok-kelompok marginal dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa. Arena yang paling umum dalam mendorong partisipasi ini adalah

keterlibatan dalam musyawarah dsa, musyawarah pembangunan desa, dan

penyusunan anggaran desa. Lewat Hibah Inovasi yang dikebambangkan MAMPU,

(15)

15

INFEST selama tahun 2015 memfasilitasi keterlibatan perempuan dalam perencanaan

di Kab Banjarnegara & Wonosobo (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), Poso

(Sulawesi Tengah) dan Takalar (Sulawesi Selatan). Untuk penganggaran 14 mitra

PNPM Peduli akan melakukannya di 12 kabupaten dan 10 provinsi. Arena lain untuk

mendorong partisipasi adalah penyusunan peraturan desa. Kegiatan untuk ini

misalnya dilakukan oleh Walang Perempuan yang akan mendorong keterlibatan

perempuan dalam penyusunan peraturan desa di 5 negeri di Ambon.

Selain dengan cara memanfaatkan berbagai siklus perencanaan pembanguna di

tingkat desa, partisipasi juga didorong lewat kelembagaan. Isu konkritnya adalah

sistem keanggotaan Badan Permusyawaryan Desa (BPD) yang berbasis golongan dan

bukan kewilayahan, serta cakupan lembaga Kelembagaan Masyarakat desa yang

mengakomodir organisasi atau forum yang dibentuk atas inisiatif masyarakat sendiri.

KPA dan PATTIRO mengusulkan agar pemerintah daerah membuat peraturan daerah

yang menentukan bahwa keanggotaan BPD tidak didasarkan pada kewilayahan

melainkan golongan. Sistem ini akan memberi peluang bagi perempuan dan petani

miskin memiliki wakil di BPD. Advokasi dengan isu yang sama dlakukan juga oleh

Gemawan di Kalimantan Barat. MAMPU maju dengan usulan konkrit agar wakil

perempuan di BPD sebesar 30%.

Sementara itu, implementasi dalam rangka pengembangan ekonomi desa berfokus

pada pengembangan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang

diharapkan bisa mendorong ekonomi yang berbasis kolektivitas. Sebagai bagian dari

program Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA), KPA sedang bekerja di Dusun

Kulonbambang, Desa Sumberurip, Kec. Doko, Kab Blitar, Jawa Timur, untuk

mengembangkan percontohan pengembangan BUM Desa sebagai unit ekonomi

pengelola tanah-tanah redistribusi. Selain itu, pengembangan BUM Desa juga

diharapkan tidak bersifat teknokratik melainkan berbasis pada model-model usaha

yang berkembang di tengah-tengah masyarakat desa. Lewat Forum Komunitas,

PEKKA mendorong agar koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh

kelompok-kelompok perempuan dijadikan rujukan untuk mengembangkan BUM Desa.

(16)

16

Jika dilihat dari apa yang telah dilakukannya sejauh ini, para promotor program

inklusi sosial yang tercakup dalam kajian ini masih setia dengan pendekatan

pemberdayaan. Berbagai kegiatannya dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompk

kegiatan utama. Masing-masing adalah kelompok kegiatan pengorganisasian;

advokasi; dan kelompok kegiatan yang dimaksukan untuk pengembangan ekonomi –

baik secara individu terlebih penting lagi adalah kelompok – yang terlibat dalam

agenda pemberdayaan masyarakat itu. Meski tidak berbanding lurus, kerangka kerja

‘tiga kaki’ (Juliantara, 2003) ini mirip dengan kerangka kerja untuk merancang

program-program inklusi sosial yang dikembangkan oleh Gidley, et.al. (2010), di

mana pengorganisasi dapat disejajarkan sebagai upaya memenuhi dan/atau

peningkatan partisipasi kelompok marjinal; advokasi sebagai upaya pengembangan

potensi manusia bagi terciptanya iklim kebijakan yang berpihak pada kelompok

marjinakl; dan pengembangan ekonomi sebagai proksi dari upaya peningkatan akses

kelompok marjinal pada berbagai sumber pelayanan dasar yang dibutuhkan.50

Jika demikian adanya, agenda bersama apa yang dapat dilakukan para pihak ke

depan? Untuk menjawab pertanyaan ini kami mengusulkan kerangka kerja kedua, jika

dapat dikatakan begitu, yakni untuk menggunakan kerangka kerja dalam jalur

pengembangan dan/atau peningkatan kapasitas. Merujuk pada kerangka

pengembangan kapasitas yang dikembangkan oleh GTZ - SfDM, Support for

Decentralization Measures (2005), berbagai kapasitas yang dibutuhkan mencakup(1)

kebijakan dan regulasi turunan lainnya (2) penataan ulang kelembagaan yang ada, (3)

pembaruan prosedur kerja dan mekanisme koordinasi, (4) peningkatan kinerja

sumberdaya manusia, (5) pengembangan ketrampilaan sesuai kualifikasi yang

dibutuhkan, serta (6) perubahan sistem nilai dan sikap untuk mengahdapi sistem yang

baru.51

50 Lihat Dadang Juliantara, 2003. Pembaruan Desa, Bertumpu pada yang Terbawah’. Yogyakarta:

LAPERA Pustaka Utama); dan Gidley, et.al. 2010. “Social Inclusion: Context, Theories, and Practice”. Dalam The Australian Journal of University-Community Engagemet, Vol. 5, No. 1, pp. 6 – 36.

(17)

17

tingkat sistem kelembagaan atau kebijakan;52 (2) pengembangan kapasitas pada

tingkat lembaga atau organisasi;53 dan (3) serangkaian upaya untuk pengembangan

kapasitas pada tingkat individu.54

Itulah tantangan-tantangan yang juga harus bisa dijawab. Selain itu,

pengalaman-pengalaman dari berbagai program masa lalu perlu juga untuk dipertimbangkan.

Seperti yang pernah dialami melalui program ACCESS, sejedar menyebut satu contoh

saja. Menurut kajian yang dilakukan oleh Decentralisastion Support Facility (2007),

ACCESS adalah satu dari sedikit contoh program inklusi sosial yang dapat dikatakan

berhasil. Kajian tersebut melihat keberhasilan sebuah proyek dari 4 aspek, yaitu (i)

strategi kelembagaan dan sistem akuntabilitas, (ii) Persyaratan dan strategi

implementasi proyek, (iii) sumberdaya manusia dan pengembangan kapasitas, dan (iv)

dampak dan keberlanjutannya. Hasilnya adalah bahwa hanya ACCESS, dari 5

program/proyek yang diamati yang mampu meraih nilai di ata nilai rata-rata, dan

hanya Kecamatan Development Project (Program Pengembangan Kecamatan) yang

mampu memperoleh nilai di atas rata-rata untuk beberapa hal yang dikaji. Tingginya

nilai yang mampu diraih ACCESS, yang mencerminkan perbedaan yang penting

dengan program/proyek lain, diperoleh karena cakupan area yang relative terbatas dan

masih dalam rentang control manajemen;bantuan per kabupaten yang relative besar;

52 Termasuk di dalamnya pengembangan kerangka hukum dan kebijakan baru atau

perubahan/harmonisasi hukum/kebijakan yang ada, sehingga memungkinkan berbagai pihak menjalankan perannya dan kebijakan terkait mencapai tujuannya.

53 Termasuk di dalamnya perluasan struktur manajemen, proses dan prosedur kerja. Tidak hanya dalam

organisasi tertentu, namun juga pengelolaan hubungan antara organisasi yang berbeda dan sektor (publik, swasta dan masyarakat)

54

(18)

18

pendanaan olh dua pihak (proyek dan pemerintah daerah setempat); dan pelibatan

berbagai organisasi masyarakat sipil yang memang sudah bekerja relative lama di

daerah-daerah yang bersangkutan.

Hubungan yang paling konsisten adalah adalah antara indikator prosedur pelaksanaan

proyek dan dampak. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur yang ditentukan dan sistem

monitoring memiliki pengaruh terbesar pada pencapaian dampak. Hubungan antara

staf dan pelatihan kurang konsisten. Hal ini menunjukkan bahwa staf dan pelatihan

sensitif jender kurang atau belum diterapkan, sehingga penerapan prosedur program

agar sensitive gender tidak/kurang berjalan. Pengalaman ACCESS jelas menunjukkan

bahwa jika strategi, prosedur, dan pengembangan kapasitas staf mendapat perhatian

yang serius, kemungkinan besar hasil yang positif dapat tercapai.55

Perlu pula diingat bahwa, dalam rangka meningkatan kinerja program-program yang

mempromosikan isu inklusi sosial ini, beberapa kajian, seperti AKATIGA, (2010);

Bappenas, (2010); dan Laksono, et.al., (2014),56 mencatat hal-hal berikut ini:

• Pemberdayaan masyarakat adalah proses transformasi dalam waktu yang tidak

singkat. Untuk itu perlu dirancang peta jalan untuk mencapainya.

• Memperkuat lembaga pengorganisasian masyarakat lokal, dengan perhatian

khusus pada kelompok marjinal, dengan memanfaatkan sistem

pengorganisasian lokal yang dikenal oleh masy. Yang bersangkutan.

• Bentuk kegiatan usaha dalam program pemberdayaan mengacu pada

livelihood yang ada. Jangan mengancurkan odal sosial cq. etos kerja yang

berlaku.

• Jika diperlukan, memfasilitasi simpan pinjam yang lebih berkelanjutan.

• Perbaikan Institusi dan Teknis, seperti Pembentukan sekolah fasilitator;

Pelatihan (Training); Pembiayaan operasional yang memadai; Fokus pada isu

partisipasi kunci untuk monitor dan memberikan umpan balik; Menggunakan

kelompok monitoring independen; Mengurangi keterlambatan penyaluran

dana ke lapangan.

55 Lebih lanjut lihat Decentralisation Support Facility, 2007. Gender Review and PNPM Strategy

Formulation. Mission Report. Working Paper on the Findings of Joint Donor and Government Mission.

56

(19)

19

Dalam memperkaya pilihan-pilihan kegiatan yang dapat dilakukan di masa depan

kami mengusulkan temuan-temuan dan/ataupun usulan kegiatan yang dihasilkan oleh

berbagai insiatif berbagai pihak perlu dijadikan pertimbangkan juga. Salah satunya

yang kami anggap penting adalah sebagaimana yang dihasilkan dalam sebuah

lokakarya yang dilakukan oleh Knowledge Sector Ininitiative (KSI) pada tgl. 5 – 6

Mei 2015 lalu, dan dihadiri tidak kurang dari 30-an organisasi masyarakat sipil yang

berasal baik dari Jakarta dan sekitarnya maupun dari berbagai daerah lain di

Indonesia. Pada lokakarya dua hari ini terungkap bahwa, setidaknya ada 4 kelompok

persoalan yang perlu ditangani lebih lanjut agar keberadaan UU Desa dapat bekerja

secara lebih optimal. Keempat kelompok persoalan itu adalah menyangkut

persoalan-persoalan diskoneksi dan disharmoni kebijakan dan kelembagaan; tantangan untuk

lebih meningkatkan partisipasi masyarakat; peluang dan tantangan untuk

pengembangan ekonomi kreatif; serta optimalisasi peluang penerapan nomenklatur

desa adat. Dalam lokakarya dimaksud telah pula dirumuskan agenda kerja strategis

untuk masing-masing kelompok persoalan itu. Antara lain, dalam konteks kebijakan

dan kelembagaan, disarankan untuk melakukan Analisis kritis dan eksaminasi public

atas regulasi yang ada; konsolidasi organisasi masyarakat sipildan ahli untuk

merumuskan draft alternatif revisi regulasi teknis; dan melakukan uji materiil ke

Mahkamah Agung jika masukan-masukan kalangan organisasi sipil itu tidak

didengarkan oleh pihak yang berwenang. Dalam konteks pengembangan partisipasi

masyarakat yang lebih luas disarankan, antara lain, melakukan pendidikan kritis

kepada warga di paling bawah; ketrampilan berkomunikasi yang baik;

mengembangkan kapasitas kader desa dan fasilitator desa agar mampu menggerakkan

warga masyarakat lain – khususnya kelompok-kelompok yang selama ini mendapat

perlakukan pengucilan -- untuk semakin terlibat dalam proses politik dan

pembangunan tingkat desa. Dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif, antara

lain, disarankan untuk melakukan penggalian pengetahuan terkait model-model

praktek ekonomi pedesaan, seperti model pengelolaan aset produksi masyarakat desa,

pemanfaatan asset desa/pemerintah lainnya yang dijadikan asset produktif masyarakat

desa, mekanisme kerjasama ekonomi antar desa, dll.; melakukan advokasi regulasi di

daerah dan nasional yang mendukung pengembangan praktek ekonomi produktif

pedesaan, seperti pendayagunaan dan pemanfaatan aset desa, subsidi (pertanian,

perikanan, usaha kecil, dll), perlindungan social-ekonomi masyarakat miskin

(20)

20

pengelolaan ekonomi produktif pedesaan, yang bisa iawali dengan praktek

perencanaan kawasan (ekonomi) perdesaan serta pengembangan basis produksi di

pedesaan. Sedangkan untuk kegiatan optimalisasi peluang nomenklatur desa adat

peserta lokakarya mengusulkan agar, antara lain, melakukan pemetaan/Identifikasi

realitas/kondisi adat saat ini untuk membantu memberikan tipologi dan rekomendasi

soal apakah cocok penggunaan UU Desa atau tidak, mengingat beragamnya bentuk

dan kondisi masyarakat adat yang ada; melakukan kajian tentang kemungkinan

konsekuensi atau implikasi penerapan desa adat pada konteks masyarakat yang

bersangkutan; menggali persepsi masyarakat soal implikasi UU Desa atau

Permendagri terkait dengan pengakuan wilayah adat; dan mengdentifikasi kebutuhan

agar peluang implementasi desa adat dapat jadi optimal.57 Selain itu,

pengalaman-pengalaman baik dalam hal mengotimalkan kerjasama para pihak, sebagaimana yang

terungkap dalam Diskusi Setengah Hari yang diselenggarakan KOMPAK pada

tanggal 4 Mei 2015 lalu perlu pula dipertimbangkan.58

6. Penutup: beberapa rekomendasi strategis

Dalam konteks kebijakan iklusi sosial, berdasarkan uraian di atas, kelemahan UU

Desa dan sejumlah peraturan pelaksananya terkait dengan inklusi sosial mencakup

tiga hal. Pertama, belum menjadikan inklusi sosial sebagai sebuah persepektif

sehingga seharusnya menyebar merata pada semua ketentuan. Saat ini UU Desa dan

peraturan pelaksananya mengatur inklusi sosial (perempuan) hanya dalam segelintir

ketentuan. Peraturan Menteri Desa dan PDT No. 2/2015 bisa dikatakan perkecualian

karena memunculkan inklusi sosial pada hampir semua tahapan masyawarah desa.

Kedua, salah satu implikasi dari tidak menggunakan inklusi sosial sebagai perspektif

bahwa UU Desa dan peraturan pelaksananya tidak secara eksplisit menggunakan

istilah kelompok marginal dan hanya menyebut beberapa kelompok sebagai

cakupannya. UU tentang Pelayanan Publik dapat menjadi contoh untuk perbaikan.

UU ini ini: (i) menyebut kelompok rentan (margnal) secara eksplisit; dan (ii)

membuat cakupan yang relatif lengkap mengenai kelompok marginal (penyandang

cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam dan sosial). Ketiga,

hampir belum memberikan jaminan bagi terlaksananya inklusi sosial dengan cara

57

Lebih jauh lihat Knowledge Sector Initiative, Notulensi Lokakarya Undang-Undang Desa, Serpong, 5 - 6 Mei 2015.

(21)

21

memberikan perlindungan atau perlakuan khusus. UU Pelayanan Publik bisa menjadi

contoh dalam hal ini karena menentukan bahwa penyelenggara pelayanan publik

memberikan perlakuan khusus kepada kelompok rentan.

Dengan tiga kelemahan di atas maka pembuatan atau penyepurnaan terhadap UU

Desa ataupun peraturan pelaksanya harus: (i) menjadikan inklusi sosial sebagai

perspektif: (ii) menyebutkan cakupan kelompok marginal dengan lengkap; dan (iii)

menegaskan dan memperluas ketentuan-ketentuan jaminan perlindungan dan

perlakuan khusus kepada kelompok marginal. Tiga hal tersebut sekaligus bisa

menjadi poin-poin yang harus diadvokasikan oleh organisasi masyarakat sipil dalam

rangka mewujudkan inklusi sosial dalam UU Desa dan peraturan pelaksananya.

Sementara itu, dalam konteks implementasi kebijakan yang mengakui desa adat,

Pemerintan dan dan para pihak yang terkait perlu mengambil langkah-langkah

strategis sebagai berikut:

• Menyusun Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat;

• Menyusun Peraturan Menteri mengenai tata cara pengubahan status desa

menjadi desa adat (Pasal 28, PP 43/2014);

• Menyusun Peraturan Menteri tentang Penataan Desa (Pasal 32, PP 43/2014)

• Melakukan sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di

berbagai daerah yang relevan;

• Mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepetingan dengan penerapan

nomenklatur desa adat ini.

Satu hal yang perlu ditegaskan di sini adalah ada banyak model kerja yang telah

ditempuh selam ini yang cukup efektif. Lebih dari itu, suatu strategi tertentu efektif

dalam kondisi tertentu pula, dan bisa jadi tidak efektif dalam kondisi yang lain lagi.

Betapapun, sepanjang usia reformasi, kalangan organisasi masyarakat sipil memiliki

pengalaman kerja yang kaya, yang dikembangkan berdasarkan habatan dan/atau pun

kegagalan yang pernah dialaminya. Sehingga mencari satu model kerja yang efektif

saja dapatlah dikatakan akan menjadi upaya yang sia-sia dan counter-productive.

(22)

22

Referensi

Dokumen terkait

Toksin Bt pada isolat yang diuji ini tidak hanya menyebabkan kematian larva, tetapi juga menurunkan berat tubuh dan panjang tubuh larva yang berhasil tetap hidup.. Hal ini

Dalam area konservasi ex situ , provenans yang akan dipilih untuk ditanam dalam suatu lokasi sebaiknya merupakan kombinasi provenans yang memiliki kisaran nilai

Kalbar termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi “Seribu Sungai” yang sudah ditetapkan menjadi Daerah Tujuan Wisata ke XIX yang secara faktual, kondisi Kalbar memang

Demikian pula Kamus Istilah Linguistik: Inggris-Indonesia-Arab bermanfaat untuk penerjemahan istilah-istilah berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab.. Adapun

Secara umum, langkah-langkah penyelesaian masalah kontekstual yang berkaitan dengan sistem persamaan linear tiga variabel adalah sebagai berikut:..  Menyelesaikan model

Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti harus dirumuskan secara jelas (Arikunto, 2006:68). Dalam hal ini yang dimaksud bahwa setiap

Hasil dari penelitian ini bahwa dengan ADP 10µM untuk kelompok etomidat antara sebelum dan sesudah perlakuan tidak memberi perbedaan bermakna p=0,089 (p>0,05),

(1) Kepala Dinas mempunyai tugas merumuskan, menyelenggarakan, membina dan mengevaluasi penyusunan dan pelaksanaan urusan pemerintahan daerah serta tugas pembantuan