• Tidak ada hasil yang ditemukan

51981562 Resensi 2002 Vedi Hadiz

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "51981562 Resensi 2002 Vedi Hadiz"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Proletariat dan Rezim yang Sekarat Hilmar Farid*

Tinjauan Buku Vedi R. Hadiz, Workers and the State in New Order Indonesia, Routledge Studies in the Growth Economies of Asia, London: Routledge, 1997

Malam hari 15 Mei lalu, empat orang buruh bangunan tewas yang sedang tidur tewas dilindas bus di halaman parkir depo Mayasari Bhakti, Cikarang Barat. Bedeng kecil di pojok depo rupanya tidak cukup menampung 70 buruh bangunan yang dikontrak

perusahaan itu untuk membangun gedung baru, sehingga beberapa di antaranya terpaksa menggelar tikar di lapangan parkir. Kernet tembak yang mengendarai bus lari

meninggalkan tubuh mereka yang remuk. Polisi kini mengejarnya dengan tuduhan “kelalaian kerja yang menyebabkan orang lain terluka atau meninggal dunia.”

Kenyataan bahwa buruh bangunan tewas karena perusahaan tidak menyediakan tempat tidur yang aman, tidak dipersoalkan, begitu pula kelalaian mandor membiarkan kernet tembak mengendari bus. Kasus itu selanjutnya menjadi perkara pidana biasa. Perusahaan membayar biaya rumah sakit dan memberi uang duka. Manajer perusahaan tenang-tenang berkantor seperti biasanya di gedung yang memajang tulisan besar “utamakan

keselamatan kerja”. Para penonton kejadian umumnya menyalahkan keteledoran buruh bangunan karena tidur di halaman parkir dan ada juga yang menduga kernet tembak itu teler karena narkoba.

Setiap tahun ada ribuan kasus semacam di seluruh Indonesia, tapi DPR nampaknya tidak bernapsu mendesak pemerintah menetapkan aturan ketat mengenai kesehatan dan

keselamatan kerja, atau membentuk pansus yang menyelidiki kasus-kasus itu. Alasannya sederhana, tidak ada wakil buruh yang duduk di DPR sementara bagi elite yang

menguasai lembaga itu masalah buruh tidak relevan bagi pertikaian mereka. Mungkin malah merepotkan saja. Jika kecelakaan yang berakibat kematian saja tidak menarik, apalagi pembayaran upah yang tidak layak, pembatasan hak berserikat, pelecehan seksual, penggebukan aksi protes oleh aparat dan preman yang menjadi makanan buruh sehari-hari.

Buku Vedi Hadiz, Workers and the State in New Order Indonesia membantu kita memahami perjalanan yang membawa buruh di Indonesia sampai pada situasi di atas. Munculnya Orde Baru ditandai penataan ulang hubungan industrial. Penguasa militer menerapkan model exlusionary corporatism yang menyingkirkan buruh dari proses pengambilan keputusan dan menyelesaikan perselisihan dengan represi. Gerakan buruh yang tumbuh subur sebelum 1965 dihancurkan (dimulai dengan membunuh dan

menangkapi aktivis sayap kirinya) dan tahun 1973 dibentuk Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai wadah tunggal.

Militer yang mulai terlibat dalam urusan perburuhan ketika terjadi nasionalisasi perusahaan tahun 1957 memegang peran utama dalam kontrol terhadap gerakan buruh

(2)

semasa Orde Baru. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo yang kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja pertengahan 1980-an merombak wadah tunggal menjadi semakin terpusat dan dikontrol dengan nama baru, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Dengan sistem perburuhan seperti ini pemerintah mulai meningkatkan produksi untuk ekspor dan mendorong laju industrialisasi. Pengusaha dan birokrat pendukungnya menikmati

keuntungan berlipat tapi pada saat bersamaan memelihara kontradiksi yang inheren dalam sistem kapitalis.

Industrialisasi berkelanjutan ini menyedot jutaan orang bekerja sebagai buruh.

Dibandingkan masa sebelumnya, kelas buruh ini di samping lebih besar dari segi jumlah, lebih berpendidikan dan cukup akan hak-hak mereka. Kehidupan bersama di kota-kota pusat industri dan kesadaran bahwa tidak ada pilihan hidup lain kecuali bertahan di sana, membuat mereka lebih militan memperjuangkan nasib. Awal 1990-an terjadi gelombang gelombang pemogokan dan protes yang melibatkan jutaan buruh di Jawa dan Sumatera. Penguasa tetap menghadapinya dengan represi walau terasa semakin tidak efektif. Pemerintah mencari jalan lain dengan memenuhi sebagian tuntutan, seperti peningkatan upah minimum secara berkala dan perbaikan kondisi kerja di pabrik-pabrik.

Gelombang protes ini mendorong terbentuknya berbagai organisasi buruh independen seperti SBM Setiakawan, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan puluhan LSM di bidang perburuhan. Bekerjasama dengan organisasi buruh internasional seperti ICFTU dan juga ILO, serta lembaga hak asasi manusia, gerakan ini gencar menuntut keadilan dalam hubungan industrial. Tapi keterbatasan dalam

pengorganisasian di tingkat basis, kepemimpinan yang masih didominasi aktivis non-buruh dan perbedaan strategi politik yang cenderung berujung pada perpecahan, serta hambatan struktural seperti mobilitas modal internasional yang tinggi, menghalangi terbentuknya gerakan buruh yang kuat.

Belajar dari kelemahan berbagai pendekatan yang ada sebelumnya, Hadiz

mengembangkan kerangka teoretik yang menekankan pentingnya struktur di satu sisi dan kemampuan serta strategi buruh mempengaruhi dan mengubah struktur tersebut di sisi lain (hlm. 37). Dengan membandingkan proses industrialisasi di Eropa, Amerika Latin, Asia Timur dan Tenggara, ia berpendapat model hubungan antara negara, modal dan buruh adalah produk pergulatan antara agen-agen sejarah (historical agencies). Buruh dengan begitu tidak dilihat sebagai korban pembangunan yang pasif, tapi kekuatan yang aktif menentukan jalannya sejarah.

(3)

Studi ini, seperti diakui Hadiz sendiri, bisa jadi dianggap unfashionable dalam studi tentang Indonesia maupun wacana politik yang selama ini seperti terpaku pada kaum elite, kelas menengah dan lembaga seperti parlemen, pers dan partai politik. Dalam ilmu sosial pada umumnya pun diskusi tentang kelas buruh atau politik berbasis kelas

dianggap masa lalu yang terkubur seiring gagalnya eksperimen sosialisme di Eropa. Kelas sebagai kekuatan politik dianggap sudah lenyap begitu pula sosialisme yang menjadi tujuannya. Para penulis dan aktivis kiri pun menggeser perhatian dari pabrik mencari agen sejarah yang lain.

Dalam konteks ini ada beberapa hal yang membuat karya Hadiz menjadi penting. Buku itu setahu saya adalah usaha pertama untuk merangkum pengalaman perjuangan buruh selama masa Orde Baru secara sistematis dengan perspektif kritis. Menjadi karya pertama setelah kekosongan literatur di bidang itu sekitar 30 tahun tentunya adalah kelebihan tersendiri. Apalagi seperti dikatakan Hadiz, “studi ini dibuat dengan kesadaran penuh bahwa analisis yang digunakan, bukan semata-mata intellectual exercise, melainkan sebuah bentuk praksis.” (hlm. 5). Tidak banyak ilmuwan saat ini yang secara sadar bergerak melampaui “batas-batas obyektivitas” membawa teori ke dalam gerakan, dan sebaliknya membawa aktivisme dalam wacana akademik.

Tidak adanya perhatian terhadap kelas buruh industri dan subaltern classes selama ini adalah kelemahan mendasar dalam analisis tentang politik Indonesia kontemporer dan ikut menyebabkan agenda perubahan berjalan di tempat. Kenyataan bahwa reformasi yang dikendalikan elite sekarang ini menemui jalan buntu seharusnya membuat kita berpikir lebih banyak tentang subyek perubahan yang lain. Karya Hadiz membuka ruang perdebatan dan merangsang penelitian lebih lanjut ke arah itu.

Hal lain, kegagalan eksperimen sosialisme dan bergesernya perhatian ilmuwan dari kelas buruh sebagai agen sejarah tidak berarti perbedaan kelas dengan sendirinya lenyap. Justru sebaliknya sekarang kita menyaksikan polarisasi dan kesenjangan kelas yang semakin mendalam, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Human Development Report 1999 dari UNDP mencatat saat ini seperlima penduduk dunia yang tinggal di negeri-negeri terkaya menguasai 86 persen GDP dunia, 82 persen pasar ekspor dunia, 68 persen penanaman modal asing langsung dan 74 persen saluran telepon. Sementara seperlima penduduk paling miskin, yang bukan kebetulan tinggal di Dunia Ketiga, hanya memiliki satu persen dari masing-masing kategori.

Dalam beberapa tahun belakangan di berbagai belahan termiskin dunia gerakan berbasis kelas bermunculan dengan keragaman bentuk organisasi, strategi dan taktik yang efektif membantu orang membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Gerakan buruh industri yang dibicarakan Hadiz dalam studinya adalah bagian dari perkembangan ini.

* * *

(4)

penjelasan tentang kemunculan dan karakteristik kelas ini sangat terbatas. Sementara ada puluhan halaman untuk menjabarkan kerangka pemikiran – yang cenderung berulang-ulang – tidak sampai sepuluh halaman yang disediakan untuk memberi gambaran konkret tentang buruh industri yang menjadi fokus studinya. Asal-usul, proses pencerabutannya dari desa, dan seluruh pengalaman yang membentuk subyektivitas tidak mendapat tempat cukup. Pengalaman konkret buruh menjadi kelas tidak nampak, begitu pula gambaran mengenai harapan, gagasan politik, sikap terhadap organisasi atau aksi kolektif yang sangat diperlukan dalam analisis mengenai politik kelas.

Berbeda dengan janji untuk menempatkan buruh sebagai agen sejarah yang aktif,

bukunya lebih banyak menyoroti kebijakan negara, strategi industrialisasi dan sikap para pejabat serikat buruh – yang tidak bekerja sebagai buruh – dalam proses itu. Dengan kata lain ia masih melihat perjalanan politik perburuhan melalui kacamata birokrat negara maupun serikat buruh, ketimbang kelas buruh itu sendiri. Begitu pula saat berbicara tentang gerakan protes dan pembentukan berbagai organisasi di tahun 1990-an. Hampir semuanya dilihat berdasarkan keterangan para pejabat, aktivis dan sedikit sekali

komentar dari kelas buruh industri yang terlibat di dalamnya.

Hal ini membawa kita pada beberapa persoalan menyangkut perspektif dalam bukunya. Menempatkan buruh sebagai agen sejarah yang aktif menuntut kerangka metodologi yang memungkinkan kita melihat sejarah dari perspektif mereka. Hadiz melihat kelas buruh sebagai akibat atau produk dari the rise of capital. Analisis kelas dan perspektif buruh sebaliknya melihat the rise of capital sebagai proses penghancuran perlawanan dan segala bentuk kehidupan non-kapitalis. Apa yang bagi pemilik modal dan birokrat pendukungnya adalah pertumbuhan, peningkatan produktivitas dan efisiensi bagi kelas buruh berarti penggusuran, kemiskinan, dan segala bentuk kesulitan hidup yang memaksa mereka menjual tenaga kerjanya, menjadi proletariat.

Lebih jauh ia melihat industrialisasi sebagai titik tolak bangkit dan berkembangnya kelas buruh beserta kesadaran dan ekspresi politiknya di dalam hubungan industrial. Dalam analisis kelas perhatian utama bukanlah perkembangan industrialisasi tapi proses

penaklukan, ketegangan dan pertentangan dalam hubungan kerja upahan (kapitalis) yang menjadi basis berkembangnya industri. Dalam konteks itu kekuatan gerakan kelas buruh tidak hanya ditentukan oleh seberapa jauh mereka dapat berkiprah membela hak-haknya di tempat kerja melalui organisasi atau mengatur kebijakan negara mengenai hubungan industrial, tapi seberapa jauh kelas ini terlibat menentukan arah dan perkembangan kapitalisme.

Hadiz memusatkan perhatiannya pada industrialisasi dan kemunculan kelas buruh industri, namun ada banyak hal seperti komposisi kelas yang dibentuk dan sekaligus membentuk proses itu tidak dijelaskan, sehingga pilihan itu tidak punya dasar kuat terlepas dari pembelaan yang ditulisnya (hlm. 8-9). Lagipula analisis tentang industri itu sendiri, penggunaan teknologi, pengorganisasian kerja di pabrik dan berbagai skema manajemen yang sangat berpengaruh terhadap politik kelas juga sangat terbatas.

(5)

pergolakan di tempat kerja. Sayangnya pembahasan Hadiz cenderung pada “gambar besar” yang disusun berdasarkan argumen teoretik. Analisis data empirik hanya mengisi kerangka teoretik ketimbang sebaliknya.

Analisis yang bertolak dari dialektika kapitalisme – bukan sekadar hubungan kausal atau sebab-akibat dalam sistem itu – jauh lebih membantu memahami kompleksitas sistem dan politik kelas. Studi dan perdebatan lebih lanjut mengenainya sangat diperlukan untuk berpikir tentang berbagai (bukan satu) prospek politik kelas buruh di masa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui penelitian ini akan dilakukan uji diagnostik untuk mengetahui sensitivitas, spesifi- sitas dan nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif serta akurasi

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu. Karena pada pelaksanaan penelitian ini peneliti tidak mungkin mengontrol semua variabel. Budiyono [3] mengemukakan

Penelitian ini terbatas pada variabel yang digunakan yaitu hanya profitabilitas, ukuran perusahaan, kompleksitas operasi perusahaan dan reputasi KAP

pemberian pelayanan kepada masyarakat artinya suatu pelayanan dapat dikatakan efektif apabila telah disediakannya fasilitas sarana dan prasarana yang lengkap dan

Berapakah harga yang Anda anggap pantas untuk mencetak selembar foto pada mesin cuci cetak otomatis dengan ukuran 4R?. Apakah Anda pernah melakukan pengeditan foto di studio

Namun terdapat lokasi yang tidak terlalu parah yaitu di Taman Wisata Alam (TWA) Alur Paneh keru­ sakan relatif kecil karena ekosistem mangrove berada dibelakan

Kehadiran amyrin yang dihasilkan dari microbial degradation atau akibat dari oxidative degradation di iklim tropis dan beberapa turunan amyrin yang khas dari batubara

Teknik FIV yang menggunakan sperma hasil pemisahan dapat memproduksi embrio dengan jenis kelamin betina atau jantan, kemudian embrio-embrio yang diperoleh ditransfer ke