Pencemaran Nama Baik dan Kudeta dalam Tinjauan Ushul Fiqh
Wahyu NH Aly
Desakan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di era Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono terus meningkat. Khususnya terkait dengan skandal besar Century dan BLBI. Hanya saja, harapan masyarakat yang begitu besar atas dua kasus tersebut masih sebatas “mimpi”. Karena, sampai saat ini KPK belum dirasa terlihat benar‐benar menyentuh dua mega skandal.
Ketidakjelasannya KPK dalam menangani dua kasus besar tersebut, pun melahirkan banyak praduga di kalangan masyarakat, termasuk dugaan kemungkinan kasus besar Century dan BLBI terkait dengan Cikeas. Pada sisi lain, pimpinan KPK tiap kali ditanyakan, dalam pernyataannya pembelaannya atas kasus‐kasus besar ataupun dugaan Cikeas, selalu dikunci dengan kata “penyidik.” Menguatnya anggapan masyarakat yang demikian terhadap Cikeas juga merambah terhadap Ibas atas keterangannya Yulianis. Sehingga, memosisikan citra Cikeas di hadapan masyarakat tampak mengerutkan dahi. Berbagai upaya yang menguras tenaga demi membentengi citra “istana” Cikeas dan partai Demokrat saat ini begitu besar, hingga persoalan rakyat yang begitu penting selama beberapa hari ini mendapat porsi yang kurang sepadan, kalau tidak boleh dikata tidak dipedulikan.
Masih jauh harapan masyarakat atas penuntasan dugaan Cikeas dan mega skandal BLBI dan Century, kini publik di hadapkan dengan isu “kudeta” yang dikeluarkan secara langsung oleh kepala Negara. Tak terkecuali, RUU tentang Santet juga turut mengiringi “gelapnya” beragam masalah besar yang terkait dengan kesejahteraan dan keadilan masyarakat.
Hanya saja, kondisi menyayat hati yang demikian, hingga hari ini masih banyak kalangan yang melihatnya sepenggal‐sepenggal. Oleh karena itu, penting kiranya menggunakan pendekatan sulfik (ushul fiqh) pada dugaan korupsi, pencemaran nama baik, dan isu kudeta, yang secara khusus terkait dengan Ibas Yudhoyono dan Cikeas. Hal ini, agar masyarakat tidak mudah terjebak oleh propaganda ataupun pencitraan dari siapapun.
Ibas‐Yulianis dalam Potret Sulfik
Ibas dari sudut pandang prinsip jurnalistik. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlampau melebar.
Mengikuti kegeraman Ibas atas pemberitaan dirinya, pada dasarnya suatu hal yang lumrah sebagai manusia. Namun, menilik latar belakang yang menjadikan Ibas tidak saja geram tetapi juga mengambil langkah‐langkah hukum, maka Negara yang di dalamnya berpenduduk 90 persen muslim, selayaknya turut mengkaji dari sudat pandang agama. Dugaan dalam agama, adakalanya dilarang dan adakalanya diwajibkan. Berpraduga dalam hal muamalah dalam kondisi dan situasi tertentu hukumnya wajib, diantaranya berdasarkan pada agama yang menuntut umat untuk ikhtiat.
Dugaan terkait dengan muamalah, dalam tinjauan sulfik, haruslah dibuktikan. Tidak boleh dibiarkan, bila ada yang tidak menerima secara hukum. Hanya saja, upaya langkah balik dari terduga diperbolehkan selama dugaan tersebut telah dituntaskan secara hukum pula. Namun, bila masalah dugaan belum dituntaskan, maka upaya langkah balik hukumnya terlarang dilakukan. Termasuk kasus Ibas yang saat ini ramai.
Pernyataan Yulianis tentang kasus Ibas, harus dibuktikan terlebih dahulu benar dan tidaknya sebelum langkah hukum kegeraman Ibas berjalan. Ini melihat, apa yang dikatakan Yulianis adalah memotret Ibas yang saat itu sebagai pejabat (DPR RI) sekaligus kegeraman Ibas juga terlahir dari dugaan Yulianis yang menuntut untuk dibuktikan. Pandangan sulfik ini juga memiliki kesamaan dengan Surat Edaran Bareskrim No.B/345/III/2005 tertanggal 7 Maret 2005 saat menangani laporan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat edaran itu menegaskan jika menerima pengaduan pencemaran nama baik terkait korupsi dengan melibatkan pihak sama, maka polisi harus mendahulukan dugaan korupsi lebih dulu.
Tuduhan Yulianis terhadap Ibas yang menuntut pembuktian, dalam pendekatan sulfik, masyarakat dan terlebih lagi pejabat, hukumnya dilarang menghakimi Yulianis ataupun Ibas. Melainkan, semua pihak harus berpraduga tak bersalah sembari mendorong agar dugaan tersebut lekas dibuktikan benar dan tidaknya. Apabila ada pejabat yang menghakimi salah satu dari kedua belah pihak, baik pada Yulianis ataupun Ibas, maka pejabat tersebut hukumnya haram dan secara sulfik masyarakat memiliki kewenangan untuk mendesak atau menuntut mundur pejabat yang demikian. Sekali lagi, bagaimanapun, Yulianis dan Ibas harus diberi ruang pembuktian terlebih dahulu sebelum memberikan penilaian kepada keduanya.
lebih kecil.
Nyanyian Kudeta Presiden
Kaget mendengar beberapa kali pernyataan SBY akan isu kudeta, seperti menjelang kepergiannya ke Jerman pada waktu yang lalu. Bukan kaget akan kemungkinan kebenaran kudeta tersebut, namun kaget karena kepala Negara tampaknya terlampau disibukkan dengan kursi kekuasaannya dari pada mengurusi rakyatnya. Setelah sebelumnya terlihat letih mengurusi partainya yang dinilai makin menyusut karena slogan “Tidak pada Korupsi” lebih berlaku pada partai lain dari pada partai yang diasuhnya ataupun keluarganya. Terbukti, koruptor banyak lahir dari partainya dan besannya masuk penjara saat KPK dipimpin Antasari yang kini di jeruji besi.
Nyanyian kudeta dari kepala Negara tersebut, secara publik telah melakukan pembiasan isu faktual dan sangat penting seperti mega skandal Century dan BLBI. Juga, memperburuk keadaan masyarakat yang kini sedang gelisah dengan persoalan ekonomi yang di antaranya diakibatkan oleh kader‐kader Demokrat dan keluarga presiden. Sebagai seorang pemimpin yang semestinya mendukung secara penuh penuntasan hukum Century dan BLBI serta memberikan rasa nyaman pada rakyat, namun kebijakannya justru tampak meresahkan. Hal ini tentu tidak baik. Secara tegas, sulfik mengharamkan mengikuti pemimpin yang selalu membuat rasa tidak nyaman. Dalam hal ini juga, dapat dikata sebagai perbuatan isrof seorang pemimpin.
Hukum Menghujat Pemimpin
Dendam dan benci sebagai manusia, acapkali menyelimuti diri manusia. Akan tetapi, itu justru dapat merusak diri sendiri jikalau tidak mampu mengendalikannnya. Sehingga, kita dituntut untuk kuat, tabah, dan bergerak. Jangan sampai beragam kondisi dan situasi yang kurang menyehatkan justru memenjarakan diri kita sendiri, sehingga kita tidak mampu berfikir sehat dan tidak kuasa melangkahkan kaki kita guna meraih ridho Ilahi. Termasuk di dalamnya, kita dalam menyikapi kondisi dan situasi yang buruk seperti maraknya perilaku penguasa yang munafik yang lebih memperhatikan kursi kekuasaannya dari pada kesejahteraan rakyat, pejabat yang lebih mempedulikan dirinya sendiri dari pada mengurusi masyarakat, dan meningkatnya kejahatan korupsi.
Mengambil firman Allah Swt dalam Qs. Annisa (4): 148, tegas dikatakan apabila rakyat diberi kebolehan untuk mencemarkan nama baik penguasa (selama bukan fitnah), boleh mencaci maki atau menghujat pemimpinnya, dan diperbolehkan juga mendesak mundur pemangku amanahnya, bila ingkar janji.
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang
KECUALI OLEH ORANG YANG DIANIAYA. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” Qs. Annisa (4): 148. Billahittaufik wal hidayah. Wallahua’lam