• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSISI TKI DALAM MENGHADAPI AEC AFTA 201

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POSISI TKI DALAM MENGHADAPI AEC AFTA 201"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

METODE DAN TEORI EKONOMI POLITIK

POSISI TKI DALAM

MENGHADAPI AEC-AFTA

2015

Arief Cahya 1206254246

Edbert Gani 1206243141

Muhamad Barka A. 1206205616

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

(2)

I. Pendahuluan

Pada tahun 2015 Negara-Negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam AEC (ASEAN Economic Community) akan menjalankan kebijakan kawasan perdagangan bebas di Asia Tenggara. Indonesia juga turut serta dalam kebijakan kawasan perdagangan bebas dengan menjadi salah satu negara yang tergabung dalam AEC serta ikut menandatangani kesepakatan AFTA di Cebu, Filipina pada tahun 2007.

Munculnya kawasan perdagangan bebas dapat dilihat sebagai salah satu efek globalisasi secara ekonomi. Penerapan dari konsep globalisasi ekonomi membuat tereduksinya hambatan-hambatan terhadap kegiatan ekonomi. Sebelumnya, kegiatan ekonomi terbatas hanya dalam lingkup suatu negara, namun setelah berjalannya globalisasi dapat secara leluasa melakukan kegiatan perekonomian antar negara tanpa hambatan. Dalam hal ini, kawasan perdagangan bebas Asia Tenggara dapat dilihat sebagai salah satu efek dari Globalisasi ekonomi yang terjadi di Asia Tenggara.

Kawasan perdagangan bebas di Asia Tenggara, yang disebut sebagai AFTA (ASEAN Free Trade Area), pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi regional ASEAN di mata dunia, serta meningkatkan produksi regional yang membuka kesempatan lapangan kerja bagi penduduk di Asia Tenggara. Peningkatan lahan pekerjaan untuk sektor tenaga kerja formal dan nonformal pada dasarnya merupakan salah satu manfaat yang diharapkan dari kebijakan perdagangan Indonesia. Sejalan dengan kebijkan AFTA, Indonesia pun turut serta mempersiapkan tenaga kerjanya untuk bersaing dengan tenaga kerja asing. Dalam hal ini, sektor informal menjadi salah satu penyumbang tersebesar tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

(3)

negara. Hal ini juga menjadi hal yang penting dengan melihat besarnya sumbangsih yang diberikan oleh para TKI berupa devisa yang diterima oleh negara. 1

Permasalahan yang akan diulas lebih lanjut dari makalah ini adalah mengenai dampak masuknya Indonesia dalam AEC-AFTA yang akan secara tidak langsung mempengaruhi posisi TKI dalam rencana ekonomi Indonesia ke depannya. Kasus tersebut akan kami analisa menggunakan teori keunggulan komparatif dari David Ricardo yang banyak digunakan untuk melihat kondisi hubungan ekonomi antar negara. Dalam hal ini kami berusaha menjawab pertanyaan, Apakah TKI dapat dianggap keunggulan Indonesia dalam menghadapi AFTA?

II. Pembahasan

Sebelum kita melihat relasi antara AFTA dengan TKI, terlebih dahulu kami akan menjelaskan mengenai AEC, AFTA, dan TKI itu sendiri.

AEC

Dengan visi bersama ASEAN untuk mencapai perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran , ikatan bersama dalam kemitraan dalam pembangunan yang dinamis, dan dalam komunitas masyarakat yang peduli , para pemimpin ASEAN pada tahun 2003 memutuskan bahwa Komunitas ASEAN harus ditetapkan pada tahun 2020 . Pada tahun 2007, pemimpin pemimpin menegaskan komitmen mereka yang kuat untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Komunitas ASEAN akan dibuat terdiri dari tiga pilar, yaitu Komunitas ASEAN Political - Security , ASEAN Economic Community dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN.

Dalam ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint dijelaskan empat kerangka utama dari AEC dan Blueprint ini wajib dijalankan dan dijadikan sebagai pedoman untuk masing masing negara. Pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua, ASEAN sebagai

1

BNP2TKI, Penempatan Per Tahun Per Negara (50 Besar Negara Penempatan), diakses dari

(4)

kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemenperaturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual,pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam). Dan yang terakhir, ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomianglobal dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi diluar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.2

Dalam rancangannya, dijelaskan bahwa untuk mewujudkan AEC maka seluruh negara diwajibkan melakukan liberalisasi perdagangan, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, arus modal secara bebas. Dengan diberikannya kemudahan kemudahan dalam transfer barang, jasa, investasi, tenaga kerja,dan arus modal, maka harus dilakukan langkah langkah yang mempermudah terjadinya arus perdagangan. Karena fokus makalah ini adalah mengenai isu TKI, maka kami akan lebih berfokus pada poin arus tenaga kerja.

Apabila AEC terwujud pada tahun 2015, maka dipastikan akan terbuka kesempatan kerja seluas – luasnya bagi warga negara ASEAN. Para warga negara ASEAN dapat keluar dan masuk dari satu negara ke negara lain mendapatkan pekerjaan tanpa adanya hambatan di negara yang dituju. Pembahasan tenaga kerja dalam AEC Blueprint hanya dibatasi pada pengaturan khusus tenaga kerja terampil (skilled labour) dan tidak terdapat pembahasan mengenai tenaga kerja tidak terampil (unskilled labour)3 . Sampai saat ini yang telah disepakati adalah jasa engineering, nursing, architecture, surveying qualification, tenaga medis (dokter umum dan dokter gigi), dan jasa akuntansi. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa kasus TKI tidak bersinggungan langsung dengan kebijakan-kebijakan AEC, karena TKI tidak termasuk dalam tenaga kerja terampil yang tidak diatur ketentuannya.

2

Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community 2015 (tanpa kota: Kementrian Perdagangan, tanpa tahun), hal.9.

3

(5)

TKI

Tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja di luar negeri tahun 2006 - 2012 lebih banyak bekerja di sektor informal. Pekerja TKI ini kebanyakan bekerja sebagai buruh kasar di negara negara tempatnya bekerja, pada 2012 sebanyak 1.154.624 TKI bekerja di sektor formal, sementara 2.843.968 TKI bekerja di sektor Informal. Paling banyak sektor formal bekerja di Malaysia, dan sektor informal bekerja di Taiwan.4 Kondisi jelas saja memicu ketimpangan, karena pada kenyataannya pekerja sektor formal Indonesia masih sangat sedikit, bahkan lebih banyak dari sektor informal. Padahal di dalam AEC tidak diatur secara tegas bagaimana pembagian dalam pekerja sektor informal.

Sementara itu dari jenis pekerjaan saja, kondisi TKI lebih memprihatinkan karena dari 50 daftar pekerjaan hanya beberapa pekerjaan yang bersifat sektor formal seperti perawat, mekanik terampil (engineer), dan kepala bagian perusahaan, sementara sisanya hanyalah pekerjaan pekerjaan buruh kasar (unskilled labour). Berdasarkan data dari BNP2TKI tahun 2007 – 2012, lima pekerjaan yang paling banyak dilakukan WNI di luar negeri adalah pekerjaan buruh kasar, peringkat pertama ada pembantu rumah tangga sebesar 356.360, diikuti pekerja wanita, penjaga dan operator dan pekerja tanaman masing masing sebesar 292.176, 141.614, 131.386, dan 99.614.5

Sedikitnya orang Indonesia yang bisa bertarung di sektor formal ini juga disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia, menurut data BPS dapat dikatakan bahwa presentase orang yang menikmati pendidikan hanya 15% pada 2012 dan lebih rendah lagi pada tahun tahun sebelumnya.6 Seperti yang kita tahu, untuk menguasai sektor formal dibutuhkan skill yang terlatih, atau yang bisa juga disebut

4

Penempatan Berdasar Sektor (2006-2012), diakses dari http://www.bnp2tki.go.id/statistik/statistik-penempatan/6757-penempatan-berdasar-sektor.html (akses 16 Mei 2014).

5

BNP2TKI , Penempatan Berdasar Jabatan (50 Besar Penempatan per Tahun Berdasar Jabatan), diakses dari http://www.bnp2tki.go.id/statistik/statistik-penempatan/6759-penempatan-berdasar-jabatan-2007-2012.html (akses 16 Mei 2014).

6

(6)

sebagai skilled labour. Sayangnya di Indonesia sendiri belum cukup orang yang mengenyam pendidikan tinggi, apalagi untuk bersaing di sektor formal tingkat ASEAN Hal ini cukup dipertanyakan mengapa pemerintah Indonesia setuju dalam menandatangani AEC-AFTA.

Keunggulan Komparatif

Menurut David Ricardo, sebuah hubungan ekonomi antar negara akan terjadi ketika sebuah negara dirasa bisa melakukan proses produksi yang lebih efektif ketimbang negara lain dan bisa mengambil keuntungan akan hal itu. Teori tersebut yang kemudian dikenal dengan keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif disini adalah kondisi dimana sebuah negara memiliki keunggulan dalam memproduksi barang atau jasa lebih efektif , dari segi biaya dan tenaga, dibandingkan dengan negara lain. Dalam hubungan antar negara tersebut, setiap negara yang melakukan pertukaran akan sama-sama mendapatkan keuntungan.7 Keuntungan disini bisa kita artikan karena sebuah negara tidak perlu untuk membuang tenaga dan biaya yang lebih besar untuk memproduksi sebuah barang karena bisa mendapatkannya dari negara lain yang bisa memberikan dengan harga yang lebih murah ketimbang memproduksinya sendiri.

Dalam karyanya, On The Principles of Political Economy and Taxation, David Ricardo banyak mengambil kasus soal pertukaran antar negara-negara Eropa. Kebanyakan dari pertukaran tersebut adalah produk-produk manufaktur maupun pertanian. Perkembangan industri dalam sebuah negara banyak memberikan pengaruh signifikan dalam menjadi daya tawar terhadap negara lain.8

Sulit sebenarnya bagi kita untuk mengadaptasi pemikiran David Ricardo dalam konteks arus tenaga kerja di AEC. Karena apa yang dianggap David Ricardo sebagai keunggulan komparatif sebuah negara adalah dalam bentuk efisiensi produksi. Sedangkan dalam konteks ini kami ingin mengatakan bahwa ada keunggulan lain dari sebuah negara yang bisa dijadikan daya tawar mereka terhadap

7

David Ricardo, On The Principles of Political Economy and Taxation (Kitchener: Batoche Books, 2001), hal.89.

8

(7)

negara lain selain efisiensi produksi dan faktor alam. Hal itu adalah sumber daya manusia dalam bentuk ketenagakerjaan. Tetapi yang ingin kami gunakan disini sebagai pisau analisa adalah mengenai kondisi sebuah negara yang memiliki kelebihan yang berguna bagi negara lain dan bisa menjadi modal terciptanya perdagangan. Dalam konteks ini kami menilai pemerintah meletakkan TKI sebagai daya tawarnya.

TKI Sebagai Daya Tawar

Dari data yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, kami ingin mengarahkan bahwa kekuatan ekonomi Indonesia sangat ditunjang oleh TKI , sebagai salah satu sektor informal yang jumlahnya sangat besar. Dilihat dari jumlah TKI, Indonesia masih sangat tergantung pada devisa yang bisa datang dari mereka. Melihat pada kondisi perdagangan bebas ASEAN yang akan dihadapi sebentar lagi, sebuah negara sangat memerlukan keunggulan untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain. Kami memandang bahwa, mengacu dari kuantitas TKI yang ada, sektor ini akan menjadi salah satu kekuatan yang digunakan oleh Indonesia sebagai daya tawar terhadap negara-negara lain di ASEAN dalam melakukan pertukaran.

Dilihat dari kondisi yang ada di dalam negeri, tenaga kerja di Indonesia akan sulit untuk bisa bersaing dengan tenaga kerja formal dari negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia. Bahkan bila kita hanya mengacu pada perbandingan tenaga kerja formal dan nonformal di dalam negeri saja kita patut untuk pesimistis. Sekitar 28 persen pekerja Indonesia bekerja di sektor formal, sedangkan 72 persen sisanya bekerja di sektor informal. Kondisi tenaga kerja yang demikian , secara langsung maupun tak langsung, merupakan dampak dari kegagalan pemerintah dalam memberikan lapangan kerja bagi masyarakat di dalam negeri.9 Jumlah TKI yang tinggi dari Indonesia mendukung hal tersebut.

Industrialisasi di Indonesia cenderung terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, atau pun Thailand.

9

(8)

Yoshihara Kunio, dalam bukunya Kapitalisme Semu Asia Tenggara, menyebutkan bahwa permasalahan negara-negara dunia ketiga, salah satunya Indonesia, adalah keterbelakangan teknologi modern. Basis teknologi yang masih lemah menyebabkan Indonesia harus bergantung pada modal asing. Sehingga bisa dikatakan bahwa AEC akan membuat Indonesia semakin tergantung kepada industri dan tenaga ahli dari negara-negara tetangga yang sudah lebih dahulu maju industrinya. Menurut Kunio yang harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut adalah peningkatan pendidikan berbasiskan teknologi.10 Namun masih belum tingginya tingkat pendidikan kita membuat hal itu sulit untuk direalisasikan. Lebih dari itu, kita harus memperbaiki hal tersebut sembari bersaing langsung dengan tenaga kerja ahli dari negara lain.

Menguatkan argumen di atas, Dos Santos, seperti dikutip oleh Suwarso dan Alvin Y.So, menjelaskan bahwa ketergantungan modal asing tersebut justru akan semakin membuat negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dalam posisi tidak menguntungkan. Selain itu pembangunan industri di dalam negeri juga sulit akan berkembang karena terlalu bergatung pada perolehan devisa.11

Dengan kondisi tersebut, negara-negara yang sudah melakukan industrialisasi lebih dahulu ini akan membutuhkan pekerja-pekerja informal, seperti pekerja rumah tangga, dari negara lain seperti Indonesia. Dan dalam hal ini, Indonesia memiliki kelebihan untuk mengakomodir hal tersebut. Inilah yang kemudian menjadi masalah. Sektor TKI yang sangat banyak jumlah pekerjanya cenderung dianggap pemerintah sebagai sebuah kekuatan ekonomi. Keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara-negara lainnya ditunjukkan dengan kemampuan tenaga kerja tidak terampil.

Tapi benarkah banyaknya jumlah TKI itu bisa disebut sebagai sebuah „keunggulan‟?

Jawabannya adalah tidak.

Bila kita mengacu kembali pada pemikiran David Ricardo, pertukaran antar negara akan memberikan keuntungan bagi kedua negara. Dalam perdagangan bebas ASEAN nanti, Indonesia dengan demikian akan mengambil keuntungan dalam hal

10

Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, terj. A.Setiawan Abadi (Jakarta: LP3ES,1990), hal.171.

11

(9)

bisa mendapatkan asupan barang dan jasa dari negara-negara tetangga. Selain itu transfer teknologi akan dengan cepat bisa terjadi karena adanya arus tenaga kerja ahli serta modal asing. Sebaliknya, negara lainnya pun akan mendapatkan keuntungan dengan masuknya TKI ke negara mereka. Tenaga kerja di dalam negeri mereka bisa dipusatkan dalam proses produksi dan industri lainnya ketimbang dalam sektor rumah tangga.

Masalah besar yang patut diperhatikan adalah mengenai ketersediaan lapangan kerja. Sebelum terwujudnya KEA tahun 2015 nanti, masyarakat Indonesia sudah kesulitan mendapatkan lapangan kerja. Ini juga yang menjadi faktor pendorong tingginya angka TKI yang pegi ke luar negeri. Namun seringkali latar belakang ini yang tidak dilihat, dan justru semakin banyak penduduk kota-kota kecil dan desa yang dikirim sebagai TKI ke luar negeri. Negara memang mendapatkan pendapatan yang besar dengan banyak TKI yang bisa dikirimkan, namun di sisi lain itu semakin membuktikan tidak ada upaya dari pemerintah untuk memperhatikan nasib masyarakatnya dalam mencari pekerjaan di dalam negeri. Kasus-kasus penganiayaan TKI di luar negeri tidak perlu terjadi bila lapangan kerja di dalam negeri bisa menyerap semaksimal mungkin tenaga kerja yang ada.

Perjanjian AEC memang tidak mengatur mengenai arus tenaga kerja informal seperti TKI. Tetapi itu tidak berarti bahwa AEC tidak akan berdampak terhadap kebijakan soal TKI. Pengaruh AEC ini lebih bersifat tidak langsung. AEC dan AFTA akan membawa Indonesia ke dalam persaingan dengan negeri-negeri tetangga. Persaingan tersebut pada nantinya akan menuntut efisiensi dalam setiap proses produksi. Yang menjadi titik rawan dari Indonesia sekali lagi adalah angka pekerja di sektor informal yang begitu tinggi. Persaingan antar masyarakat dalam mendapatkan lapangan pekerjaan akan semakin diperparah dengan kedatangan pekerja dari negara tetangga. Kedatangan para pekerja yang lebih terlatih dan terdidik adalah sebuah ancaman nyata yang harus dihadapi. Terlebih bahwa Indonesia menjanjikan pasar yang besar. Indonesia adalah negara yang kekuatan ekonominya ditunjang dari

kosumsi dalam negeri ketimbang ekspor, atau yang disebut dengan “inwa rd

(10)

persen dari GDP, sedangkan ekspor Indonesia hanya pada kisaran 24 persen.12 Dengan demikian para pengusaha dari negara-negara ASEAN akan menjadikan Indonesia sebagai sasaran utama, termasuk para profesional-profesionalnya. Bila tidak diberikan perhatian oleh pemerintah, masyarakat Indonesia yang tidak memiliki modal untuk bersaing akan kehilangan lapangan pekerjaan.

Dengan demikian bila kita ingin kembali pada pertanyaan di awal makalah ini maka kita ada beberapa poin penting yang bisa kita ambil sebagai jawaban. Pemerintah Indonesia telah terlambat dalam hal membangun industrialisasi. Hal itu

berdampak pada tidak majunya sektor formal. Masyarakat „dipaksa‟ untuk mencari

alternatif dalam mendapatkan penghasilan. Salah satunya adalah menjadi TKI ke luar negeri. Poin lainnya adalah bahwa AEC yang diikuti oleh Indonesia bisa tidak memberikan dampak positif untuk meningkatkan pekerja sektor formal di Indonesia. Bahkan pekerja-pekerja di sektor formal yang jumlahnya kurang dari 30% bisa semakin berkurang jumlahnya karena harus bersaing dengan pekerja profesional dari Singapura atau pun Malaysia. Selain itu pemerintah menurut pengamatan kami belum memberikan perhatian besar mengenai hal ini. Bisa dilihat dari masih meningkatnya arus TKI yang dikirim ke luar negeri. Ini menimbulkan pandangan bahwa Indonesia sangat menikmati devisa yang dihasilkan oleh TKI di luar negeri. Dan trend ini akan terus berlanjut bila paradigma Indonesia untuk bisa lebih memajukan sektor formal tidak kunjung membaik. Apa yang dilakukan pemerintah saat ini menguatkan indikasi bahwa TKI diposisikan sebagai daya tawar negara.

III. Kesimpulan

Pada akhirnya kami menilai bahwa masuknya Indonesia kedalam kebijakan AFTA berpengaruh terhadap posisi TKI dalam rencana perekonomian Indonesia kedepannya. Hal ini terlihat dari penempatan sektor informal menjadi sektor yang diunggulkan oleh pemerintah. Hal ini cukup menjadi ironi ketika pemerintah justru mengandalkan tenaga kerja informalnya sebagai sumber pendapatannya, yaitu TKI.

12

(11)

Dalam hal ini, sektor informal yang diwakili oleh TKI juga bukanlah sebuah keunggulan komparatif dari Indonesia karena pada dasarnya jumlah TKI yang besar merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan dan menyediakan lapangan kerja. Oleh karena itu, kami melihat AEC dengan AFTA sesungguhnya akan menjadi sebuah ancaman besar bagi Indonesia. Bila tidak segera ditindaklanjuti, masyarakat Indonesia akan semakin digiring hanya sebagai pasar atau konsumen semata, tanpa adanya pembangunan yang sebenarnya.

Daftar Pustaka:

Sumber buku:

Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Menuju ASEAN Economic Community

2015 . tanpa kota: Kementrian Perdagangan, tanpa tahun.

Fitriani, Evi., ed. Hubungan Indonesia-Malaysia: Dalam Perspektif Sosial, Budaya, Negara, Dan Media. Jakarta: UI-Press, 2012.

Kunio, Yoshihara. Kapitalisme Semu Asia Tenggara terj. A.Setiawan Abadi. Jakarta: LP3ES, 1990.

Ricardo, David. On The Principles of Political Economy and Taxation. Kitchener: Batoche Books, 2001.

Suwarsono, dan Alvin Y.So. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1991.

Referensi

Dokumen terkait

Termasuk sebab penyimpangan dalam penafsiran al- Qur’an dan patut diperhatikan adalah ‘meletakkan ucapan atau ketetapan bukan pada tempatnya.’ Banyak sekali ketetapan yang benar

Sediaan yang telah dimasukan ke dalam botol dievaluasi organoleptis Sediaan yang telah dimasukan ke dalam botol dievaluasi organoleptis dengan memperhatikan bentuk, warna, bau,

Sistem informasi didefinisikan oleh (Robert A. Roscoe Bavis) sebagai berikut: ”sistem informasi adalah suatu sistem didalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan

Gambar 1.14 Diagram Persentase Persepsi Pelatih Terhadap SDM Berdasarkan diagram persentase persepsi pelatih di atas maka sumber daya manusia (SDM) yang ada di Akademi

Dalam penulisan tugas akhir ini pokok-pokok bahasan yang meliputi perancangan dan implementasi algoritma Single Pass Clustering untuk pembuatan aplikasi klasterisasi

4 Karyawan harus berusaha bekerja keras untuk hasil maksimal sesuai kompetensi. 5 Karyawan harus saling bekerja sama untuk menghasilkan sinergi optimal

8 | Husein Tampomas, Soal dan Solusi Try Out Matematika SMA IPS Dinas Kabupaten Bogor,

Studi Tentang Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Aktifitas Fisik saat Puasa dan Tidak Puasa pada Mahasiswa Putri Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian