PROSES TRANSFORMASI PERTANIAN
DAN PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT SAMIN
DI BOJONEGORO
Slamet Widodo Dosen Jurusan Agribisnis Fak. Pertanian Unijoyo
Abstract
The aim of this paper is to explain agricultural transformation in Samin society at Jepang Subvillage, Margomulyo Village, Margomulyo Subdistrict, Bojonegoro Regency. Agricultural transformation can be seen by the changing in production mode from subsistence to commercial. Agricultural transformation can be identified by introduction of agricultural technology or agricultural mechanization. It causes the changing of life style which is more consumptive. Besides this, agricultural modernization reduces labour demand because of labour migration from agriculture sector to others, especially industry and service sectors in big cities arround Jepang Subvillage. It is interesting that traditional institutions, such as “sambatan” and “bawon” are still exist in Samin society. Nowdays, Samin society has not applied a wage system yet in agricultural activities.
Keywords ; agricultural transformation, modernization
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian pada
dasarnya adalah proses transformasi
pertanian, yaitu suatu proses perubahan
pada berbagai aspek di bidang pertanian.
Perubahan tersebut tidak hanya berupa
mekanisasi dan teknologi namun lebih jauh
lagi pada kelembagaan ekonomi dan sosial
pertanian. Sebagai negara agraris, sebagian
besar penduduk pedesaan di Indonesia
menggantungkan hidupnya dari bidang
pertanian. Dengan demikian proses
transformasi pertanian dapat dikatakan
sebagai proses transformasi pedesaan.
Proses ini menyentuh seluruh lapisan
masyarakat di penjuru Indonesia.
Masyarakat Samin dengan
berbagai tradisi dan budayanya serta
memiliki ciri-ciri yang diungkapkan oleh
Barth (1996), bisa dikatakan salah satu
kelompok etnik yang ada di Indonesia.
Bahkan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
telah mengakui masyarakat Samin ini
sebagai salah satu kelompok etnik yang
ada di Jawa Tengah dari empat etnik yang
ada. Komunitas Samin ialah sekelompok
orang yang mengikuti ajaran Samin
Surosentiko yang muncul pada masa
kolonial Belanda. Pada masa lalu
masyarakat Samin dapat diidentifikasikan
sebagai masyarakat yang ingin
membebaskan dirinya dari ikatan tradisi
besar yang dikuasai oleh elit penguasa.
Pada masyarakat pedesaan yang
tingkat perkembangan ekonominya belum
maju dan didominasi oleh sektor pertanian,
transformasi pertaniannya sekaligus dapat
dipandang sebagai cerminan transformasi
masyarakat desanya. Dalam pengertian
perekayaan sosial-budaya pedesaan,
transformasi masyarakat pedesaan dapat
dipandang sebagai proses modernisasi atau
pembangunan (Dumont dalam Pranadji,
1999). Dalam pembangunan, sektor
pertanian atau kegiatan agribisnis dapat
dipandang sebagai leading sector-nya.
Pranadji (1995), menjelaskan tentang
transformasi ekonomi pertanian yang
berciri budaya agribisnis
tradisional/subsisten ke yang berciri
budaya agribisnis modern/komersial.
Tansformasi agribisnis di pedesaan
merupakan respon dan antisipasi terhadap
tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik,
dan globalisasi pasar. Dengan demikian
proses transformasi harus dipandang
sebagai gejala alamiah dan proses aktif
dari sistem sosial yang berada di belakang
kegiatan agribisnis di pedesaan.
Hayami dan Kikuchi dalam
penelitiannya yang dilakukan di daerah
pedesaan Indonesia dan Filipina
menjelaskan kedudukan modernisasi
pertanian yang membawa perluasan
ekonomi pasar dan pertumbuhan penduduk
diatas sumber dyaa tanah pertanian yang
terbatas. Modernisasi pertanian membawa
dampak pada tergantikannya tenaga kerja
manusia dan hewan menjadi tenaga mesin
pertanian. Proses ini disertai perubahan
dalam kelembagaan di desa, mengenai hak
milik lahan dan ikatan kontrak antara
petani, buruh tani dan pelaku lainnya di
desa dan kota (Salim, 2002).
Tjondronegoro (1978), mengungkapkan
bahwa modernisasi kelembagaan di
pedesaan telah berhasil menyusun
pelapisan antara golongan pemimpin yang
mempunyai orientasi berbeda dengan
kesatuan kecil masyarakat. Kesatuan
masyarakat lokal yang otonom sangat sulit
untuk dibuktikan. Pengambilan keputusan
bersama sangat didominasi oleh kekuatan
pemimpin kelembagaan modern desa.
Perubahan pola penguasaan tanah
dan hubungan kerja yang terjadi mengarah
pada pola hubungan kapitalis.
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan
oleh pemerintah menghasilkan
kapitalis-kapitalis baru yang menguasai alat-alat
produksi. Petani kecil dan buruh tani yang
merupakan kelompok mayoritas akhirnya
tetap harus menerima kenyataan berupa
“kekalahan” terhadap kaum pemilik
modal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menerangkan proses transformasi
pertanian dan gejala perubahan sosial
budaya yang terjadi pada masyarakat
Samin. Selain menerangkan gejala
perubahan sosial budaya tersebut,
penelitian ini juga bertujuan untuk
menganalisis faktor penyebab perubahan
sosial budaya pada masyarakat Samin.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret hingga Juni tahun 2007 di Dusun
Margomulyo Kabupaten Bojonegoro.
Penentuan daerah penelitian ini
berdasarkan pertimbangan bahwa di lokasi
tersebut merupakan lokasi dimana
masyarakat Samin masih bertahan hingga
saat ini dengan berbagai tradisi dan
perilakunya serta dengan berbagai
perubahan yang terjadi. Responden
ditentukan dengan metode snow ball
sampling. Metode ini merupakan prosedur
penentuan responden berdasarkan
informasi yang diperoleh dari responden
sebelumnya (Arikunto, 1995). Pertama kali
yang dilakukan adalah menentukan
terlebih dahulu informan kunci. Informan
kunci dipilih berdasarkan tingkat
pengetahuan mereka terhadap budaya
Samin serta kedekatannya dengan silsilah
Samin Surosentiko.
Penelitian ini menggunakan
metode analisis deskriptif kualitatif yaitu
mendeskripsikan atau menggambarkan
dengan kata-kata yang sistematis dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta
hubungan antara fenomena yang dihadapi.
Peneliti dalam menganalisis data
berpedoman pada pandangan Milles dan
Huberman (1992), bahwa analisis kualitatif
tetap menggunakan kata-kata yang
biasanya disusun dalam teks yang
diperluas. Analisis kualitatif terdiri dari
tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan antara reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Masyarakat Samin
Masyarakat Samin masih banyak
dijumpai dan mereka bertempat tinggal di
desa-desa dalam wilayah Kabupaten
Bojonegoro dan Ngawi Propinsi Jawa
Timur. Sedangkan untuk wilayah Jawa
Tengah tersebar di Kabupaten Blora, Pati
dan Kudus. Masyarakat Samin sebenarnya
adalah etnis Jawa namun karena mereka
memiliki tata cara kehidupan bahkan
tradisi yang berbeda dengan masyarakat
Jawa maka masyarakat Samin dianggap
sebagai etnis tersendiri.
Pencetus ajaran Saminisme adalah
Samin Surosentiko yang lahir di Blora
pada tahun 1859. Nama asli Samin
Surosentiko adalah R Kohar yang
merupakan anak dari R Surowidjoyo dan
cucu dari RM Brotodiningrat yang
merupakan Bupati Sumoroto yang
berkuasa pada tahun 1802-1826. R
Surowidjoyo sejak kecil dididik di
lingkungan keraton dengan segala
kemewahan. Namun dalam hatinya timbul
perlawanan karena mengetahui rakyatnya
sengsara oleh penjajahan Belanda. Pada
tahun 1840, R. Surowidjoyo meninggalkan
keraton dan membentuk kelompok pemuda
yang dinamakan Tiyang Sami Amin.
Kelompok pemuda yang dipimpinnya ini
melakukan berbagai perampokan terhadap
antek-antek Belanda dan membagikan
Tahun 1859 lahirlah R Kohar yang
kemudian melanjutkan perjuangan
ayahnya dan memakai nama Samin
Surosentiko atau Samin Anom. Berbagai
ajaran yang menyimpang dari kehidupan
wajar etnis Jawa dan pembangkangan
terhadap segala kebijakan penjajah
Belanda terus disebarluaskan kepada para
pengikutnya. Pada tanggal 8 Nopember
1907, Samin Surosentiko ditangkap oleh
Belanda dan diasingkan ke Digul. Empat
puluh hari sebelum penangkapan itu,
Samin Surosentiko memproklamirkan
dirinya sebagai Raja Tanah Jawa. Pada
tahun 1914, Samin Surosentiko meninggal
dalam pengasingannya.
Sepeninggal Samin Surosentiko,
kepemimpinan Samin diwariskan kepada
Suro Kidin dan Mbah Engkrek. Suro Kidin
adalah menantu Samin Surosentiko,
sedangkan Mbah Engkrek adalah salah
seorang murid setia Samin Surosentiko.
Pola kepemimpinan pada masa ini tidak
lagi bersifat sentralistik namun lebih
bergantung pada pemimpin lokal di
masing-masing wilayah.
Generasi berikutnya adalah
Surokarto Kamidin, anak dari Suro Kidin.
Surokarto Kamidin merupakan pemimpin
Samin generasi ke-3 dan menetap di Dusun
Jepang. Surokarto Kamidin memegang
kepemimpinan pada masa peralihan
pendudukan Belanda dan Jepang hingga
pada masa kemerdekaan. Pada tahun 1986,
Surokarto Kamidin meninggal dunia dan
kepemimpinan Samin di Dusun Jepang
digantikan oleh anaknya, Hardjo Kardi
hingga saat ini.
Transformasi Pertanian
Transformasi pertanian yang
terjadi di Dusun Jepang tidak dapat lepas
dari peran pemerintah, terutama orde baru.
Kebijakan pemerintah yang
mengedepankan pada peningkatan
produksi mengharuskan untuk
menggunakan berbagai teknologi. Tidak
mengherankan apabila pembangunan
pertanian selama orde baru begitu
gencarnya, bahkan hingga pelosok
pedesaan. Pembentukan kelompok tani
serta berbagai program yang diarahkan
untuk meningkatkan produktivitas hasil
pertanian terutama beras. Teknologi
pertanian yang digunakan juga telah maju,
hal ini terbukti dengan telah tersedianya
beberapa mesin pertanian modern.
Kelompok tani “Panggih Mulyo” telah
mempunyai mesin traktor sebanyak empat
unit, pompa air sebanyak sembilan unit,
mesin perontok padi sebanyak satu unit
dan sebuah mesin penggilingan padi.
Mesin-mesin modern ini sebagian besar
merupakan hasil bantuan dari pemerintah
melalui proyek-proyek pembangunan
pertanian yang dilaksanakan di Dusun
Jepang. Mekanisasi di bidang pertanian
dimulai pada tahun 1997 atas bantuan
pemerintah propinsi Jawa Timur. Saat itu
mendapatkan bantuan berupa satu unit
traktor dan dua unit mesin pompa air.
Selain mekanisasi, pertanian yang
dilaksanakan oleh masyarakat Samin juga
menggunakan bahan-bahan anorganik
seperti pupuk dan pestisida. Namun
penggunaannya masih dalam jumlah yang
terbatas. Masyarakat Samin menyadari
bahwa penggunaan bahan kimia secara
berlebih dapat merusak lingkungan. Untuk
mencukupi kebutuhan unsur hara bagi
tanaman, masyarakat Samin menggunakan
pupuk kandang sebagai bahan penyubur
tanah. Penggunaan pupuk kandang telah
berlangsung sejak lama dan diwariskan
secara turun temurun, terlebih sudah
menjadi kebiasaan di daerah pedesaan
apabila petani memiliki hewan ternak.
Hewan ternak ini selain digunakan sebagai
hewan kerja juga dijadikan sebagai
tabungan pada musim paceklik.
Proses pembuatan pupuk kandang
mengalami pergeseran dari waktu ke
waktu. Pada masa lalu pembuatannya
dilakukan secara sederhana tanpa
penambahan bahan lain, namun kini
masyarakat Samin telah mengenal bahan
organik yang mampu meningkatkan mutu
pupuk kandang dan mempersingkat proses
pembuatannya. Pengetahuan ini diperoleh
dari tenaga penyuluh lapang yang bertugas
di Desa Margomulyo.
Transformasi pertanian yang
terjadi pada masyarakat Samin tidak lepas
dari hubungan yang terjadi dengan dunia
luar. Berbagai program pembangunan
pertanian yang dilaksanakan oleh
pemerintah telah merubah kondisi
pertanian di masyarakat Samin. Proses
persentuhan dengan dunia luar membuat
masyarakat Samin dapat mengenal
berbagai teknologi baru yang telah lebih
dulu berkembang. Masuknya teknologi
baru merupakan akibat dari keterbukaan
pada masyarakat Samin pada masa
kepemimpinan Mbah Hardjo Kardi.
Keterbukaan ini yang kemudian mampu
merubah berbagai pandangan negatif
terhadap masyarakat Samin. Berbagai
proyek pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintah ternyata dapat berjalan
dengan baik di Dusun Jepang ini.
Masyarakat Samin yang masih tetap
memegang teguh budaya non materialnya,
seperti nilai dan kepercayaan
menyebabkan keberhasilan proyek
pembangunan tersebut.
Modernisasi pertanian membawa
dampak pada berkurangnya kebutuhan
tenaga kerja. Tenaga kerja manusia dan
hewan dapat digantikan oleh mesin-mesin
modern seperti traktor, pompa air dan
mesin perontok padi. Ramalan Marx
tentang pembentukan moda produksi
kapitalis pada masyarakat Samin ternyata
tidak terbukti. Konsep kepemilikan alat
produksi masih tetap mempertahankan
tradisi yang telah ada. Kepemilikan alat
produksi didasarkan oleh kepemilikan
pun yang akan menjadi penguasa alat
produksi. Teori kelas Marx yang
menyatakan adanya pembentukan kelas
baru sebagai akibat adanya teknologi tidak
terjadi pada masyarakat Samin.
Masyarakat Samin tidak mengenal
konsep majikan dan buruh. Tenaga kerja
yang dibutuhkan dalam proses produksi
pertanian dilaksanakan dengan cara-cara
tradisional. Kelembagaan gotong royong
berupa sambatan masih senantiasa
terpelihara hingga saat ini. Kebutuhan
tenaga kerja dalam bidang pertanian
diperoleh dengan cara saling membantu
antar rumah tangga petani secara
bergiliran. Pola pengupahan dalam
pertanian tidak dikenal dalam masyarakat
Samin. Sebagai gantinya adalah pola saling
meminjam tenaga kerja, sehingga
pengeluaran berupa upah tenaga kerja
digantikan juga dengan tenaga kerja.
Sambatan ini berlangsung mulai
pada masa tanam hingga panen. Khusus
pada masa panen, tenaga kerja
mendapatkan “upah” berupa sebagian dari
hasil panen yaitu bawon. Model ini juga
dapat diartikan sebagai suatu bentuk
asuransi sosial masyarakat Samin. Ketika
salah satu rumah tangga petani mengalami
kegagalan panen maka masih dapat
mengandalkan hasil bawon dari rumah
tangga yang lain sebagai hasil “upah”
tenaga kerja yang diberikannya.
Suatu yang menarik ketika
masyarakat Samin di satu sisi menerima
kehadiran teknologi di bidang pertanian,
namun di sisi lainnya mereka masih tetap
memegang teguh nilai-nilai tradisional
yang mereka anut. Transformasi pertanian
yang terjadi hanya sebatas pada cara
produksi tanpa merubah struktur sosial
masyarakat. Kelas-kelas sosial yang
terbentuk dengan adanya tranformasi
pertanian, yaitu kelas pemilik tanah dan
buruh tani tidak terbentuk pada masyarakat
Samin.
Pespektif idealis yang memandang
proses perubahan disebabkan oleh
perubahan budaya non material tampaknya
lebih bisa diterima apabila digunakan
untuk membedah kasus masyarakat Samin.
Perubahan budaya non material yang
paling tampak adalah sikap keterbukaan
pada masyarakat Samin. Terlebih ketika
pendidikan formal mulai masuk ke Dusun
Jepang.
Nilai-nilai yang berlaku pada
masyarakat Samin pada masa lampau
merupakan perwujudan perlawanan
terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Perlawanan yang dilakukan oleh
masyarakat Samin tidak diwujudkan dalam
bentuk perlawanan fisik, namun dalam
bentuk pembangkangan. Masyarakat
Samin menolak membayar pajak dan
berlaku seenaknya ketika menghadapi
Belanda. Pembangkangan ini bahkan dapat
dikatakan sebagai bentuk perilaku yang
Weber melihat bahwa pada
wilayah Eropa yang mempunyai
perkembangan industrial kapital pesat
adalah wilayah yang mempunyai penganut
protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu
kebetulan semata. Nilai-nilai protestan
menghasilkan etik budaya yang menunjang
perkembangan industrial kapitalis.
Protestan Calvinis merupakan dasar
pemikiran etika protestan yang
menganjurkan manusia untuk bekerja
keras, hidup hemat dan menabung. Pada
kondisi material yang hampir sama,
industrial kapital ternyata tidak
berkembang di wilayah dengan mayoritas
Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai
etika protestan (Harper, 1989).
Harper (1989), menjelaskan bahwa
Lewy sependapat dengan Weber tentang
peranan ideologi dalam perubahan sosial.
Lewy mengambil contoh sejarah yang
menggambarkan bahwa nilai-nilai ideologi
mempengaruhi arah perubahan. Dia
menyebutkan adanya pemberontakan
Puritan di Inggris, kebangkitan kembali
Islam di Sudan, pemberontakan taiping dan
bokser di China. Seperti halnya Weber,
Lewy tidak menyangkal bahwa kondisi
material mempengaruhi perubahan sosial.
Namun demikian kita tidak dapat hanya
memahami perubahan sosial yang terjadi
hanya dari faktor material saja.
Faktor Penyebab dan Proses Perubahan
Sosial Pada Masyarakat Samin
Penyebab perubahan sosial dalam
perspektif materialis dan idealis pada
dasarnya saling bertentangan. Namun
menurut pandangan peneliti keduanya akan
saling melengkapi. Faktor material dan non
material tidak dapat dipisahkan karena
keduanya memiliki peranan yang penting
dalam perubahan sosial di masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan perubahan sosial pada
masyarakat Samin, yaitu :
1. Masuknya agama Islam di Dusun
Jepang.
2. Masuknya teknologi.
3. Migrasi tenaga kerja yang
dilakukan oleh generasi muda
masyarakat Samin.
4. Masuknya informasi melalui
media massa.
Masyarakat Samin pada dasarnya
mengacu pada konsep agama atau ajaran
tradisional. Masyarakat Samin sendiri
menamai agamanya sebagai “Ageman
Adam”. Walaupun sejak orde baru,
masyarakat Samin sudah “memeluk”
agama Islam, namun mereka hanya sebatas
pada formalitas semata. Tekanan politik
yang kuat pemerintahan Soeharto
menyebabkan mereka mau tidak mau harus
memilih menjadi “pemeluk” salah satu
agama yang diakui oleh pemerintah.
ancaman yang menakutkan bagi
masyarakat pada masa itu. Tekanan politik
ini menyebabkan masyarakat Samin
“memeluk” Islam, namun sama tidak
menjalankan ajaran Islam dengan baik.
Pemahaman Islam semakin lama
semakin meningkat terlebih dengan
masuknya informasi dari luar terutama
melalui televisi. Perubahan pada
pemahaman nilai Islam juga dipengaruhi
oleh pengalaman yang diperoleh dari
kelompok masyarakat di luar Dusun
Jepang. Banyaknya generasi muda yang
melakukan migrasi ke kota-kota besar turut
mendukung perkembangan Islam di Dusun
Jepang ini.
Teknologi yang berupa mekanisasi
pertanian telah membawa dampak
perubahan pada masyarakat Samin.
Berkurangnya kebutuhan tenaga kerja
menyebabkan banyak tenaga kerja yang
harus beralih dari sektor pertanian ke
sektor lainnya. Apalagi semakin
bertambahnya penduduk tidak diimbangi
dengan bertambahnya lahan pertanian yang
dapat diusahakan. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Geertz sebagai suatu
bentuk involusi pertanian yang membawa
kepada bentuk shared proverty
(kemiskinan berbagi).
Listrik juga telah membawa
perubahan yang sangat besar bagi
masyarakat Samin. Listrik mulai masuk ke
Dusun Jepang tahun 1997. Seiring dengan
masuknya listrik, masyarakat Samin dapat
dengan mudah mengakses informasi yang
berasal dari televisi. Hadirnya televisi
membawa konsekuensi pada perubahan
budaya pada masyarakat Samin, terutama
pada generasi muda. Penampilan serta
ekspresi seni generasi muda sudah
mengikuti selera generasi muda di
kota-kota besar.
Akses dengan masyarakat dan
kebudayaan luar menjadi semakin mudah
dengan jalan yang telah diaspal. Mobilitas
warga juga semakin meningkat, terlebih
lagi banyak penduduk yang telah memiliki
kendaraan bermotor. Migrasi menuju
daerah perkotaan menjadi lebih mudah
dilakukan. Pendidikan generasi muda juga
mengalami kemajuan seiring dengan
lancarnya akses jalan di Dusun Jepang ini.
SIMPULAN
Masyarakat Samin di Dusun
Jepang telah mengalami banyak perubahan
dan akan terus berlangsung seiring
pembangunan “ala” modernisasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Sejauh ini
perubahan yang terjadi berupa transformasi
pertanian yang dicirikan oleh perubahan
moda produksi dari yang semula subsisten
menjadi komersialis. Transformasi
pertanian yang terjadi ditandai pula dengan
masuknya teknologi pertanian berupa
mekanisasi pertanian. Mekanisasi
pertanian atau lebih tepatnya modernisasi
pertanian merupakan salah satu kebijakan
baru yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas pertanian di Indonesia.
Modernisasi pertanian membawa
dampak pada menurunnya kebutuhan
tenaga kerja pada sektor pertanian. Siring
dengan modernisasi pertanian tersebut
semakin banyak warga masyarakat Samin
yang melakukan migrasi ke sektor non
pertanian terutama industri dan jasa di
kota-kota besar di sekitar Dusun Jepang.
Suatu temuan yang menarik adalah tidak
berubahnya sistem kelembagaan sambatan.
Sampai saat ini masyarakat Samin tidak
menerapkan sistem kerja upahan pada
sektor pertaniannya.
Perubahan dalam sistem
kepercayaan masyarakat Samin berjalan
dengan masuknya Islam. Keyakinan
ageman adam menjadi semakin luntur dan
digantikan dengan ajaran Islam.
Pemerintahan orde baru yang seringkali
memaksa warga negaranya untuk memeluk
salah satu agama yang diakui oleh
pemerintah meyebabkan masyarakat
Samin harus meninggalkan sistem
kepercayaan yang telah dianutnya secara
turun temurun. Pada awal orde baru, ajaran
Islam kurang berkembang di masyarakat
Samin. Islam hanya sebatas menjadi agama
formalitas saja. Pemahaman Islam
mengalami peningkatan pada tahun
1980-an, dengan masuknya kegiatan dakwah
yang dilakukan oleh Departemen Agama.
Perkembangan pemahaman Islam semakin
meningkat dengan semakin terbukanya
akses informasi dan komunikasi di Dusun
Jepang.
Arus migrasi yang terjadi di Dusun
Jepang membawa dampak pada munculnya
agen perubahan pada masyarakat Samin.
Pelaku migrasi seringkali membawa nilai
budaya baru yang mereka dapatkan dari
daerah lain yang kemudian menyebar pada
masyarakat. Masuknya informasi dari luar
terutama melalui televisi juga
menyebabkan perubahan pada masyarakat
Samin. Tingkat pendidikan masyarakat
Samin mengalami peningkatan dengan
diaspalnya jalan yang menghubungkan
Dusun Jepang dan daerah lain. Hubungan
dengan masyarakat lain lebih intensif,
mobilitas penduduk di Dusun Jepang juga
semakin meningkat.
SARAN
Pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintah hendaknya tetap
memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal.
Model pembangunan ala modernisasi yang
identik dengan westernisasi perlu ditinjau
ulang oleh pemerintah. Telah banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa nilai
budaya tradisional tidak bertentangan
dengan pembangunan bahkan mendukung
pembangunan itu sendiri. Walaupun
dilema lokalitas masih menjadi kendal
dalam memilih pemberdayaan sebagai
sebuah konsep pembangunan alternatif
berbasis lokalitas, namun pemberdayaan
keragaman masyarakat Indonesia. Isu
lokalitas menjadi sebuah isu yang menarik
untuk dijadikan bahan diskursus dalam
pencarian model pembangunan alternatif.
Sebagai sebuah bentuk perlawanan,
pemberdayaan mungkin akan mengalami
berbagai resistensi dari berbagai pihak
yang tidak rela berbagi kekuasaan dengan
masyarakat. Namun trend perubahan
model pembangunan berbasis lokalitas
mau tidak mau akan memaksa kita untuk
menerapkannya.
Penghargaan nilai-nilai lokal dan
kesetaraan antar umat manusia menjadi
sebuah misi mulia model pembangunan ala
pemberdayaan ini. Semoga kita dapat
membuat sebuah varian model
pemberdayaan yang memiliki ciri
ke-Indonesiaan, setelah kita mengalami “cuci
otak” oleh modernisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1995. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.
Barth, Frederik. 1996. Kelompok Etnis dan Batasannya. UI Press. Jakarta.
Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. Prentice Hall. New Jersey.
Milles dan Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta.
Pranadji, T. 1995. Wirausaha, kemitraan Dan Pengembangan Agribisnis Secara Berkelanjutan. Analisis CSIS, XIV (5): 332-343. Center of Strategic and International Studies. Jakarta.
, T. 1999. Perekayaan Sosio – Budaya Dalam Percepatan Tranformasi Masyarakat Pedesaan Secara Berkelanjutan.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta.