• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB HAKIM DAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB HAKIM DAL"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN, TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB HAKIM DALAM

MEWUJUDKAN KEADILAN,

KEPASTIAN HUKUM, DAN KEMANFAATAN

Oleh : ANSYAHRUL

A. PENDAHULUAN

Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 ( Hasil Perubahan Ketiga, Tanggal 9 November 2001 ) menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Hakim adalah personifikasi dari kekuasaan kehakiman tersebut yang mengaktualisasikan tugas menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi.

Mengenai istilah “hukum” perlu dilihat pembahasan sewaktu pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Panitia Perancang Undang-Undang-Undang-Undang Dasar dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, anggota Prof. Supomo menerangkan bahwa “Menurut panitia, “hukum” dapat disalin dalam bahasa Belanda dengan perkataan “recht”, artinya hukum itu bisa tertulis atau bisa tidak tertulis”1.

Oleh sebab itu peradilan ( in casu hakim ) dalam menegakkan hukum bukan hanya hukum tertulis ( kodifikasi ) saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis seperti hukum kebiasaan atau hukum adat yang senyatanya hidup di dalam masyarakat.

Hal ini diakomodir oleh Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman ( Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ) yang dalam Pasal 5 ayat (1) mewajibkan para hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hukum dan peradilan adalah pranata yang diciptakan oleh masyarakat untuk melindungi dirinya dari ancaman-ancaman yang membahayakan dan mengganggu ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, khusus mengenai hukum tertulis, perlu dicermati pendapat seorang ahli hukum Belanda : Ch. J. Enschede ( sebagaimana dikutip oleh W.van Gerven-ahli hukum Belgia dalam bukunya Het Beleid van de Rechter ) berpendapat bahwa : “...jadi hakim yang memberikan isi dan wujud konkret kepada kaidah hukum dengan menerapkannya, mau tidak mau melanjutkan karya politik pembuat undang-undang”. Selanjutnya W.van Gerven menyimpulkan bahwa hakim selalu ada dalam bidang rentangan antara kompleks nilai yang mendasari undang-undang dan kesadaran nilai konkret dalam masyarakat masa kini2.

Sistem kodifikasi mempunyai kelebihan dalam memberikan kepastian hukum dan legal justice, tetapi sekaligus juga mengandung kelemahan yaitu lamban dalam mengikuti perkembangan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, atau dengan kata lain dapat terjadi ketidakserasian lagi antara legal justice dengan moral justice dan social justice. Dalam hal ini hakim harus kritis, dan tidak hanya bertindak sebagai corong undang-undang saja.

1 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Siguntang, Cetakan Kedua, 1971, halaman 300-301

(2)

Mengenai acuan penyelenggaraan peradilan di Indonesia, kita dapat menemukannya pada Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 angka III dengan judul “Undang-Undang Dasar Menciptakan Pokok-Pokok Pikiran Yang Terkandung Dalam “Pembukaan” Dalam Pasal-Pasalnya”, yang uraiannya adalah : “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan Cita-Cita Hukum ( Rechtsidee ) yang menguasai Hukum Dasar Negara, baik Hukum yang tertulis ( Undang-Undang Dasar ) maupun Hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.”

Pada alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkandung Pancasila sebagai Dasar Negara, sehingga peradilan harus diselenggarakan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila tersebut, dan ini ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa “Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”.

Ada dua dimensi keadilan menurut Pancasila yaitu ;

1. Sila Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah merupakan dimensi keadilan yang bersifat individual.

2. Sila Kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah merupakan dimensi keadilan yang bersifat kolektif.

B. CITA-CITA HUKUM ( RECHTSIDEE )

Berbicara mengenai cita-cita hukum, tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran dari seorang ahli hukum, filsuf hukum dan sekaligus juga seorang birokrat dan politisi Jerman dari mazhab Relativisme yaitu Gustav Radbruch ( 1878-1949 ) sangat berpengaruh di dunia hukum.

Menurut Radbruch, hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum yaitu keadilan, untuk mengisi cita keadilan itu, kita harus menoleh kepada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan, keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum. Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan atau keamanan lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan oleh sistem politik3.

Faham Radbruch inipun dianut pula di Indonesia, bahwa tujuan atau cita-cita hukum adalah untuk diperolehnya keadilan, memberi kemanfaatan, dan menjamin adanya kepastian hukum.

Para hakim harus benar-benar memahami cita-cita hukum ini, karena merekalah yang harus mewujudkan ketiga cita-cita hukum tersebut melalui putusan-putusan mereka. Terlebih lagi bahwa

(3)

peradilan memegang peranan kunci dalam suatu Negara, seperti apa yang dikemukakan oleh Adam Smith ( Bapak Teori Ekonomi Klasik ) di dalam buku karyanya yang terkenal The Wealth of Nations : “The Second Duty of The Sovereign, is that of the protecting, as far as possible, every member of the society from the injustice or oppression of every other member of it, or the duty of establishing an exact administration of justice...regular administration of justice was a guiding ideal that could lead and direct a political process”4.

Apabila kita melihat 3 cita hukum dari konsep pemikiran Radbruch tersebut dari sudut pandang sistem peradilan, dapat kita polakan dalam 3 kepentingan sebagai berikut ;

1. Individu ( pihak yang berperkara ) membutuhkan keadilan. Para pihak yang berperkara atau pencari keadilan menghendaki agar hakim memberikan putusan yang adil terhadap mereka. 2. Negara, yaitu pihak yang berkepentingan akan adanya kepastian hukum untuk mempertahankan

legitimasi dan terjaganya keamanan serta ketertiban.

3. Masyarakat, yaitu pihak yang mengharapkan adanya dampak kemanfaatan dari putusan hakim yang bersifat kasuistis dan individual tersebut. Manfaat mana adalah, bahwa setiap pelanggaran hukum akan dikenai sanksi, hal mana menimbulkan efek jera. Terjaganya rasa aman dan tertib dalam kehidupan bermasyarakat.

Jadi, setiap putusan hakim diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pihak yang berperkara, memberikan kepastian hukum bagi Negara, dan memberikan rasa aman bagi masyarakat. Namun ada kalanya terjadi pertentangan antara keadilan dengan kepastian hukum, maka hakim harus melihat kemanfaatan untuk mengutamakan keadilan atau kepastian hukum.

C. KEADILAN

Dalam menentukan keadilan atas suatu perkara, hakim tidak hanya melihat keadilan normatif / prosedural / legal justice saja, tetapi juga melihat nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( moral justice dan social justice ), baik yang terkandung di dalam hukum adat dankearifan lokal setempat, maupun kebiasaan yang berkembang dalam pembentukan persepsi masyarakat setempat tentang kebenaran dan kepatutan.

Sehubungan dengan penentuan keadilan ini, keterampilan dan kepribadian seorang hakim sangatlah menentukan. Tidaklah berlebihan bila seorang sosiolog hukum asal Austria bernama Eugen Ehrlich ( 1862-1922 ) berpendapat : “there is no guaranty of justice except the personality of the judge”5.

Memutus perkara merupakan proses berpikir yang dipandu oleh hati nurani, dengan melihat :

 Siapa yang menzalimi, siapa yang dizalimi, dan siapa yang terzalimi ;

 Apakah ada niat jahat / buruk atau tidak ;

 Apakah ada kesengajaan atau tidak ;

4 Robin Paul Malloy and Jerry Evensky, Adam Smith And The Philosophy of Law and Economics, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht/Boston/London, 1994, halaman 31

(4)

 Apakah yang menjadi motivasi sehingga terjadinya perkara ;

 Letakkan sesuatu pada tempatnya ;

 Tentukan siapa yang berhak dan siapa yang wajib ;

 Pisahkan yang haq dari yang bathil.

Dalam menganalisa aspek-aspek inilah seorang hakim harus dipimpin oleh hati nuraninya yang muncul dalam bentuk intuisi. Oleh karenanya seorang hakim harus selalu melatih logikanya di samping selalu menjaga dan mengasah hati nuraninya, sehingga kedua unsur itu terinternalisasi menjadi watak dan kepribadiannya.

D. KEPASTIAN HUKUM

Pengertian kepastian hukum secara hakikinya adalah bahwa negara berdasarkan hukum. Kehidupan bernegara dan bermasyarakat diatur oleh hukum.

Negara berkewajiban melaksanakan, menjaga, dan menegakkan hukum, dengan memastikan bahwa masyarakatpun mematuhi dan menghormati hukum.

Kepastian hukum ini dipersepsikan adalah mengenai hukum tertulis, sehingga oleh karenanya hukum tertulis itu harus pasti dan jelas. Tidak boleh terjadi bahwa aturan hukum tertulis itu dapat menimbulkan multi-tafsir, atau aturan-aturan hukum itu saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila hal tersebut terjadi maka akibatnya justru terjadi ketidakpastian.

Ada asas dalam hukum acara dimana Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau hukumnya kurang jelas, melainkan Pengadilan wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskannya. Asas ini tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan ini identik dengan Pasal 22 Alegemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia ( AB ) yaitu Aturan Umum Tentang Melaksanakan Perundang-undangan untuk Indonesia ( Stbl. 1847 No. 23 yang dirubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1920 No. 69 ). Ketentuan ini mengandung makna bahwa apabila hukumnya tidak ada, hakim harus menciptakan hukum ( law making ), dan apabila hukumnya kurang jelas, maka hakim harus menemukan hukumnya yang pasti ( law finding ).

Kekosongan hukum tidak boleh terjadi karena dapat membahayakan kehidupan bernegara dan kehidupan bermasyarakat, maka hakim melalui kewenangannya harus mengisi kekosongan itu.

Pendapat seorang pakar di luar disiplin ilmu hukum sangatlah tepat, yaitu Frederick L. Schuman, seorang ahli ilmu politik dan hubungan internasional Amerika Serikat ( 1904-1981 ) berpendapat : “Lawlessness is the son of anarchy and the brother of violence”6.

Kekosongan/kevakuman hukum acap kali terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan situasi politik dalam suatu negara ( masa-masa transisi ). Guru Besar Comparative Law di New York Law School berpendapat : “...Pada masa transisi, pengambilan keputusan hukum oleh badan pengadilan sering kali bisa lebih cepat daripada oleh bada legislatif, yang biasa diperlambat oleh

(5)

kurangnya pengalaman dan karena terlalu kompromistis. Terlebih lagi, dalam konteks gejolak politik, badan pengadilan sering kali lebih kompeten dalam membahas penyelesaian kontekstual, kasus demi kasus, terhadap kontroversi-kontroversi transisional”7.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang telah mengalami dua kali perubahan, yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pada Pasal 79 ditentukan bahwa : “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”. Penjelasan Pasal 79 ini menjelaskan pada alinea pertamanya sebagai berikut : “Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi”.

Dalam praktek peradilan, upaya hakim untuk mewujudkan kepastian hukum ini adalah dengan menjaga konsistensi putusan atas perkara sejenis dan menjaga tidak terlalu besarnya disparitas penjatuhan pidana, kecuali bila terjadi perubahan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.

E. KEMANFAATAN

Setiap putusan hakim, bukan hanya memberikan keadilan bagi pencari keadilan, dan memberi kepastian hukum bagi negara, tetapi juga memberi manfaat bagi masyarakat di samping adanya perlakuan adil dan dijaganya kepastian, masyarakatpun memperoleh manfaat berupa adanya :

 Rasa aman dan tertib ;

 Jaminan bahwa setiap penyimpangan yang merugikan orang lain tidak dapat dibiarkan dan ada

konsekuensinya berupa sanksi hukum ;

 Efek jera, karena setiap putusan hakim bukan saja merupakan penyelesaian bersifat represif,

tetapi juga harus mengandung aspek preventif berupa pencegahan, baik yang berupa special deterrence / prevention terhadap yang bersangkutan dalam bentuk efek jera, dan juga yang berupa general deterrence / prevention yaitu rasa takut para anggota masyarakat lain untuk tidak melakukan hal serupa.

Dalam perkara pidana, ada pranata yang disediakan untuk memantau apakah pidana yang dijatuhkan oleh hakim ( dalam bentuk perampasan kemerdekaan ) dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak, dan memantau apakah hukuman itu efektif atau tidak, pranata ini adalah : Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan ( Bab XX : Pasal 277-283 KUHAP ) yang dilakukan oleh hakim. Hal ini dimaksudkan agar para narapidana tersebut dalam menjalani pidana yang dijatuhkan mendapat pembinaan, sehingga bila Ia selesai menjalani masa pidananya, dan kembali ke masyarakat, Ia tidak lagi menjadi beban dan ancaman bagi masyarakat.

(6)

F. PENUTUP

Demikianlah paparan mengenai Peran, Tugas, dan Tanggung Jawab Hakim dalam Mewujudkan Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan, yang diharapkan agar dapat menggugah kita semua akan mulia dan tidak ringannya peran, tugas, dan tanggung jawab seorang hakim dalam sistem hukum kita.

Terlebih lagi dengan adanya kondisi obyektif atau kenyataan yang kita hadapi yang antara lain adalah :

 Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang luas ;

 Indonesia memiliki populasi yang besar ;

 Masyarakat Indonesia adalah heterogen dari segi suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat

istiadat, hukum adat, kearifan lokal, dan karakter ;

 Ada 826 ( delapan ratus dua puluh enam ) satuan kerja Pengadilan dari 4 ( empat ) lingkungan

Peradilan ( Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara ) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Hal tersebut di atas di satu sisi adalah merupakan kekayaan bangsa, tapi di sisi lain juga merupakan tantangan untuk dihadapi. Oleh karenanya memang kita membutuhkan tenaga-tenaga segar untuk direkrut menjadi Hakim Indonesia. Tenaga-tenaga yang berkualitas dan potensial, memiliki semangat juang, semangat pengabdian dan dedikasi yang tinggi guna menjawab tantangan zaman, dan mengatasi permasalahan-permasalahan dunia peradilan, serta sanggup untuk mewujudkan peradilan Indonesia yang agung di masa depan.

Semoga paparan ini bermanfaat

DAFTAR BACAAN

Benjamin N. Cardozo, The Nature of the Judicial Process, Yale University Press, Connecticut, United States of America, Sixteenth Printing, 1955

Frederick L. Schuman, International Politics-The Western State and The World Community, Kogakusha Company.Ltd, Tokyo, Sixth Edition, 1958

(7)

Robin Paul Malloy and Jerry Evensky, Adam Smith And The Philosophy of Law and Economics, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht/Boston/London, 1994

Ruti G. Titel, Transitional Justice, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Elsam dengan judul : Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, Elsam, Jakarta, 2004

W. Friedman, Legal Theory, diterjemahkan oleh Muhammad Arifin dengan judul Teori dan Filsafat Hukum-Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan ( Susunan II ), Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Kedua, 1994

Referensi

Dokumen terkait

MENGGUNAKAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PADA MASA TRANSISI DAN PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR:

Seharusnya upaya hukum terhadap kekuatan putusan hakim dalam mepertimbangkan saksi yang tidak memberikan keterangan pada putusan perkara perdata (analisis putusan

Pandangan Hakim Tentang Putusan Damai Atas Upaya Hukum Verzet Terhadap Putusan Verstek Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Jombang ( Studi Perkara

Menurut Fauzi peran dan tanggung jawab kurator antara lain melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit, mengumumkan putusan hakim tentang pernyataan

Dalam praktek peradilan pidana tradisi berpikir yang progresif ini perlu terus didorong, agar benar-benar menjadi budaya hukum dikalangan hakim dalam menangani perkara

Upaya untuk Mewujudkan Kemandirian Hakim Setelah pembahasan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi atau dapat mengintervensi kemandirian hakim dalam memutus perkara di

Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan Hakim antara putusan yang satu dengan putusan Hakim yang

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah : “Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis