• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTROVERSI PILKADA TIDAK LANGSUNG KAREN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONTROVERSI PILKADA TIDAK LANGSUNG KAREN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KONTROVERSI PILKADA “TIDAK LANGSUNG” KARENA MENODAI AMANAT REFORMASI

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (AR1112B) Dosen Pengampu Wieky Rusmanto, S.Sos., M.Si.

disusun oleh:

Argi Cahyadi H NPM 41155030150030 Aria Nurahman NPM 41155030150062 Deagam Hendrawan NPM 41155030150034 Deni Efendi NPM 41155030150067 Egi Muhamad Soleh NPM 41155030150004 Irfan Fathulloh NPM 41155030150031 Rian Gilang N NPM 41155030150003

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LANGLANGBUANA KOTA BANDUNG

(2)

1

KONTROVERSI PILKADA “TIDAK LANGSUNG” KARENA MENODAI AMANAT REFORMASI

Argi Cahyadi H, Aria Nurahman, Deagam Hendrawan, Deni Efendi Egi Muhamad Soleh, Irfan Fathulloh, Rian Gilang N

Mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Langlangbuana

ABSTRAK

Aturan mendasar tentang mekanisme Pilkada terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Frasa “demokratis” inilah yang kemudian ditafsirkan oleh MK sebagai opened legal policy di DPR, di mana Pilkada dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Namun demikian, pembuat kebijakan politik sejatinya harus mampu dan secara bijak menerjemahkan kebijakan terbuka tersebut berdasarkan takaran dan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih besar di antara pemilihan langsung atau tidak langsung.

Takaran bobot demokratis semacam ini sebenarnya telah dituangkan di dalam Naskah Akademis (NA) dari Pemerintah saat mengusulkan RUU Pilkada ke DPR. Dalam NA tersebut ditegaskan bahwa dalam konteks demokrasi, pemilihan bupati dan walikota seharusnya dilakukan secara langsung oleh rakyat (direct democracy). Namun ternyata, NA yang disusun oleh para kelompok akademisi dan peneliti tesebut dikesampingkan oleh mayoritas anggota DPR.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya keinginan untuk mengembalikan mekanisme Pilkada melalui DPRD setidaknya disandarkan pada beberapa argumentasi pokok, yaitu penghematan biaya Pilkada, menghindari terjadinya konflik sosial, mencegah lahirnya kepala daerah yang koruptif, dan perbandingan negara lain. Akan tetapi, landasan argumentasi tersebut tidaklah berdiri secara kokoh.

(3)

Kedua, munculnya ketegangan dan kerawanan sosial dalam Pilkada langsung sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari bagaimana para calon kepala daerah ataupun elit partai politik bersikap dan memberi tauladan kepada para pendukungnya. Oleh karena itu, memvonis bahwa rakyat pemilih tidak siap mengikuti Pilkada langsung merupakan tuduhan yang salah alamat. Para elite partai politik seyogianya menunjuk hidungnya telebih dahulu untuk memperbaiki sikap atas tindak-tanduknya yang seringkali memprovokasi masa pendukung ataupun mengintervensi jajaran birokrat.

Ketiga, alasan bahwa Pilkada langsung melahirkan kepala daerah yang koruptif juga tidak sepenuhnya tepat. Mengutip hasil kajian dan data resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 81% korupsi yang melibatkan kepala daerah dan ditangani KPK merupakan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang tidak dapat dilepaskan dari konsekuensi pelaksanaan sistem desentralisasi. Artinya, mengembalikan Pilkada melalui DPRD juga tidak menjamin bahwa korupsi kepala daerah akan berkurang. Sebaliknya, hasil studi menunjukan bahwa mekanisme Pilkada melalui DPRD akan menyuburkan potensi terjadinya korupsi struktual dan kolusi antara kepala daerah dengan anggota DPRD (P2EB FEB UGM, 2014). Sebab, nasib keterpilihan kepala daerah akan beralih dari rakyat sebagai pemilih ke dalam genggaman tangan para anggota DPRD sepenuhnya.

(4)

3

Untuk konteks Australia, setiap warga negaranya bahkan diwajibkan untuk menggunakan suaranya dalam Pemilu, jika tidak maka akan dikenakan denda. Salah satu alasannya agar terdapat legitimasi bagi kepala daerah atau anggota DPRD yang terpilih. Oleh sebab itu, di beberapa negara bagian Australia yang menerapkan Pilkada langsung seperti Queensland, kandidat kepala daerah tidak harus berasal dari anggota Parpol, namun juga dapat berasal dari seorang individu sebagai calon independen, atau bahkan cukup anggota dari komunitas tertentu (Local Government Electoral Act 2011).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan diatas, masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Polemik Pilkada di Indonesia?

2. Bagaimana kontroversi UU Nomor 22 Tahun 2014?

3. Apakah Pilkada tidak langsung dapat menodai amanat reformasi? 4. Bagaimana sudut pandang mengenai Pilkada tidak langsung? C. Tujuan Penulisan

1. Mengenal Pilkada tidak langsung;

2. Mengetahui sejarah Pilkada di Indonesia;

3. Mengetahui Kontroversi Pilkada tidak langsung di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

Pilkada tidak langsung merupakan seluruh rakyat memilih perwakilan mereka untuk menyampaikan pendapat dan sebagai pengambil keputusan bagi mereka. Pilkada tidak langsung intinya semua rakyatnya memiliki hak dan daulat, namun kedaulatannya tersebut diwakilkan melalui perwakilan sehingga disebut dengan tidak langsung.

A. Polemik Pilkada di Indonesia

(5)

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DPRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.

Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada.

(6)

5

Presiden SBY akhirnya mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang mengakibatkan terjadinya perubahan mekanisme Pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD. Syahdan, kontroversi menyeruak di berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, hingga masyarakat umum.

Atas desakan dan kritik yang begitu masif terhadap keputusan tersebut, Presiden SBY akhirnya mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 yang pada intinya mencabut UU Pilkada yang baru disahkannya sendiri sekaligus mengembalikan mekanisme Pilkada menjadi secara langsung.

Akan tetapi, walaupun daya ikat Perpu berlaku seketika itu juga, namun sifat keberlakuannya hanyalah sementara. Artinya, Perpu masih harus melewati proses persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya di awal tahun 2014. Dalam sidang nanti, DPR akan memutuskan apakah Perpu akan diterima dan disahkan menjadi UU atau ditolak. Dengan demikian, kemungkinan untuk mengubah mekanisme Pilkada menjadi melalui DPRD lagi sebenarnya masih terbuka luas.

Apabila kita telisik lebih jauh, pandangan Parpol di DPR terkait dengan Pilkada yang selalu berubah-ubah tidak dapat dilepaskan dari adanya pengkristalan kekuatan partai politik pasca hasil Pilpres 2014. Dari kacamata pragmatis kepentingan politik, pengalihan Pilkada langsung menjadi tidak langsung diprediksi dapat membawa keuntungan tersendiri bagi siapapun Parpol ataupun koalisi parpol yang memegang suara mayoritas di DPRD.

(7)

C. Pilkada Tidak Langsung Dapat Menodai Amanat Reformasi

Reformasi adalah masa keempat dari transisi demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, demokrasi yang pertama kali yang dianut oleh bangsa ini adalah Demokrasi Konstitusional, dari tahun 1945 hingga 1959 yang sangat menonjolkan peranan parlemen serta partai politik. Selanjutnya, Indonesia memasuki Masa ke-II pada tahun 1959 hingga 1965 yang dikenal sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Tahun 1969 hingga 1998, Indonesia kembali mengalami perubahan dalam hal demokrasi. Kali ini Demokrasi yang dianut adalah Demokrasi Pancasila yang dimana merupakan demokrasi konstitusional dengan menonjolkan sistem presidensial. Dan terakhir, tahun 1998 hingga sekarang, yang dikenal dengan nama Masa Reformasi. Masa yang diharapkan mampu melahirkan sistem demokrasi yang ideal sebagai bentuk perbaikan dari tiga masa yang telah lalu.

Pada masa ini, muncul berbagai kebijakan baru yang tentunya sangat berbeda dari masa sebelumnya. Salah satu terobosan besar reformasi adalah tegaknya demokrasi yang ditandai dengan kebebasan rakyat yang nyata. Bebas dalam hal menyampaikan aspirasi berupa dukungan, kritikan, atau bahkan keluhan terhadap pemerintah negara. Bebas dalam hal memilih pemimpin yang diinginkan, mulai dari tingkat daerah, hingga tingkat Pusat.

Layaknya seorang ilmuan yang masih kebingungan menemukan bahan yang tepat dalam eksperimen yang sedang ia lakukan, satu persatu bahan yang ada diuji tingkat keberhasilannya. Kurang lebih seperti itulah demokrasi negara ini, tidak lain hanyalah objek percobaan. Percobaan yang sudah dilakukan sejak lama, tepatnya setelah negara ini resmi menyatakan dirinya sebagai negara yang merdeka. Sampai sekarang, perkembangan demokrasi yang sudah menginjak masa keempat, sejak 16 tahun yang lalu tak kunjung menampakkan suatu keberhasilan yang signifikan. Lalu apa yang salah dari bangsa ini?

(8)

7

sistem presidensial. Sebagai presiden pertama yang menjabat pada era baru ini, presiden BJ Habibie berupaya keras untuk mewujudkan demokrasi yang ideal.

Begitu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan pada masa orde baru, seperti upaya pembentukan pemerintahan yang transparan, dengan adanya kebijakan yang mengatur pemberian hak terhadap rakyat untuk menyuarakan segala aspirasinya sehingga mulai bermunculan partai-partai politik baru pada saat itu yang mencapai 48 partai. Sedangkan untuk terobosan lain yang bisa dikatakan sangat penting karena membawa pengaruh yang cukup besar dalam lingkungan politik adalah pembentukan 3 UU pokok yang demokratis, yang terdiri dari UU Politik, UU pemilu, serta UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, serta DPRD yang resmi disahkan pada awal tahun 1999.

Upaya keras dalam pembentukan UU demokratis ini ternyata membawakan hasil, yaitu berupa respon baik dari kalangan masyarakat Indonesia sendiri, serta respon baik dari masyarakat dunia yang mengakui bahwa pemilu Indonesia 1999 menjadi pemilu yang demokratis. Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam proses demokratisasi Habibie adalah perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945, seperti peranan DPR yang diperkuat, semua anggota DPR dipilih melalui pemilu, pengawasan terhadap hak presiden diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat.

Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pertama kalinya pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, serta pemilihan kepala daerah yang diatur dalam undang- undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa kepala daerah diseluruh Indonesia dipilih melalui pilkada, mulai pertengahan 2005.

(9)

sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD, dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di Indonesia”.

Namun demokratisasi dengan pemilihan langsung kepala daerah tidak serta merta menjadikan Indonesia menjadi Negara yang pure demokrasi. Nyatanya, pilkada secara langsung ternyata membawa permasalahan baru di rana politik Indonesia. KKN (Korupsi, Kolusi, dan nepotisme) yang umumnya terjadi diantara sesama elit politik seperti masa orde baru, telah menyebar dan menjadi marak terjadi di kalangan masyarakat biasa.

Peraturan komisi pemilihan umum no.69 tahun 2009 pasal 1 nomor 11 tentang pedoman teknis kampanye yang mengatakan: “. . . kampanye adalah penyampaian pesan-pesan oleh pasangan calon kepada masyarakat melalui media cetak dan elektronik secara berulang-ulang berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, dan bentuk lainnya yang berisi ajakan, himbauan untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon”, hanya dipandang sebagai sebuah formalitas tertulis semata. Pada praktiknya, bukan hanya pesan atau himbauan yang menyebar, tapi para calon pasangan pilkada mulai menggunakan cara yang berbeda seperti pembagian beras, daging, dan hal-hal lainnya yang menjurus ke arah KKN.

Dampaknya, sangat jelas terlihat pada jumlah kepala daerah yang terlibat sekaligus menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Tahun 2010 saja, tercatat ada 448 kasus korupsi yang ditangani oleh kepolisian dan komisi pemberantas korupsi (KPK). Meski sempat mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 436 kasus, kemudian turun lagi menjadi 402 kasus, namun menginjak tahun 2013, hal sebaliknya terjadi, yaitu peningkatan signifikan yang sangat tinggi mencapai 560 kasus. Sementara tahun 2014, jumlah kasus 629 kasus, jumlah tersangka 1328 orang dan kerugian negara sebesar Rp5,29 triliun.

(10)

9

Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pilkada tidak langsung sama dengan menodai amanat Reformasi ? Jawabannya adalah iya. Karena seperti yang sudah kami bahas dalam bab ini, salah satu yang menjadi amanat reformasi adalah kebebasan rakyat yang nyata. Salah satunya dengan bebas memilih pemimpin yang diinginkan. Lalu karena menodai, apakah kemudian hal itu menjadi hal yang salah ? Belum tentu.

Pada dasarnya, kebebasan nyata memang merupakan salah satu hal yang diharapkan terwujud oleh reformasi. Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa segala hal selalu memiliki sisi positif dan negatif, termasuk kebebasan dalam pilkada langsung. Disatu sisi, dengan pilkada langsung yang dilakukan oleh rakyat, negara telah memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang diinginkan dan diyakini mampu membangun dan membawa perubahan yang positif guna terwujud kesejahteraan bersama. Namun apa jadinya jika pemimpin yang menjadi pilihan rakyat tidak seperti yang diharapkan?

Seperti yang persis terjadi saat ini, dengan ratusan kasus korupsi oleh lembaga pemerintah daerah. Hal itulah yang sebenarnya menjadi faktor kuat yang melatarbelakangi Dewan Perwakilan Rakyat memilih agar pilkada dilakukan secara tidak langsung pada saat sidang UU pilkada akhir September tahun lalu. Dewan Perwakilan Rakyat melihat bahwa selama ini pemilihan umum yang dilakukan masih belum sesuai dengan asas langsung, rahasia, umum, jujur, dan juga adil, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945.

(11)

menemukan bahan yang tepat untuk menjadi sebuah produk yang pada akhirnya dapat bermanfaat.

D. Sudut Pandang Mengenai UU Pilkada “Tidak Langsung”

Mengenai UU Pilkada Nomor 22 Tahun 2014, yang berisikan bahwa pemilihan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, menurut kami kurang sesuai untuk diterapkan. Hal tersebut kami tinjau dari beberapa landasan tentang tujuan pemilihan, dasar demokrasi dan kepentingan umum, antara lain:

1. Mengambil Kedaulatan Rakyat

Setiap warga negara mempunyai hak pilih dalam demokrasi politik, salah satunya adalah dalam memilih Kepala Daerah, sehingga jika pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD maka secara tidak langsung juga mengambil hak pilih masyarakat. Hal tersebut juga terkesan bahwa masyarakat hanya akan menerima apa hasil keputusan tanpa mengeluarkan pendapat mereka dan pemimpin yang dipilih bukanlah pemimpin yang diinginkan masyarakat.

2. Tidak Mengurangi Tingkat Adanya Money Politik

Perubahan UU Pilkada tidak sepenuhnya mengatasi money politik pada pilkada, sehingga perubahan tersebut tidaklah efektif. Menurut kami hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran seluruh pihak yang terkait dalam pemilihan agar menghindari adanya money politik.

3. Biaya Untuk Kepentingan Rakyat

Biaya pada pilkada secara langsung memanglah tidak sedikit, akan tetapi untuk menjaring seluruh suara rakyat hal tersebut harus dilaksanakan, mengingat bahwa Kepala Daerah adalah pemimpin bagi masyarakat itu sendiri. Jadi pemimpin yang terpilih haruslah pilihan rakyat. Dengan adanya perubahan UU Pilkada memang akan meminimalkan biaya, akan tetapi apakah akan menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat? Belum tentu.

4. Ketelitian Pemilihan

(12)

11

yang benar benar tepat sebagai Kepala Daerah. Sedangkan jika dipilih oleh DPRD akan bersifat kurang terbuka, sehingga masyarakat kurang mengenal para calon Kepala Daerah.

5. Unsur Kepentingan Pribadi

UU Pilkada baru, pemilihannya dilakukan oleh DPRD bukan rakyat, sehingga para calon Kepala Daerah tidak lagi membutuhkan suara rakyat, melainkan suara anggota DPRD. Sehingga akan ada unsur kepentingan pribadi antara calon Kepala Daerah dengan anggota DPRD yang tidak diketahui masyarakat umum. Maka tingkat kecurangan dalam pemilihan akan semakin besar.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pilkada tidak langsung dapat menodai amanat reformasi dan Perubahan UU Pilkada tidaklah menyelesaikan masalah yang terjadi pada penerapan pilkada secara langsung, akan tetapi hanya akan menghilangkan masalah lama dan mengganti dengan masalah yang baru.

B. Saran

Sebaiknya pemerintah bukan merubah aturan yang telah diberlakukan, akan tetapi meningkatkan daya kerja dan kejujuran dalam pelaksanaan pilkada itu sendiri.

(13)

12 DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo,Miriam.2008.Dasar-dasar ilmu politik.Gramedia:Jakarta. Surbakti, Ramlan.1992.Memahami ilmu politik.Gramedia: Jakarta. Hidajat,Imam.2012.Teori-teori politik.Setara Pers: Malang.

http://nasional.kompas.com/read/2014/08/18/10085091/Tren.Korupsi.Naik.Lagi

http://www.kpu.go.id/dmdocuments/pkpu_15_2013_kampanye.pdf

Silahuddin, Edah Jubaedah, dan Wawan Dharma S, Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan

Kepala Daerah Langsung, 2007, hlm iii

Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala

Prasojo, eko. Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan. Desentralisasi dan

Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural.

Depok: DIA FISIP UI. 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Waktu setting adalah memutar waktu untuk menggerakkan posisi kontak ketika rele reset dan menukar waktu operasi pada nilai arus yang

Sehingga adanya bencana alam seperti abrasi ini merupakan salah satu bukti bahwa proses pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengendalian Pencemaran

diuraikan di atas, waktu cerita Sang Pencerah bisa dilihat sebagai surat dari masa lalu yang mengingatkan bahwa telah terjadi penyimpangan luar biasa dari rasionalitas

Dari hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa Minat Siswa Kelas XI SMA Negeri 3 Sungai Penuh Terhadap Kegiatan Ekstrakulikuler Tenis Meja termasuk dalam

Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan (nilai p<0,05) dengan niat Ibu hamil dalam memberikan ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Gondokusuman, Kota Yogyakarta

Berdasarkan penelitian diatas didapatkan hasil dari penelitian 1,2, dan 3 bahwa TPA berwarna hitam dan hijau memiliki jumlah larva Aedes aegypti yang lebih

Therefore, the result of this research is to build speaker recognition system using extraction of feature row mean image with consideration of feature vector size using

Dengan mengacu pada ibadah yang telah disebutkan di atas, maka sangat perlu bagi umat muslim untuk sedapatnya mengetahui secara komperehensip tentang ibadah yang