• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aborsi dalam Perdebatan Moral dan Kebeba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aborsi dalam Perdebatan Moral dan Kebeba"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

Aborsi dalam Perdebatan Moral dan Kebebasan

Ravio Patra

170210110019

Topik: Politik Seksual

Baru sekitar dua bulan yang lalu topik legalisasi aborsi menjadi perdebatan hangat di Indonesia. Langkah melegalkan aborsi (dengan kondisi tertentu) menjadi kontroversial karena tak peduli bagaimanapun rasionalisasi dari wacana kebijakan ini dipaparkan, banyak penolakan bermunculan dari berbagai penjuru. Meskipun tergolong baru disentuh pada level kebijakan di Indonesia, topik aborsi telah lama menjadi perhatian negara-negara lain.

Di Amerika Serikat, perdebatan yang sering diberi tajuk prochoice vs. prolife debate ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dalam setiap agenda politik, terutama dalam kegiatan eleksi atau pemilihan umum, topik ini menjadi salah satu yang tak pernah lupa disentuh. Arah perdebatannya pun jelas: you’re either a prochoice, or a prolife; nothing inbetween.

Pendukung mosi prochoice berargumen bahwa seorang wanita laiknya memiliki kebebasan untuk memilih apapun yang terjadi pada tubuhnya. Akarnya tentu datang dari budaya kebebasan individual yang hendaknya absolut. Sementara mereka yang berbaris rapi menjadi wajah dari kelompok prolife berargumen bahwa kebebasan harus tetap disertai dengan koridor moral, yaitu aspek kemanusiaan yang dinafikan dalam praktik aborsi. Mereka percaya bahwa legalisasi aborsi tak ubahnya negara melepas tanggung jawab dari kewajiban menjaga kehidupan warganya.

Banyak orang yang kemudian salah paham dan dengan gegabah menghakimi kelompok prochoice sebagai sekumpulan manusia tanpa moral dan lupa diri akan kebebasan. Namun tak sedikit pula yang menghakimi kelompok prolife sebagai orang-orang menyebalkan yang hanya bisa menceramahi orang lain dengan nilai-nilai moral yang dianggapnya paling benar. Padahal, pada kenyataannya, perdebatan prochoice vs. prolife adalah salah satu contoh manifestasi dari sekian banyak persoalan manusia yang sekiranya memang gemar mendikotomikan segala hal.

(2)

Hal yang juga menarik adalah bagaimana pria pun bukannya tak luput dari perdebatan ini. Seorang pria yang berlabelkan prochoice adalah pria yang menghargai kesetaraan dan digambarkan laiknya pahlawan dalam memerangi marjinalisasi wanita. Pun halnya seorang pria dengan dukungan pada argumentasi prolife adalah pria yang hidup dalam fantasi dominatriks atas wanita dan sulit menerima kemajuan kaum wanita.

Persepsi-persepsi seperti di atas tentu tidak sepenuhnya berlaku apalagi benar. Namun memang begitulah kenaifan masyarakat secara umum dalam menanggapi isu yang dinilai sensitif terutama ketika dibawa ke ranah politik. Di negara seperti Amerika Serikat yang cukup rajin mengangkat perdebatan ini, mengidentifikasikan diri sebagai seorang prochoice ataupun prolife adalah keputusan krusial bagi setiap politisi. Tak jarang ada politisi yang mengaku prochoice meskipun sebenarnya percaya pada argumentasi prolife sekadar untuk memuluskan agenda politik yang diusung ataupun sebaliknya. Hal ini tak terlepas dari stereotipe yang terus berkembang. Bahkan dalam beberapa kasus, politisi akan menentukan posisinya dalam perdebatan ini berdasarkan distribusi demografi konstituennya; sebagai sekadar kalkulasi politik di mana menjadi prochoice ataupun prolife tidaklah penting asalkan pilihannya memberikan kesempatan untuk mendapatkan dukungan politis lebih banyak untuk meraih kekuasaan.

Dari perdebatan terkait isu aborsi ini, terlihat bagaimana seksualitas dapat dengan mudah disalahgunakan menjadi alat transaksi politik. Apakah kemudian di balik perdebatannya terdapat berbagai kondisi dan rasionalitas berbeda—seperti aborsi bagi korban pemerkosaan, aborsi bagi pengidap penyakit menular seksual mematikan, aborsi tanpa alasan yang jelas, dan sebagainya—tidak lagi menjadi hirauan utama demi mengakomodasi kepentingan merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan. Akhirnya, masalah personal seperti aborsi yang padahal sangat esensial pada ranah privat manusia—baik pria maupun wanita—kehilangan aspek urgensinya serta kini sekadar menjadi kontroversi yang diperdebatkan selama masa kampanye politik dan kemudian dilupakan begitu saja setelah kekuasaan digenggam.■

Bacaan Penunjang

Correa, Sonia dan Rosalind Petchesky (1994) Reproductive and Sexual Rights: A Feminist Perspective. Dalam: Sen, G. dkk., Population Policies Reconsidered. Cambridge: Harvard University Press, h. 107—123.

Lopez, Raquel (2012) Perspectives on Abortion: Pro-Choice, Pro-Life, and What Lies in Between. European Journal of Social Sciences, Vol. 27 (4), h. 511—7.

Referensi

Dokumen terkait

Mempercayai bahwa standar iman dan praktek sebagai orang benar di dalam Tuhan Yesus Kristus, yang juga termasuk anggota dari GerejaNya adalah memiliki kerinduan

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan faktor individu (tingkat pendidikan dan higiene perorangan) terhadap kadar fenol urin pekerja bagian pengeleman pada home

Hedonisme yang diiringi dengan perkembangan teknologi akan berdampak buruk pada perkembangan remaja, dimana teknologi menjadikan remaja menjadi kreatif dari segi

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahdini dan Suhairi(2006) adalah pada penelitian Wahdini dan Suhairi(2006) menganalisis

Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume darah yang rendah

Ide yang digunakan untuk menyisipkan pesan rahasia pada file rich text format adalah dengan memanfaatkan nilai atribut file tersebut.. Kita dapat mengubah atribut gaya

Pada Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa untuk konfigurasi pemasangan FVD dalam 1 arah sumbu, nilai gaya geser dasar pada Pola-1 terkecil dan nilai gaya geser

Merek dalam Islam adalah nama atau identitas yang baik dari suatu perusahaan dan membangun merek itu adalah hal yang penting tetapi harus dengan jalan yang