Insight
P O L I T I K
P
Pada 2020-2035 nanti, kurang lebih 70 persen populasi Indonesia diisi oleh angkatan kerja produktif (usia 15-65), yang setiap 100 orangnya akan menanggung kurang lebih 40 orang penduduk nonproduktif (0-14 dan 65 tahun ke atas). Periode tersebut adalah puncak dari periode bonus demografi (demographic dividend) Indonesia yang sebenarnya telah dimulai semenjak 2010 silam dan berakhir pada sekitar 2040.Secara teoretis, terdapat dua periode bonus. Ini dikemukakan David Bloom, David Canning, dan Jaypee Sevilla dalam buku
The Demographic Dividend: A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change. Bonus pertama didapat saat angkatan kerja yang melimpah tersebut mengakselerasi peningkatan ekonomi nasional sembari tetap menanggung angkatan nonproduktif. Setelah ini, keadaan mulai berbalik negatif. Namun ada kemungkinan bonus kedua, yaitu saat angkatan di periode bonus pertama tadi punya kesadaran untuk mengakumulasi asetnya untuk menyambut masa-masa tuanya di periode pascabonus demografi. Dengan 70 persen populasi produktif, Indonesia memiliki peluang emas untuk mengklaim kedua bonus ini. Ada risiko yang membayang-bayangi bonus demografi ini. Saat Indonesia gagal memanfaatkan, maka bonus demografi ini akan berbalik menjadi bencana demografi. Saat itu, di satu sisi angkatan produktif makin menurun, angkatan nonproduktif meningkat, populasi menua. Di sisi lain, beban pemerintah makin berat, sementara persaingan global makin intensif, dan…silakan diteruskan sendiri skenario pesimistis ini.
Pemerintah, khususnya pemerintahan Jokowi-JK yang baru ini, tengah dan tampaknya akan terus melakukan upaya dalam memaksimalkan bonus tersebut. Meningkatkan kualitas pendidikan, infrastruktur, lapangan kerja, pembangunan desa, dan seterusnya. Bahkan, diklaim bahwa kebijakan kontroversial pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi adalah
juga dalam rangka mengalihkan anggaran subsidi ke pos-pos yang bisa meningkatkan kemampuan Indonesia dalam memetik bonus demografi. Cukupkah? Memang, agak kurang fair untuk mengevaluasi pemerintah yang baru seumur jagung ini. Namun, setidaknya kita bisa mulai dengan
TENTANG POLITIK KREATIVITAS.
Teks: HIZKIA YOSIE POLIMPUNG
demografI
yang laIn
J A N U A R I 2 0 1 5
E S Q U I R E 6 7
FOTO: THINKSTOCK
mengevaluasi tanda-tanda dan gelagat yang sampai hari ini ditunjukkan pemerintah.
Menurut hemat saya, dari upaya yang tengah dilakukan dan direncanakannya, pemerintah masih cenderung melihat angkatan kerja produktif ini (jika bukan seluruh rakyatnya) semata-mata sebagai tubuh-tubuh yang harus dioptimalkan energi vitalitasnya untuk meningkatkan performa ekonomi nasional. “Kerja, kerja,
kerja,” kata sang presiden. Semata-mata inilah yang diinginkan pemerintah
untuk dilakukan para robot-robot angkatan kerja produktif.
Sayangnya pendekatan mekanis seperti ini justru berpotensi
membatasi apa yang mampu dilakukan para usia produktif.
Di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, kreativitas masih diartikan sebatas kreativitas dalam memodifikasi dan atau
memvariasi. Ekonomi kreatif kemudian berarti
semata-mata ragam upaya variatif minor untuk
akhirnya masuk pada sistem besar ekonomi
yang sepenuhnya konvensional. Riset-riset
mengenai ujung muara ekonomi kreatif dalam Factories of Knowledge, Industries
of Creativity karya Gerald Raunig
juga Critique of Creativity: Precarity, Subjectivity and Resistance in the
‘Creative Industries karya Gerald Raunig, Gene Ray, dan Ulf Wuggenig. Belum lagi tren
dominan bahwa ekonomi kreatif ini biasanya menunggu, dan bahkan beberapa memang khusus dipersiapkan, untuk diakuisisi pemain industri yang lebih besar.
Di masyarakat pun, istilah ekonomi kreatif nampaknya hanya berarti sebatas cara baru dalam makan roti; atau lipatan unik dalam mode baru fashion; atau ukiran dan komposisi warna
nyentrik dari patung figurin penghias meja. Daftar bisa diteruskan tentunya, namun satu hal
yang sama: absennya kreativitas dalam arti penciptaan imajinatif dari sesuatu yang belum ada, dan dominannya kreativitas dalam arti modifikasi dan variasi apa yang sudah ada.
Dengan melihat dari perspektif kreativitas, sebenarnya ada dua bonus demografi lainnya yang berpotensi dipetik Indonesia. Sebut saja “bonus demografi kreatif”. Bonus pertama adalah ekonomi kreatif, yaitu, seperti yang sudah banyak dipahami, saat muncul ide-ide kreatif yang dikonversikan ke komoditas yang bernilai ekonomis (knowledge economy). Kreativitas di sini masih dalam artinya yang modifikatif dan variatif. Pula ekonomi kreatif di sini masih nebeng pada sistem ekonomi konvensional yang sudah ada.
Namun demikian, apabila kreativitas pada bonus pertama benar-benar dimanfaatkan dengan baik, maka bersamaan dengan ekonomi kreatif ini lahirlah kreativitas ekonomi yang menciptakan beragam bentuk sistem ekonomi baru yang dibangun secara kolektif oleh individu-individu kreatif penghuni usia produktif. Ekonomi yang baru ini tidak melulu bergantung pada ekonomi konvensional dan pertolongan negara (yang sering kali dipolitisasi). Ekonomi-ekonomi yang mandiri dan berbasiskan kolektivitas: inilah bonus demografi kedua.
Bonus demografi kreatif dalam artian kedua inilah yang dibutuhkan Indonesia untuk mampu menciptakan jalur ekonominya sendiri, ekonomi berdikari, yang tidak menggantungkan diri pada pihak-pihak eksternal (bantuan, bank, dan organisasi internasional) yang sering kali justru bermaksud mengeksploitasi kita diam-diam.
Di Amerika dan Eropa, justru bentuk-bentuk ekonomi berdikari dan kolektif yang tidak terlalu bergantung pada ekonomi konvensional dan negaralah yang mampu bertahan dari krisis. Di Yunani pascakrisis, banyak masyarakat mulai menciptakan ekonomi-ekonomi berbasis kolektivitas yang berdikari dan saling berjejaring dengan ekonomi kolektif berdikari lainnya. Mulai dari Pabrik Pekerja Swakelola Bio Me, Bank Waktu Athena, sampai inisiatif-inisiatif kreatif seperti dapur sosial, bank bibit tradisional, apotek solidaritas, dan seterusnya. Inilah alasan Yunani yang babak belur karena krisis tidak kemudian sampai benar-benar musnah. Inilah kekuatan kreativitas yang sebenarnya.
Pertanyaan bagi Indonesia, contoh-contoh kreativitas ekonomi ini adalah fenomena yang ironisnya lahir pascakrisis besar. Lalu haruskah Indonesia dilanda krisis besar dulu untuk bisa menciptakan kreativitas ekonomi? Apabila pemerintahan Jokowi mampu mengubah cara pandang mekanisnya terhadap kreativitas dan ekonomi kreatif, saya yakin kedua macam bonus demografi yang sudah dibahas di atas dapat kita nikmati.
Layaknya bonus demografi, bonus demografi kreatif juga mensyaratkan political action. Jelas, political will saja tidak akan cukup. Kreativitas mesti dilihat dari aspek politiknya juga, yaitu sebagai kemampuan untuk mengimajinasikan suatu keadaan yang sepenuhnya baru tentang kehidupan masyarakat yang berkualitas, lalu kemudian dengan segenap daya cipta bersama-sama merealisasikannya. Pemerintah mungkin bisa mulai dengan mengubah slogannya menjadi “Imajinasi, cipta, kerja.”