• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. ditandai dengan kelemahan tonus otot, gangguan postur tubuh dan gangguan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. ditandai dengan kelemahan tonus otot, gangguan postur tubuh dan gangguan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Cerebral Palsy 1. Definisi

Cerebral palsy (CP) merupakan gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan kelemahan tonus otot, gangguan postur tubuh dan gangguan gerakan yang bersifat nonprogresif yang mengakibatkan masalah pada aktivitas motorik dan sensorik (Fidan et al., 2014). CP adalah gangguan otak permanen yang terjadi sebelum, selama atau segera setelah lahir. Kerusakan otak pada CP tidak dapat disembuhkan, namun dapat diminimalkan (Libryani, 2010). CP merupakan gangguan gerakan dan gangguan postur tubuh yang terjadi secara permanen dan menyebabkan kesulitan dalam melakukan aktivitas. Gangguan motorik yang terjadi pada anak CP sering disertai dengan adanya gangguan sensasi persepsi, kognitif dan perilaku (Rethlefsen et al., 2010).

Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa CP merupakan kerusakan otak yang menyebabkan terjadinya kerusakan neuromuscular dan kelainan tonus sehingga terjadi abnormalitas postur serta abnormalitas movement yang perkembangannya bersifat nonprogresif dan dapat mengakibatkan keterbatasan aktivitas.

(2)

2. Klasifikasi

CP menurut gejalanya diklasifikasikan menjadi 3 yaitu CP Spastic, CP Ataksia, dan CP Athetoid. CP Spastic merupakan jenis CP yang paling umum.

CP spastik ditandai dengan adanya kekakuan otot. CP Ataksia jarang dijumpai, ini dapat terjadi pada 6-10% dari semua kasus CP. CP Ataksia terjadi karena adanya kerusakan pada otak kecil yang ditandai dengan gejala pudarnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot (Alshehri et al., 2014). CP Athetoid atau CP Dyskinetic yang terjadi pada setidaknya 10% dari semua kasus CP merupakan kolaborasi antara hypertonia dan hypotonia yang menghasilkan gerakan yang tidak disadari (Kumari et al., 2012).

CP berdasarkan lokasi lesinya yaitu Quadriplegia, Hemiplegia, Diplegia, Monoplegia, dan Triplegia. Monoplegia dan triplegia jarang terjadi karena adanya substansial tumpang tindih dari area yang terkena dampak. Bentuk paling umum dari CP disebagian besar penelitian adalah diplegia (30-40%), diikuti oleh hemiplegia (20-30%) dan quadriplegia (10–15%). Sebuah studi tentang CP dari 1000 kasus di India menunjukkan prosentase kasus tertinggi dengan Spastic Quadriplegia (61%) diikuti oleh diplegia (22%) (Rana et al., 2017).

CP berdasarkan keterbatasan fungsional motoriknya dikategorikan sebagai mild, moderate, and severe (Rethlefsen et al., 2010).

(3)

3. Prevalensi

Prevalensi CP diberbagai negara diperkirakan sekitar 2-2,5 untuk setiap kelahiran hidup (Rahmat et al., 2010). Kasus-kasus CP sedang meningkat seperti yang ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan di AS pada tahun 2008.

Angka kejadian CP di Amerika Serikat sekitar 3,1% per 1000 kelahiran (Alshehri, 2014). Tingkat kejadian CP di Korea Selatan adalah 3,2 per 1.000 anak, dan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir (You et al., 2015). Di Australia, sekitar satu dari 500 anak dipengaruhi oleh cerebral palsy (ACPR, 2013). Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas RI) tahun 2013 prevalensi CP pada kelompok umur 24 - 59 bulan sebesar 0,09%.

4. Etiologi

Etiologi CP sangat beragam dan multifactorial. Penyebabnya adalah bawaan, genetic, peradangan, infeksi, anoxic, dan traumatic. Cedera pada otak bisa terjadi pada fase prenatal, natal atau postnatal. Sebanyak 75% - 80%

kasus cedera otak terjadi karena cedera prenatal. Faktor resiko yang paling utama terjadinya peningkatan angka kejadian CP adalah prematuritas dan berat badan saat lahir kurang. CP terjadi pada bayi yang dilahirkan dengan kondisi prematur atau cukup bulan dengan berat lahir 500 – 999 gram, meskipun kelahiran cukup bulan memiliki faktor resiko yang rendah. Chorioamnionitis yang terjadi pada fase prenatal juga merupakan faktor resiko yang

(4)

menyebabkan sebanyak 12% dari anak CP lahir dengan cukup bulan dan 28%

lahir dengan premature. Cystic periventricular leukomalacia (CPVL) merupakan faktor resiko dengan prosentase 60% - 100% anak CPVL terlahir dengan kondisi CP.

Riwayat prenatal dapat disebabkan karena adanya infeksi intrauterin, paparan teratogenic, komplikasi plasenta, kelahiran kembar dan kondisi ibu seperti keterbelakangan mental, kejang, atau hyperthyroidism. Insiden CP terjadi lebih tinggi pada anak kembar atau kembar tiga dibandingkan dengan anak lahir tunggal.

Riwayat perinatal dapat disebabkan karena infeksi, perdarahan intrakranial, kejang, hipoglikemia, hyperbilirubinemia, dan asfiksia kelahiran.

Stroke iskemik yang terjadi pada fase perinatal telah diidentifikasi sebagai penyebab lain yang mungkin menyebabkan CP hemiplegia pada sebagian besar bayi.

Riwayat postnatal dapat disebabkan karena toxic, infeksi meningitis, encephalitis dan traumatis, ada juga hubungan antara koagulopati yang menyebabkan infark serebral dan mengakibatkan terjadinya CP tipe hemiplegia (Sankar et al., 2005).

5. Gambaran Klinis

Tanda-tanda CP biasanya tidak terlihat pada awal masa bayi, tetapi menjadi lebih jelas ketika sistem saraf anak matang. Rentang masalah yang ada pada CP

(5)

mulai dari sangat ringan hingga sangat parah. Keparahan CP dapat dikaitkan dengan tingkat keparahan kerusakan otak (Kumari et al., 2012). Tanda- tandanya meliputi :

a. Keterlambatan perkembangan seperti mengontrol kepala, berguling, meraih dengan satu tangan, duduk tanpa support, merangkak, atau berjalan.

b. Tonus otot abnormal: Otot mungkin sangat kaku (spastic) atau sangat layuh (flacid).

c. Gerakan tidak normal: Seperti gerakan mendadak atau lambat. Gerakannya tampak tidak terkendali atau tanpa tujuan.

d. Kerusakan tulang: Jika tidak dikoreksi dengan pembedahan atau alat, dapat menyebabkan kemiringan tulang panggul dan scoliosis (kelengkungan tulang belakang).

e. Kontraktur jaringan sendi: Orang dengan CP spastic dapat mengalami pengerasan sendi karena tekanan yang tidak sama pada sendi yang diberikan oleh otot dengan kekuatan yang berbeda.

f. Retardasi mental: Sebagaian besar anak-anak dengan CP memiliki kondisi penyerta seperti keterbelakangan mental, semakin parah keterbelakangan mental maka semakin parah kecacatan secara keseluruhan.

g. Kejang: Sekitar sepertiga dari penderita CP mengalami kejang. Kejang mungkin muncul di awal kehidupan setelah adanya kerusakan otak yang menyebabkan CP.

(6)

h. Masalah berbicara: Bicara dikendalikan oleh gerakan otot lidah, mulut, dan tenggorokan. Beberapa individu dengan CP tidak dapat mengontrol otot-otot ini, dengan demikian tidak dapat berbicara dengan normal.

i. Masalah menelan: Menelan adalah fungsi yang sangat kompleks yang membutuhkan interaksi dari banyak kelompok otot. Orang-orang dengan CP yang tidak dapat mengendalikan otot-otot ini akan mengalami masalah menghisap, makan, minum, dan tidak dapat mengendalikan air liur.

j. Kehilangan pendengaran: Sebagaian besar anak dengan CP mengalami gangguan pendengaran. Ketidakmampuan anak dalam merespon suara sehingga menyebabkan terjadinya keterlambatan bicara.

k. Masalah penglihatan: 75% dari orang dengan CP memiliki strabismus.

Disebabkan karena kelemahan otot-otot yang mengontrol gerakan mata. Jika tidak dikoreksi, strabismus dapat menyebabkan masalah penglihatan yang lebih parah.

l. Masalah gigi: Orang dengan CP cenderung memiliki lebih banyak lubang gigi.

m. Masalah kontrol usus dan kandung kemih.

6. Prognosis

CP merupakan gangguan non-progresif (artinya kerusakan otak tidak memburuk), tetapi gejalanya bisa menjadi lebih parah seiring waktu karena adanya kerusakan pada subdural. Seseorang dengan gangguan CP dapat sedikit

(7)

membaik selama masa kanak-kanak jika dia menerima perawatan ekstensif dari spesialis. Seseorang dengan CP lebih cenderung memiliki ketidakmampuan belajar, tingkat intelektual di antara orang-orang dengan CP bervariasi dari yang jenius hingga yang memiliki keterbatasan intelektual (Kumari et al., 2012).

B. Makan

1. Definisi Makan

Makan merupakan momen penting dalam pertumbuhan seorang anak, makan berperan utama dalam kesehatan dan masa depan anak (Alvisi et al., 2015). Makan didefinisikan sebagai menjaga dan memanipulasi makanan atau cairan di mulut dan menelannya (AOTA, 2014).

2. Prasyarat Makan

Menurut Morris & Klein (1987) prasyarat aktivitas makan yaitu:

a. Control postural, digunakan untuk mempertahankan posisi tubuh, menjaga kestabilan beban tubuh, menjaga keseimbangan saat mekakukan gerakan, koordinasi, mengontrol gerakan antara lengan, mata dan jari-jari saat melakukan aktivitas makan.

b. Positioning, prinsip-prinsip pokok yang digunakan untuk mengatur posisi saat makan harus memperhatikan posisi trunk, hip, dan pelvis, shoulder, hubungan antara kepala dan juga tulang belakang, perut, sitting base, kebebasan bergerak, kontrol mata, kesempatan interaksi, pola kompensasi, serta gerakan makan.

(8)

c. Eye-hand coordination, merupakan kemampuan yang sangat penting dalam melakukan aktivitas. Koordinasi mata tangan adalah kontrol gerakan antara mata, tangan, dan pengelihatan yang berfungsi untuk menjangkau, mengambil, dan memegang suatu benda. Secara sederhana, koordinasi mata dan tangan melibatkan gerakan koordinasi mata dan tangan untuk melakukan suatu aktivitas.

d. Fine motor skill, berhubungan dengan motorik halus saat memegang sendok dan kekuatan saat memegang sendok. Kemudian mengambil makanan dari piring lalu membawa makanan tersebut kedalam mulut.

e. Gross motor skill, berhubungan dengan gerakan aktivitas yang melibatkan sendi-sendi besar, seperti hal nya mengarahkan makanan ke dalam mulut akan melibatkan gerakan pada sendi shoulder, elbow dan wrist.

f. Keterampilan sensori, meliputi persepsi, pengelihatan, dan tactile sensation.

g. Keterampilan motorik, yang harus dimiliki agar seseorang mampu melakukan aktivitas makan yaitu: active movement, joint mobility, balance and equilibrium, arm and hand control dan juga reach, grasp, and release.

3. Tahapan Makan

Menurut Amella (2008) tahapan aktivitas makan yang harus dilakukan seperti mengenali makanan, memegang sendok, mengambil makanan di piring menggunakan sendok, membawa makanan yang telah diambil dengan sendok ke dalam mulut, memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyah makanan, menelan makanan yang telah dikunyah dan mengembalikan sendok ke piring.

(9)

4. Masalah Makan pada Anak CP

Makan dan masalah menelan merupakan masalah utama pada anak CP.

Anak-anak dengan CP memiliki masalah pada posisi makan yang tidak stabil dan saat menelan. Posisi yang tidak stabil dapat menyebabkan kesulitan dalam menelan makanan (Gisel et al., 2003).

Posisi trunk dan kontrol kepala yang tidak stabil akan mengakibatkan masalah pada beberapa fungsi tubuh, salah satunya yaitu fungsi oral. Fungsi oral yang efektif untuk makan yaitu saat trunk dan kontrol kepala mencapai stabilitas yang baik sehingga dapat meningkatkan kontrol rahang (Velasco et al., 2017).

5. Cara Melatih Makan Anak CP

Kemampuan anak untuk makan secara aman dapat ditentukan dari posisi yang stabil. Menurut Hinchcliffe (2003) cara melatih makan pada anak CP yaitu dengan memperhatikan prinsip posisi:

a. Stabilitas

Stabilitas kepala dan trunk sangat penting untuk posisi makan yang aman. Anak harus merasa nyaman, aman dan santai saat makan.

b. Alignment and Symmetry

Kemampuan mengontrol mulut untuk makan tergantung pada stabilitas kepala dan trunk. Tubuh harus simetris, dengan posisi kepala berada di garis tengah dan trunk lurus.

(10)

c. Melibatkan tangan

Tangan mempunyai peran penting untuk mengendalikan proses makan.

Melatih fungsi tangan untuk aktivitas makan pada anak CP dapat dilakukan dengan cara memberikan stimulasi pada tangan anak untuk meningkatkan pola genggam grasp yaitu dengan meletakkan sendok pada tangan anak agar anak menggenggamnya. Memberikan stimulasi pada jari-jari dapat dilakukan dengan cara meraba atau mengambil berbagai jenis biji-bijian d. Oral motor

Prasyarat menelan dan mengunyah yaitu kontrol kepala stabil dan kemampuan menggunakan rahang. Anak-anak dengan CP banyak yang mengalami kesulitan untuk mempertahankan kontrol kepala yang stabil secara mandiri dan mengakibatkan pergerakan rahang yang tidak seimbang.

Latihan kontrol oral dapat diberikan oleh terapis untuk membantu menyeimbangkan pergerakan rahang. Terapis dapat menggunakan tangan dan lengannya untuk mempertahankan posisi kepala yang baik dan untuk membantu anak menggerakkan rahang dengan cara yang lebih terkontrol.

Lengan terapis bagian dalam siku diletakkan dibagian belakang leher anak dan digunakan untuk mempertahankan perpanjangan bagian belakang leher.

Jari tengah ditempatkan dibawah dagu dan memberikan tekanan kuat untuk menjaga rahang agar tetap stabil. Jari telunjuk diletakkan di dagu anak, tepat dibawah bibir untuk membantu menjaga posisi kepala tetap stabil. Ibu jari diletakkan di dekat telinga anak untuk membantu terapis menjaga tangannya

(11)

dalam posisi stabil. Ketika rahang stabil bibir bawah biasanya akan berfungsi dengan baik.

C. Kerangka Acuan Neurodevelopment (NDT) 1. Definisi

Neurodevelopment (NDT) adalah pendekatan yang berfokus pada kerusakan sensorimotor. Elemen kunci dari pendekatan ini adalah untuk memulihkan gerakan normal melalui cara, inhibisi tonus otot, refleks abnormal dan postur (Young Park, 2017).

NDT juga dikenal sebagai pendekatan Bobath, menekankan peran pada disfungsi neurologis yang menghambat kontrol postural dan perkembangan motorik.

NDT berfokus pada penghambatan refleks primitif, kelenturan, pola gerakan yang abnormal, dan penekanan ditempatkan pada kualitas gerakan dan aktivitas fungsional (Samir et al., 2015). Model Praktek NDT selalu menyertakan penggunaan intervensi langsung.

Prinsip utama NDT yaitu handling. Handling adalah metode alami untuk membantu orang lain mempelajari postur dan gerakan yang optimal atau atau diperlukan untuk kegiatan fungsional tertentu (Bierman et al., 2002).

(12)

Teknik handling pada NDT yang berfungsi untuk mengendalikan berbagai rangsangan sensorik digunakan untuk menghambat spastisitas, refleks abnormal, pola-pola gerakan abnormal dan juga digunakan untuk memfasilitasi tonus otot normal, equilibrium responses, dan pola gerakan (Samir et al., 2015).

2. Metode

Kerangka acuan NDT menggunakan metode Bobath. Pada tahun 1940, Berta dan Karl Bobath mengembangkan metode pengobatan. Pendekatan pengobatan ini didasarkan pada observasi dari anak CP.

Tujuan Utama dari perawatan ini adalah untuk memfasilitasi perkembangan motorik secara normal dan pencegahan gangguan perkembangan sekunder yang disebabkan oleh kontraksi otot dan kelainan bentuk pada kedua ekstremitas (Rana et al., 2017).

Perhatian utama dari metode Bobath adalah aktivasi klien untuk mengatasi hypotonia pada postural, mengatasi masalah kemampuan individual seseorang untuk menciptakan tonus agar dapat melawan gravitasi untuk stabilitas postural yang diperlukan di mana gerakan selektif didasarkan (Raine et al, 2009).

3. Kelebihan dan Kekurangan NDT a. Kelebihan NDT

Kekuatan NDT selalu menjadi manajemen klinis masalah sensorimotor yang dihasilkan dari analisis sistem yang sedang berlangsung dan kerusakan

(13)

motorik dari patologi CNS. Perbedaan utama itu memisahkan NDT dari semua pendekatan lainnya, termasuk fasilitasi dan inhibisi sebagai key point of control (Samir et al., 2015).

b. Kekurangan NDT

NDT pada prakteknya merupakan pendekatan yang sukses, namun NDT tidak dapat menyembuhkan lesi pada otak, hanya saja NDT mampu meminimalkan lesi pada otak (Velickovic et al., 2005).

4. Kecenderungan penulis

Kebanyakan anak dengan CP memiliki masalah sensorimotor, tonus otot yang abnormal dan postur yang tidak stabil. Sehingga kerangka acuan yang dipilih dan dirasa cocok dalam kasus ini adalah kerangka acuan NDT dengan pendekatan bobath, karena kerangka acuan NDT merupakan pendekatan yang berfokus pada sensorimotor yang memiliki elemen kunci yaitu untuk memulihkan gerakan abnormal melalui cara, fasilitasi tonus otot.sedangkan untuk bobath sendiri memiliki perhatian utama untuk mengatasi hipotonia pada postur dan untuk menciptakan tonus agar dapat melawan gravitasi untuk stablitas postur dalam aktivitas sehari-hari. Dengan pemilihan kerangka acuan ini diharapkan tonus otot pasien dapat meningkat dan postural pasien dapat stabil untuk aktivitas sehari-hari.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, sistem mampu berinteraksi dengan baik dilihat dari hasil pengujian yang sepenuhnya berhasil diuji yaitu saat awal

Selain itu posisi absorber yang sejajar dengan kaca penutup menyebabkan jumlah energi surya yang diterima jenis absorber kain lebih besar, dan yang terpenting adalah tidak

Kemungkinan besar kendala mahasiswa adalah karena mereka tidak mempunyai komputer yang menggunakan bahasa China sehingga pada waktu mereka akan menjawab pertanyaan dosen yang

berbagai kendala yang dihadapi karena keterbatasan panca indra manusia - dimana UNESCO menterjemahkan fungsi ini ke dalam definisi e-learning sebagai sebuah konsep dengan

Hasil penilaian artikel ilmiah yang telah terpublikasi dari jurnal yang menerbitkan artikel ilmiah dalam menunjang pencapaian studi ini setidaknya menunjukkan hasil

KBN Indonesia telah melakukan pencatatan/Tally dalam setiap tahapan proses produksi yaitu proses stik, proses pengeringan (Kiln Dry), gudang kering, jumping cross cut

Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode

Terima kasih juga saya sampaikan kepada kedua adik saya, Widya yang telah membantu mencarikan buku di perpustakaan FISIP, dan Widi, Si Aki Kecil yang doyan permen jahe yang