• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

A. Grand Theory

Teori yang mendasari wajib pajak patuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teori Perilaku Terencana (Sihombing)

Teori perilaku terencana merupakan salah satu teori sikap yang banyak diaplikasikan dalam beragam perilaku. Arniati (2009) juga menyatakan bahwa teori perilaku terencana merupakan salah satu model psikologi sosial yang paling sering digunakan untuk meramalkan perilaku.

Teori perilaku terencana merupakan prediksi perilaku yang baik karena diseimbangkan oleh niat untuk melaksanakan perilaku.

2. Teori Pengharapan (Victor Vroom)

Teori pengharapan mengatakan bahwa tingkat usaha yang tinggi mengarah pada performa tinggi dan performa tinggi mengarah pada pencapaian hasil yang diinginkan. Teori pengharapan adalah salah satu teori tentang motivasi kerja yang paling populer karena mamusatkan perhatian pada ketiga bagian persamaan motivasi (input, performa dan pendapatan).

Victor Vroom juga memiliki pendapat bahwa jika seseorang

menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup

besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal

(2)

yang diinginkan itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkan itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

3. Teori Goal Setting (Edwin A. Locke)

A.Locke menyatakan bahwa perilaku seseorang sangat ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki dan keinginan-keinginan. Pemahaman seseorang terhadap tujuan yang dikehendaki sangat penting pada Goal Setting Theory.

Adapun tujuan yang dikehendaki disimbolkan dalam beberapa atribut antara lain adalah goal specificity yaitu ukuran kuantitatif.

Sedangkan goal difficulty adalah tingkat kesulitan pencapaian tujuan. Dan

goal intensity adalah proses penetapan tujuan. Akan tetapi pada prinsipnya

tujuan daripada setiap manusia berbeda, karena manusia mempunyai

kebutuhan yang berbeda-beda pula dan pada saat-saat tertentu menuntut

suatu kepuasan. Dimana hal-hal yang dapat memberikan kepuasan pada

suatu kebutuhan adalah menjadi tujuan dari kebutuhan tersebut. Dan

prinsip umum yang berlaku bagi kebutuhan manusia adalah setelah

kebutuhan satu terpenuhi atau terpuaskan, maka setelah beberapa waktu

kemudian akan muncul kembali dan menuntut kepuasan yang lain lagi,

begitu seterusnya.

(3)

B. Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Jadi, pajak merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan Undang-Undang.

1. Pengertian Pajak

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan definisi tentang pajak menurut Andriani yang dikutip Waluyo (2011 : 2) menyatakan bahwa:

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-

peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung

dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara

yang menyelenggarakan pemerintahan.

(4)

Sedangkan definisi pajak menurut Soemitra yang dikutip oleh Erly (2011 : 2) menyatakan bahwa:

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama dalam membiayai public investment.

Sedangkan definisi lain tentang pajak menurut Soemitra yang dikutip oleh Mardiasmo (2011 : 1) menyatakan bahwa:

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang (yang dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, sebagai berikut:

a) Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.

b) Sifatnya dapat dipaksakan. Hal ini berarti pelanggaran atas aturan perpajakan akan berakibat adanya sanksi.

c) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah.

d) Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah.

Pemungutan pajak tidak boleh dilakukan oleh pihak swasta yang orientasinyan adalah keuntungan.

e) Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang

bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk

membiayai investasi umum.

(5)

2. Fungsi Pajak

Pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran pembangunan. Ada dua fungsi pajak, yaitu fungsi sumber keuangan negara (budgetair) dan fungsi mengatur (regulerend).

Fungsi budgetair adalah pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, sedangkan fungsi regulerend dapat diartikan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Beberapa fungsi pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Fungsi Sumber Keuangan Negara (Budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh:

Dimasukannya pajak dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan negeri.

b) Fungsi Mengatur (Regulered)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Contoh:

Pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan Barang Mewah untuk

produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-

produk dalam negeri.

(6)

3. Sistem Pemungutan Pajak

Pada dasarnya terdapat tiga sistem pemungutan pajak yang berlaku (Suandy, 2011) yaitu:

a) Official Assessment System adalah sistem pemungutan pajak dimana jumlah pajak yang harus dilunasi atau terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh fiskus/aparat pajak. Maka dalam sistem ini wajib pajak bersifat pasif sedangkan fiskus bersifat aktif. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan ajaran timbulnya utang pajak, maka official assessment system sesuai dengan timbulnya utang pajak menurut ajaran formil, artinya utang pajak timbul apabila sudah ada ketetapan pajak dari fiskus.

b) Self Assesment System adalah sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan jumlah pajak yamg terutang. Untuk mensukseskan self assesment system ini dibutuhkan beberapa prasyarat dari wajib pajak antara lain kesadaran wajib pajak (tax consciousness), kejujuran wajib pajak, kemauan membayar pajak dari wajib pajak (tax mindedness), dan kedisiplinan wajib pajak (tax disciplin).

c) With Holding System adalah sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga.

Pihak ketiga yang dimaksud anatar lain pemberi kerja dan

bendaharawan pemerintah.

(7)

4. Jenis-Jenis Pajak

Secara umum pajak yang diberlakukan di Indonesia dapat dibedakan dengan klasifikasi sebagai berikut:

a) Menurut Golongannya

1) Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.

2) Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.

b) Menurut Sifatnya

1) Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan.

2) Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

c) Menurut Pemungutannya

1) Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak

Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan.

(8)

2) Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh:

Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Reklame.

5. Asas Pemungutan Pajak

Dalam Waluyo (2011 : 13) terdapat empat asas-asas pemungutan pajak yang dikemukan oleh Adam Smith yaitu:

a) Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.

b) Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus bayar serta batas waktu pembayaran.

c) Convenience

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai

dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak. Sistem

pemungutan ini disebut pay as you earn.

(9)

d) Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul oleh wajib pajak.

6. Tarif Pajak

Tarif merupakan suatu pedoman dasar dalam menetapkan berapa besarnya utang pajak orang pribadi, selain sebagai sarana keadilan dalam menetapkan utang pajak. Ada empat macam tarif pajak, yaitu:

a) Tarif Proposional/Sebanding

Tarif berupa tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh: Dikenakan pajak Pertambahan Nilai 10% atas penyerahan barang kena pajak.

b) Tarif Pajak Progresif

Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh: Pasal 17 Undang- Undang Pajak Penghasilan, misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri, yaitu:

1. Sampai dengan Rp 50.000.000 tarifnya 5%

2. Diatas Rp 50.000.000 s.d Rp 250.000.000 tarifnya 15%

3. Diatas Rp 250.000.00 s.d Rp 500.000.000 tarifnya 25%

4. Diatas Rp 500.000.000 tarifnya 30%

(10)

c) Tarif Pajak Degresif

Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

d) Tarif Tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

C. Pengetahuan Pajak

Pengetahuan adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara (Widayati dan Nurlis, 2010). Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011 : 1). Jadi kesimpulan tentang pengetahuan pajak adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah wajib pajak dari tidak tahu menjadi tahu tentang perpajakan, baik terhadap unsur pajak, fungsi pajak, peran pajak dan sistem yang berlaku, sehingga mengilangkan keraguan terhadap suatu perkara terutama mengenai unsur pajak yang bersifat memaksa dan kontraprestasi.

Wajib pajak yang mengetahui fungsi pajak dan peran pajak untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, mereka tidak

akan ragu terhadap perkara mengenai unsur pajak yang bersifat memaksa dan

(11)

kontraprestasi. Mereka secara sadar diri akan patuh membayar pajak melalui sistem dan peraturan yang berlaku, karena telah mengetahui bagaimana alur penerimaan pajak tersebut dapat dirasakan meskipun secara tidak langsung.

Seseorang yang tidak berpengetahuan tentang pajak, akan menilai semua fasilitas yang telah mereka gunakan di negeri ini merupakan tanggung jawab pemerintah, tanpa mereka berpikir darimana dana untuk mewujudkan semua fasilitas itu. Dengan demikian, wajib pajak yang memiliki pengetahuan tentang perpajakan akan mengimplementasikan pengetahuannya tersebut dengan suatu sikap patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sehingga tingkat kepatuhan wajib pajak akan tinggi.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur tinggi rendahnya pengetahuan perpajakan oleh wajib pajak maka dapat diketahui melalui sebagai berikut:

1. Pengetahuan wajib pajak terhadap unsur pajak.

2. Pengetahuan wajib pajak terhadap fungsi pajak.

3. Pengetahuan wajib pajak terhadap peran pajak.

4. Pengetahuan wajib pajak terhadap sistem perpajakan yang berlaku.

Doli dan Khoiru (2009) mengindikasikan tingkat pengetahuan

perpajakan melalui pemahaman terhadap peraturan serta kebijakan

perpajakan, pemahaman akan kewajiban dalam menyampaikan SPT, serta

pemahaman akan adanya sanksi pajak dalam hal keterlambatan dalam

menyampaikan SPT. Sedangkan Widayati dan Nurlis (2010) menambahkan

(12)

indikasi pengetahuan tentang perpajakan melalui sosialisasi, serta pengetahuan dan pemahaman peraturan pajak melalui training.

D. Penyuluhan Pajak

Kegiatan sosialisasi/penyuluhan memegang peran yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sistem self assessment yang dianut dalam administrasi perpajakan Indonesia memberikan kepercayaan yang besar kepada wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya meliputi mendaftar, menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Kepercayaan yang besar ini membutuhkan prasyarat yaitu wajib pajak harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kewajiban perpajakannya.

Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak dengan nomor SE-99/PJ/2011 Tentang Pedoman Pembentukan Tim Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dijelaskan bahwa definisi penyuluhan perpajakan adalah sebagai berikut:

Penyuluhan Perpajakan adalah suatu upaya dan proses memberikan informasi perpajakan untuk menghasilkan perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat, dunia usaha, aparat, serta lembaga pemerintah maupun non pemerintah agar terdorong untuk paham, sadar, peduli dan berkontribusi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

Tujuan diadakannya penyuluhan perpajakan berdasarkan SE-

98/PJ/2011 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Laporan

Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat

(13)

Jenderal Pajak adalah “masyarakat yang paham dan sadar memenuhi kewajiban perpajakannya”.

Dalam mengadakan penyuluhan perpajakan diperlukan pembentukan tim penyuluhan perpajakan, dalam SE-99/PJ/2011 Tentang Pedoman Pembentukan Tim Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan definisnya sebagai berikut:

Tim Penyuluhan Perpajakan adalah satuan tugas yang dibentuk berdasarkan keputusan pimpinan unit kerja vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai tugas dan tanggung jawab melaksanakan kegiatan penyuluhan perpajakan.

Tim penyuluhan dibentuk oleh Kantor Pelayanan Pajak terdiri dari beberapa Tenaga Penyuluh Perpajakan, Berdasarkan SE-99/PJ/2011 Tentang Pedoman Pembentukan Tim Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan definisinya sebagai berikut:

Tenaga Penyuluh Perpajakan adalah semua pejabat/pelaksana pada lingkup Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan pejabat/pelaksana pada lingkup Kanwil DJP atau KPP yang ditetapkan dengan keputusan Kepala Kanwil DJP atau Kepala KPP sebagai anggota Tim Penyuluhan Perpajakan.

Berdasarkan SE-99/PJ/2011 Tentang Pedoman Pembentukan Tim Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Pembentukan Tim Penyuluhan Perpajakan, pembentukan tim penyuluhan perpajakan di tingkat Kantor Pelayanan Pajak memiliki ketentuan sebagai berikut:

1. Kepala KPP membentuk Tim Penyuluhan Perpajakan setiap

tahun dan dilakukan paling lambat minggu pertama Januari

dengan format sebagaimana Lampiran III.

(14)

2. Anggota Tim Penyuluhan Perpajakan dipilih dari pejabat/pelaksana di lingkungan KPP, tidak termasuk pegawai pada KP2KP.

3. Tim bertanggung jawab menyusun rencana kerja penyuluhan mengacu pada Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal Di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dengan tetap berkoordinasi dengan Bidang P2Humas Kanwil DJP.

4. Tim Penyuluhan Perpajakan disusun dengan struktur sebagaimana Lampiran IV atau V.

5. Tim bertanggung jawab melaksanakan tugas selama periode satu tahun.

6. Tim betugas menjalankan rencana kegiatan penyuluhan KPP.

7. Tim bertugas memenuhi undangan penyuluhan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

8. Tim melaksanakan tugas sosialisasi/penyuluhan yang diinstruksikan oleh Kantor Pusat DJP dan/atau Kanwil DJP.

Dalam rangka mencapai tujuan penyuluhan maka kegiatan penyuluhan dibagi menjadi tiga macam, yaitu kegiatan penyuluhan bagi calon wajib pajak, penyuluhan bagi wajib pajak baru dan penyuluhan bagi wajib pajak terdaftar. Penjelasan mengenai ketiga fokus penyuluhan perpajakan berdasarkan SE-98/PJ/2011 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Laporan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut:

Penyuluhan bukan merupakan sebuah upaya atau proses yang bersifat reaktif dan tidak terencana melainkan harus disusun secara sistematis sehingga dapat dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi dengan baik. Dalam rangka mencapai tujuan penyuluhan maka kegiatan penyuluhan dibagi kedalam tiga fokus penyuluhan, sebagai berikut:

1. Kegiatan Penyuluhan bagi Calon Wajib Pajak

Merupakan kegiatan penyuluhan yang dilakukan untuk membangun kesadaran (awareness) tentang perpajakan kepada para calon Wajib Pajak, meliputi:

a) Kegiatan penyuluhan yang dimaksudkan untuk menjaring

Wajib Pajak Baru apabila secara potensi subjek pajak

dimaksud sudah memiliki penghasilan di atas

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

(15)

b) Kegiatan penyuluhan yang bersifat sebagai "investasi jangka panjang" apabila subjek pajak yang diberikan penyuluhan masih belum memiliki penghasilan di atas PTKP (contoh:

mahasiswa/pelajar).

2. Kegiatan Penyuluhan bagi Wajib Pajak Baru

Merupakan kegiatan penyuluhan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman (understanding) dan kepatuhan untuk memenuhi kewajiban perpajakan (willingness to comply) bagi para Wajib Pajak Baru. Adapun definisi WP Baru adalah WP Orang Pribadi/Badan yang terdaftar sejak awal tahun sebelumnya yang:

a) Belum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) pertama kali.

b) Belum melakukan pembayaran/penyetoran Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pertama kali dengan Surat Setoran Pajak (SSP).

3. Kegiatan Penyuluhan bagi Wajib Pajak Terdaftar

Merupakan kegiatan penyuluhan yang dilakukan kepada Wajib Pajak yang telah terdaftar di luar kategori WP Baru. Penyuluhan ini dimaksudkan untuk menjaga komitmen (commitment) WP untuk terus patuh.

Ketiga fokus penyuluhan (Calon WP, WP Baru dan WP Terdaftar) harus dijalankan oleh setiap unit kerja. Khusus unit kerja di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, Kanwil DJP WP Besar dan seluruh KPP Madya diberikan keleluasan untuk melakukan/tidak melakukan penyuluhan bagi Calon WP dan WP Baru. Pemberian proporsi (bobot) rencana penyuluhan terhadap ketiga fokus penyuluhan diserahkan kepada masing-masing unit kerja vertikal. Pemberian proporsi (bobot) dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum skala prioritas penyuluhan di masing-masing unit kerja.

Terkait pengaturan pelaksanaan penyuluhan atas ketiga fokus penyuluhan diatas, maka dikategorikan menjadi:

a) Penyuluhan Bersifat Nasional

Merupakan kegiatan penyuluhan yang dilakukan dalam rangka mengamankan agenda/target/tujuan Direktorat Jenderal Pajak secara nasional. Ciri kegiatan penyuluhan ini adalah seluruh unit kerja melakukan sosialisasi/penyuluhan dengan tema yang ditetapkan oleh Kantor Pusat DJP sebagai kegiatan penyuluhan yang bersifat nasional. Tata cara pelaksanaan kegiatan ini diatur lebih lanjut dengan surat edaran/surat Direktur Jenderal Pajak atau surat Direktur P2Humas.

b) Penyuluhan Bersifat Lokal

Merupakan kegiatan penyuluhan yang dilakukan dalam

rangka mengamankan agenda/target/tujuan dari unit vertikal

(16)

DJP (Kanwil DJP/KPP). Kegiatan penyuluhan dengan skala lokal ini dilakukan sesuai kebutuhan masing-masing unit kerja.

Berdasarkan SE-98/PJ/2011 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Laporan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, kegiatan penyuluhan perpajakan dapat dibagi menjadi 2 cara, yaitu:

1. Penyuluhan Langsung

Penyuluhan Langsung adalah kegiatan penyuluhan perpajakan dengan berinteraksi langsung dengan Wajib Pajak atau calon Wajib Pajak. Contoh penyuluhan langsung antara lain seminar, workshop, bimbingan teknis, kelas pajak dan sebagainya.

a) Kelebihan dari metode ini adalah penyampaian materi yang lebih detail dan pemahaman peserta atas materi penyuluhan yang baik karena terlibat langsung dalam bentuk diskusi/tanya-jawab secara langsung.

b) Kekurangan metode ini adalah jumlah peserta yang terbatas.

c) Kegiatan ini sangat baik jika tujuan penyuluhannya adalah membantu Wajib Pajak dalam memahami aspek teknis perpajakan seperti tata cara penghitungan pajak dan pelaporannya.

2. Penyuluhan Tidak Langsung

Penyuluhan Tidak Langsung adalah kegiatan penyuluhan perpajakan kepada masyarakat dengan tidak atau sedikit melakukan interaksi dengan peserta. Contoh kegiatan penyuluhan tidak langsung antara lain kegiatan penyuluhan melalui radio/televisi, penyuluhan melalui penyebaran buku/booklet/leaflet perpajakan

a) Kekurangan metode ini adalah kegiatan penyuluhan yang relatif singkat sehingga materi penyuluhan yang diberikan cenderung bersifat umum dan tidak dapat dipastikan bahwa seluruh masyarakat yang melihat atau mendengar paham atas materi tersebut.

b) Kelebihan metode ini adalah jumlah masyarakat yang dapat diedukasi melalui metode ini sangat luas; dan

c) Metode ini sangat baik untuk membangun kepedulian

masyarakat akan pentingnya pajak bagi negara dan

masyarakat. Pemilihan media penyuluhan selanjutnya

dituangkan pada tabel Rencana Penyuluhan, kolom 6 sesuai

dengan Lampiran V Surat Edaran ini. Pemilihan media

dilakukan berdasarkan kajian atau pemahaman bahwa suatu

(17)

media dipilih agar informasi perpajakan dapat diterima oleh audience sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai.

Ilustrasi berikut ini memberikan gambaran tentang keunggulan dan kelemahan dari media berdasarkan perbandingan keluasan jangkauan dan kedalaman materi penyuluhan, sebagai berikut:

Jenis media penyuluhan Keluasan Jangkauan

Kedalaman materi PENYULUHAN LANGSUNG

Seminar/workshop/kelas pajak Sedang Tinggi (detail) PENYULUHAN TIDAK

LANGSUNG

Radio Luas Sedang

TV Luas Rendah (Umum)

E. Persepsi atas Pemeriksaan Pajak 1. Definisi Persepsi

Menurut Kotler dan Armstrong (2004 : 218) mengartikan bahwa

“persepsi adalah proses meyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan informasi guna membentuk gambaran yang berarti tentang dunia”.

Sedangkan menurut Stephen P. Robbins (2008 : 175) pengertian persepsi adalah sebagai berikut:

Persepsi adalah proses dimana individu-individu mengorganisasi dan menafsirkan kesan indera mereka guna memberi makna kepada lingkungan mereka.

2. Faktor-Faktor Persepsi

Menurut Stephen P. Robbins (2008 : 175 - 176) ada beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam mempersepsikan suatu objek.

Faktor-faktor tersebut adalah:

a) Pelaku Persepsi

Cara pandang seorang individu terhadap suatu objek sangat dipengaruhi

oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu tersebut.

(18)

Karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan pengharapan.

b) Target/Objek Persepsi

Karakteristik dalam target yang diamati dapat mempengaruhi apa yang akan dipersepsikan oleh seorang individu. Karakteristik itu seperti hal baru, gerakan ukuran, latar belakang dan kedekatan. Orang yang bersuara keras akan lebih cenderung diperhatikan orang daripada orang yang pendiam. Kedekatan juga membuat kita menganggap beberapa obyek yang terpisah sebuah kesatuan obyek. Jika dua orang pegawai dalam sebuah unit yang beranggotakan empat orang secara tiba-tiba dimutasi, maka orang lain akan cenderung untuk berasumsi bahwa kepindahan dua orang pegawai tersebut ada hubungannya meski kenyataannya tidak demikian.

c) Situasi

Unsur-unsur dalam lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi seseorang, seperti waktu, keadaan/tempat dan keadaan sosial.

Contohnya jika seorang dosen wanita mengenakan gaun malam yang

cantik di sebuah pesta kelulusan mahasiswa, maka dosen lain serta

mahasiswa yang hadir akan menganggap dosen wanita tersebut sebagai

sosok wanita yang anggun. Namun jika wanita tersebut mengenakan

pakaian yang sama ketika memberikan kuliah umum, maka mahasiswa

dan rekan dosen yang lain akan menunjukkan respon yang berbeda dan

menganggap dosen wanita tersebut sebagai sosok yang berperilaku

(19)

aneh. Meski pelaku persepsi sama yaitu mahasiswa dan rekan dosen sejawat dan target persepsi sama yaitu dosen wanita yang bersangkutan, namun situasi yang berbeda akan memunculkan persepsi yang berbeda.

3. Definisi Pemeriksaan Pajak

Direktorat Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain. Pelaksanaan pemeriksaan tersebut adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Waluyo, 2011 : 49).

Pemeriksaan merupakan tindakan pelaksanaan penegak hukum agar peraturan yang dikeluarkan dilaksanakan dengan baik. Pemeriksaan pajak merupakan tindakan pemerintah untuk menilai kepatuhan formal maupun materiil. Tanpa adanya penegakan hukum akan menimbulkan ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.

Adapun definisi pemeriksaan pajak menurut Undang-Undang KUP No. 16 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Walaupun diberikan kewenangan untuk dilakukan pemeriksaan,

Undang-Undang juga membatasi kewenangan tersebut agar pemeriksaan

dilakukan tidak sewenang-wenang. Untuk memberikan dasar hukum dan

(20)

lebih memberikan rasa keadilan kepada wajib pajak dalam menghadapi pelaksanaan pemeriksaan pajak, maka ketentuan dan tata cara pemeriksaan pajak selama ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 Tanggal 3 Mei 2011. Ketentuan baru mengenai pemeriksaan pajak ini berlaku sejak 3 Mei 2011.

Hal penting dalam perubahan peraturan ini adalah hasil pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) beserta lampirannya. Batas waktu tanggapan tertulis dari wajib pajak atas SPHP menjadi paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima oleh wajib pajak.

Mekanisme pemeriksaan pajak sebagai tindakan pengawasan atas pelaksanaan sistem self assessment untuk menumbuhkan kepatuhan wajib pajak pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan yang berproses secara terpadu, sehingga membentuk suatu sistem yang khas dalam rangka mewujudkan efektifitas dan efisiensi pemeriksaan.

Kamdar (1997) seperti yang dikutip Junaidi Eko Widodo (2004 :

117-130) menyatakan bahwa tindakan pemeriksa merupakan alat pencegah

utama ketidakpatuhan wajib pajak (effective deterrent to noncompliance)

dan semakin besar rasio pemeriksaan pajak dapat mendorong peningkatan

penerimaan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Kamdar untuk menganalisis kepatuhan wajib pajak badan

(21)

di Amerika Serikat dengan menggunakan analisis time series. Penelitian ini mengambil data dari The Annual Report of the Commissioner of Internal Renenue untuk tahun 1961 samapi dengan tahun 1997.

4. Tujuan Pemeriksaan Pajak

Tujuan pemeriksaan pajak berdasarkan peraturan menteri keuangan nomor: 199/PMK/03/2007 tanggal 28 Desember 2007 untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Selain itu, ada pula pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan. Kriterianya adalah sebagai berikut:

a) Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Secara Jabatan.

b) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.

c) Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

d) Wajib Pajak mengajukan keberatan.

e) Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

f) Pencocokan data dan/atau alat keterangan.

g) Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.

h) Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Petambahan Nilai.

i) Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.

(22)

j) Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan.

k) Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Pemeriksaan dengan tujuan lain dengan kriteria sebagaimana diatas dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan. Jangka waktu Pemeriksaan Kantor terkait dengan pemeriksaan untuk kepuasan wajib pajak atau tujuan lain adalah paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 14 (empat belas) hari dihitung sejak tanggal wajib pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

Jangka waktu pemeriksaan lapangan terkait dengan pemeriksaan untuk kepuasan wajib pajak atau tujuan lain adalah paling lama 2 (dua) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

5. Jenis Pemeriksaan Pajak

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-

10/PJ.04/2008 Tanggal 31 Desember 2008 tentang Kebijakan Pemeriksaan

Pajak , terdapat 2 (dua) jenis pemeriksaan, yaitu:

(23)

a) Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakannya atau karena diwajibkan oleh Undang-Undang KUP.

b) Pemeriksaan berdasarkan risiko (risk based audit) yang selanjutnya disebut dengan Pemeriksaan Khusus, merupakan pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan analisis risiko terhadap ketidakpatuhan wajib pajak.

6. Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak

Ruang lingkup pemeriksaan pajak merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan. Ruang lingkup pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa atau seluruh jenis pajak baik satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.

Ruang lingkup pemeriksaan pajak untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan.

Ruang lingkup pelaksanaan pemeriksaan sesuai Surat Edaran

Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.04/2008 Tanggal 31 Desember

2008 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak, terdiri dari:

(24)

a) Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan ditempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan lapangan ini dilakukan untuk tujuan menguji kepatuhan wajib pajak dan untuk tujuan lain. Jangka waktu pelaksanaannya adalah 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

b) Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan kantor ini dilakukan untuk tujuan menguji kepatuhan wajib pajak dan untuk tujuan lain. Jangka waktu pelaksanaannya adalah 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bula yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

7. Teknik Pemeriksaan Pajak

Secara reformasi perpajakan tahun 1983, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari official assessment menjadi self assessment.

Upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanan system self

assessment perlu diikuti dengan tindakan pengawasan guna mewujudkan

tercapainya sasaran kebijakan perpajakan. Sehubungan dengan hal itu,

maka para pemeriksa pajak dalam melakukan tugas pengawasan perlu

didukung oleh berbagai faktor penunjang. Salah satunya adalah

(25)

menerapkan langkah strategi meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Karena tujuan utama dari pemeriksaan pajak adalah untuk meningkatkan kepatuhan (tax compliance) melalui upaya-upaya penegakan hukum (law enforcement) sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak.

Dalam kegiatan pemeriksaan pajak apatur pajak harus mencari, mengumpulkan dan mengolah data dimana data tersebut dapat mengatakan bahwa jika wajib pajak telah paham dan patuh menjalankan kewajibannya ke negara. Semakin tingginya kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajibannya ke negara akan semakin tinggi pula tingkat kemakmuran negara tersebut. Secara umum, objek pemeriksaan pajak adalah Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan atau Masa) yang disampaikan oleh wajib pajak.

Surat pemberitahuan merupakan synopsis dari objek pajak selama

periode tertentu (Tahunan atau Masa) diperlukan suatu penjelasan yang

disajikan dari suatu mekanisme pembukuan. Oleh karena itu,

penyempurnaan dibidang pemeriksaan tidak dapat dipisahkan dengan

penyempurnaan dibidang pembukuan. Pembukuan dengan berbagai

perangkatnya (buku, catatan, bukti dan dokumen lainnya) merupakan

sarana dalam pemeriksaan. Semakin baik dan semakin lengkap

pembukuan seseorang wajib pajak maka semakin lancar dan efektif jalan

pemeriksaan. Pelayanan yang diberikan wajib pajak kepada pemeriksa

merupakan pengorbanan sumber daya waktu dan tenaga bagi wajib pajak

yang diperiksa.

(26)

8. Prosedur Pemeriksaan Pajak

Pemeriksaan pajak dilakukan dengan berpedoman pada norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pemeriksaan dan wajib pajak.

Pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak yang tergabung dalam tim pemeriksaan pajak susunannya terdiri dari supervisor, ketua tim dan anggota.

Dalam pelaksanaan pemeriksaan sederhana kantor, seorang pemeriksa pajak dapat bertindak sebagai ketua tim sekaligus merangkap sebagai satu-satunya anggota. Prosedur pemeriksaan pajak dapat dilakukan sebagai berikut:

a) Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

b) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi.

c) Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditentukan.

d) Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

e) Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban Surat Pemberitahuan.

9. Hasil Pemeriksaan Pajak

Hasil pemeriksaan pajak harus dituangkan dalam laporan

pemeriksaan pajak secara rinci, jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan

(27)

tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan pemeriksaan pajak yang didukung dengan bukti yang kuat tentang ada atau tidaknya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang diperlukan dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Hasil pemeriksaan tersebut harus diberitahukan kepada wajib pajak dengan memberikan hak kepada wajib pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir. Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak tidak dilakukan apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan.

Pemeriksa pajak berwenang melakukan penyegelan dalam hal wajib pajak tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak atau tidak bergerak dan wajib pajak tidak memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan yang antara lain berupa tidak memberikan kesempatan untuk mengakses data yang dikelola secara elektronik atau membuka barang bergerak atau tidak bergerak.

F. Sanksi Perpajakan

Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Landasan hukum mengenai sanksi perpajakan diatur dalam masing-masing pasal Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.

Sanksi perpajakan dapat dijatuhkan apabila wajib pajak melakukan

(28)

pelanggaran terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.

Adapun konsep dari sanksi perpajakan menurut Mardiasmo (2011 : 59) menyatakan bahwa:

Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegahan (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.

Dalam Undang-Undang Perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap suatu norma perpajakan ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja, ada yang diancam dengan sanksi pidana saja dan ada pula yan diancam dengan sanksi administrasi dan sanksi pidana.

1. Sanksi Administrasi

Mardiasmo (2011 : 59) mengartikan “sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya berupa bunga dan kenaikan”. Jadi yang dimaksud dengan sanksi administrasi adalah pembayaran atas kerugian kepada negara dan pembayaran atas kerugian ini dapat berupa denda, bunga dan kenaikan.

Dalam pelaksanaan pengenaan sanksi ini Direktorat Jenderal Pajak

telah menetapkan besarnya tarif sanksi yang dapat diberikan kepada wajib

pajak dan penetapan besarnya tarif sanksi pajak ini tentunya dilakukan

dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Ketentuan besarnya

tarif sanksi administrasi diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Hal ini

(29)

dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat pajak, sehingga mereka tidak menetapkan sanksi sewenang-wenang.

2. Sanksi Pidana

Pengertian sanksi pidana menurut Mardiasmo (2011 : 59) adalah sebagai berikut:

Sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan. Merupakan suatu alat ukur terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi.

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan ada tiga macam sanksi pidana, yaitu denda pidana, kurungan dan penjara.

Ketentuan mengenai sanksi pidana di bidang perpajakan diatur atau ditetapkan dalam UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Mardiasmo, 2011 : 62).

G. Kepatuhan Wajib Pajak

1. Definisi Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut kamus umum bahasa Indonesia (1995 : 1013), istilah

kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam

perpajakan dapat diartikan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan

ketentuan perpajakan. Jadi kepatuhan wajib pajak adalah suatu keadaan

dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan

melaksanakan hak perpajakannya.

(30)

Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 235/KMKn.03/2003 tentang kepatuhan wajib pajak adalah wajib pajak yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan pembayaran pajak.

Menurut Safri Nurmantu mendefinisikan kepatuhan wajib pajak adalah “suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya dan melaksanakan hak perpajakannya”.

Kepatuhan wajib pajak merupakan bentuk kesadaran wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kesadaran wajib pajak merupakan indikator penentu yang mempengaruhi penerimaan negara terutama dalam sistem self assessement.

Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu sistem yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun bagi wajib pajak. Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system yang artinya ada kepercayaan dari fiskus kepada wajib pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya, yaitu menghitung, menyetor dan melapokan hutang pajaknya.

Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak

dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib

pajak tinggi, yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan

(31)

yang sesuai dengan kebenarannya dengan tujuan mendapatkan penerimaan pajak yang optimal.

Dan dalam hal kepatuhan, terdapat 2 (dua) macam jenis-jenis kepatuhan, yaitu:

a) Kepatuhan Formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Perpajakan.

b) Kepatuhan Material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara subtantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yaitu sesuai dengan isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar surat pemberitahuan (SPT) sesuai dengan ketentuan dan menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebelum batas waktu berakhir.

2. Patuh Dalam Perhitungan

Semua wajib pajak berdasarkan self assessment system diberi kewenangan, kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung pajak sendiri. Wajib pajak diwajibkan menghitung dengan benar pajak terutang yang harus dibayar pada masa pajak atau tahun pajak.

Selain itu, untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari

wajib pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi

(32)

dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya penghasilan tidak kena pajak untuk masing-masing wajib pajak adalah sebagai berikut:

a) Rp 24.300.000 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi.

b) Rp 2.025.000 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin.

c) Rp 24.300.000 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.

d) Rp 2.025.000 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap tambahan anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

3. Patuh Dalam Pembayaran

Sarana wajib pajak dalam membayar pajak menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lainnya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Setelah wajib pajak mengerjakan tugas pertama yaitu menghitung sendiri pajak terutangnya, tahap selanjutnya adalah melakukan langkah-langkah pembayaran pajak terutangnya:

a) Wajib pajak harus mengambil formulir SSP dari Kantor Pelayanan Pajak atau bisa juga ditempat lain yang menjual SSP tersebut.

b) Kemudian wajib pajak mengisi SSP tersebut dengan benar, jelas dan

lengkap serta menandatangani SSP tersebut.

(33)

c) Setelah itu, SSP tersebut dibawa ke bank yang melayani pembayaran pajak atau kantor pos.

d) Saat selesai melakukan pembayaran, kita akan diberikan bukti pembayaran.

Sebagai wajib pajak harus mengetahui batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak terutang diantaranya:

Tabel 2.1

Batas Waktu Pembayaran Pajak

No. Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran Atau Penyetoran

1. PPh Pasal 21 Tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya Masa pajak berakhir.

2. PPh Pasal 22 Impor Bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk.

3. PPh 22 yang dipungut oleh Badan tertentu

Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran.

4. PPh Pasal 23 & 26 Tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.

5. PPh Pasal 25 Tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya Masa pajak berakhir.

6. PPN & PPnBM Tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya Masa pajak berakhir.

7. PPN & PPnBM

Bendaharawan

Tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya Masa pajak berakhir.

Sumber : Mardiasmo 2008 4. Patuh Dalam Pelaporan

Kepatuhan pelaporan dapat ditunjukan dengan melaporkan pajak

terutang sebelum batas waktu yang telah ditentukan. Wajib pajak dapat

dikatakan patuh dalam hal pelaporan disini jika wajib pajak tersebut sudah

melaporkan Surat Pemberitahuan secara tepat waktu. Pada saat pelaopran

SPT ada dua jenis SPT yang wajib pajak perlu ketahui:

(34)

a) SPT Masa adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak. Batas waktu penyampaian SPT Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak.

b) SPT Tahunan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembyaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.

H. Kajian Penelitian Terdahulu

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

Tahun Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian 2009 Devi Tri Asih Pengaruh Tentang

Pengetahuan Pajak, Persepsi Tentang Petugas Pajak dan Penerapan Sistem Administrasi

Perpajakan Modern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Pengetahuan Tentang pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.

Persepsi tentang petugas pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Penerapan sistem administrasi perpajakan modern berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.

2012 Romandana Anggraini

Pengaruh

Pengetahuan Pajak, Persepsi Tentang Petugas Pajak Dan Sistem Administrasi Pajak Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi

Pengetahuan pajak memiliki pengaruh positif

terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Persepsi tentang petugas

pajak memiliki pengaruh

positif terhadap tingkat

kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi. Sistem

administrasi pajak memiliki

pengaruh positif terhadap

tingkat kepatuhan Wajib

Pajak Orang Pribadi.

(35)

2011 Shiva Fauziah Pengaruh Sikap Wajib Pajak Dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris Di KPP Pratama Serpong)

Secara parsial menunjukkan tidak ada

pengaruh yang signifikan antara sikap wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. Untuk variabel pemeriksaan pajak secara parsial hasil penelitiannya menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak.

Demikian secara simultan sikap wajib pajak dan pemeriksaan pajak secara bersama-sama berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak

2008 Supriyati dan Nur Hidayati

Pengaruh

Pengetahuan Pajak dan Persepsi Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Pengetahuan mengenai perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Salah satu penyebab berpengaruhnya

pengetahuan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak adalah mulai bertambahnya tingkat pengetahuan wajib pajak yang diperoleh langsung dari petugas pajak ataupun sosialisasi yang dilakukan oleh DJP.

2013 Fitri Irmawati Dewi

Pengaruh Kualitas Pelayanan Pajak dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Pajak

Kualitas pelayanan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan pajak.

Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan pajak. Kualitas pelayanan pajak dan pemeriksaan pajak bersama-sama berpengaruh

terhadap kepatuhan pajak.

(36)

I. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori dan kajian penelitian terdahulu maka kerangka teori dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Skema Kerangka Pemikiran

Pengetahuan Pajak (X

1

)

Penyuluhan Pajak (X

2

)

Persepsi atas Pemeriksaan Pajak (X

3

)

Sanksi Perpajakan (X

4

)

Kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi (Y)

Gambar

Ilustrasi  berikut ini memberikan gambaran tentang  keunggulan dan kelemahan  dari media berdasarkan  perbandingan keluasan jangkauan dan  kedalaman materi  penyuluhan, sebagai berikut:
Tabel 2.2  Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendekatan historis baik pada sebelum maupun sesudah kemerdekaan, stratifikasi masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan,

Kami akan memeriksa pembalikan preferensi dalam konteks berikut: (1) bagaimana framing dapat menyebabkan portofolio keputusan yang sedikit dari kita ingin, namun cenderung

[r]

Alternatif teknologi pengelolaan limbah padat B3 yang dapat direkomendasikan anatara lain dengan pengadaaan bahan yang sesuai kebutuhan; melaksanakan house keeping yang lebih

Tidak terdapat Bukti Permulaan, bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, dan diusulkan untuk diterbitkan surat ketetapan pajak atas

Penyidikan, untuk menandatangani administrasi pemeriksaan pajak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai

Istilah ulama biasanya identik dengan laki-laki, namun disini Rahmah El- Yunusiyah bisa disebut dengan ulama karena banyak hal yang melekat pada dirinya bisa

Anak belum mampu menceritakan pengalaman dan pengetahuannya Anak mampu menceritakan dengan bantuan Anak mampu menceritakan pengalaman dan pengetahuannya Anak mampu