• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAM PENINGKATAN STATUS KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI PENDEKATAN KELUARGA: KASUS PENANGANAN BBLR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAM PENINGKATAN STATUS KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI PENDEKATAN KELUARGA: KASUS PENANGANAN BBLR"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Naskah Kebijakan

STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAM

PENINGKATAN STATUS KESEHATAN IBU DAN ANAK MELALUI PENDEKATAN KELUARGA:

KASUS PENANGANAN BBLR

Oleh: Angga Sisca Rahadian, Widayatun, dan Yuly Astuti

Ringkasan Eksekutif

Permasalahan kesehatan ibu dan anak masih menjadi prioritas nasional. Kasus BBLR merupakan salah satu penyebab kematian bayi. Selama ini, kebijakan untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak, hanya terfokus pada ibu dan anak, kurang melibatkan peran serta keluarga. Selain itu, permasalahan terkait dengan kesehatan hanya menjadi tanggung

jawab dinas kesehatan, padahal penyelesaian permasalahan kesehatan ibu dan anak memerlukan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan. Naskah kebijakan ini

bertujuan memberikan strategi implementasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan BBLR yang didasari atas hasil studi dari rangkaian penelitian selama lima

tahun (2015 – 2019) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.

I. Pengantar

K

esehatan ibu dan anak menjadi prioritas dalam pencapaian target dalam SDGs, khususnya tujuan nomor 3, yakni ensure healthy lives and promote wellbeing for all at all ages. Capaian pembangunan kesehatan ibu dan anak di Indonesia belum optimal sehingga perlu penanganan bersama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam SDGs. Hal ini dapat terlihat dari hasil SUPAS tahun 2015 yang menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) berada pada 305 per 100.000 kelahiran hidup. Dengan AKI sebesar 305 per 100.000 tersebut menjadikan

Indonesia menempati urutan kedua tertinggi dibandingkan dengan negara- negara di Asia Tenggara lainnya (The ASEAN Secretariat, 2017). Sementara itu, angka kematian bayi (AKB) menurut hasil SUPAS 2015 adalah 22 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun AKB sudah berhasil melampau target MDGs, Indonesia masih menduduki peringkat ke 4 terbanyak di antara negara-negara ASEAN (The ASEAN Secretariat, 2017).

Untuk mengatasi permasalahan sekaligus tantangan peningkatan

(2)

berbagai kebijakan dan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan terkait dengan penurunan AKI dan AKB.

Sebelum dikeluarkannya Undang Undang No 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah RI melalui Kementerian Kesehatan telah merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan dan program untuk menurunkan AKI dan AKB. Pada tahun 1988 mulai dilaksanakan program Safe Motherhood yang melibatkan peran pemerintah dan non- pemerintah dalam upaya penurunan kematian ibu dan anak. Sebagai keberlanjutan program Safe Motherhood,

pemerintah kemudian

mengimplementasikan strategi Making Pregnancy Safer, yakni program kemitraan berbagai instansi, baik pemerintah, swasta, lembaga donor, masyarakat, dan keluarga. Strategi kunci yang ditawarkan diantaranya adalah setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Selain itu, program lintas sektor juga pernah diimplementasikan, program tersebut bernama

Gerakan Sayang

Ibu dan

dilanjutkan lagi bersama BKKBN menjadi Gerakan Reproduksi Keluarga Sehat (GRKS) sebagai upaya promosi

pendukung terciptanya keluarga yang sadar akan pentingnya kesehatan reproduksi. Pada tahan 2012 sampai dengan 2016 pemerintah bekerja sama dengan USAID melaksanakan program

Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS).

Pelaksanaan berbagai kebijakan dan program kesehatan di daerah cenderung diadopsi secara langsung dan kurang menyesuaikan dengan kondisi dan permasalahan di tingkat lokal. Karakteristik geografis dan sosio- demografis di Indonesia sangat bervariasi antara daerah satu dengan lainnya. Oleh karena itu, dalam implementasi kebijakan dan program kesehatan ibu dan anak perlu disesuaikan dengan kondisi lokal seperti letak geografis wilayah, keanekaragaman budaya serta kondisi sosial ekonomi masyarakat termasuk ketersediaan infrastruktur yang mendukung. Upaya mengakomadasi kondisi lokal dalam implementasi kebijakan kesehatan, pendekatan bottom up juga perlu dilakukan.

Semangat pendekatan ini adalah supaya partisipasi setiap pemangku kepentingan yang terlibat dalam kebijakan tersebut terakomodasi.

Di samping bersifat top – down, program-program yang sudah ada untuk menangani permasalahan kesehatan ibu dan anak, cenderung ditujukan hanya untuk ibu dari anak tersebut, kurang melibatkan keluarga dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan program yang melibatkan peran keluarga dan masyarakat sekitar. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang sudah diluncurkan yaitu Program Implementasi kebijakan dan

program peningkatan kesehatan ibu dan anak di daerah cenderung

diadopsi secara langsung dan kurang menyesuaikan dengan kondisi dan permasalahan lokal

(3)

Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS – PK). Keterlibatan ayah dan keluarga dalam upaya pencapaian kesehatan anak berdampak positif terhadap perilaku kesehatan ibu dan anak, seperti keberhasilan ASI eksklusif (Jacob, S., & Sujatha, R., 2013; Rempel, L. A., & Rempel, J. K., 2011; Şencan, İ., Tekin, O., & Tatli, M, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh P2K LIPI di Kota Medan pada tahun 2016 dan 2017 menunjukkan bahwa peran keluarga termasuk suami dan orang tua menjadi determinan faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan ibu dan pengasuhan anak (Astuty dan Widayatun, 2016; Astuty dan Widayatun, 2017).

Naskah kebijakan ini bertujuan untuk merumuskan

alternatif strategi implementasi peningkatan status kesehatan ibu dan anak, khususnya permasalahan berat

bayi lahir rendah (BBLR). Data dan informasi untuk menyusun naskah kebijakan ini berasal dari hasil penelitian tentang kesehatan ibu dan anak yang telah dilakukan sejak tahun 2015 sampai dengan 2019. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian selama lima tahun adalah kombinasi kualitatif dan kuantitatif.

II.

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Kematian Bayi

R

umusan alternatif strategi peningkatan kesehatan ibu dan anak terkait penanganan berat bayi lahir rendah (BBLR) disusun berdasarkan kajian tentang program penanganan BBLR yang dilaksanakan oleh Puskesmas Pejeruk, Kota Mataram.

Permasalahan terkait kesehatan bayi dan anak di Kota Mataram adalah meningkatnya kasus bayi BBLR serta gizi buruk yang berkontribusi terhadap peningkatan kematian bayi dan balita.

Menurut data tahun 2017, kematian bayi di Kota Mataram, sebagian besar (77 persen) terjadi pada usia 8-28 hari setelah kelahiran (kematian neonatus), sedangkan sisanya terjadi setelah usia 28 hari. BBLR menjadi penyebab utama kematian neonatus. Data menunjukkan bahwa kematian neonatus di Kota Mataram yang disebabkan oleh BBLR sebesar 55 persen, asfiksia sebanyak 18 persen, cacat bawaan sebesar 15 persen dan sisanya dikarenakan penyebab lainnya (Dinas Kesehatan Kota Mataram, 2018).

Hasil kajian di Kota Mataram menunjukkan bahwa tingginya kasus bayi BBLR terkait dengan peningkatan kasus anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil. Salah satu Puskesmas di Kota Mataram yang mempunyai kasus BBLR cukup tinggi adalah Puskesmas Pejeruk. Data di Puskesmas menunjukkan sekitar 70 persen kejadian BBLR dialami oleh ibu yang menderita anemia. Temuan ini mengonfirmasi temuan studi terhadap sekitar 10.013 bayi yang lahir pada

• Berat bayi lahir rendah (BBLR) menjadi penyebab

utama kematian bayi sebelum berumur satu bulan

(neonatus)

• Salah satu penyebab BBLR adalah ibu hamil anemia

(4)

tahun 2011 di Kota Mataram menunjukkan ibu yang mengalami anemia berpeluang sebesar empat kali lipat untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia (Ekayani, 2014).

Kondisi kesehatan ibu sebelum dan pada saat hamil menentukan kesehatan bayi yang dilahirkan. BBLR dapat disebabkan oleh faktor karakteristik ibu hamil (maternal) serta dari pelayanan kesehatan. Faktor yang terkait dengan karakterstik ibu hamil, antara lain status sosial demografi, ekonomi, antropometri

ibu, asupan gizi, faktor gaya hidup serta faktor lingkungan tempat tinggal. Sementara itu, dari sisi pelayanan kesehatan, BBLR terkait dengan pelayanan

antenatal dan deteksi dini faktor risiko BBLR (Shah dan Olleson, 2008;

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, FKM UI, 2010; Mitayani dan Sartika, 2010).

Faktor risiko utama terjadinya BBLR adalah anemia, umur ibu, jarak kelahiran dan kualitas pelayanan.

Tingginya angka anemia ibu hamil mempunyai kontribusi terhadap tingginya angka BBLR yang diperkirakan mencapai 350.000 bayi setiap tahunnya (Depkes RI, 2002;

Sistriani, 2008). Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat memengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung, gangguan nafsu makan selama masa- masa kehamilan trimester I. Ibu hamil yang mengalami anemia mempunyai

kecenderungan melahirkan BBLR dengan probablitas melahirkan prematur sebesar 23 persen (Lubis, 2013). Ibu yang tergolong kekurangan energi kronis (KEK) mengalami kekurangan energi dalam waktu yang lama, bahkan sejak sebelum masa kehamilan. Asupan gizi yang tidak adekuat saat masa perkembangan embrio dapat berakibat fatal bagi perkembangan janin di trimester selanjutnya. Jika ibu mengalami kekurangan gizi maka asupan gizi yang diberikan untuk janin juga akan sulit untuk terpenuhi, akibatnya terjadi hambatan pertumbuhan janin dan berat bayi lahir yang rendah (Ohlsson dan Shah, 2008).

Di Indonesia proporsi ibu hamil yang mengalami anemia cukup tinggi mencapai 37,1 persen pada tahun 2013.

Proprosi ibu hamil yang anemia mengalami peningkatan menjadi 48,9 persen pada tahun 2018 (Balitbang Kemenkes tahun 2013; Balitbang Kemenkes tahun 2018). Di Nusa Tenggara Barat berdasarkan hasil Survei Cepat Anemia yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2013, diketahui bahwa angka anemia pada ibu hamil di NTB adalah 56,5 persen dan angka anemia tertinggi terdapat di Kota Mataram dengan nilai 85 persen (Laporan Evaluasi Gizi Mikro Provinsi NTB Tahun 2013). Di Kota Mataram, salah satu wilayah yang mempunyai kasus anemia ibu hamil tinggi dan berdampak pada Penyebab langsung anemia ibu

hamil: Asupan makanan yang kurang memenuhi kecukupan gizi

seimbang selama kehamilan

(5)

peningkatan kasus BBLR adalah Kelurahan Pejeruk yang masuk ke dalam wilayah kerja Puskesmas Pejeruk. Kasus anemia ibu hamil di wilayah ini sebagian besar dialami oleh ibu hamil yang berumur antara 20-35 tahun (Rohani, 2016).

Anemia pada ibu hamil dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat langsung, tidak langsung maupun mendasar. Penyebab langsung anemia ibu hamil adalah asupan makanan yang kurang memenuhi kecukupan gizi seimbang selama kehamilan.

Sementara itu, faktor tidak langsung antara lain terkait dengan keterbatasan pengetahuan tentang

makanan sehat dan bergizi, kebiasaan dan pantangan makanan, otonomi pengambilan keputusan dalam rumah tangga, ketidaksetaraan gender serta sanitasi lingkungan tempat tinggal (Linda, 2004).

Semua faktor tidak langsung tersebut bermuara pada penyebab mendasar anemia pada ibu hamil, yaitu pendidikan yang rendah, pernikahan usia dini serta keterbatasan kondisi sosial ekonomi. Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan pemenuhan kebutuhan asupan gizi ibu selama kehamilan, terutama kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Ibu dengan tingkat sosial ekonomi rendah akan mengalami hambatan dalam pemenuhan kebutuhan asupan gizi selama kehamilan. Hal ini akan

berakibat pada kelahiran yang kurang baik (Ekayani, 2014). Kasus pernikahan dini masih cukup tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk di Kota Mataram. Hasil penelitian terdahulu menyebutkan ibu yang hamil terlalu muda (di bawah 20 tahun) belum siap secara fisik dan psikis untuk pertumbuhan janin. Di samping itu, pernikahan usia dini menyebabkan terjadinya kompetisi makanan untuk kebutuhan janin dan ibunya sendiri yang masih dalam masa pertumbuhan (Arisman, 2014).

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap kejadian anemia pada ibu hamil serta BBLR.

Pengaruh faktor sosial budaya yang memengaruhi kesehatan ibu dan bayi di Kota Mataram, seperti pendidikan perempuan yang rendah, pernikahan dini, kondisi ekonomi rumah tangga yang kurang mampu serta lemahnya posisi tawar perempuan dalam mengambil keputusan (Armini, Retnayu, dan Sudariani, 2009).

III.

Penanganan BBLR dengan pendekatan keluarga di Puskesmas Pejeruk, Kota Mataram.

P

eningkatan kasus BBLR di wilayah kerja Puskesmas Pejeruk Kota Mataram Anemia ibu hamil:

• Penyebab tidak langsung:

pengetahuan tentang makanan bergizi, kepercayaan tentang

pantangan makanan

• Penyebab mendasar: tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi,

pernikahan usia dini dan posisi perempuan (gender)

(6)

yang terjadi sejak tahun 2014 menjadi motivasi para pengelola Puskesmas untuk mengembangkan inovasi program bertujuan untuk menangani kasus BBLR dan mengurangi kasus kematian bayi akibat BBLR. Program penangangan bayi BBLR dilakukan sejak tahun 2014 melalui program Kelas BBLR yang awalnya hanya melibatkan ibu dan bayi BBLR. Hasil inovasi petugas Puskesmas Pejeruk mengembangkan program ini menjadi SIGAP BBLR yang mulai dilaksanakan di tahun 2016. Setelah program SIGAP BBLR berjalan kurang lebih satu tahun, kemudian dilakukan evaluasi terhadap berbagai penyebab bayi BBLR. Hasil evaluasi petugas Puskesmas menyebutkan adanya kaitan antara kejadian bayi BBLR dan kasus anemia pada ibu hamil. Sebagai tindak lanjut permasalahan yang ada, pengelola program memutuskan untuk melaksanakan program Peduli Ibu Hamil Anemia (PIHA) sejak tahun 2017.

• Kelas BBLR

Peningkatan kasus kematian bayi (neonatus) di Kota Mataram sebagian besar dikarenakan BBLR yang kasusnya meningkat dari tahun ke tahun. Hal yang sama juga ditemukan di Puskesmas Pejeruk, Kota Mataram.

Upaya penanganan bayi BBLR pada awalnya dilakukan melalui Kelas BBLR yang dilakukan sejak tahun 2015 di Puskesmas, hanya dengan kelompok target, ibu dan bayi baru lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg.

Penjaringan kelompok target dilakukan dari data kunjungan Puskesmas dan laporan bidan yang

bertanggung jawab di wilayah kerja Puskesmas.

• SIGAP BBLR

Program ini merupakan kelanjutan dari Kelas BBLR dengan melibatkan peran keluarga dalam perawatan dan penanganan BBLR serta mengurangi penyebabnya. Sasaran kegiatan adalah ibu, bayi, keluarga (suami, orang tua/mertua) serta komunitas sekitar tempat tinggal. Kegiatan SIGAP BBLR dilakukan melalui kunjungan ke rumah ibu dengan bayi BBLR oleh pengelola Puskesmas, secara bertahap, sebanyak empat kali dengan lama kunjungan minimal satu jam. Perbedaan waktu kunjungan pertama dan selanjutnya umumnya dilakukan dalam jangka waktu satu minggu. Namun, apabila kasus BBLR yang ditemukan termasuk dalam risiko tinggi (bayi kuning), maka kunjungan berikutnya akan dilakukan setelah tiga hari kemudian. Penguatan peran keluarga untuk penanganan BBLR di Puskesmas Pejeruk, Kota Mataram memiliki penekanan yang berbeda dalam setiap kegiatan kunjungan ke rumah.

✓ Kunjungan 1: Penyuluhan kepada ibu dan keluarga mengenai asupan gizi & teknik pemijatan bayi BBLR, kebersihan lingkungan rumah dan praktik hidup bersih dan sehat untuk seluruh anggota keluarga.

✓ Kunjungan 2: Penyuluhan dan praktik perawatan metode kangguru (PMK) untuk ibu dan keluarga (suami serta orang tua).

✓ Kunjungan 3: Ibu dan keluarga memberikan timbal balik kepada

(7)

petugas kesehatan mengenai ada/tidaknya peningkatan berat badan dan kondisi kesehatan bayi BBLR.

✓ Kunjungan 4: Ibu dan keluarga berpartisipasi aktif dan segera merujuk bayi BBLR apabila didiagnosis menderita

• Peduli Ibu Hamil Anemia (PIHA) Program SIGAP BBLR yang telah berjalan selama satu tahun kemudian dievaluasi oleh pengelola Puskesmas dan diperoleh kesimpulan bahwa kasus bayi BBLR sebagian besar dilahirkan dari ibu hamil yang anemia.

Pada 2017 Puskesmas Pejeruk, Kota Mataram menginisiasi Peduli Ibu Hamil Anemia (PIHA) yang bertujuan untuk menangani anemia pada ibu hamil melalui pendekatan keluarga.

Dalam program tersebut dilakukan kerja sama antara petugas kesehatan dan petugas gizi. Petugas gizi bertugas memantau asupan gizi selama satu minggu terakhir, sedangkan petugas kesehatan memeriksa kondisi kesehatan dan juga sanitasi lingkungan tempat tinggal ibu hamil.

Program PIHA diawali dengan penjaringan data ibu hamil yang menderita KEK dan anemia oleh petugas Puskesmas dibantu kader kesehatan setempat. Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dilakukan kunjungan ke rumah ibu hamil oleh tim puskesmas. Sama seperti SIGAP BBLR, tim terdiri dari dokter, bidan, perawat, petugas gizi, petugas promosi kesehatan, petugas kesehatan lingkungan serta kader kesehatan.

melakukan pemeriksaan kesehatan ibu hamil secara umum, termasuk penyakit menular dan tidak menular yang diderita. Pemeriksaan kondisi kesehatan ibu akan dilakukan oleh bidan. Pada saat kunjungan rumah, petugas juga akan menempel stiker Program Perencanaan Persalinan dan Penanganan Komplikasi (P4K) di depan rumah ibu hamil. Petugas gizi akan me-recall asupan gizi ibu hamil selama satu minggu terakhir, sedangkan petugas kesehatan lingkungan dan promosi kesehatan akan memeriksa kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal ibu hamil, sumber air bersih, dan Mandi Cuci Kakus (MCK). Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk tentunya memberikan dampak kesehatan untuk ibu hamil dan bayinya. Berdasarkan pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan observasi oleh petugas Puskesmas, selanjutnya akan dilakukan penyuluhan kepada seluruh anggota keluarga terkait status anemia ibu hamil, dampak anemia untuk ibu dan bayi dalam kandungan serta cara pencegahannya.

• Penyuluhan Anemia Pada Remaja Setelah program PIHA berjalan, pengelola Puskesmas Pejeruk kemudian mengembangkan program untuk mengatasi anemia di kalangan remaja dengan melakukan penyuluhan dan pemberian tablet zat besi. Program untuk mengatasi anemia remaja ini berdasarkan pada temuan di lapangan bahwa ibu hamil yang anemia terjadi sejak trimester pertama kehamilan, artinya anemia sudah dialami sejak

(8)

Hasil evaluasi pelaksanaan program SIGAP BBLR dan PIHA menunjukkan bahwa sebanyak 70 persen ibu hamil mengalami anemia sejak trimester pertama kehamilan mereka. Oleh karena itu, dokter, bidan dan tenaga kesehatan lainnya berkesimpulan bahwa kejadian anemia tidak terjadi secara mendadak. Kondisi kesehatan sejak remaja diduga turut memengaruhi kejadian KEK dan anemia pada ibu hamil. Untuk mengetahui lebih lanjut dan menemukan bukti

kasus anemia di kalangan remaja putri, maka pengelola

Puskesmas

berinisiatif untuk melakukan survei status gizi pada siswi SMP dan SMA di

wilayah Puskesmas Pajeruk. Hasil menunjukkan sekitar 60 persen siswi SMP dan SMA menderita anemia.

Dengan demikian, kejadian ibu hamil anemia di Puskesmas Pejeruk ditengarai sangat erat kaitannya dengan kasus anemia pada remaja putri.

IV.

Pembelajaran Program Kelas BBLR, SIGAP BBLR dan PIHA

P

engembangan kelas BBLR menjadi SIGAP BBLR, PIHA dan penyuluhan anemia pada remaja merupakan proses pembelajaran dan hasil evaluasi dari pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan ketiga program tersebut merupakan kreativitas dan inovasi pengelola

Puskesmas Pejeruk dalam merespons tingginya kasus BBLR yang berujung pada kematian bayi. Berawal dari kegiatan Kelas BBLR yang menekankan pada penanganan dan perawatan bayi BBLR agar tetap bertahan hidup, program ini berkembang menjadi SIGAP BBLR. Pelaksanaan SIGAP BBLR tidak hanya menangani dan merawat bayi BBLR, tetapi juga fokus mencari solusi penyebab BBLR.

Pengelola Puskesmas (kepala Puskesmas, dokter, bidan, perawat, perkesmas) kemudian melakukan evaluasi terhadap kegiatan SIGAP

BBLR dan

hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan ibu hamil anemia. Dengan demikian, dari program yang sudah ada dikembangkan lagi menjadi peduli ibu hamil anemia (PIHA). Pembelajaran dari kegiatan PIHA menunjukkan bahwa anemia pada ibu hamil ada kaitannya dengan anemia di kalangan remaja putri. Berdasarkan pembelajaran tersebut, dilakukan intervensi terhadap remaja putri di sekolah.

Melalui program SIGAP BBLR, PIHA, dan penyuluhan dan pemberian tablet zat besi dan Vitamin A terhadap remaja putri (SMP dan SMA), pengelola Puskesmas berupaya melakukan kegiatan peningkatan kesehatan ibu dan anak secara terintegrasi dengan Pelaksanaan Program Kelas BBLR,

SIGAP BBLR, PIHA dan Penyuluhan Anemia Remaja merupakan kreativitas dan inovasi pengelola Puskesmas dalam

merespon tingginya kasus BBLR yang berujung pada kematian bayi

(9)

menggunakan pendekatan keluarga dan siklus hidup (mulai dari remaja, ibu hamil, hingga bayi dan balita).

Pelibatan dan koordinasi dengan stakeholders dalam pelaksanaan program SIGAP BBLR, PIHA, dan intervensi terhadap siswi sekolah yang anemia masih terbatas. Stakeholders yang terlibat dalam SIGAP BBLR dan PIHA masih terbatas pada keluarga dan komunitas di lingkungan tempat tinggal ibu hamil anemia dan bayi BBLR. Program ini akan lebih efektif untuk mengurangi kasus BBLR dan kematian bayi jika stakeholders yang terlibat diperluas dengan melibatkan unsur pemerintahan mulai dari tingkat RT, RW, PKK, kelurahan, kecamatan sampai dengan

Pemerintah Kota (sektor terkait), pihak swasta serta lembaga swadaya masyarakat.

V.

Poin Poin Penting Untuk Program Penanganan BBLR

F

aktor yang mempengaruhi tingginya kasus BBLR cukup beragam, meliputi akses terhadap fasilitas kesehatan dasar dan rujukan, kondisi sosial budaya masyarakat (adat, kepercayaan, keyakinan) terkait kehamilan, dan pengasuhan anak serta posisi perempuan di dalam keluarga dan masyarakat (otonomi perempuan).

Oleh karena itu, pendekatan penanganan kasus BBLR perlu menggunakan pendekatan continuum of care (siklus hidup) dari hulu ke hilir dan melibatkan pemangku kepentingan.

• Pendekatan Continuum Of Care (siklus hidup)

Permasalahan peningkatan kasus BBLR sangat kompleks, dimulai dari kondisi remaja puteri, ibu hamil, melahirkan dan pasca melahirkan (masa nifas).

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan continuum of care yang merupakan konsep lintas tahapan dalam siklus hidup untuk menangani masalah kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya, dari saat pra-

konsepsi (remaja) sampai dengan masa kehamilan (konsepsi) dan masa pasca persalinan sebagai suatu kesatuan, antara ibu dan anak. Dari dimensi tempat, maka program pelayanan kesehatan dimulai dari rumah tangga, masyarakat sebagai lingkungan terdekat, hingga pelayanan di fasilitas kesehatan (Puskesmas, rumah sakit).

Konsep continuum of care sangat penting dalam meningkatkan kesehatan dan kelangsungan hidup dari ibu, bayi dan anak (Sines et al., 2006).

• Pendekatan dari hulu ke hilir Strategi Penanganan BBLR:

• Menggunakan pendekatan siklus hidup dari hulu ke hilir

• Partisipatif

• Mengakomodasi unsur lokal

• Pendekatan keluarga (“jemput bola”)

• Kemitraan dengan pemangku kepentingan

bayi

(10)

Strategi peningkatan kesehatan ibu dan anak, khususnya penanganan BBLR dilakukan menggunakan pendekatan dari hulu ke hilir. Kebijakan dan program kesehatan ibu dan anak di hulu berisikan program-program preventif dan promotif yang banyak menggunakan pendekatan lintas sektor untuk mengatasi determinan sosial yang memengaruhinya. Pelayanan atau intervensi di hulu merupakan bentuk pelayanan di level rumah tangga dan masyarakat seperti peningkatan usia kawin, berbagai program penyuluhan kesehatan ibu dan anak, advokasi, kampanye penyadaran dan intervensi terkait dengan faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan ibu pada aspek sosial, budaya dan ekonomi. Intervensi di hilir adalah upaya meningkatkan mutu pelayanan klinik untuk ibu dan anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan rujukan (Trisnantoro, L.

2011).

• Pendekatan Keluarga

Pendekatan keluarga adalah salah satu cara penyedia layanan kesehatan (Puskesmas) untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan serta meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Puskesmas tidak hanya menyelenggarakan pelayanan kesehatan di dalam gedung, melainkan juga ke luar gedung dengan mengunjungi keluarga di wilayah kerjanya. Oleh karena itu perlu dilakukan kunjungan rumah (sebagai

upaya “jemput bola”) oleh petugas kesehatan dan melibatkan peran keluarga untuk menangani permasalahan BBLR.

• Pelibatan - kemitraan dengan pemangku kepentingan

(akademisi, organisasi profesi, LSM dan dunia usaha)

Implementasi kebijakan dan program penanganan BBLR memerlukan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pihak swasta.

Tanpa adanya peran pihak lainnya, maka implementasi kebijakan dan program terkait peningkatan kesehatan ibu dan anak kurang mendapatkan hasil yang optimal disebabkan oleh keterbatasan sumber daya dan anggaran. Oleh karena itu, adanya kemitraan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan. Masing-masing pemangku kepentingan tentunya memiliki fungsi dan peran yang berbeda-beda, tetapi saling menguatkan (Bappenas, 2017).

Peran akademisi, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan dunia usaha (perusahaan) dalam bermitra dengan pemerintah daerah untuk melakukan upaya pelayanan kesehatan cukup besar. Kemitraan pemangku kepentingan bersama-sama dengan pemerintah daerah antara lain dapat dilakukan melalui menjadi fasilitator dalam penyuluhan dan pelatihan kader-kader kesehatan.

Kegiatan ini sekaligus juga sebagai upaya monitoring dan evaluasi atas implementasi program-program

(11)

kesehatan untuk masyarakat miskin. Di samping itu, para pemangku kepentingan tersebut juga aktif dalam membangun dan mengelola pusat- pusat kesehatan masyarakat bersama- sama dengan pemerintah daerah dan para kader kesehatan.

VI.

Rekomendasi

B

erdasarkan pembelajaran program penanganan kasus BBLR di Kota Mataram dan identifikasi permasalahan terkait dengan penyebab BBLR dikembangkan alternatif strategi untuk penanganan BBLR dengan pendekatan keluarga dan siklus hidup.

1. Penanganan permasalahan BBLR dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan faktor penyebab:

a) Strategi implementasi jangka pendek di sektor hilir: untuk menangani permasalahan yang disebabkan oleh faktor penyebab langsung

b) Strategi implementasi jangka menengah di sektor hulu: untuk menangani permasalahan yang disebabkan oleh faktor penyebab tidak langsung.

c) Strategi implementasi jangka panjang di sektor hulu: untuk menangani permasalahan yang disebabkan oleh faktor penyebab mendasar.

2. Perlu dilakukan kunjungan rumah (sebagai upaya “jemput bola”) oleh petugas kesehatan dan perlu melibatkan peran keluarga untuk

menangani permasalahan kesehatan ibu dan anak.

3. Perlu adanya sinergitas antar pemangku kepentingan dalam menangani permasalahan BBLR

sehingga penanganan

permasalahan yang ada bukan hanya tanggung jawab Dinas Kesehatan semata.

VII.

Daftar Pustaka

Arisman, M.B. (2010). Gizi dalam Daur Kehidupan Buku Kedokteran Edisi II.

Jakarta: EGC

Armini, N.K.A, Retnayu, P., dan Sudariani, P.W. (2009). Tradisi Masyarakat Lombok yang Mempengaruhi Perilaku Asupan Gizi Ibu Hamil. Jurnal Ners, 4(2), 155- 160 Astuti, Y. dan Widayatun. (2017).

Determinan Sosial Perilaku Kesehatan Ibu dan Pola Pengasuhan Anak di Kota Medan di Era Globalisasi (Laporan Penelitian).

Jakarta: P2 Kependudukan LIPI.

Astuti, Y., Widayatun., & Rahadian (2016). Peran dan Interaksi Keluarga di Era Globalisasi dalam Pengasuhan Anak pada Periode Emas Kehidupan: kasus Kota Medan (Laporan Penelitian). Jakarta: P2 Kependudukan.

Bappenas. (2017). Public Private Partnerships Infrastructure Projects Plan in Indonesia. Jakarta: Bappenas.

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010. Gizi dan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

(12)

Ekayani, N.P.K. (2014). Faktor Sosio Demografi, Medis Maternal, Status Gizi, dan Pemeriksaan Antenatal yang Rendah Meningkatkan Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bina Ilmiah, 8(4).

Depkes RI. Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan Sistem Pelayanan Kesehatan yang Berkaitan di Indonesia. Jakarta: Depkes RI: 2002

Dinas Kesehatan Kota Mataram. (2015).

Profil Kesehatan Kota Mataram Tahun 2015. Kota Mataram: Dinas Kesehatan Jacob, S., & Sujatha, R. (2013). An exploratory study on knowledge and attitude of fathers towards breastfeeding in selected hospitals at Mangalore. International Journal of Nursing Education, 5(1), 213-217.

10.5958/j.0974-9357.5.1.051

Linda, T.M. (2004). Kesehatan Ibu dan Anak: Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya. Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Lubis, Desi Halimah; Rini Mutahar dan Nur Alam Fajar, 2013. Hubungan status gizi (pertambahan berat badan ibu selama kehamilan dan ukuran lingkar lengan atas) dengan berat badan bayi lahir di Kecamatan Indralaya Utara.

Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, Volume 4, No 01.

Mitayani dan Sartika, W. (2010). Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta: Trans Info Media

Rempel, L. A., & Rempel, J. K. (2011).

The breastfeeding team: The role of involved fathers in the breastfeeding family. Journal Human Lactation, 27(2), 115-121.

Rohani, 2016. Hubungan umur dengan anemia pada ibu hamil di puskesmas pejeruk kota mataram provinsi nusa tenggara barat tahun 2016. Jurnal Sangkareang Mataram, 2(1).

Şencan, İ., Tekin, O., & Tatli, M. (2013).

Factors influencing breastfeeding duration: A survey in a Turkish population. European Journal of Pediatrics, 172(11), 1459-1466.

10.1007/s00431-013-2066-8

Shah P. dan Ohlsson, A. (2008).

Determinants and Prevention of Low Birth Weight: A Synopsis of the Evidence. Institute of Health Economics Report.

Sines, E., A, Tinker., J Ruben. (2006).

The Maternal-Newborn-Child Health Continuum of Care: A collective effort to save lives. Bulletin Save the Children, March: 2006: 1-6

The ASEAN Secretariat. 2017. ASEAN Statistical Report on Millenium Development Goals 2017. Jakarta, Indonesia: ASEAN Secretariat.

Trisnantoro, L. (2011). Strategi Luar Biasa untuk penurunan kematian ibu dan bayi. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 14(4): 175-176.

(13)
(14)

Referensi

Dokumen terkait

Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat pada ibu hamil terhadap kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR).. Dari penelitian didapatkan

Skripsi dengan judul “H ubungan antara Frekuensi Pemberian Air Susu Ibu (ASI) + Susu Formula Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) terhadap Pertambahan Panjang Badan BBLR di

Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara preeklampsia berat pada ibu hamil terhadap kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR).. Dari penelitian didapatkan

Tingkat Pengetahuan Ibu hamil tentang Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pengetahuan ibu hamil tentang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu yang melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) berdasarkan umur, paritas, usia kehamilan, dan

Tidak ada hubungan antara kejadian malaria pada ibu hamil dengan kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Tidak ada hubungan antara usia kehamilan ibu saat terinfeksi malaria,

KARATERISTIK IBU YANG MELAHIRKAN BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RUMAH SAKIT UMU

Penelitian ini bertujuan menganalisis pertambahan berat badan, dan status gizi ibu hamil sebagai faktor risiko kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di Puskesmas Gayamsari