• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesepakatan internasional untuk mengatasi masalah-masalah kependudukan tertuang dalam Millemium Development Goal’s (MDG’S).

Terdapat 8 sasaran yang akan dicapai dalam sasaran MDG’S, antara lain tujuan ke-5, yaitu kesehatan ibu dan anak, tujuan ke-6 perlawanan terhadap HIV atau AIDS, malaria dan penyakit lainnya dan tujuan ke-7 menjamin adanya dukung lingkungan (Bappenas, 2010).

Selaras dengan pembangunan kesehatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan tersebut mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan berkualitas (Depkes RI, 2004).

Infeksi karena parasit pada intestinal adalah salah satu infeksi yang paling lazim di dunia, terutama di negara-nega berkembang. Secara epidemiologi, infeksi tersebut disebabkan oleh situasi ekonomi dan sosial, lingkungan suatu bangsa, serta perilaku yang menjadi kebiasaan individu. Infeksi parasit tersebut diantaranya adalah infeksi karena cacing Ascaris Lumbricoides dan Tricuris Tricuria. Prevalensi inveksi tersebut lebih tinggi di daerah pedesaan (Okyay et al., 2004).

Di negara berkembang, Soil Transmitted Helminth (STH) atau kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat terutama pada anak-anak usia sekolah. Menurut penelitian Shang et al. (2010), infeksi STH adalah salah satu faktor resiko penting dalam stunting.

Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

salah satunya ialah penyakit kecacingan. Jenis cacing yang banyak menyerang

adalah cacing gelang (Ascaris Lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris

Trichuria), dan cacing tambang (ancylostoma Duodenale dan necator

Americanus). Penyakit kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi

(2)

kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 2004).

Anak adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan kualitas anak-anak saat ini.

Oleh karena kesehatan adalah hak asasi, menjadi kewajiban semua pihak untuk menjamin kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak Indonesia (Depkes RI, 2004).

Prevalensi kecacingan di Indonesia masih cukup tinggi antara 60-80% dan terutama menyerang pada anak-anak sekolah dasar. Meski penyakit ini tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun dalam jangka panjang dapat menurunkan kesehatan sehingga mengganggu kemampuan belajar. Sedangkan cacing sendiri dapat menginfeksi siapa saja, namun siswa SD lebih banyak, karena anak-anak pada usia tersebut lebih banyak bergerak dan berinteraksi langsung dengan lingkungan. Sementara orang dewasa sudah lebih memahami perilaku hidup bersih (Munandar and Susanto, 2004).

Margono (2003) melakukan penelitian di dua sekolah di Mataram, Lombok menemukan prevalensi tinggi Ascaris 78,5% and 72,6% dan infeksi Trichuris 63,95% dan 60,0%. Di Lombok Timur juga ditemukan dua sekolah dasar dengan prevalensi tinggi yaitu 73,45% dan 96,57% untuk Ascaris, dan 69,03% dan 79,43% untuk infeksi Trichuris. Prevalensi yang rendah dilaporkan dari lima sekolah di Jakarta, yaitu 4,3% dan 10,7% berturut-turut untuk infeksi Ascaris dan Trichuris.

Penelitian di sekolah Talang Dabok dan Sungai Rengit, Sumatera Selatan, prevalensi infeksi Ascaris berturut-turut adalah 40,3% dan 58,9%. Sebagian besar infeksi Ascaris dalam kategori sangat ringan (89%) atau ringan (11%) di sekolah Talang Dabok sedangkan kategori di sekolah Sungai Rengit yaitu sangat ringan (81%), ringan (14%), sedang (1%), dan berat (4%). Untuk infeksi Trichuris pada kedua sekolah tersebut prevalensinya berturut-turut adalah 41,0% dan 75,9%.

Infeksi sebelum perlakuan di sekolah Talang Dabok 47% infeksi adalah sangat

(3)

ringan, 42% ringan, dan 11% sedang, sedangkan di sekolah Sungai Rengit 50%

sangat ringan, 48% ringan, dan 2% berat. Prevalensi Ascaris dan Trichuris yang lebih rendah ditemukan pada siswa-siswa di sekolah Talang Dabok yang orang tuanya lebih berpendidikan dan mempunyai perilaku hygiene dan sanitasi lingkungan yang lebih baik tetapi berpenghasilan lebih srendah dari orang tua siswa-siswa di sekolah Sungai Rengit (Margono, 2003).

Iqbal (2004) menyatakan infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kelurahan Pannampu Kecamatan Tallo Kotamadya Makassar sebanyak 84,7%.

Prevalensi tertinggi oleh cacing Ascaris Lumbricoides yaitu 76,6%, Trichuris Trichiura 45,2%, dan infeksi ganda Ascaris dan Trichuris 37,1%. Hasil pemeriksaan sampel tanah dari 34 lokasi yang diperiksa, diperoleh 58,8% positif tanahnya mengandung telur cacing. Telur cacing yang ditemukan adalah Ascaris lumbricodes yaitu 41,2%, telur cacing Trichuris Trichiura yaitu 32,3%, dan telur cacing ganda Ascaris dan Trichuris yaitu 14,7%. Faktor risiko yang terbukti mempunyai hubungan adalah umur, perilaku anak, dan penghasilan perkapita keluarga (Iqbal, 2004).

Hasil penelitian di Kecamatan Prembun, Kebumen tahun 2002 menunjukkan bahwa 70,6% positif menderita infeksi cacing usus di mana 58,4%

dari 70,6% sampel tersebut berusia antara 11 sampai 13 tahun. Sebagian besar responden terinfeksi oleh Trichuris Trichiura 44,5%, 11,0% Ascaris lumbriocoides, dan 43,7% oleh lebih dari satu jenis cacing. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku bermain pasir tanpa memakai sepatu, perilaku buang air besar sembarangan, bermain pasir di sekolah tanpa sepatu dan tidak pernah membasuh tangan sebelum makan dengan kejadian infeksi cacing usus (Wachidanijah, 2002).

Cacing Ascaris yang diderita 83,9% anak di Pulau Panggang pada tahun

1997. Cacing Trichuris yang diderita oleh 82,7% anak di pulau tersebut pada

tahun 1997. Cacing tambang hanya diderita kurang dari 1% anak. Pada tahun

2004, jumlah anak kecacingan (Ascaris) menurun sampai 56,2% dan Trichuris

menjadi 10,7%. Kedua cacing ini memang tidak sejahat cacing tambang, tetapi

kemampuan cacing Ascaris mencuri zat gizi dari usus sangat besar karena

(4)

ukurannya besar dan jumlahnya banyak. Tercurinya zat gizi dari usus ini menyebabkan kekurangan micronutrient sehingga anak yang kecacingan berat akan kurang gizi dan anemia. Anak yang kecacingan berat biasanya sering mengalami diare sehingga kemampuan belajar menurun. Sementara cacing trikhuris dapat menimbulkan perdarahan kecil yang dapat menimbulkan anemia, meski tak separah cacing tambang (Maria, 2008).

Faktor risiko terjadinya penyakit kecacingan antara lain adalah sanitasi lingkungan yang buruk, tingkat pendidikan, kondisi sosial ekonomi, kebiasaan hidup sehat yang belum membudaya seperti kebiasaan buang air besar (BAB) sembarangan, kurangnya kesadaran melakukan cuci tangan, dan tidak memakai alas kaki serta kondisi geografis (jenis tanah dan iklim tropis) yang sesuai untuk kehidupan dan perkembangbiakan cacing. Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar 25º-30ºC merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris Lumbricoides menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Wachidanijah, 2002).

Prevalensi kecacingan di Kabupaten Kebumen belum diketahui. Survey pada beberapa Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah di Kecamatan Sadang pada Tahun 2009 menemukan bahwa dari 149 sampel feses yang diperiksa sebanyak 48 sampel (32,2%) positif mengandung/ terinfeksi cacing. Sebanyak 27 sampel (56,3%) terinfeksi cacing Trichuris Trichuria, 12 sampel (25%) terinfeksi cacing Ascaris Lumbricoides, dan sisanya sebanyak 9 sampel (18,7%) terinfeksi dua cacing sekaligus yaitu cacing Trichuris Trichuria Ascaris dan Lumbricoides (Dinkes Kab. Kebumen, 2011).

Kecamatan Petanahan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten

Kebumen. Luas Kecamatan Petanahan adalah 4.484 ha atau 44,84 km². Luas area

persawahan adalah 43,61% dan sisanya 56,39% merupakan lahan kering yang

dipakai untuk perumahan, perkebunan dan lain sebagainya. Kecamatan Petanahan

merupakan salah satu penyangga pertanian dan merupakan daerah pariwisata

pantai di Kabupaten Kebumen. Masyarakat Petanahan yang bertani masih banyak

yang menggunakan pupuk kandang untuk memupuk tanaman di sawah dan

palawija. Cakupan penggunaan jamban keluarga sehat di Kecamatan Petanahan

(5)

baru mencapai 67% (BPS Kab. Kebumen, 2010), sedangkan cakupan penggunaan jamban keluarga di Kabupaten Kebumen 73,27% (Dinkes Kab. Kebumen, 2010).

Hal tersebut masih di bawah Standar Pelayanan Minimal yang dipersyaratkan mengenai penggunaan jamban keluarga di daerah pedesaan. Salah satu upaya untuk mengatasi kecacingan yang terjadi di Kecamatan Petanahan seperti yang menjadi program pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen adalah pemberian obat cacing setiap 6 bulan sekali (Dinkes Kab. Kebumen, 2011).

Di Kabupaten Kebumen, waktu pelaksanaan program pemberian obat cacing tidak dilakukan secara serentak, tetapi menjadi tanggung jawab masing- masing puskesmas, sehingga waktu pelaksanaanya pun berbeda-beda. Selama ini, belum ada evaluasi keberhasilan program pemberian obat cacing tersebut baik prevalensi/angka kejadian kecacingan dan jenis cacing yang menginfeksi, serta efektifitas dari pemberian obat cacing tersebut.

Di Kabupaten Kebumen, termasuk di wilayah kerja Puskesmas Petanahan sudah diupayakan kegiatan pemberian obat cacing secara massal pada siswa sekolah dasar di seluruh Kecamatan Petanahan secara rutin 6 bulan sekali. Obat yang dipakai oleh Puskesmas Petanahan adalah jenis albendazole. Menurut WHO (2011) jenis obat ini sebenarnya adalah obat yang direkomendasikan secara tepat untuk digunakan sebagai obat cacing berspektrum luas untuk mengurangi infeksi cacing yang disebarkan/ditularkan melalui media tanah (STH) baik karena Ascaris Lumbricoides maupun Tricuris Tricuria. Dosis yang dianjurkan adalah 400 mg.

menurut Depkes RI (2004) menyebutkan bahwa albendazole sebagai obat cacing yang dibagikan pada anak-anak mempunyai spektrum yang luas. Obat ini mampuu membunuh cacing Ascaris Lumbricoides dan Trichuris Trichiura pada semua stadium. Kemampuan reinfeksi setelah minum obat ini menurut WHO adalah 6 bulan. Hal inilah yang dimungkinkan mempengaruhi intensitas infeksi kecacingan pada murid SD/MI di Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen.

Pada pelaksanaannya, petugas puskesmas (bidan/perawat) adalah petugas yang

mendistribusikan obat cacing ini ke sekolah-sekolah di seluruh kecamatan

petanahan. Obat yang didistribusikan biasanya tidak diminumkan di tempat/

(6)

sekolah akan tetapi dibawakan pulang kepada siswa untuk diminum di rumah.

Sehingga, belum bisa dievaluasi secara tepat apakah obat cacing tersebut betul- betul diminum atau tidak.

Berdasarkan penelitian awal yang diambil secara acak pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Petanahan terhadap 30 siswa didapat 11 siswa (36,7%) menderita kecacingan. Sebanyak 4 siswa (36,4%) tersebut terinfeksi jenis Ascaris Lumbricoides, dan lainnya, yaitu sebanyak 5 siswa (63,6%) terinfeksi jenis Trichuris Trichuria. Berdasarkan wawancara pada saat itu, sebanyak 4 siswa (36,4%) yang menderita kecacingan tersebut tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan benar. Melihat latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan analisis hubungan antara perilaku mencuci tangan dengan kejadian penyakit kecacingan pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Petanahan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan

”Adakah hubungan antara perilaku mencuci tangan dengan kejadian penyakit kecacingan pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan perilaku cuci tangan dengan kejadian penyakit kecacingan pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen.

2. Tujuan khusus

a. Menghitung angka kejadian kecacingan pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Petanahan.

b. Mengidentifikasi jenis cacing yang menyerang anak sekolah dasar di Kecamatan Petanahan.

c. Mengetahui perilaku cuci tangan pada siswa sekolah dasar di Kecamatan

Petanahan.

(7)

D. Ruang Lingkup Penelitian

1. Lingkup Keilmuan

Penelitian ini merupakan penelitian bidang kesehatan lingkungan yang menekankan pada aspek sanitasi lingkungan dan perilaku.

2. Lingkup Lokasi.

Penelitian dilakukan di sekolah dasar yang ada di Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen.

3. Lingkup Materi

Materi penelitian ini menitikberatkan pada perilaku cuci tangan dan kejadian penyakit kecacingan pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Petanahan.

E. Manfaat Penelitian

1. UPT Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kec.Petanahan

Memberi masukan mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian cacingan pada siswa sekolah dasar sehingga akan terjalin kerja sama dan koordinasi dengan puskesmas setempat untuk meningkatkan peran serta dokter kecil yang ada di masing-masing sekolah.

2. UPT Puskesmas Petanahan

Memberi masukan kepada pemegang program UKS, PKM, dan Pembinaan Kesehatan Lingkungan untuk meningkatkan penyuluhan kesehatan dan kebersihan perorangan, serta meningkatkan peran dokter kecil yang ada di masing-masing sekolah.

F. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang cacingan yang pernah dilakukan di antaranya yaitu:

1. Suhartono (1996) melakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian dan intensitas kecacingan pada murid sekolah

dasar Di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.” Penelitian ini dilakukan di

Kabupaten Karanganyar dengan desain cross sectional. Hasil penelitian ini

Ada hubungan yang bermakna variabel bebas dengan kejadian infeksi cacing

(8)

pada murid SD, tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan intensitas infeksi cacing, ada dua variabel yang berhubungan secara bersama-sama dengan kejadian infeksi cacing gelang (pendidikan ibu dan kondisi sanitasi lingkungan) dan didapatkan dua variabel bebas yang berhubungan dengan intensitas infeksi cacing tambang.

2. Ekpenyong and Eyo (2008) melaksanakan penelitian tentang “Prevalence of intestinal helminths infections among schooling children in tropical semi urban communities”. Penelitian ini dilakukan di Igbo-Eze PERDA Lokal Selatan (LGA) dari Enugu Negara (Gambar 1). Berbagai komunitas di Igbo- Eze Selatan LGA termasuk Ibagwa-Aka, Iheakpu-Awka, Uhonowerre, Iheaka, Ovoko, Nkalagu Obukpa, Itchi, Alor-AGU dan Unadu. Studi ini telah menunjukkan bahwa cacing usus infeksi yang umum di kalangan anak sekolah di Igbo-Eze Selatan LGA, Enugu Negara. Dengan demikian, kesehatan dan ekonomi masyarakat implikasi dari temuan ini tidak boleh diabaikan.

Mengingat kekhawatiran tentang pentingnya kesehatan masyarakat dari infeksi cacing usus, kontrol kemoterapi infeksi cacing usus pada anak-anak juga harus dilakukan. Juga, ada kebutuhan untuk pendidikan kesehatan terpadu berkala dan pengobatan massal untuk secara efektif mengendalikan infeksi cacing usus di daerah tersebut. Pencegahan dan pengendalian penyakit parasit akan tergantung pada pembangunan ekonomi dengan perbaikan pasokan air, sanitasi, pendidikan kesehatan dan status sosial ekonomi.

Penelitian lebih lanjut tentang pengendalian penyakit parasit harus dilakukan dan ini harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam penelitian epidemiologi sehingga diperoleh manfaat yang maksimal.

3. Kounnavong et al. (2011) melakukan penelitian tentang “Soil-transmitted

helminth infections and risk factors in preschool children in southern rural

Lao People’s Democratic Republic”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menilai infeksi STHs serta penentu mereka pada anak prasekolah (<60 bulan)

di selatan Laos pedesaan Rakyat Republik Demokratik (Laos). Savannakhet

Provinsi terletak sekitar 650km selatan dari ibukota Vientiane. Kabupaten

Sepol, Nong dan Vilabury dipilih untuk penelitian ini karena mereka adalah

(9)

salah satu kabupaten termiskin di Laos. Prevalensi Ascaris Lumbricoides, cacing tambang dan Trichuris Trichiura masing-masing adalah 27,4% (95%

CI 27,0-27,6%), 10,9% (95% CI 10,7-11,0%) dan 10,9% (95% CI 10,7- 11,1%),. Dari jumlah sampel anak yang diteliti, 28,4% memiliki infeksi monoparasitic dan 9,3% memiliki infeksi polyparasitic. Anak yang lebih besar memiliki risiko lebih tinggi untuk infeksi cacing tambang [odds rasio (OR) = 1,75, 95% CI 1,03-3,01, P = 0,041] dan beberapa infeksi (OR = 1,81, 95% CI 1,01-3,20, P = 0,044). Status sosial ekonomi rendah dikaitkan dengan Lumbricoides A. (OR = 0,61, 95% CI 0,38-0,98, P = 0,043) dan infeksi monoparasitic (OR = 0,62, 95% CI 0,38-0,99, P = 0,049). Pendidikan kesehatan tentang kebersihan pribadi, pengelolaan air yang tepat dan penggunaan jamban yang benar merupakan elemen penting tambahan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan pada judul, waktu dan tempat, teknik pengambilan sampel serta variabel-variabelnya.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perilaku cuci tangan dan variabel

terikatnya adalah kejadian kecacingan pada siswa sekolah dasar.

Referensi

Dokumen terkait

Sampel yang diambil adalah 40 responden yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 20 responden menggunakan kompres lidah buaya (gel aloe vera) dan 20 responden

Pada model SIR, individu yang awalnya berpotensi tidak terinfeksi akan menjadi individu rentan terinfeksi jika ia ada dalam suatu populasi tertutup yang didalamnya

Seorang yang terinfeksi tanpa gejala tidak selalu merupakan karier, misalnya orang dngan tes tuberculin positif tidak secara aktif menularkan tbc karena itu orang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pakan alternatif dalam pemeliharaan cacing tanah dengan memanfaatkan populasi eceng gondok yang melimpah disekitar

Model matematika terapi tumor ini menggambarkan interaksi antara dua jenis sel tumor yaitu sel yang tidak terinfeksi virus Oncolytic dan sel yang diinfeksi dengan

Pada manusia penyakit toksoplasmosis ini umumnya terinfeksi melalui saluran pencernaan,perantara yang umum adalah makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan

Berdasarkan pengamatan mikroskopis yang telah dilakukan pada 48 sampel kuku jari tangan siswa SDN I Kromengan ditemukan 2 jenis telur cacing STH yaitu telur Ascaris lumbricoides

Gejala dan tanda klinik penyakit ini yang menonjol adalah disebabkan karena iritasi pada daerah di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing Enterobius vermicularis betina