EDITORIAL TEAM Ketua Penyunting
Masykur Arif, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep Penyunting Pelaksana:
Syafiqurrahman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Penyunting:
Abd. Warits, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Mohammad Takdir, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Ach. Maimun, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Fathor Rachman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Moh. Wardi, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahzatut Thullab, Sampang.
Moh. Dannur, Institut Agama Islam (IAI) ِ◌Al-Khairat, Pamekasan.
IT Support:
Faizy, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep, Indonesia Alamat Redaksi: REDAKSI JPIK
Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D)
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA)
Jl. Bukit Lancaran PP.
Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep 69463 Email:
[email protected]
Website:http://jurnal.instika.ac.id/index.php/jpik
Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Jawa Timur, Indonesia. Terbit 2 kali dalam setahun yakni pada bulan Maret dan September. Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman menerbitkan hasil penelitian, baik penelitian pustaka maupun lapangan, tentang filsafat dan pemikiran serta ilmu-ilmu keislaman meliputi bidang kajian pendidikan Islam, politik, ekonomi syariah, hukum Islam atau fikih, tafsir, dan ilmu dakwah
1-28 Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer
Dainori
29-56 Pendidikan Islam Inklusif dalam Pemikiran Sayyed Hossein Nasr
Tatik Hidayati dan Ah Mutam Muchtar
57-74 Mengakrabkan Anak dengan Tuhan (Upaya Membangun Kesadaran Beragama Anak-Anak) Abdul Wahid dan Abdul Halim
75-103 Sikap dan Pandangan Tokoh Pesantren Terhadap Kondisi Santri Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk- Guluk Sumenep
Fairuzah dan Unsilah
104-121 Metode Istinbath Hukum dan Pengaruhnya terhadap Fiqih di Indonesia
Moh Jazuli, A Washil, dan Lisanatul Layyinah 122-144 Zakat Profesi Menurut Pandangan Yusuf Al
Qardhawi
Masyhuri dan Mutmainnah
Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer
Dainori
Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum (STAIM) Sumenep [email protected]
Abstrak
Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena senantiasa muncul ragam pendapat, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun setelahnya. Salah satu permasalahan yang timbul dikalangan pengkaji hukum Islam dalam masa modern ini adalah mengenai pencatatan perkawinan terutama mengenai dimana posisi pencatatan nikah dalam sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya tidak menjadikan pencatatan nikah sebagai aturan yang harus dijalankan. Pokok bahasan yang dikaji dalam Tulisan ini adalah Bagaimana hukum pencatatan perkawinan dalam Islam dan Negara Kontemporer dan Bagaimana Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer.Tulisan ini merupakan penelitian pustaka (library research), dengan mempelajari peraturan perundangan, kitab fiqih, buku, jurnal dan tulisan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wajib mencatatkan perkawinan. jika perjanjian yang berhubungan dengan harta saja dianjurkan untuk dicatatkan bagaimana dengan perkawinan, sebagai ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan yang disebut dalam al-Qur’an sebagai mitsaqon ghalidza dengan tujuan membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Dan dengan diabsahkannya pencatatan perkawinan di mayoritas negari muslim, ini bukan persoalan campur tangan urusan agama dengan masyarakat, tapi pencatatan
kejadian penting yang dilakukan penduduknya menjadi tugas pemerintah untuk mencatatkan sebagai bukti otentik seperti kelahiran anak (akta lahir), pernikahan, pembuatan KTP, SIM, dan lain sebagainya.
Kata Kunci: perkawinan, hukum islam, KHI
Pendahuluan
Perkawinan dalam Islam ialah suatu akad atau perjanjian yang mengikat antara laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan biologis antara kedua belah pihak dengan sukarela berdasarkan syarat Islam. Kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu modal utama untuk mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih saying dan ketentraman dengan cara yang di Ridhoi Allah SWT, Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja, tetapi juga dengan ikatan bathin. Sudah terjadi kodrat alam, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin yang berlainan yaitu seorang perempuan dan seorang laki-laki, diantara keduanya ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu tujuan yaitu meneruskan keturunan.
Salah satu permasalahan yang timbul dikalangan pengkaji
hukum Islam dalam masa modern ini adalah mengenai pencatatan
nikah terutama mengenai dimana posisi pencatatan nikah dalam
sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung
kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, yaitu ulama kontemporer,
dan sebagian lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya tidak
menjadikan pencatatan nikah sebagai aturan yang harus dijalankan.
Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini penulis akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan pencatatan pernikahan.
Untuk itu penulis tertarik dengan masalah tersebut, ada tiga pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yakni: Bagaimana hukum pencatatan perkawinan dalam Islam dan Negara Kontemporer?
Dan juga Bagaimana Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer?
Pengertian Pencatatan Perkawinan
Pengertian pencatatan nikah adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seseorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi.
Sedangkan pengertian perkawinan dalam Ensiklopedia Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab dan Qabul.
1Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar atau hajjiyah dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain. Pencatatan perkawinan tidak diatur di dalam nash, baik Al Quràn maupun sunnah. Hal ini berbeda dengan transaksi muamalat yang di dalam Al Quràn diperintahkan untuk mencatatnya. Atas dasar inilah, fiqh tidak menganggap penting terhadap eksistensi pencatatan perkawinan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan alat bukti otentik terhadap sebuah perkawinan menjadi suatu kebutuhan. Pencatatan perkawinan dianggap
1 Jurnal Hassan Sadily, et al., Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), hal, 111.
sebagai salah satu solusi terhadap kondisi demikian. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu bentuk pembaruan hukum (reformasi hukum) keluarga yang dilakukan oleh negara-negara dunia Islam.
Bahkan dengan tidak tercatatnya hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami-istri. Pencatatan perkawinan merupakan suatu bentuk pembaruan hukum yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam dalam bentuk Lex Humana atau (hukum manusia, human law) yang mengatur hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat (tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh tidak diungkapnya keharusan pencatatan perkawinan di dalam al Quràn dan sunnah. Atas dasar inilah, para ulama fiqh juga tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan perkawinan. Ada beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian para ulama pada masa awal Islam. Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain al Quràn sebagai bentuk pendekatan pemahaman Teologi Normatif terhadap Al-Quran.
2Pencatatan Perkawinan dalam Kitab-Kitab Konvensional
Pembahasan tentang pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih konvensional tidak di temukan. Sejauh ini hanya ditemukan konsep nikah sirri dalam kitab al-mudawwanah, karangan sahnun
2 Jurnal pengertian pencatatan perkawinan (Analisis atas ketentuan hukum pencatatan perkawinan) diakses 09 Mei 2021.
(160-240/776-854), dan pembahasan tentang fungsi saksi dalam perkawinan oleh fuqaha lain. Masalah saksi yang oleh ulama lain menjadi sub bahasan tersendiri, oleh sahnun hanya disinggung ketika membahas status hukum nikah sirri. Hal ini memperkuat keyakinan, bahwa masalah pencatatan perkawinan memang erat hubungannya dengan masalah saksi (fungsi saksi) dalam perkawinan.
As-sarakhsi mencatat, menurut hanafiyyah berdasarkan hadis,
saksi harus ada dalam perkawinan. Untuk menolak pendapat imam
malik, Ibn laila dan Usman Al bata yang berpendapat saksi tidak
masuk rukun perkawinan, tetapi yang menjadi rukun adalah
pengumuman (I’lan) As-sarakhsi mencatat: (i) hadis yang
mengharuskan kehadiran empat unsur yang harus ada dalam akad
nikah untuk sahnya perkawinan, yakni calon suami (peminang), Wali,
dan dua orang saksi, ditambah dengan (ii) asar Umar yang tidak
mengakui keabsahan perkawinan yang hanya dihadiri oleh satu orang
saksi. Sebagai konsekuensi dari pendapat malik, Ibn abi laila dan
Usman Al bata yang menekankan pengumuman di atas, kalau sudah di
umumkan meskipun kepada anak anak dan orang gila nikahnya
menjadi sah. Dasar yang mereka catat, seperti ditulis as-Sarakhsi
adalah hadis nabi yang menyuruh mengumumkan perkawinan, dan
tindakan Nabi yang menyuruh menyembunyikan pukulan-pukulan
(gendang) sebagai isyarat salah satu cara mengumumkan. Berdasarkan
hadis dan tersebut, ulama tersebut berkesimpulan, bahwa unsur yang
menjadi batas boleh atau tidaknya perkawinan adalah ada atau
tidaknya unsur usaha merahasiakan, masuk kelompok perkawinan
yang tidak boleh (haram). Jalan keluarnya agar tidak masuk kelompok
tersebut adalah perkawinan harus di umumkan (lian). Pengumuman tersebut berguna untuk menghindari tuduhan atau keraguan orang lain.
Menurut Abu Hanifah (80-150/696-767) seperti dicatat as- Syarakhsi, saksi dalam perkawinan bisa saja orang fasik. Ada dua alasan yang ditulis as-Syarakhsi sekaligus untuk menangkis pendapat as-syafii yang tidak menerima kesaksian orang fasik, yang didasarkan pada hadis bahwa perkawinan harus dengan wali dan saksi yang adil.
Pertama keharusan bersifat adil dalam hadis ini bersifat umum, berlaku untuk semua kasus, termasuk di bidang muamalah, dimana dalam kasus-kasus tertentu memang dibutuhkan adanya sifat adil, untuk menghindari kebohongan.
Berbeda dengan asy-Syafii yang mengharuskan saksi pria dalam perkawinan, as-syarakhsi membolehkan gabungan dua wanita dan satu pria. Pemikiran Asy-syafii tersebut menurut asy-syarakhsi dikiaskan dalam kasus muamalah secara umum, dimana dalam kasus- kasus tertentu memang hanya dapat disaksikan kaum pria.
Menurut al-Kasani, ulama lain dalam madzhab hanafi,
kehadiran saksi adalah syarat sah perkawinan. Adapun fungsi saksi
dalam perkawinan disebut lebih rinci, yakni ada dua. Pertama, untuk
menghindari tuduhan zina, dan kedua, untuk menghindari tuduhan
fitnah. Sebab dengan adanya saksi akan menyebarluaskan berita
tentang sudah terjadinya pekawinan antara pasangan. Berbeda dengan
kasus perkawinan, dalam tindakan hukum lain, seperti jual beli, fungsi
saksi juga untuk mengantisifasi kalau ada pihak yang lupa atau ada
pihak pihak yang mengingkari, maka kehadiran saksi dalam kasus jual
beli adalah sunnah. Maksud al-kasani adalah bahwa saksi dalam
perkawinan merupakan suatu keharusan, sementara pada kasus lain, seperti jual beli adalah anjuran (sunnah).
Asy-Syafi’i juga mengharuskan adanya saksi dalam perkawinan. Saksi dalam perkawinan harus ada dua orang pria yang adil. Kesaksian dua orang saksi yang bermusuhan dengan para calon (mempelai) dapat diterima dan perkawinannya sah, dengan catatan tetap adil dan mengakui perkawinan tersebut. Untuk menunjukan keharusan adanya saksi dalam perkawinan, asy-syafii menulis sejumlah hadis dan asar. Diantara hadisnya adalah riwayat muslim dan ibnu abbas, yang mengharuskan saksi yang adil dan wali yang dewasa (mursyid), ditambah asar umar yang tidak mengakui perkawinan yang dihadiri satu saksi pria dan satu saksi wanita. Perkawinan semacam ini oleh ummar dimasukan perkawinan sirri, salah satu jenis perkawinan yang dilarang.
Di bagian lain juga ditulis oleh asy-syafii, untuk sahnya sebuah perkawinan harus memenuhi empat hal, (1) Wali,(2) persetujuan (rida’) dari yang akan dinikahkan (al-mankuhah) (3) persetujuan dari yang akan menikahi (an-nakih) dan dua orang saksi yang adil. Ada pengecualian dari ketentuan ini, yankni perkawinan gadis yang belum dewasa (bikr) atau hamba, gadis yang belum dewasa boleh dinikhakan bapak, sedangkan hamba oleh tuannya, tampa persetujuan yang bersangkutan (mempelai). Ditambah asy-syafii, akad nikah tampa menyebut mahar status perkawinan tetap sah.
Menurut ibnu Qudomah (w. 620 H.) dari mazhab hanbali,
saksi dalam perkawinan harus ada, berdasarkan sunnah Nabi. Saksi
dalam perkawinan, menurut ibnu qudamah, tidak boleh
seorang zimmi tidak wanita, tetapi boleh saksi orang buta, dengan
syarat mengetahui benar suara orang yang melakukan transaksi (akad) sama kira-kira dengan pengetahuan orang yang tidak buta. Dasar larangan saksi wanita adalah sunnah Nabi yang diriwayatkan azzuhri, bahwa Nabi melarang wanita menjadi saksidalam masalah perkawinan dan talak. Dalam riwayat lain, termasuk juga larangan dalam bidang- bidang Muamalat. Dengan ungkapan lain, saksi dalam akad nikah harus laki-laki dan jumlahnya harus dua.
Di samping harus ada saksi dalam akad nikah, ibnu qudamah juga mengatakan disunatkan mengumumkan perkawinan sampai orang mengetahui, berdasarkan pesan Nabi kepada bangsa Ansar.
Dari pembahasan diatas, tampak bahwa pada prinsipnya semua ulama tersebut mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah, hanya saja imam malik terlihat lebih menekankan fungsi saksi, yakni sebagai sarana pengumuman dari pada hanya sekedar hadirnya pada waktu akad nikah, seperti yang dipegang oleh ulama lain, kecualai alkasani.
Akbitanya terkesan imam malik tidak mengharuskan saksi dalam akad nikah. Kemudian al-kasani terlihat berupaya mengkompromikan kedua perbedaan ini, dengan mengatakan, bahwa saksi harus ada dalam akad nikah, yang fungsi utamanya adalah untuk menyebarluaskan informasi tentang pernikahan tersebut.
3Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Fiqh Klasik dan Konfensional
3 Khoiruddin Nasution, status wanita di asia tenggara: studi terhadap perundang-undangan perkawinan muslim kontemporer di indonesia dan malaysia ,(Jakrta: katalog dalam terbitan (KDT),2002), hal. 95.
Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fiqih walaupun ada ayat al-Qu’ran yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah, Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan. Kedua kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan).
Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga tradisi walimat al-‘urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.
Dengan alasan-alasan yang telah disebut diatas, dapatlah di katakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang suatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.
Sejalan dengan perkembangan jaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi.
Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulis sebagi ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik.
Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang
karena sebab kematian, manusia juga dapat mengalami keluoaan dan
kekhilafan. Atas dasar ini di perlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.
4Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus di penuhi. Dikatakan pembaharuan hukum islam karena masalah tersebut tidak di temukan di dalam kitab-kitab fiqih ataupun fatwa-fatwa ulama.
Meninjau pencatatan perkawinan di zaman Nabi, Sahabat dan tabi’in tidak ada, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dilihat pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, Hadist serta fiqih klasik secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan. Terdapat beberapa keadaan kenapa pencatatan tidak ada di zaman itu, diantaranya pada zaman Nabi masyarakatnya lebih ahli dan mengandalkan hafalan/ingatan, dan memang zaman itu pencatatan belum dibutuhkan.
Lalu seiring perkembangan zaman yang dikatakan era globalisasi, muncul problematika-problematika perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan atau nikah dibawah tangan (nikah sirri) sehingga memunculkan kebutuhan adanya campur tangan pemerintah dalam perkawinan berupa pencatatan.
5Ayat atau sunnah tidak mengatur tentang adanya pencatatan, namun jika kita melihat dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang menjadi dasar hukum hutang piutang atau dikenal dengan ayat mudayanah dapat ditarik sebagai dasar pencatatan dengan istinbath berupa qias, berikut ayatnya:
4 Amiur Nuruddin,Hukum Perdata Islam di Indonesia ,(Jakrta:
prenada media,2004),cet pertama 2004 hal. 120
5 Amiur Nuruddin,Hukum Perdata Islam di Indonesia ,(Jakrta:
prenada media,2004),cet pertama 2004. 123
ِﺗﺎَﻛ ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ ْﺐُﺘْﻜَﻴْﻟَو ُﻩﻮُﺒُـﺘْﻛﺎَﻓ ﻰًّﻤَﺴُﻣ ٍﻞَﺟَأ َﱃِإ ٍﻦْﻳَﺪِﺑ ْﻢُﺘْـﻨَـﻳاَﺪَﺗ اَذِإ اﻮُﻨَﻣاَء َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأَ�
ٌﺐ َﻌْﻟِﺑﺎ
ِﻖﱠﺘَـﻴْﻟَو ﱡﻖَْﳊا ِﻪْﻴَﻠَﻋ يِﺬﱠﻟا ِﻞِﻠْﻤُﻴْﻟَو ْﺐُﺘْﻜَﻴْﻠَـﻓ ُﱠﻟﻠﻪا ُﻪَﻤﱠﻠَﻋ ﺎَﻤَﻛ َﺐُﺘْﻜَﻳ ْنَأ ٌﺐِﺗﺎَﻛ َبَْ� ﻻَو ِلْﺪ ﻻَو ُﻪﱠﺑَر َﱠﻟﻠﻪا
َأ ُﻊﻴِﻄَﺘْﺴَﻳ ﻻ ْوَأ ﺎًﻔﻴِﻌَﺿ ْوَأ ﺎًﻬﻴِﻔَﺳ ﱡﻖَْﳊا ِﻪْﻴَﻠَﻋ يِﺬﱠﻟا َنﺎَﻛ ْنِﺈَﻓ ﺎًﺌْـﻴَﺷ ُﻪْﻨِﻣ ْﺲَﺨْﺒَـﻳ ُﻪﱡﻴِﻟَو ْﻞِﻠْﻤُﻴْﻠَـﻓ َﻮُﻫ ﱠﻞُِﳝ ْن
ْﺮَـﺗ ْﻦﱠِﳑ ِنَﺗﺎَأَﺮْﻣاَو ٌﻞُﺟَﺮَـﻓ ِْﲔَﻠُﺟَر َ�ﻮُﻜَﻳ َْﱂ ْنِﺈَﻓ ْﻢُﻜِﻟﺎَﺟِر ْﻦِﻣ ِﻦْﻳَﺪﻴِﻬَﺷ اوُﺪِﻬْﺸَﺘْﺳاَو ِلْﺪَﻌْﻟِﺑﺎ ِءاَﺪَﻬﱡﺸﻟا َﻦِﻣ َنْﻮَﺿ
َْ� ﻻَو ىَﺮْﺧُﻵا ﺎَُﳘاَﺪْﺣِإ َﺮِّﻛَﺬُﺘَـﻓ ﺎَُﳘاَﺪْﺣِإ ﱠﻞِﻀَﺗ ْنَأ اًﲑِﻐَﺻ ُﻩﻮُﺒُـﺘْﻜَﺗ ْنَأ اﻮُﻣَﺄْﺴَﺗ ﻻَو اﻮُﻋُد ﺎَﻣ اَذِإ ُءاَﺪَﻬﱡﺸﻟا َب
ْنَأ ّﻻِإ اﻮُﺑَﺗﺎْﺮَـﺗ ّﻻَأ َﱏْدَأَو ِةَدﺎَﻬﱠﺸﻠِﻟ ُمَﻮْـﻗَأَو ِﱠﻟﻠﻪا َﺪْﻨِﻋ ُﻂَﺴْﻗَأ ْﻢُﻜِﻟَذ ِﻪِﻠَﺟَأ َﱃِإ اًﲑِﺒَﻛ ْوَأ ًةَﺮِﺿﺎَﺣ ًةَرﺎَِﲡ َنﻮُﻜَﺗ
ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ ﺎََ�وُﺮﻳِﺪُﺗ ْنِإَو ٌﺪﻴِﻬَﺷ ﻻَو ٌﺐِﺗﺎَﻛ ﱠرﺎَﻀُﻳ ﻻَو ْﻢُﺘْﻌَـﻳﺎَﺒَـﺗ اَذِإ اوُﺪِﻬْﺷَأَو ﺎَﻫﻮُﺒُـﺘْﻜَﺗ ّﻻَأ ٌحﺎَﻨُﺟ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َﺲْﻴَﻠَـﻓ
ٌﻢﻴِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ِّﻞُﻜِﺑ ُﱠﻟﻠﻪاَو ُﱠﻟﻠﻪا ُﻢُﻜُﻤِّﻠَﻌُـﻳَو َﱠﻟﻠﻪا اﻮُﻘﱠـﺗاَو ْﻢُﻜِﺑ ٌقﻮُﺴُﻓ ُﻪﱠﻧِﺈَﻓ اﻮُﻠَﻌْﻔَـﺗ.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika orang yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki
diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika sseorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika
mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tidak ada dosa bai kamu, (jika) kamu
tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Dan bertakwalah kepada Allah; Allah Maha mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
6Dari ayat ini menunjukkan anjuran, bahkan sebagian ulama anjuran ini bersifat kewajiban untuk mencatat utang piutang dan mendatangkan saksi di hadapan pihak ketiga yang dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis utang walaupun hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. bertujuan untuk menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari.
Dengan ayat ini dapat ditarik istinbath dengan qias (analog) bahwa jika perjanjian yang berhubungan dengan harta saja dianjurkan untuk dicatatkan diatas hitam dan putih, bagaimana dengan perkawinan, sebagai ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan yang disebut dalam al qur’an sebagai mitsaqon ghalidza dengan tujuan membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Dengan diabsahkannya pencatatan perkawinan di mayoritas negeri muslim, bukan masalah campur tangan urusan agama dengan masyarakat, tapi pencatatan kejadian penting yang dilakukan penduduknya menjadi tugas pemerintah untuk mencatatkan sebagai bukti otentik seperti kelahiran anak (akta lahir), pernikahan, pembuatan KTP, SIM, dan lain sebagainya.
Selain dengan konsep qias, dalil maslahah dapat dijadikan dasar penetapan pencatatan nikah. Menurut Assyatibi, syarat maslahah ialah:
1. Harus bersifat logis,
2. Bukan termasuk ta’abbudi dan
3. Tidak ada dalil qath’iy yang menyatakan atau menolak.
6 Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemah, hal. 98
Sedangkan Imam al Ghazali memberikan syarat untuk menjadikan isthlah sebagai metode yaitu:
1. Sejalan dengan syariah.
2. Tidak bertentangan dengan syariah
3. Maslahah ini masuk kategori kebutuhan dloruriyah (primer)
7Melihat situasi dan kondisi tentang kebutuhan pencatatan perkawinan yang bisa dikatakan termasuk kategori dlaruriyah, karena terdapa madlarat yang besar jika tidak melaksanakan pencatatan, seperti fakta yang ada, banyak pelaku prostitusi melegalkan hubungan badan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai nikah gadungan, akibatnya tentu banyak merugikan seorang perempuan, anak jika ternyata dari hasil berhubungan itu menghasilkan anak. Dan seandainya lelaki yang melakukan transaksi tersebut terikat perkawinan, maka memungkinkan terjadinya perceraian.
Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam
Pencatatan perkawinan sangatlah urgent selain demi terjaminya ketertiban akta nikah bisa digunakan untuk mendapatkan hak-hak, dan terlepas dari prasangka, keragu-raguan,kelalaian serta saksi-saksi yang cacat secara hukum. Kendatipun pencatatan perkawinan hanya brsifat administrative tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan ditertibkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang di langsungkannya sebuah perkawinan yang sah.
7 Yahya harahap ,hukum perkawinan nasional: berdasarkan UU No.1 tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975 ( medan :Cv Zahir, 1975).cet 1 hal 15- 16
Disini akan di jelaskan bagaimana hukum pencatatan perkawinan dalam islam.
1. Manhaj
Manhaj yang digunakan dalam pengambilan hukum pencatatan nikah ini adalah qiyas. Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya.” Menurut isltilah Ushul Fiqh Qiyas adalah:
ﻢﻜﺣ ﺔﻠﻋ ﰲ ﺎﻤﻬﻛاﱰﺷﻹ ﻪﻤﻛ صﻮﺼﳐ ﺮﻣﺑﺄ ﻲﻌﺸﻟا ﺔﻤﻜﺣ ﻰﻠﻋ صﻮﺼﻨﻣ ﲑﻏ ﺮﻣا ﻖﳊا Menghubungkan (menyamakan hokum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan illat antara keduanya.
2. Maslahah Mursalah
Adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan juga tidak dilarang oleh syariat, semata mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan huhkum islam. dalam hal ini pencatatan perkawinan di pandang sebagai suatu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
3. Tatbiqiyyah dan natijah al hukm Al Ashal
ُﻩﻮُﺒُـﺘْﻛﺎَﻓ ﻰًّﻤَﺴﱡﻣ ٍﻞَﺟَأ َﱃِإ ٍﻦْﻳَﺪِﺑ ﻢُﺘﻨَﻳاَﺪَﺗ اَذِإ ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ َ�
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al- Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
ًﺎﻈﻴِﻠَﻏ ًﺎﻗﺎَﺜﻴِّﻣ ﻢُﻜﻨِﻣ َنْﺬَﺧَأَو ٍﺾْﻌَـﺑ َﱃِإ ْﻢُﻜُﻀْﻌَـﺑ ﻰَﻀْﻓَأ ْﺪَﻗَو ُﻪَﻧوُﺬُﺧَْﺗﺄ َﻒْﻴَﻛَو Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri- isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
1. Al-Far’u
Hukum pencatatan perkawinan tidak ditemukan pada Al-Qur’an dan hadist bahkan bahasan ini kurang mendapat perhatian seirus dari ulama fiqh walaupun ada ayat Al-Qur’an yang menghendaki untuk mencatat segala transaksi mu’amalah.
2. Hukum Ashal
Hukum yang terdapat pada Al Ashal adalah
sunnah karena Al Qur’an yang menganjurkan untuk
mencatat segala bentuk transaksi muamlah. Seperti pada
surat Al-Baqarah ayat 282. Yang menunjukan perintah
mencatat utang piutang kalimat faktubuhu adalah
kalimat anjuran yang menekan, dan setiap anjuran dalam
kaidah fiqih adalah sunnah. Kesimpulannya hukum yang terdapat pada Al-Ashl adalah sunnah muaqad.
3. Al-Illat
Illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal, dipakai sebagai dasar hukum yang dengan illat itu dapat diketahui hukum cabang (furu’) Illat dari pencatatan hutang-piutang adalah bukti keabsahan perjanjian/transaksi muamalah (bayyinah syar’iyah).
Kesimpulannya hukum pencatatan perkawinan adalah sunnah muaqad sebagaimana hukum pencatatan dalam akad hutang-piutang. Dalam kaidah fiqhiyah:
“suatu yeng telah ditetapkan berdasarkan bukti (keterangan) sepadan dengan yang telah di tetapkan berdasarkan kenyataan.”
8Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Undang-undang pertama pencatatan perkawinan, perceraian yang sekaligus dikelompokan sebagai usaha pembaharuan pertama.
Adalah dengan diperkenalkan undang-undang No.22 Tahun 1946.
Pertama undang-undang ini hanya berlaku untuk pulau jawa, yang kemudian undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia dengan undang-undang No.32 tahun 1945, yakni undang-undang tentang pencatatan nikah,thalak dan rujuk. Keberadaan undang-undang No.22 tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl. No.198 tahun 1895, dan sebagai pengganti Huwelijks Ordonatie
8 Yahya harahap ,hukum perkawinan nasional: berdasarkan UU No.1 tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975 ( medan :Cv Zahir, 1975).cet 1 hal 25.
Stbl.No 348 tahun 1929 jo Stbl. No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse Hewelijks Ordonantie Stbl.No.98 tahun 1933. Aulawi mencatat,seyogyanya undang-undang No.22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia tetapi karena keadaan belum memungkinkan, Kemudian diberlakukan di seluruh Indonesia pada tahun 1945.
Undang-undang No.22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang- undang No 1 tahun tahun 1975 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 oktober 1975 ini adalah undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian.
Adapun isi dari undang-undang No.1 tahun 1974 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.
Kehadiran undang-undang No 1 tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya peraturan pelaksanaannya dengan PP no.9 tahun 1974 tentang pelakasanaan undang-undang No.1 tahun 1974 yang kemudian disusul dengan dengan keluarnya peraturan menag dan mendagri. Bagi umat islam diatur dalam peraturan menag No.3 tahun 1975, kemudian diganti dengan peraturan menag No 2 tahun 1990. Bagi yang beragama selain islam diatur dalam keputusan mendagri No.221 a tahun 1975, tanggal 01 oktober 1975 tentang pencatatan perkawinan dan perceraian pada kantor catatan sipil adapun isi PP No. 9 tahun 1975 terdiri dari 10 Bab, 49 pasal.
9Setelah Indonesia merdeka, langkah-langkah perbaikan diadakan oleh pemerintah dengan antara lain mengeluarkan undang- undang (1946) tentang pencatatan nikah, talak dan ruju.setelah itu
9 Atho Muzdhar dan khairuddin Nasution,Hukum keluarga di Dunia Islam modern (jakrta: ciputat prees,2003),Cet 1,hal 23-27.
disusul dengan peraturan mentri agama mengenai wali hakim dan tatacara pemeriksaan perkara fasad nikah,talak dan ruju di pengadilan agama. Namun demikian dengan langkah langkah itu perbaikan yang dituntut belum terpenuhi karena undang-undang dan peraturan- peraturan itu hanyalah mengenai soal-soal peraturan formil belaka, tidak mengenai hukum materilnya yakni undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri.
Mengenai yang tersebut terakhir ini, sejak tahun, sejak tahun 1950 pemerintahan republik Indonesia telah berusaha memenuhinya dengan jalan memebentuk panitia-panitia yang bertugas membuat rancangan undang-undang perkawinan kepada DPR-RI dan setelah mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa bagian penting Mentri RUUP tersebut baik di dalam DPR maupun di dalam masyarakat, akhirnya dicapailah suatu consensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat diantara para dewan perwakilan rakyat.
Setelah mendapat persetujuan dari DPR pemerintah
mengundangkan Undang-Undang perkawinan pada tanggal 2 januari
1974 dalam lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya
sama dengan nomor dan tahun Undang-Undang perkawinan tersebut
yakni no 1 tahun 1974. Pada tanggal 1 april 1975 setelah 1 tahun 3
bulan undang_undang perkawinan ini diundangkan, lahir peraturan
pemerintah No 9 tahun 1975 yang memuat peraturan pelaksanaan
Undang-Undang perkawinan tersebut dan dengan demikian mulai
tanggal 1 oktober 1975 undang-undang no.1 Tahun 1974 itu telah dapat berjalan secara efektif.
10Demikian sejarah pencatatan perkawinan tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembentukan Undang-Undang perkawinan itu sendiri.
Karena pencatatan perkawinan itu sendiri tercakup dalam Undang- Undang perkawinan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pencatatan perkawinan, harus dilihat ketentuan yang diatur daam bab II PP No 9 tahun 1975 Bab II memuat ketentuan pencatatan perkawinan, yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud oleh pasal 2 undang-undang No.1 tahun 1974 sesuai dengan PP No.9 Tahun 1975 ditentukan Undang-undang mana yang mengatur pencatatan perkawinan.
1. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat Nikah sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang No.32 tahun 1974 tentang pencatatan nikah,talak dan rujuk (ayat 1 pasal 2). Dan tentang hal ini diatur pada Bab II dan Bab IV peraturan mentri agama No.1 tahun 1995pada pasal 5- 7.
2. Sesuai dengan ketentuan ayat 2 pasal 2 bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan menurut kepercayaan agama mereka pencatatan perkawinan dilakukan oleh pencatatan perkawinan pada kantor catatan sipil.
3. Bagi yang beragama Kristen yang terdiri dari penduduk bumi putra di daerah jawa Madura dan minahasa berlaku di Reglemen
10 Daud Ali,hukum islam dan peradilan agama ,(Jakarta : PT Raja Grafindo persada,2003)cet 1, hal 20-23
pencatatan Sipil bagi bangsa Indonesia Kristen jawa,Madura dan minahasa. (Stbl.1933 No.75 diubah dengan Stbl 1933 No.327 jo.
338 Stbl 1934 No. 621 dan 622, stbl.1936 No.247 dan 607,stbl.1938 No.246 dan 247 dan 170 jo. No. 264. Stbl 1939 No.
288 tentang pencatatan perkawinan ini diatur pada keenam pasal 48-58.
11Pelaksanaan pencatatan perkawinan itu tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi hal ini hanya semata- mata bersifat administratife sedangkan mengenai sahnya suatu perkawinan sebagaimana dengan tegas dinyatakan oleh undang- undang No 1 tahun 1974 pasal 2 bahwa perwakinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan itu.
Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal (2) Ayat 2 menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun tidak di jelaskan maksud diadakannya suatu pencatatan, penjelasan umum hanya mengatakan bahwa tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang Misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan surat-surat keterangan yang bebentuk akta resmi yang juga dimuat dalam daftar catatan.
Pelaksaan pencatatan Nikah mempunyai dasar hukum yaitu:
a. Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, talak dan rujuk jo Undang-undang Nomor 32 tahun 1954
11 Yahya harahap ,hukum perkawinan nasional: berdasarkan UU No.1 tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975 ( medan :Cv Zahir, 1975).cet 1 hal 15-16
b. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan
agama pasal 84 ayat (1), (2), dan (3).
d. Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang Nomor 1 tahun 197 tentang perkawinan.
e. Peraturan mentri agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang hakim
f. Peraturan mentri agama Nomor 2 tahun 1987 tentang pembantu pegawai pencatat nikah.
g. Peraturan mentri agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang kewajiban pegawai pencatat nikah
h. Keputusan mentri Agama Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Biaya nikah dan rujuk Bagi umat islam
i. Keputusan mentri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang pengelolaan biaya nikah dan rujuk bagi umat Islam
Surat keputusan dirjen Bimas Islam dan urusan Haji Nomor 16 Tahun !992 tentang pedoman pelaksanaan Biaya Nikah dan Rujuk Bagi umat Islam.
Kedudukan Hukum Perkawinan
1. Hukum perkawinan islam tidak menentukan sahnya suatu
perkawinan yang dilakukan oleh orang islam, karena sahnya
perkawinan apabila dilakukan didepan pegawai pencatat nikah
dan dicatatkan, atau sahnya perkawinan hanya berdasarkan “
pencatatan perkawinan “ semata
2. Hukum perkawinan islam dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan undang-undang.
3. Hukum perkawinan islam dapat berlaku jika telah diresipiir ( diterima ) oleh hukum adat.
4. Hukum perkawinan islam juga dapat tidak diberlakukan terhadap orang islam, karena sahnya perkawinan hanya berdasarkan “ pencatatan perkawinan”
5. Hukum perkawinan islam berfungsi sebagai pelengkap, bukan penentu sahnya perkawinan.
12Pencatatan Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menurut hazairin, adalah ijtihad baru. Tinggalah kewajiban pecinta agama islam untuk lebih menerapkan kehendak Al-quran dan sunnah dalam penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaannya,demikian ungkap hazairin. Harapan Hazairin itu terwujud dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan bahwa “ perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ataumitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.” Pasal 3 KHI merumuskan tujuan perkawinan, yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah dan warrahmah.
Mengenai sahnya perkawinan ditentukan dalam pasal 4 KHI,bahwa “ pertkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut
12 Neng Dzubaidah,Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak di Catat,(Jakrta: Sinar grafika,2010),cet kedua 2012 hal 206-208.
hukum islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan ”sebagaimana telah diuraikan bahwa, perkawinan yang sah menurut pasal 2 ayat(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama adalah suatu “peristiwa hukum” yang tidak dapat dianuril oleh pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menentukan tentang “ Pencatatan perkawinan”.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa rumusan pasal 4 KHI mempertegas bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan menurut hukum islam, sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 KHI, bahwa:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam undang-undang nomer 22 tahun 1946 jo.
Undang-undang nomor 32 tahun 1954 Dalam pasal 5
KHI disebutkan bahwa perkawinan harus dicatat, hal ini
merupakan perwujudan dari penjelasan umum angka 4
huruf b undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan sebagaimana telah di kutip di atas. Tetapi,
kata harus di catat dalam penjelasan umum angka 4
huruf b tersebut adalah tidak berarti bahwa pencatatan
perkawinan sederajat atau sepadan dengan ketentuan
sahnya perkawinan yang di tentukan dalam pasal 2 ayat
(1) junctopasal 1 Undang-Undang perkawinan sebagaimana telah di tafsirkan penilis. Pasal 2 ayat (2) undang-undang perkawinan tidak mengakibatkan perkawinan menjadi tidak sah jika tidak di catat.
Oleh karena itu, istilah “harus di catat” dalam pasal 5 ayat (1) KHI juga hanya bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam semata. Pasal 6 KHI merumuskan bahwa:
1. Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan diluar pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 6 ayat (2) KHI tampak sebagai awal munculnya bencana perlemahan atau perlumpuhan perkawinan yang sah berdasarkan hukum Islam yang belum dicatatkan di KUA kec., atau penulis menyebutnya sebagai “perkawinan belum dicatat” atau “perkawinan tidak di catat”. Perlemahan atau pelumpuhan hukum perkawinan islam setelah hapusnya sekularisasi dan teorireceptive dalam Undang- Undang nomor 1 tahun 1974, dimunculkan kembali melalui pasal 6 ayat (2) KHI, kemudian diperkuat dalam pasal 5 ayat (2) junctopasal 6 ayat (4) Junto pasal 143 RUU-HM-PA-B Perkawin Tahun 2007.
Ketentuan pasal 6 ayat (2) KHI tidak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan lainnya dalam KHI, yaitu : pertama ; ketentuan pasal 2 KHI
yang merumuskan pengertian perkawinan ,kedua; ketentuan pasal 3
KHI yang merumuskan tujuan perkawinan dan ketiga; pasal 4 KHI
yang menentukan sahnya perkawinan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pasal 5 KHI yang memuat tujuan pencataan perkawinan adalah agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, oleh karena itu perkawinan harus dicatat, merupakan ketentuan lanjutan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang pelaksanaannya dimuat dalam peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Bab II tentang Pencatatan Perkawinan.
Pasal 2 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 menentukan bahwa pencatatan perkawinan bagi orang islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimanan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.Pasal 5 KHI memuat ketentuan yang sama.
Pasal 6 ayat (2) KHI adalah bukan satu-satunya pasal yang memperlemahkan atau memperlumpuhkan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, karena masih terdapat pasal-pasal lain yang justru tidak sesuai dengan hukum islam.
13Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif UU No 1/1994
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa fiqih tidak membicarakan pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UUP perkawinan yang sebagaimana terlihat nanti, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.
Di dalam UU No 1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang
13 Neng Dzubaidah,Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak di Catat,(Jakrta: Sinar grafika,2010),cet kedua 2012 hal 218-221
berlaku”. Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang di muat di dalam PP No.9 tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1 yang di dalam penjelasannya di katakana (i) tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan (ii) maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang- undang perkawinan pasal 3 ada dinyatakan:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan akan berlangsung.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak jelas menyangkut tatacara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
Pencatatan perkawinan dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan harus di catat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No 22 tahun 1946 jo. undang- undang Nomor 32 Tahun 1954.
Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan:
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilkukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak janya bicara masalah administrative. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam. ketertiban disini menyangkut ghayat al- tasyri’ (tujuan hukum islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pasal 6 ayat 2 ada klausul tidak mempunyai kekuatan hukum. Apa makna tidak mempunyai kekuatan hukum ini?
Sayang KHI tidak memiliki penjelasan. Penulis lebih setuju jika tidak memiliki kekuatan hukum di terjemahkan dengan tidak sah (layasihhu).Jadi perkawinan yang tidak di catatkan di pandang tidak sah.
1414 Amiur Nuruddin,Hukum Perdata Islam di Indonesia ,(Jakrta:
prenada media,2004),cet pertama 2004 hal 120-124.