• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN YURIDIS HUKUM JAMINAN PADA UMUMNYA. Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of Law,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN YURIDIS HUKUM JAMINAN PADA UMUMNYA. Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of Law,"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN YURIDIS HUKUM JAMINAN PADA UMUMNYA

A. Pengertian hukum jaminan 1. Hukum jaminan

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of Law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang (kredit) yang diterima debitur (pemberi jaminan) terhadap kreditornya (penerima pinjaman).

11

Dalam perspektif hukum perbankan, istilah” jaminan” (benda atau orang tertentu) dibedakan dengan istilah ”agunan” dibawah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan, tidak dikenal istilah ”agunan”, yang ada istilah ”jaminan”. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah ”jaminan”

menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah

”agunan” atau ”tanggungan”, sedangkan ”jaminan” menurut Undang-Undang Nomor

11

Djuhaendah Hasan, Op.cit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.120.

(2)

7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain, yaitu ”keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan”.

Sehubungan dengan itu, penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan sebagai berikut :

Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan

tersebut, sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur.

12

Adapun istilah ”agunan”, ketentuan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diartikan sebagai berikut :

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam dunia perbankan, masyarakat umum mengartikan jaminan sebagai alternatif terakhir dari sumber pelunasan kredit tidak dapat dilunasi oleh nasabah debitur dari kegiatan usahanya karena kegiatan usahanya mengalami kesulitan untuk menghasilkan uang.

12

Rachmadi Usman, SH, MH, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.

Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta., hal. 67.

(3)

Dalam era Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, industri perbankan Indonesia sangat collateral oriented (penilaian agunan). Hal ini disebabkan oleh ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 secara tandas menentukan bahwa Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapa pun juga. Ketentuan Pasal ini telah menciptakan orientasi bank yang bukan lebih mengutamakan feasibility (kelayakan) dari proyek atau usaha nasabah tetapi lebih mengutamakan kecukupan agunan. Sering kali proyek atau usaha-usaha yang feasibility (kelayakan) ditolak permohonan kredit hanya karena calon nasabah debitur tidak menyediakan agunan yang cukup.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ingin mengubah orientasi bank ini. Bahkan memberikan kelonggaran kepada nasabah dalam hubungannya dengan kesulitan nasabah untuk dapat menyerahkan agunan. Sekali pun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak lagi colateral oriented (penilaian agunan) namun perbankan tampaknya masih belum mengubah orientasinya.

Bagaimana pun penting unsur-unsur lainnya selain colateral, hal itu belum

menjamin pelunasan atau pengembalian hutang debitur. Lebih baik jika pemberian

hutang atau pinjaman itu seyogyanya diamankan melalui pengikatan agunan dan

kalau perlu diamankan lagi melalui personal guarantee (jaminan perseorangan) dan

corporate guarantee (jaminan perusahaan berbadan hukum).

(4)

Secara yuridis, agunan merupakan sesuatu yang sudah pasti dan meyakinkan, karena agunan berupa harta kekayaan milik pribadi debitur, terkecuali kredit yang diberikan diperuntukkan bagi pembelian barang atau benda-benda tertentu. Dengan diserahkan, dijaminkan atau ditahannya harta pribadi tertentu milik debitur, dari semula nasabah debitur akan menyadari bila usahanya mengalami kegagalan, agunan itulah yang menjadi gantinya, namun sebaliknya jika usaha nasabah debitur berhasil keuntungan yang akan didapat boleh jadi jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh bank.

Djuhendah Hasan mengemukakan bahwa pertimbangan dan penilaian

terhadap unsur character, capital, capacity, condition of economy debitur tanpa

memberikan tekanan kepada colateral memang dapat membantu para pengusaha

yang menjalankan usaha dengan prospek usaha yang baik dan dalam kondisi

perusahaan yang sehat dan berjalan dengan baik tetapi akan menjadi masalah bagi

pihak bank apabila dalam perusahaan debitur tersebut tidak berjalan mulus

sebagaimana yang telah dinilai oleh semua pihak bank. Ini merupakan satu dilema,

disisi yang satu bank harus membantu golongan ekonomi lemah, namun pada sisi lain

juga melindungi pihak bank sebagai kreditor. Begitu tingginya resiko yang harus

dihadapi pihak bank sebagai kreditor oleh karena itu perlu pernyataan kembali

ketentuan peraturan tentang jaminan dalam perjanjian kredit yang lebih menjadi

kepastian kembalinya kredit yang disalurkan. Sebagai salah satu tindakan prefentif

akan lebih baik apabila dalam penilaian bagi perjanjian kredit tertentu, bank sebagai

kreditor selain melakukan tindakan pengawasan terhadap jalannya proyek dan

(5)

penggunaan kredit yang diterima debitur dalam kaitan jaminannya pihak bank selalu meminta jaminan pokok, juga dapat meminta jaminan tambahan kepada calon debiturnya.

13

Dalam perspektif hukum perbankan agunan dibedakan atas dua macam yaitu agunan pokok dan agunan tambahan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan atas Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Agunan pokok adanya barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, maupun tagihan debitur, sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan yang ditambahkan sebagai agunan.

Istilah jaminan telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dan telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan daripada istilah agunan. Oleh karena itu istilah yang digunakan bukan hukum agunan, lembaga agunan, agunan kebendaan, agunan perorangan atau hak agunan, melainkan hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan. Istilah jaminan melingkupi jaminan kebendaan dan jaminan kebendaan.

KUH Perdata maupun peraturan perundang-undangan lain menjadi sumber hukum jaminan tidak memberikan perumusan pengertian istilah jaminan. Dalam

13

Djuhaendah Hasan, Op.cit, hal.210.

(6)

keputusan seminar hukum jaminan, yang diselenggarakan oleh badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dari tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta, mengartikan jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.

Mariam Darus Badrulzaman mengartikan jaminan sebagai suatu tanggugan yang diberikan oleh seorang debitur dan pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.

14

Hartono Hadisaputro menyatakan jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.

15

Dari perumusan pengertian jaminan diatas dapat disimpulkan bahwa jaminan itu suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditor sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain. Kebendaan tertentu diserahkan debitur kepada kreditor dimaksudkan sebagai tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang diberiakan kreditur kepada debitur sampai debitur melunasi pinjamannya tersebut. Apabila debitur wanprestasi kebendaan tertentu tersebut akan dinilai dengan uang, selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagian dari

14

Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, 2000, hal.12.

15

Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Penerbit

Liberty, Yogyakarta, 1984.

(7)

pinjaman atau utang debitur kepada kreditornya. Dengan kata lain jaminan disini berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman utangnya berakhir.

2. Fungsi dari Jaminan

Dalam praktek perbankan khususnya dalam pemberian kredit jaminan kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum pada pihak bank bahwa kreditnya tetap akan kembali apabila debitur wanprestasi atau cidera janji yakni dengan cara mengeksekusi jaminan kredit tersebut. Adapun fungsi jaminan adalah untuk :

16

a. Memberikan hak dan kepuasan terhadap bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu membayar kembali utangnya pada waktu yang dijanjikan.

b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan mengikatkan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau seku- rang - kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.

c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetu- jui agar debitur atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan oleh bank.

16

Rachmadi Usman, SH, MH, 2003, Op.cit, hal.286.

(8)

Untuk itu bank senantiasa berusaha agar debitur memberikan hak dan kekuasaan pada bank untuk mendapatkan pelunasan utang dari jaminan – jaminan tersebut apabila debitur wanprestasi dengan cara pengikatan secara yuridis melalui suatu perjanjian kredit baik dibawah tangan maupun secara notaril.

3. Penggolongan Perjanjian Jaminan

Dalam praktek perbankan, perjanjian kredit selalu diikuti oleh perjanjian jaminan. Berdasarkan objeknya, perjanjian jaminan dapat dibedakan menjadi perjanjian perorangan dan perjanjian jaminan kebendaan.

a. Perjanjian jaminan perorangan

Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan tertentu hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur pada umumnya.

17

Perjanjian jaminan perorangan adalah perjanjian jaminan antara kreditur dengan pihak ketiga, perjanjian ini dilakukan untuk kepentingan debitur. Dalam perjanjian jaminan perorangan pihak ketiga bertindak sebagai penjamin debitur dalam pelunasan hutang debitur. Ini berarti perjanjian jaminan perorangan merupakan

17

Rachmadi Usman, SH, MH, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.

Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta., hal.280.

(9)

janji atau kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur, apabila debitur ingkar janji (wanprestasi) di kemudian hari.

18

Di dalam perjanjian jaminan perorangan tidak ada benda tertentu milik debitur yang diikat, disini yang diikat adalah kesangguapan pihak ketiga untuk melunasi hutang debitur. Dalam perjanjian jaminan perorangan tidak jelas benda apa atau yang mana milik pihak ketiga yang akan menjadi jaminan, sehingga disini akan berlaku ketentuan seperti dalam jaminan umum yang lahir karena undang-undang dan hanya memberikan kedudukan yang sama di antara para debitur yaitu sebagai kreditur konkuren saja.

19

Perjanjian jaminan perorangan tidak memberikan hak preferen kepada para krediturnya, dan karenanya kurang disukai oleh para kreditur. Meskipun perjanjian jaminan perorangan tidak memberikan preferensi kepada kreditur, namun banyak juga digunakan dalam praktek, yang kadang-kadang untuk amannya bagi kreditur dibarengi dengan jaminan kebendaan.

20

b. Perjanjian Jaminan Kebendaan

Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan, dan menyediakan guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) seorang debitur.

21

18

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.238.

19

Ibid, hal. 239 – 240.

20

Ibid, hal. 241 – 242.

21

Ibid, hal. 236 – 237.

(10)

Perjanjian jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan obyek jaminan untuk suatu benda dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan cidera janji atau wanprestasi.

22

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan tidak bergerak.

Benda bergerak dibedakan lagi atas benda bergerak berwujud atau bertubuh dan bergerak tidak berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai dan fidusia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account recievable. Pengikatan jaminan benda tidak bergerak adalah dengan hipotik dan hak tanggungan.

23

Jaminan kebendaan mengandung asas-asas sebagai berikut :

24

a. Mengandung asas hak kebendaan (real right). Sifat hak kebendaan adalah sebagai berikut :

(1) Absolut

Absolut artinya hak ini dapat dipertahankan kepada setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.

(2) Droit de suite

22

Rachmadi Usman, SH, MH, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.

Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta., hal. 289.

23

Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, hal.78 – 80.

24

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang

Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hal.237.

(11)

Droit de suite artinya hak kebendaan mengikuti bendanya didalam tangan siapa pun dia berada. Di dalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari yang muda (droit de preference).

(3) Hak kebendaan memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijaminkan, dan disewakan.

b. Asas Asesor

Asas asesor adalah hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri, akan tetapi ada dan hapusnya bergantung pada perjanjian pokok, seperti perjanjian kredit.

c. Hak yang didahulukan

Hak jaminan kebendaan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang. Hak preferen yang dikandung dalam perjanjian jaminan kebendaan memberikan kedudukan istimewa kepada para kreditur. Sebagai kreditur preferen, mereka memiliki hak untuk didahulukan daripada kreditur lain dalam pengambilan pelunasan piutang dari benda objek jaminan.

25

B. Sumber Pengaturan Hukum Jaminan

Istilah sumber hukum dipergunakan dalam tiga pengertian yang berbeda satu dengan lainnya, meskipun sebenarnya antara pengertian yang satu dengan yang lain

25

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang

Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hal.238.

(12)

mempunyai hubungan erat, bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni,

1. Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum positif, wujudnya dalam bentuk yang konkrit, yakni berupa keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan.

2. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukan aturan dan ketentuan hukum positif merupakan pula yang penting bagi setiap orang yang ingin mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu tempat pada waktu tertentu.dengan kata lain sumber hukum disini diartikan bentuk-bentuk hukum positif dimana merupakan tempat dapat diketemukan aturan dan ketentuan hukum positif dan wujudnya berupa peraturan atau ketetapan, baik tertulis maupun tidak tertulis.

3. Sumber hukum dalam artian ketiga yakni, hal-hal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang didalam nanti akan menentukan isi hukum positifnya juga harus memperhatikan faktor-faktor politis, agama, hubungan internasional dan lain-lainnya.

26

Pengertian pengaturan sumber hukum disini, yakni tempat ditemukannya aturan dan ketentuan-ketentuan hukum serta perundang-undangan (tertulis) yang mengatur dan mengenai jaminan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jaminan.

Aturan dan ketentuan hukum dan perundang-undangan jaminan yang dimaksud adalah hukum positif yaitu ketentuan jaminan yang sedang berlaku pada saat ini.

26

Ibid, hal. 244.

(13)

1. Tempat pengaturan hukum jaminan

Ruang lingkup jaminan Indonesia mencakup berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang yang terdapat dalam hukum positif Indonesia.

Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan hutang. Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur secara khusus tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tempat pengaturan hukum jaminan terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang. Sehubungan dengan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas lebih lanjut dapat dikemukakan beberapa ketentuan hukum jaminan sebagai berikut :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUH Perdata sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum perdata material yang diberlakukan pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi. Ketentuan hukum jaminan ini dapat dijumpai dalam buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Dilihat dari sistematika KUH Perdata, pada prinsipnya hukum jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan.

Dalam buku II KUH Perdata di atur mengenai pengertian, cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.

Dalam pasal-pasal buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga

dan ketentuan hak jaminan dimulai dari titel ke sembilan belas sampai dengan titel ke

(14)

dua puluh satu Pasal 1131 sampai 1232. Dalam pasal tersebut diatur mengenai piutang-piutangnya, yang diistimewakan, gadai dan hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang termuat dalam buku II KUH Perdata sebagai berikut:

a. Bab XIX Tentang piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138); Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa yang Mengenai Benda-Benda Tertentu (Pasal 1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian Ketiga tentang Hak-Hak Istimewa atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149);

b. Bab XX Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal 1161 dihapuskan);

c. Bab XXI Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232); Bagian Kesatu tentang Ketentuan-ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178); Bagian Kedua tentang Pembukuan-pembukuan Hipotek serta bentuk caranya pembukuan (Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan Pasal 1197);

Bagian Keempat tentang Akibat Hipotek Terhadap orang-orang Ketiga yang Menguasai Benda yang Dibebani (Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1208);

Bagian Kelima tentang Hapusnya Hipotek (Pasal 12090 sampai dengan Pasal

1220); Bagian Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan

Hipotek, Tanggung Jawab Pegawai-pegawai yang Ditugaskan Menyimpan

(15)

Hipotek dan hal diketahuinya Register-register oleh masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232.)

Dalam buku III KUH Perdata, yaitu pada titel ke 17 dengan judul penanggungan utang yang dimulai dengan pasal 1820 sampai dengan pasal 1850, pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara debitur dan penjamin utang dan antara para penjamin utang serta hapusnya penanggungan utang. Secara rinci kandungan materi yang terdapat dalam buku ke III KUH Perdata sebagai berikut :

Bab Ketujuh Belas tentang Penanggungan Utang

- Bagian Kesatu tentang Sifat Penanggungan (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1830);

- Bagian Kedua tentang Akibat-Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penanggungan Utang (Pasal 1831 sampai dengan pasal 1838);

- Bagian Ketiga tentang Akibat – Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penangung Utang dan antara Para Penangung Utang Sendiri (Pasal 1839 sampai dengan Pasal 1844);

- Bagian Keempat Tentang Hapusnya Penanggungan Utang (Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850).

Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam KUH Perdata

tidak hanya bersumber pada Buku II, melainkan juga bersumber pada Buku ke

III yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan hak jaminan kebendaan

perseorangan.

(16)

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang)

KUH Dagang merupakan terjemahan dari Wetboek van Koophandel.

Sebagaimana termuat dalam Staatsblad 1847 Nomor 23, yang semua diperuntukkan bagi golongan penduduk Eropa yang kemudian seluruhnya juga diberlakukakan kepada golongan penduduk Tionghoa dan Timur asing lainnya dan berdasarkan azas konkordansi diberlakukan pada penduduk Pribumi. Pada dasarnya KUH Dagang mengatur mengenai ketentuan hukum Perdata khususnya yang terdiri atas 2 buku yaitu Buku I tentang dagang pada umumnya dan Buku II tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dari pelayaran, lazimnya mengatur mengenai hukum pengangkutan laut. Buku III mengatur tentang ketidakmampuan orang-orang pedagang, di atur dari Pasal 749 sampai dengan Pasal 910, yang telah dihapuskan oleh Pasal 2 Faillisements Verordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348. Berbeda KUH Perdata yang jumlah Pasalnya 1993 Pasal, maka KUH Dagang hanya berjumlah 750 Pasal.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka berakhirlah dualisme pengaturan hukum Agraria

dan secara khusus menciptakan unifikasi hukum pertanahan (Tanah) Nasional,

termasuk didalamnya menciptakan unifikasi Hukum Jaminan Hak Atas Tanah. Salah

satu diktum dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 memutuskan untuk mencabut

(17)

ketentuan dalam Pasal-Pasal Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai Bumi, Air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan mengenai Hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang ini. Dengan demikian tidak seluruh ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku II KUH Perdata yang dicabut, hanya sepanjang menyangkut pengaturan mengenai Bumi, Air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang telah di atur oleh Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 dinyatakan tidak berlaku lagi. Secara khusus ketentuan mengenai Hipotek dan peraturan creditverband tetap dinyatakan masih berlaku sampai dengan diaturnya lembaga hak jaminan atas tanah yang baru.

Sesuai dengan tujuan pokoknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 berkaitan dengan pengaturan hukun jaminan sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotek, yang akan di atur dalam suatu Undang-Undang tersendiri. Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengertian Hipotek dan credietverband disini hendaknya diartikan sebagai ”Hak Tanggungan”

yang pengertiannya sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal KUH Perdata dan

Staastblad 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Staastblad 1937

Nomor 190. Dengan kata lain, sebelum terbentuknya Undang-Undang yang dimaksud

oleh pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 maka pengertian Hak

Tanggungan disini diartikan sebagai Hak Tanggungan yang mempergunakan

ketentuan-ketentuan mengenai Hipotek dan credietverband.

(18)

Sedangkan pengaturan hak tanggungan mengenai hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996.

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, baik lembaga hak jaminan hipotek maupun credietverband akan dilebur menjadi hak tanggungan, yang akan diatur tersendiri dalam suatu undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Setelah 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960, baru terbentuk undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. pada tahun 1996 dibentuklah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan mengatur berbagai hal baru berkenaan dengan lembaga Hak Tanggungan.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka ketentuan-

ketentuan mengenai credietverband sebagaimana tersebut dalam Sraatsblad 1908

Nomor 542 juncto Staatsblad 1909 Nomor 586 dan Staatsblad 1909 Nomor 584

sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1973 Nomor 190 juncto

(19)

Staatsblad 1973 Nomor 191 dan ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehubungan dengan itu Penjelasan atas pasal 29 Undang-Undng Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan, bahwa :

Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 juncto Staatsblad 1909 Nomor 586 dan Staatsblad 1909 Nomor 584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190 juncto Staatsblad 1937 Nomor 191 dan ketentuan- ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehubungan dengan itu Penjelasan atas Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan, bahwa :

Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai credietverband seluruhnya tidak diperlukan lagi. Sedangkan ketentuan mengenai hyotheek yang tidak berlaku lagi hanya yang menyangkut pembebasan hypotheek atas hak atas tanh beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun1996 dengan dihubungkan dengan Penjelasannya, maka dapat

disimpulkan :

(20)

1. Dengan sendirinya ketentuan-ketentuan mengenai credietverband seluruhnya tidak berlaku lagi.

2. Ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek sepanjang yang menyangkut pembebanan hipotek hak atas tanah beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi, sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang menyangkut pembebanan hipotek atas benda-benda lainnya yang bukan hak atas tanah beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, masih tetap berlaku sebagaimana adanya sampai dengan diperbaruinya (Buku II) KUH Perdata tersebut.

Pencabutan ketentuan-ketentuan mengenai hipotek dan credietverband dimaksud dikarenakan dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.

Ketentuan ini secara sepintas kelihatannya jauh berbeda mengingat

kondisinya sangat berbeda pula. Sekalipun pengaturan hipotek cukup banyak

jumlahnya, tetapi secara garis besar sebenarnya banyak yang sudah tidak cocok lagi

dengan kondisi masa kini. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 mengatur secara

sekaligus aspek materiil dan aspek formalnya secara garis besar dengan pengarahan

untuk segi formalnya tetap melanjutkan apa yang dahulunya diterapkan untuk hipotek

dan credietverband, sehingga aspek ini Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak

terlalu banyak mengendaki peraturan yang sudah ada sebelumnya dan hanya dalam

beberapa hal saja perlu diadakan perubahan.

(21)

Dalam sebuah undang-undang, alangkah baik apabila hanya memuat ketentuan yang sifatnya normatif belaka, sedangkan ketentuan yang bersifat teknis cukup diatur dengan atau didelegasikan kepada aturan yang lebih rendah dari undang- undang, di mana akan mudah mengubah, menambah, atau mencabutkan jika terjadi ketidak sesuaian dalam pelaksanannya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 lebih banyak memuat ketentuan-ketentuan yang sifatnya formal dibandingkan dengan ketentuan yang sifatnya material. Kerangka pengaturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang demikian itu, jangan sampai menghambat praktek pelaksanaan pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan utang dikarenakan kebutuhan hukum yang berbeda. Hal ini terjadi dikarenakan pembentukan hukum dan perundang- undangan nasinal kita cenderung lebih mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme proses, dan prosedur dengan meniadakan substansi yang hendak diatur di dalamnya.

Suatu undang-undang yang mengatur satu masalah tertentu bukanlah merupakan titik finalnya dalam pengaturan. Untuk dapat dilaksanakan dengan baik, biasanya peraturan itu memerlukan lagi peraturan pelaksana atau petunjuk pelaksana, yang lebih konkret. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak banyak menuntut peraturan pelaksanaannya, tetapi justru mencari keterkaitan dengan peraturan-perturan yang telah ditetapkan terlebih dahulu walaupun hal ini juga tidak secara tegas dinyatakan secara keseluruhan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak memerlukan terlalu banyak

peraturan pelaksanaannya sebagai tindak lanjutnya. Peraturan pelaksanaan dari

(22)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ada yang berbentuk peraturan perundang- undangan dan sebagian lagi dalam bentuk peraturan pemerintah. Hal-hal yang perlu ditindak lanjuti sebagaimana diperintahkan secara oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, meliputi :

1. Dalam bentuk peraturan perundang-undangan :

a. ketentuan tentang penentuan batas waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk jenis kredit tertentu (Pasal 15 ayat (5) ;

b. Ketentuan tentang penyesuaian buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 24 ayat (2).

c. Ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

2. Dalam bentuk peraturan pemerintah;

a. ketentuan tentang pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Milik (Pasal 4 ayat (3).

b. Ketentuan tentang sanksi administratif pelanggaran atau kelalaian pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris dalam memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

Sehubungan dengan itu dalam rangka menindak lanjuti ketentuan dalam

Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Menteri Negara Agraria/Kepala

(23)

Badan pertanahan Nasional telah mengeluarkan beberapa peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tersebut.

Dengan demikian, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, keseluruhan ketentuan mengenai lembaga hak jaminan Hak Tanggungan diatur dalam suatu undang-undang tersendiri di luar KUH Perdata. Sejak saat itu tidak lagi berlangsung dualisme Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan hipotek dan lainnya Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan credietverband, sehingga terciptalah unifikasi hukum lembaga hak jaminan atas hak atas tanah, sesuai dengan tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berkeinginan menciptakan unifikasi Hukum Pertanahan (Tanah) Nasional.

e. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai peraturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan, oleh pemerintah disusun suatu peraturan mengenai jaminn fidusia dalam suatu undang- undang. Pada tanggal 30 September 1999, pemerintah telah mensahkan dan sekaligus mengundangkan suatu undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia, yakni dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tersebut, kita dapat mengetahui falsafah yang melatar belakangi kelahirannya yang

berisikan konstatering fakta-fakta secara singkat serta alasan-alasan dan

(24)

pertimbangan-pertimbangan perlunya membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. Setidaknya memuat tiga pertimbangan, yaitu :

1) bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang ”jelas”

dan ”lengkap” yang mengatur mengenai fidusia;

2) bahwa jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada ”yurisprudensi” dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara ”lengkap” dan ”komprehensif”.

3) Bahwa untuk ”memenuhi kebutuhan hukum” yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk ”menjamin kepastian hukum” serta mampu

”memberikan perlindungan hukum” bagi pihak yang berkepentingan maka perlu dibentuk ketentuan yang ”lengkap” menganai Jaminan Fidusia dan jaminan tersebut ”perlu didaftarkan” pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dalam penggunaan fidusia dan

menampung kebutuhan hukum bagi dunia usaha terhadp pendanaan pembangunan

ekonomi yang sebagian besar diperolehnya melalui kegiatan pinjam-meminjam atau

kredit. Untuk itulah diperlukan peraturan yang jelas lengkap dan komprehensif

mengatur penggunaan fidusia. Selama ini keberlakuan jaminan fidusia sebagai salah

satu bentuk lembaga hak jaminan didasarkan kepada yurisprudensi. Hal ini tidak

memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada pihak yang berkepentingan,

(25)

sehingga perlu dibentuk suatu ketentuan yang mengatur mengenai jaminan fidusia dalam bentuk suatu undang-undang.

Secara resmi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ini dapat disebut dengan Undang-Undang Fidusia.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa tempat pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam KUH Perdata yaitu Buku II KUH Perdata, melainkan juga terdapat diluar KUH Perdata, sehingga tempat pengaturan hukum jaminan berada didalam dan diluar KUH Perdata, termasuk dalam KUH Dagang. Dengan demikian tempat pengaturan hukum jaminan terdapat dalam KUH Perdata dan dari beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUH Perdata, disamping mengacu kepada ketentuan-ketentuan hukum adat.

Buku II KUH Perdata mengatur mengenai jaminan kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan (Bab XIX), tentang gadai (Bab XX), dan tentang hipotek (Bab XXI). Adapun Buku III KUH Perdata mengatur mengenai jaminan perseorangan yaitu penanggungan utang (borgtocht) (Bab XVII) diluar KUH Perdata, hukum jaminan dapat dijumpai dalam :

1. KUH Dagang

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

(26)

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah

8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan fidusia

Selain itu pada zaman kolonial Belanda terdapat beberapa tempat pengaturan hukum jaminan diluar KUH Perdata, yaitu :

1. Credietverband sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 juncto Staatsblad 1909 Nomor 586 dan Staatsblad 1937 Nomor 190 juncto Staatsblad 1937 Nomor 191

2. Oogstverband sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1886 Nomor 57

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur secara Nasional mengenai hukum jaminan, yang dalam hal ini, terbatas mengatur mengenai jaminan kebendaan hak tanggungan dan fidusia.

2. Sifat Pengaturan Hukum Jaminan

Sifat pengaturan hukum jaminan tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya

perjanjian pendahuluan yang mendahuluinya. Karenanya sifat hukum jaminan

merupakan perjanjian Asesor (accessoir), tambahan atau ikutan sebagai perjanjian

Asesor, eksistensi perjanjian hukum jaminan ditentukan oleh ada dan hapusnya

perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokoknya. Pada umumnya perjanjian

(27)

pendahuluan ini berupa perjanjian utang-piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit atau sebaliknya dengan berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian jaminannya.dalam perjanjian utang-piutang, diperjanjikan pula antara debitur dengan kreditor bahwa pinjamannya telah dibebani dengan suatu jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan jaminan, yang dapat berupa pengikatan jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan.

Sifat dari perjanjian jaminan sebagai perjanjian Asesor juga terlihat dalam ketentuan perjanjian di Inggris atau juga di Amerika dalam ketentuan mortgage, yaitu bahasa mortgage selalu dikaitkan kepada perjanjian yang berkaitan dengan suatu pinjaman atau loan.

Sifat Asesor dari hak jaminan dapat menimbulkan akibat hukum tertentu :

1. Ada dan hapusnya perjanjian itu tergantung dan ditentukan oleh perjanjian pendahuluannya.

2. Bila perjanjian pendahuluannya batal, maka dengan sendirinya perjanjian jaminan sebagia perjanjian tambahan juga menjadi batal.

3. Bila perjanjian pendahuluannya beralih atau dialihkan maka dengan sendirinya perjanjian jaminan ikut beralih.

4. Bila perjanjian pendahuluannya beralih karena cassie, sobrogatie, maka perjanjian jaminan ikut beralih tanpa penyerahan khusus.

5. Bila perjanjian jaminannya berakhir atau hapus maka perjanjian pendahuluan

tidak dengan sendirinya atau hapus pula.

(28)

Sebagai suatu sifat dari hukum jaminan, Eksistensi perjanjian jaminan amat tergantung pada perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar timbulnya pengikatan hukum jaminan. Artinya, perjanjian jaminan dimaksudkan untuk mengubah kedudukan kreditor-kreditornya menjadi kreditor yang Preferen, sehingga kreditor atau pemberi pinjaman akan merasa aman dan memperoleh kepastian hukum atas pelunasan pinjaman yang diberikan olehnya kepada debitur karena diikuti dengan perjanjian pemberian jaminan oleh debitur pada krediturnya.

Untuk itulah dikatakan perjanjian jaminan merupakan sifat dari perjanjian pendahulunya.

C. Jenis-Jenis Lembaga Jaminan

Mengenai lembaga jaminan, ketentuan dalam Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan :

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Kemudian dalam Pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan :

Kebendaaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualn benda- benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukakan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, dapat

diketahui bahwa jenis-jenis lembaga jaminan adalah sebagai berikut :

(29)

1. Gadai (Pand)

Istilah lembaga jaminan ”Gadai” merupakan terjemahan kata Pand atau vuistpand (bahasa Belanda), pledge atau pawn (bahasa Inggris), pfand atau faustpfand (bahasa Jerman). Dalam hukum adat istilah gadai ini disebut dengan cekelan.

Lembaga jaminan gadai ini masih banyak dipergunakan di dalam praktik.kedudukan pemegang jaminan gadai di sini lebih kuat dari pemegang fidusia karena benda jaminan berada dalam pengawasan kreditor. Dalam hal ini, kreditor terhindar dari itikad jahat (te kwader troum) pemberi gadai, sebab dalam gadai, benda jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan (inbezitstelling) pemberi gadai.

27

Gadai, yang pengertian dan persyaratannya sebagai pand merupakan lembaga hak jaminan kebendaan bagi kebendaan bergerak yang diatur didalam KUH Perdata.

Perumusan gadai diberikan dalam Pasal 1150 dan 1152 ayat (1, 2, dan 3) KUH Perdata.

Pasal 1150 KUH Perdata :

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualiaan biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

27

Mariam Darus Badrulzaman, 2000, hal. 55-56.

(30)

Pasal 1152 ayat (1), ayat (2) dan (3) KUH Perdata :

(1) Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.

(2) Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, atau pun yang kembali atas kemauan si berpiutang.

(3) Apabila, namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka hendaklah ia menuntutnya kembali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1977 ayat (2), sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang.

2. Jaminan Fidusia

Perumusan pengertian jaminan fidusia dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan :

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dari perumusan diatas dapat diketahui unsur-unsur fidusia yaitu : 1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda

2. Dilakukan atas dasar kepercayaan.

3. Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Selain itu dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud

(31)

dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberian fidusia, sebagai agunan pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang lebih diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Dari perumusan diatas dapat diketahui unsure-unsur dari jaminan Fidusia yaitu :

1. Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan dan hak yang diutamakan.

2. Kebendaan bergerak sebagai objeknya

3. Kebendaan tidak bergerak khususnya bangunan dan tidak dibebani dengan hak tanggungan juga menjadi objek jaminan fidusia.

4. Kebendaan menjadi objek jaminan fidusia tersebut dimaksudkan sebagai agunan.

5. Untuk pelunasan suatu hutang tertentu.

6. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

3. Hipotek (Hypotheek)

Perumusan pengertian hipotek dinyatakan dalam Pasal 1162 KUH Perdata, yang bunyinya :

Hipotek adalah suatu hal kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Selanjutnya pasal-pasal KUH Perdata memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian hipotek sebagai berikut :

Pasal 1167 KUH Perdata menyatakan :

(32)

Benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotek.

Pasal 1168 KUH Perdata menyatakan :

Hipotek tidak dapat diletakkan selainnya oleh siapa yang berkuasa meminahtangankan benda yang dibebani.

Pasal 1171 ayat (1) KUH Perdata menyatakan :

Hipotek hanya dapat diberikan dengan suatu akta autentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh Undang-undang.

Pasal 1175 ayat (1) KUH Perdata menyatakan :

Hipotek hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atau benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari adalah batal.

Pasal 1176 ayat (1) KUH Perdata menyatakan :

Suatu hipotek hanyalah sah, hanyalah sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan adalah tentu dan ditetapkan didalam akta.

D. Sistem Hukum Jaminan di Indonesia

Sistem mempunyai 2 macam konotasi yaitu : sistem sebagai method (metode cara) dan sistem sebagai entity (entitas) yakni suatu kebulatan yang terdiri dari berbagai unsur atau bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan secara keseluruhan bergerak bersama mencapai suatu tujuan untuk menghasilkan sesuatu.

28

Sistem hukum jaminan secara keseluruhan terbagi dalam dua bagian yakni sistem hukum jaminan perorangan dan sistem hukum jaminan kebendaan.

29

28

Solly Lubis, 1989, Serba-Serbi Politik dan Hukum.

29

Tan Kamello, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Penerbit

Alumni, Bandung, 2002.

(33)

Sistem hukum jaminan di Indonesia secara keseluruhan adalah mengacu kepada sejumlah asas sebagai berikut :

a. Asas filosofis yaitu Pancasila

b. Asas Konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945 c. Asas operasional yaitu Undang-Undang.

Asas filosofis (Pancasila) dan asas Konstitusi (UUD 1945) tersebut diatas menggambarkan adanya suatu tuntutan sekaligus kewajiban yang logis dan realistis bagi negara atau pemerintah, masyarakat sekaligus perorangan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam bidang-bidang sosial ekonomi. Dalam operasional untuk mencapai tujuan di bidang sosial ekonomi tersebut tidak terlepas dan terpisahkan dari peran serta atau keterlibatan sektor perbankan. Asas politik termuat dalam GBHN dan menghendaki adanya pemberdayaan, pengusaha, kecil, menengah dan koerasi yang dilakukan dengan memberi kemudahan akses dalam permodalan informasi, technologi, pelatihan, perijinan, pemasaran dan perlindungan dari persaingan pasar yang tidak sehat.

Hukum jaminan merupakan bagian dari hukum benda. Hukum benda mengandung seluruh asas-asas yang terdapat dalam hukum nasional, khususnya asas filosofis, asas konstitusional dan asas politis.

Di samping itu hukum benda memiliki asas-asasnya sendiri yang bersifat

lebih khusus (konkret). Hukum benda terdiri dari cabang-cabang yang lebih kecil

(sub-sub sistem) dan cabang-cabang tersebut mengandung sejumlah asas operasional

yang melekat pada masing-masing sub sistem tersebut.

(34)

Menurut Vollmar bahwa kata ”benda” itu diartikan sebagai semua apa saja yang dapat menjadi sasaran hukum.

30

Menurut Mariam Darus Badrul Zaman mengatakan bahwa benda sebagai segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan dapat dijadikan oleh objek hukum.

31

Hak kebendaan (zakelijkerecht) ialah suatu hak yang memberi kekuasaan langsung atau suatu benda yang dapat dipertahankan tiap orang.

32

Jaminan kebendaan diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan: segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Dalam Pasal 1132 dari KUHPerdata menyebutkan :

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah utuk didahulukan.

Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur atau Pihak ke-3 kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan. Lembaga jaminan diberikan untuk kepentingan kreditor guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat accesoir dari perjanjian pokok oleh debitur dengan kreditur.

30

Vollmar H.F.A, Terjemahan I.S. Adimarta, Pengantar Studi Hukum Perdata.

31

Mariam Darus Badrul Zaman, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasinal, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 35.

32

Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit Intemasa, Jakarta, hal. 62.

(35)

Hak jaminan adalah suatu hak yang menyebabkan seseorang yang berpiutang (kreditur) memperoleh kedudukan yang lebih baik dari pada teman kreditur lainnya.

Hak jaminan tidak memberikan jaminan bahwa tagihannya atau piutangnya pasti akan dilunasi, tetapi hanya memberikan kepada debitur kedudukan yang lebih baik dalam penagihan, lebih kreditur konkuren yang tidak memegang hak jaminan khusus atau dengan kata lain relatif lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya.

Jaminan kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan objek jaminan untuk suatu ketika dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran utang apabila debitur melaksanakan melakukan cidera janji atau ingkar janji.

33

Asas-asas jaminan kebendaan secara garis besar adalah :

1. Benda yang menjadi objek jaminan adalah benda bergerak maupun tidak bergerak.

2. Mempunyai sifat hak kebendaan (real righ) sebagaimana diatur dalam Pasal 528 KUH Perdata, sifat dari hak kebendaan yaitu :

A. Absolut (dapat dipertahankan pada setiap orang).

B. Droit desuite hak kebendaan mengikuti kebendaan mengikuti benda pada siapapun dia berada.

33

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang

Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hal.236.

(36)

3. Memiliki hak accessoir : sesuatu hak yang harusnya bergantung pada perjanjian pokoknya (accesoirium) seperti perjanjian kredit.

4. Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain terdapat dalam (Pasal 1133, 1134, 1198 KUH Perdata)

34

34

Mariam darus Badrul Zaman, 1999, Bab Tentang Credit Verband, Gadai dan Fidusia, PT.

Citra Aditya Bakti.

Referensi

Dokumen terkait

Pada perlakuan L0 didapatkan berat kering yang tinggi, namun terbukti bahwa dengan adanya penambahan ligan natrium sianida pada media menyebabkan tajuk tanaman

Dalam skripsi ini subyek penelitian adalah pembeli dan penjual sedangkan obyeknya adalah jual beli ikan dalam kolam sedangkan subyek penulis pembeli dan penjual

Peraturan Pemerintah ini, dengan tidak usah menunggu lagi ddtetapkannya Peraturan Pemerintah tentang, penglaksanaan penyerahan bagian-bagian urusan Pemerintah Pusat yang

Pelayanan kesehatan yang ada pada waktu itu adalah klinik umum, klinik spesialis (bedah, kandungan, penyakit dalam dan kesehatan anak), klinik gigi, instalasi gawat darurat,

- Pasien mengetahui perubahan aktual pada penampilan tubuh - Pasien akan megambarkan perubahan aktual pada fungsi tubuh - Pasien dapat memelihara hubungan soaial yang dekat

 Sekretariat Komisi ISPO melakukan koordinasi dg BSN dan KAN;verifikasi Laporan Hasil Audit ISPO dari LS sebagai bahan Tim Penilai dan Komisi ISPO dalam memberikan

Fungi endofit yang tumbuh diamati secara makroskopis (tipe koloni, sifat permukaan koloni, warna koloni) dan ri Pemurnian dilakukan sebanyak 4 kali hingga didapatkan

Pelaksanaan Triase di mulai sejak pasien masuk ke puskesmas pekauman dan pasien dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disertai penyulit akan di arahkan ke