• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi

Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Keadaan gizi bayi ditentukan dari hasil pengukuran Antropometri dengan menggunakan indeks BB/U dan menggunakan rujukan WHO- NCHS. 7

Upaya penyediaan data dan informasi status gizi bayi terutama kurang energi protein (KEP secara nasional telah di lakukan sejak pelita IV. Salah satu kegiatan sehubungan dengan penyediaan data adalah pemantauan status gizi (PSG). Kegiatan PSG dimulai dengan suatu proyek panduan di tiga propinsi yaitu Jawa Tengah, Sumatra Barat ,dan Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 1985 dengan tujuan untuk mempelajari cara memperoleh gambaran status gizi pada tingkat kecamatan guna memantau perkembangan status gizi.7

Dalam praktek pengukuran antropometri yang paling banyak digunakan adalah berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) atau panjang badan ( PB), (Jeliffe, 1966).

Kadang-kadang digunakan pula lingkar lengan atas (LLA) atau lingkar kepala (LK).7 Parameter Antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks Antropometri. Beberapa indeks telah diperkenalkan seperti pada hasil seminar Antropometri 1975. Di Indonesia ukuran baku hasil pengukuran dalam negri belum ada, maka untuk berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) digunakan baku HARVARD yang disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentil baku Harvard) dan untuk (LLA) digunakan baku WOLANSKI.7

Berdasarkan ukuran baku tersebut, penggolongan status gizi menurut indeks Antropometri adalah :7

Tabel 1.1

(2)

Penggolongan Keadaan Gizi Menurut Indeks Antropometri Ambang batas baku untuk

keadaan gizi berdasarkan indeks STATUS GIZI

BB/U TB/U BB/TB Gizi baik

Gizi kurang Gizi buruk

>80% >90% >90%

71-80% 81-90% 81-90%

≤60% ≤70% ≤70%

(sumber ; Yayah K. Husaini. Atropometri Sebagai Indeks Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Medika, No. 8 tahun XXIIII, 1997

Dalam pengukuran indeks Antropometri sering terjadi kerancuan, hal ini akan mempengaruhi intepretasi status gizi yang keliru. Masih banyak pakar yang berkecimpung di bidang gizi belum mengerti makna dari beberapa indeks antropometri. Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda.8 Dalam pemantauan status gizi penduduk penggunaan gabungan indeks Antropometri sangat bermanfaat bagi proses perumusan kebijakan, perencanaan maupun pengelolaan program gizi.9

Dari berbagai jenis indeks Antropometri untuk mengintepretasikannya dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan antar ahli gizi. Ambang batas dapat disajikan dalam tiga cara, yaitu 7:

1. Persen terhadap median

Nilai tengah dari suatu populasi. Dalam antropometri gizi median sama dengan persentil 50. Nilai median ini dinyatakan sama dengan 100% (untuk standar).

Setelah itu dihitung persentase terhadap nilai median untuk mendapatkan ambang batas. Dengan lima klasifikasi status gizi dengan indeks BB/U :

- Gizi lebih = > 120% median BB/U - Gizi baik = 80% - 120% median BB/U - Gizi sedang = 70% - 79,9% median BB/U - Gizi kurang = 60% - 69% median BB/U - Gizi buruk = < 60% median BB/U 2. Persentil

Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap median adalah persentil. Persentil 50 sama dengan median, atau nilai tengah dari jumlah populasi yang berada diatasnya dan setengahnya berada di bawahnya.

(3)

National Centre For Health Statistic (NCHS) merekomendasikan persentil ke lima sebagai batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi baik.

3. Standar deviasi unit

Standar deviasi unit disebut juga Z-Skor. WHO menggunakan cara ini untuk meneliti dan memantau pertumbuhan.

- 1 SD unit (1 Z Skor) kurang lebih sama dengan 11% dari median BB/U - 1 SD unit (1 Z Skor) kira- kira 10% dari median BB/U

- 1 SD unit (1Z Skor) kira- kira 5% dari median TB/U

Untuk klasifikasi status gizi berdasarkan baku antropometri perlu ada batasan- batasan (cut-off point). Pembagian tersebut didasarkan pada baku rujukan WHO NCHS yaitu :

1. Gizi lebih : > 2,0 SD baku WHO NCHS 2. Gizi baik : - 2 SD s/d + 2 SD

3. Gizi kurang : < - 2 SD 4. Gizi buruk : < - 3 SD7

Dalam pembahasan tentang status gizi ada tiga konsep yang harus dipahami.

Ketiga konsep ini saling berkaitan antar satu dengan lain. Ketiga pengertian tersebut adalah 8:

1. Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan, fungsi organ tubuh dan produksi energi. Proses ini disebut gizi nutrion.

2. Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi di satu pihak dan pengeluaran oleh organisme di pihak lain. Keadaan ini disebut nutriture.

3. Tanda-tanda tau penampilan yang diakibatkan oleh nutriture dapat terlihat melalui variabel tertentu. Hal ini disebut status gizi nutritional status.6

(4)

Keadaan gizi yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini didalam masyarakat masih terdapat penderita tingkat kekurangan gizi. Masalah gizi tersebut merupakan refleksi konsumsi energi dan zat gizi zat-zat gizi lain yang belum mencukupi kebutuhan tubuh.8

Dalam penilaian status gizi, khususnya untuk keperluan klasifikasi maka harus ada ukuran baku (reference). Baku Antropometri yang banyak digunakan adalah baku Harvard; 1959, Sementara itu kegiatan pemantauan status gizi yang dikelola direktorat dinas gizi masyarakat menggunakan baku WHO.9

Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah WHO.

Beberapa klasifikasi umum yang digunakan adalah klasifikasi Gomez, klasifikasi Wellcome Trust, klasifikasi Waterlow, klasifikasi Jeliffe, Klasifikasi Bengoa, klasifikasi menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI dan klasifikasi cara WHO.7

1. Klasifikasi GOMEZ (1956)

Baku yang digunakan oleh Gomez adalah baku rujukan Harvard. Indeks yang adigunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U). sebagai baku patokan digunakan persentil 5. Gomez mengklasifikasikan status gizi yaitu normal, ringan sedang dan berat.

2. Klasifikasi Wellcome Trust

Baku yang digunakan adalah baku Harvard.

(5)

3. Klasifikasi Waterlow

Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan kronis. Beliau berpendapat bahwa defisit berat badan terhadap tinggi badan mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus-kering).defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung sangat lama. Akibat yang ditimbulkan adalah anak menjadi pendek stunting untuk umurnya.

4. Klasifikasi Jeliffe

Indeks yang digunakan adalah berat badan menurut umur. Pengkategoriannya adalah kategori I,II,III dan IV.

5. Klasifikasi Bengoa

Bengoa mengkalsifikasikan KEP , yaitu KEP I, KEP II dan KEP III. Indeks yang digunakan adalah berat badan meurut umur.

6. Klasifikasi menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI

Klasifikasi status gizi dapat diklasifikasikan mendi 5 yaitu : gizi lebih, gizi baik, gizi sedang, gizi kurang dan gizi buruk. Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS.

7. Klasifikasi cara WHO.

Pada dasarnya cara penggolongan indeks sama dengan cara waterlow. Indikator yang digunakan meliputi BB/TB dan BB/U, TB/U.

B. Pengetahuan Ibu

Pengetahuan ibu adalah asumsi bahwa semakin tinggi pengetahuan akan semakin mudah pula menerima rangsangan perubahan keadaan disekitarnya dan menentukan kemudahan ibu dalam menerima setiap pembaharuan serta makin cepat tanggap terhadap kondisi lingkungannya.10

Pengetahuan ibu merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat (Blum:1974).

Oleh sebab itu dalam rangka membina dan meningkatkan tingkat pengetahuan ibu maka intervensi atau upaya yang ditujukan pada faktor perilaku ini sangat strategis.10

(6)

Pengetahuan ibu merubah perilaku, pendidikan, pangan dan gizi agar ibu dapat melakukan cara-cara praktek yang baik seperti yang diharapkan, pengetahuan saja belum mampu membuat ibu mengubah perilakunya. Untuk itu masih diperlukan motivasi dan perhatian agar ibu mau mengubah pola hidup untuk mempunyai pengetahuan tentang imunisasi dan mengenai zat-zat gizi dan bahan makanan yang bergizi bagi bayinya. Studi mengenai proses belajar dan berubah pandangan atau pendapat dilakukan oleh Beal dan Bohlen tahun 1959, untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dan status gizi bayinya mencakup beberapa fase

10:

1. Kesadaran (Awareness) yaitu orang yang menjadi sadar terhadap pandangan atau pendapat atau cara-cara baru.

2. Minat (Interest) yaitu orang yang telah menyadari pandangan baru itu kemudian mempunyai keinginan atau minat ingin mengetahui lebih lanjut.

3. Penilaian (Evaluation) yaitu orang yang bersangkutan kemudian dapat menimbang (menilai) untung rugi dari hal baru tersebut.

4. Mencoba (Trial) yaitu melakukan percobaan kecil akan kegunaannya.

5. Penerapan atau penolakan (Adaption or rejection) yaitu setelah mengetahui dan mendapatkan hasil percobaan baru, individu mau menerapkan atau menolaknya.10

Upaya agar ibu berperilaku dengan cara persuasif, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya melalui pendidikan atau penyuluhan kesehatan. Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku dan status pendidikan ibu adalah konsep dari Lawrence Green (1980).

Menurut Green, perilaku dan status pendidikan ibu dipengaruhi 3 faktor utama, yaitu

10:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap ibu terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan ibu terhadap hal-hal yang berkaitan dengan status gizi bayi.

Disesuaikan dengan tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi.

(7)

2. Faktor Pemungkin (enabling factors)

Mencakup ketersediaan sarana dan prasarana seperti air bersih, tempat pembuangan sampah dan ketersediaan makanan yang bergizi.

2. Faktor penguat (reinforcing factors)

Meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama (toga), sikap dan perilaku ibu termasuk petugas kesehatan.

Pegetahuan ibu tentang kesehatan sebagai bagian atau cabang dari ilmu kesehatan, juga mempunyai dua sisi yakni sisi ilmu dan sisi seni. Dari sisi seni yakni praktisi atau aplikasi, pendidikan kesehatan merupakan penunjang bagi program- program kesehatan lain. artinya setiap program kesehatan misalnya pemberantasan penyakit, perbaikan gizi masyarakat, imunisasi, sanitasi lingkungan, kesehatan ibu dan anak dan sebagainya, perlu ditunjang atau dibantu oleh pendidikan, kesehatan (di Indonesia sering disebut penyuluhan kesehatan). oleh sebab itu WHO pada awal tahun 1980-an menyimpulkan bahwa pengetahuan dan pendidikan kesehatan tidak mampu mencapai tujuannya, apabila hanya memfokuskan pada upaya-upaya perubahan perilaku saja. Pengetahuan dan pendidikan kesehatan harus mencakup pula perubahan lingkungan (fisik dan sosial budaya, politik, ekonomi dan sebagainya).11

C. Imunisasi

Imunisasi adalah tekhnik pembentukan kekebalan tubuh secara aktif dengan memasukkan kuman atau vaksin yang sudah dilemahkan kedalam tubuh dengan harapan tubuh membentuk zat anti bodi terhadap kuman atau vaksin yang dimasukkan.12

Tujuan utama imunisasi atau vaksinasi adalah tekhnik pembentukan kekebalan tubuh secara aktif dengan memasukkan kuman atau toksin yang sudah dilemahkan kedalam tubuh dengan harapan tubuh membentuk zat antibodi terhadap kuman atau toksin yang dimasukkan.13

Imuisasi perlu dipacu terhadap jenis antibodi atau jenis sel imun yang benar.

Antibodi yang diproduksi oleh imunisasi harus efektif terutama terhadap mikroba ekstraseluler dan produknya (toksin). Sistem imun adalah suatu sistem yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zatyang dihasilkannya, yang bekerjasama secara kolektif

(8)

dan terkoordinasi untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya yang masuk ke dalam tubuh.12

Ada 2 macam imunisasi, yaitu 12: 1. Imunisasi aktif

Pemberian kuman atau racun yang telah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri.

2. Imunisasi Pasif

Penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat.

Manfaat imunisasi adalah merupakan cara yang termurah, teraman, termudah dan terbaik untuk mencegah anak anda terjangkit penyakit yang berbahaya dan mengancam jiwanya. Tidak ada satu jenis vaksinpun yang dapat memberikan perlindungan mutlak 100%. Oleh karena itu hindarkanlah kontak dengan anak lain yang sedang sakit.12

Tabel 1.2

Jadwal imunisasi pada bayi

VAKSIN PEMBERIAN INTERVAL UMUR

BCG 1x - 0-11 bulan

DPT 3x 4 minggu (minimal) 2-11 bulan POLIO (OPV) 4x 4 minggu (minimal) 0-11 bulan

CAMPAK 1x - 9-11 bulan

HEPATITIS B 3x 1 dan 6 bulan dari suntikan pertama

0-11 bulan

Sumber : Markum A.H, 1997, Imunisasi, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia edisi ke dua.12

B. Jenis Imunisasi Yang Diberikan Pada Bayi

Beberapa jenis imunisasi wajib yang harus diberikan pada bayi, antara lain sebagai berikut 12:

(9)

1. Vaksin BCG

Pemberian imunisasi BCG bertijuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tubercolusis. Vaksin BCG mengandung kuman BCG (Bacillus Calmette Guerrin) yang masih hidup dan telah dilemahkan. Vaksin ini diberikan pada bayi baru lahir sampai usia 12 bulan, sebaiknya diberikan pada bayi 0-2 bulan. BCG cukup diberikan 1 kali saja.12

2. Vaksin DPT (Diphteri, Pertussis, Tetanus) a. Diphteria

Penyakit Diphteria disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut Corynebacterium diphtheriae. Anak yang terjagkit akan mengalami demam tinggi, selain itu ada tonsil (amandel) atau tenggorok terlihat selaput putih kotor. Seorang anak akan terjangkit apabila ia berhubungan langsung dengan penderita dipteria atau orang sebagai pembawa kuman (carier).

b. Pertussis

Adalah penyakit batuk rejan atau lebih dikenal dengan batuk 100 hari.

Penyakit ini disebabkan oleh kuman Bordetella pertussis. Penyakit ini cukup parah bila diderita balita atau bayi bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi berumur kurang dari 1 tahun. Gejalanya sangat khas, yaitu anak tiba-tiba batuk keras secara terus menerus, sukar berheti, muka menjadi merah dan kebiruan, keluar air mata. Batuk seperti ini terutama terjadi pada malam hari.

c. Tetanus

Tetanus disebabkan oleh kuman tetanus yaitu Clostridium tetani. Kuman ini dapat berkembang dan membentuk racun yang berbahaya. Racun ini merusak susunan saraf tulang belakang yang menjadi dasar timbulnya gejala penyakit.

Gejala tetanus yang khas adalah kejang dan kaku secara menyeluruh, otot dinding yang teraba keras dan tegang seperti papan, mulut kaku dan sukar dibuka sertya muka yang menyeringai.

Manfaat pemberian imunisasi ini adalah untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit Diphteria, Pertussis (batuk rejan) dan Tetanus. Vaksin ini dibuat dari toksin kuman Diphteria yang dilemahkan, sedangkan vaksin rejan terbuat dari kuman Bordetella pertussis yang telah dimatikan. Sedangkan vaksin tetanus dibuat dari toksin kuman Tetanus yang telah dilemahkan. Diberikan 3 kali

(10)

pada bayi berumur 2 bulan dengan selang waktu antara dua penyuntikan minimal empat minggu, imunisasi ulang pertama dilakukan pada usia 1,5 sampai 2 tahun atau kurang lebih satu tahun setelah suntikan imunisasi dasar ketiga.12 3. Vaksin Polio

Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Cara pemberiannya dengan cara suntikan, pemberian vaksin polio dapat diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin BCG, Hepatitis B, dan DPT.12

4. Vaksin Campak

Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan penyakit campak secara aktif. Vaksin campak mengandung virus campak hidup yang telah dilemahkan.

Campak adalah penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian vaksin. Bayi baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit campak dari ibunya ketika ia dalam kandungan, imunisasi campak cukup dilakukan 1 kali suntikan setelah bayi berumur 9 bulan (WHO 1973).12

5. Vaksin Hepatitis B

Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapatkan kekebalan aktif terhadap penyakit Hepatitis B, penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih dikenal dengan penyakit liver. Vaksin terbuat dari bagian virus Hepatitis B yang dinamakan HbsAg yang dapat menimbulkan kekebalan tetapi tidak menimbulkan penyakit.12

Imunisasi ini diberikan dengan cara suntikan dasar sebanyak 3 kali dengan jarak waktu 1 bulan antara suntikan 1 dan 2. Dana 5 bulan antara suntikan 2 dan 3. imunisasi ulang diberikan 5 tahun setelah imunisasi dasar.12

(11)

C. Pengetahuan ibu Menurut Praktek Imunisasi

Pengetahuan ibu mempengaruhi praktek imunisasi bagi bayinya. Pada umumnya bayi memiliki sistem ketahanan tubuh yang lebih rentan terhadap penyakit apabila dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Kewajiban seorang ibu untuk mendapatkan dan melengkapi imunisasi secara penuh dan sempurna sangat penting bagi bayinya. Semakin tinggi pengetahuan ibu tentang imunisasi akan menentukan praktek imunisasi yang baik bagi bayinya.10, 14

D. Praktek Imunisasi Menurut Status Gizi

Praktek imunisasi dan status gizi yang baik sangat dianjurkan, pada umumnya sudah diperhitungkan sesuai faktor variasi kebutuhan adanya praktek imunisasi dengan status gizi yang diberikan untuk meningkatkan kekebalan dan derajat kesehatan yang baik bagi bayinya. Bayi merupakan kelompok usia yang sedang mengalami pertumbuhan dan praktek imunisasi dengan status gizi yang cukup akan memberikan kekebalan pada tubuh untuk mencegah masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh. Jika bayi tidak mendapat praktek imunisasi dan status gizi yang baik akan mengakibatkan cacat seumur hidup atau bahkan kematian pada bayi. 11,13

E. Kerangka Teori

F. Kerangka Konsep Faktor penguat - Motivasi petugas - Kedisiplinan petugas - Kelengkapan alat dan

kecukupan vaksin Faktor pemungkin - Praktek imunisasi - Jarak tempat pelayanan - Pendapatan keluarga Faktor Predisposisi - Pengetahuan ibu - Sikap ibu

Praktek imunisasi bayi

Status gizi terpenuhi /

baik

Sumber : Modifikasi teori Soekidjo Notoatmodjo, 1997 Variabel bebas

(12)

Status gizi Variabel terikat Pengetahuan ibu tentang

imunisasi

Praktek imunisasi bayi

G. Hipotesa

Berdasarkan permasalahan tujuan penelitian dan sumber pustaka, maka hipotesa yang ingin dibuktikan adalah :

1. Ada perbedaan pengetahuan ibu bayi yang memiliki status gizi normal dengan ibu bayi yang memiliki status gizi KEP.

2. Ada perbedaan praktek imunisasi bayi yang memiliki status gizi normal dengan bayi yang memiliki status gizi KEP.

Referensi

Dokumen terkait

Biaya pelayaran terdiri dari dua komponen biaya yaitu biaya bahan bakar mesin dan biaya pelabuhan. Biaya bahan bakar sangat di pengaruhi oleh kebutuhan mesin yang

Beberapa indikator dari iklim sekolah yang baik itu dapat terlihat dari; (1) rasa aman dari para personalia sekolah, (2) rasa puas dari para guru dan akan memberikan

Apabila RUPO yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan Pasal 10.5 Perjanjian Perwaliamanatan memutuskan untuk mengadakan perubahan atas Perjanjian Perwaliamanatan

Tujuan pengembangan aspek sosial pada peserta didik di SDI Muhamadiyah Desa Tanggulwelahan adalah untuk mencapai tujuan pendidikan sekolah yakni menciptakan lulusan

Seperti yang telah diprediksi dalam penelitian ini, dalam suatu model regresi diketahui bahwa ada hubungan positif anta - ra kualitas persahabatan dan empati pada

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin mengungkapkan sistem yang dilakukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai untuk mengawasi Pabrik Etil alkohol dari

Sebagai langkah awal dari pemerintah kota Semarang adalah dengan menerbitkan berbagai peraturan daerah yang digunakan untuk melindungi dan mengatur elemen masyarakat

Hasil penelitian pada setiap komponen dalam evaluasi pembelajaran menunjukkan bahwa: (1) Kurikulum memberikan arahan dan referensi dengan adanya otonomi dan fleksibilitas