Sintesis Mono-Diasilgliserol………Irma Rumondang dkk 1
SINTESIS MONO-DIASILGLISEROL BERBASIS GLISEROL DAN PALM FATTY ACID DISTILLATE
(SYNTHESIS OF MONO-DIACYLGLYCEROL BASED GLYCEROL AND PALM FATTY ACID DISTILLATE)
Irma Rumondang
1, Dwi Setyaningsih
2,3dan Atika Hermanda
21) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementrian Perindustrian RI
2) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor
3)Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Institut Pertanian Bogor, Bogor
E-mail : [email protected]
Received: 9 Februari 2016; revised: 29 Februari 2016: accepted: 22 Maret 2016
ABSTRAK
Mono-diasilgliserol (M-DAG) adalah jenis emulsifier yang banyak digunakan dalam industri pangan maupun non- pangan. M-DAG dapat dihasilkan dari proses esterifikasi. Pada penelitian ini bahan baku yang digunakan yaitu gliserol hasil samping industri biodiesel dan palm fatty acid distillate (PFAD) hasil samping industri minyak goreng. Penelitian ini bertujuan menentukan suhu dan rasio molar antara gliserol dan PFAD yang terbaik dalam menghasilkan M-DAG. Variasi yang digunakan adalah variasi suhu sebesar 150°C dan 160°C serta variasi rasio molar gliserol : PFAD sebesar 1:2, 1:3 dan 1:4. Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji warna, komposisi M- DAG dengan kromatografi lapis tipis, stabilitas emulsi, pH dan titik leleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suhu 150°C menghasilkan rendemen sebesar 74%, sedangkan pada suhu 160°C didapatkan nilai stabilitas emulsi mencapai 72% dengan kadar ALB 39%. Pada rasio molar 1:2 menghasilkan tingkat kecerahan M-DAG sebesar 82.57.
Kata kunci: Gliserol, PFAD, Mono-diasilgliserol ABSTRACT
Mono-diacylglicerol (MDAG) is an emulsifier which is widely used in Industry of food and non-food. M-DAG can be produced from esterification. In this study, The raw material used are glycerol byproduct of the biodiesel industry and palm fatty acid distillate (PFAD) byproduct of cooking Oil Industry. This study aimed to determine the best temperature and molar ratio of glycerol and PFAD for producing M-DAG. Variation of the composition of temperature used were 150°C and 160°C with variation of the molar ratio of glycerol : PFAD used were1:2, 1:3, and 1:4. The samples were characterized by color, the composition of M-DAG by thin layer chromatography, stability of emulsion, pH and the melting point. The result showed that at the temperature of 150°C produce a yield of 74%, while, at the temperature of 160°C obtained emulsion stability value reached 72% with 39% FFA content. Sample with a molar ratio of 1:2 produced M-DAG with brightness level value of 82.57.
Key words: Glycerol, PFAD, Mono-diacylglicerol
PENDAHULUAN
Jumlah produksi biodiesel di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun untuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Biodiesel dihasilkan dari reaksi trigliserida dan metanol sehingga diperoleh biodiesel dan hasil samping berupa gliserol. Biodiesel di Indonesia diproduksi hingga mencapai 1,24 juta ton pada tahun 2010.
Jumlah produksi biodiesel tersebut diperkirakan dapat menghasilkan gliserol lebih dari 248 ribu
ton pertahun. Gliserol hasil samping biodiesel dapat dimanfaatkan sebagai produk yang memiliki nilai tambah.
Sebagian besar minyak goreng di Indonesia dihasilkan dari minyak kelapa sawit.
Proses pemurnian minyak kelapa sawit menghasilkan produk samping berupa palm fatty acid distillate (PFAD) dengan jumlah 2,5%-3,5%
dari bobot produksi tergantung pada kandungan
J. Kimia dan Kemasan vol. 38 No. 1 April 2016 : 1-6 2 asam lemak bebas bahan baku crude palm oil
(Buana et al 2003). PFAD yang dihasilkan diolah kembali sebagai bahan baku deterjen krim.
PFAD mengandung asam lemak bebas (ALB) sekitar 81,7%, gliserol 14,4%, squalene 0,8%, vitamin E 0,5%, sterol 0,45%, dan lain-lain 2,2%(Hambali et al 2007). Guna memaksimal- kan pemanfaatan gliserol dan PFAD, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang cara pengolahannya. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu mereaksikan gliserol dengan PFAD sehingga menghasilkan emulsifier mono- diasilgliserol (M-DAG).
Emulsifier M-DAG merupakan salah satu bahan tambahan yang dibutuhkan industri pangan dan non-pangan. M-DAG digunakan pada industri pangan seperti pada industri roti dan kue untuk memberikan stabilitas emulsi, mengendalikan polimorfisme lemak, memperbaiki tekstur produk, melembutkan tekstur crumb, memperkuat adonan, membantu proses ekstruksi dan meningkatkan aglomerasi lemak (Dziezak 1988). Pada industri non- pangan, M-DAG digunakan di bidang kesehatan, kosmetik, personal care dan farmasi.
Berdasarkan data BPS (2007), kebutuhan emulsifier dalam negeri meningkat tiap tahun dengan nilai rata-rata sebesar 4%. Sekitar 70%
emulsifier yang digunakan di industri adalah monogliserida dengan status RGAS (Generally Recognized As Safe) yaitu menggunakan bahan dan proses yang aman digunakan untuk makanan (Setyaningsih, 2016). Penelitian tentang produksi M-DAG dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam memenuhi kebutuhan emulsifier dalam negeri. Pada penelitian ini M-DAG disintesis dengan cara esterifikasi yaitu mereaksikan PFAD dan gliserol menggunakan katalis asam. Variabel bebas yang digunakan sebagai faktor operasi yaitu suhu reaksi dan rasio molar antara gliserol dengan PFAD.
BAHAN DAN METODE Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gliserol dari hasil samping produksi biodiesel dan katalis methyl ester sulfonic acid (MESA) dari SBRC (Surfactant Bioenergy Research Center) IPB, palm fatty acid distillate (PFAD) dari PT Asianagro Agungjaya, heksana dan zeolit sebagai adsorben.
Peralatan yang digunakan pada tahap pemurnian gliserol adalah tangki reaktor, alat filtrasi, pompa vakum, dan tangki distilasi. Pada proses sintesis M-DAG digunakan reaktor merek Parr 4533 dengan kapasitas 1000 mL yang
dilengkapi pemanas, pendingin, pengukur suhu, dan pengatur kecepatan pengadukan.
Metode
Pemurnian Gliserol
Gliserol dipanaskan pada suhu 75°C dengan kecepatan 600 rpm lalu ditambahkan asam fosfat 85% dan direaksikan selama 120 menit. Larutan didiamkan hingga terbentuk lapisan asam lemak bebas, gliserol, dan garam kalium fosfat. Gliserol dipisahkan lalu disaring untuk memisahkan sisa garam kalium fosfat kemudian dimasukkan ke dalam distilasi vakum pada suhu 130°C dengan tekanan 5 inHg selama 120 menit.
Sintesis M-DAG
Bahan-bahan crude glycerol, palm fatty acid distillate, katalis asam, dan zeolit dicampurkan pada reaktor. Perbandingan crude glycerol dan palm fatty acid distillate divariasikan dalam 3 rasio yaitu 1:2, 1:3, dan 1:4 dengan variasi suhu 150°C dan 160°C selama 75 menit.
Substrat hasil reaksi dilarutkan dalam 150 mL heksan, kemudian difraksinasi pada suhu 7°C selama 24 jam. Hasil fraksinasi kemudian dikeringkan hingga heksana menguap dan didapatkan produk berupa serbuk berwarna putih. Produk yang dihasilkan kemudian dianalisis meliputi uji kecerahan warna, komposisi M-DAG dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), stabilitas emulsi, pH, dan titik leleh.
Data Hasil penelitian diolah dengan analisis ragam (α=0.05) dan uji lanjut Duncan dengan bantuan software SAS version 9.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemurnian Gliserol
Gliserol yang telah direaksikan dengan asam fosfat membentuk tiga lapisan yang terdiri dari asam lemak (bagian atas), gliserol (bagian tengah), dan garam (bagian bawah).
Terbentuknya tiga lapisan disebabkan adanya asam fosfat sebagai pereaksi yang dapat menghidrolisis senyawa sabun dan menetralisir katalis yang ada dalam residu sehingga gliserol dapat terpisah dari garam dan sabun terlarut.
Reaksi pembentukan M-DAG, asam lemak bebas, kalium fosfat dapat dilihat pada Gambar 1.
Selanjutnya gliserol hasil pemurnian diuji dan dibandingkan dengan gliserol sebelum pemurnian dan gliserol komersial. Uji yang dilakukan meliputi uji kadar gliserol, kadar abu, nilai pH dan warna sesuai SNI 06-1564-1995 (Tabel 1).
Sintesis Mono-Diasilgliserol………Irma Rumondang dkk 3 H2C-OH H2C-OH H2C-OH
I H*/OH- I I
HC-OH + RCOOH HC-OH + HC-OCOR + H2O I I I
H2C-OH H2C-OCOR H2C-OCOR
Gliserol Asam lemak Monogloserida Digliserida air (a)
RCOOK + H2O RCOOH + KOH Sabun Air ALB Basa (b)
H3PO4 + 3KOH K3PO4 + 3H2O Asam fosfat Basa Garam Air
(c)
Gambar 1. Reaksi pembentukan M-DAG (a),asam lemak bebas (b) dan garam kalium fosfat (c)
Tabel 1. Hasil uji gliserol Jenis Uji Gliserol
Kasar Gliserol
Murni Gliserol komersial Kadar Gliserol (%) 40 97 99,2-99,98 Kadar Abu (%) 5,52 0,91 <0,002
Nilai pH 11 6 7
Warna coklat coklat Bening
Mochtar 2001
Meningkatnya kadar gliserol disebabkan adanya netralisasi basa dan pemecahan sabun yang membebaskan gliserol dari garam dan asam lemak bebas. Hasil kadar abu pada gliserol murni mengalami penurunan. Hal tersebut menandakan bahwa kandungan anorganik pada gliserol telah berkurang akibat pemisahan garam saat proses pemurnian berlangsung (Hedtke 1996). Penurunan nilai pH pada gliserol murni menunjukkan bahwa sabun dan sisa KOH yang terkandung pada gliserol telah terpecah menjadi asam lemak bebas dan garam sehingga pH gliserol dapat mencapai nilai normal
(
Kocsisova dan Cvengros 2006).Sintesis dan Karakterisasi M-DAG
Hasil uji warna pada produk M-DAG yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 2 yaitu semakin tinggi suhu dan rasio molar gliserol:
PFAD maka kecerahan warna produk semakin menurun. Semakin tinggi suhu yang digunakan pada reaksi esterifikasi, warna produk lebih gelap dan tekstur sedikit berminyak.
Gambar 2. Hasil kecerahan (L) M-DAG pada rasio 1:2, 1:3, dan 1:4 dan suhu 150°C dan 160°C
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan rasio molar gliserol : PFAD berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap warna produk. Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa suhu 150°C merupakan suhu yang lebih baik di antara dua perlakuan suhu yang diujikan dan rasio molar 1:2 merupakan rasio molar gliserol : PFAD yang terbaik. Sedangkan rasio molar gliserol : PFAD tidak berpengaruh signifikan terhadap kecerahan warna produk M- DAG. Warna produk dipengaruhi oleh adanya asam lemak sisa yang kontak dengan panas ketika proses esterifikasi berlangsung sehingga terjadi oksidasi terhadap tokoferol yang terkandung pada asam lemak (Ketaren 2012).
Hasil uji warna pada M-DAG komersial memiliki karakteristik warna berwarna putih dan tekstur kering dengan nilai L yaitu 96,3. Oleh karena itu, berdasarkan tingkat kecerahan warna dan
J. Kimia dan Kemasan vol. 38 No. 1 April 2016 : 1-6 4 tekstur yang kering, hasil M-DAG terbaik yaitu
pada suhu 150°C (Gambar 3) rasio molar 1:3 (gliserol:PFAD) dengan nilai L yaitu 82,57.
Gambar 3. Rendemen pada rasio molar gliserol:PFAD 1:2, 1:3, dan 1:4 dan suhu 150°C dan 160°C
Rendemen yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 50% sampai 74%. Rendemen didapatkan dari perbandingan antara berat endapan M-DAG murni dengan total M-DAG kasar yang dimurnikan. Nilai rendemen akan menurun ketika suhu serta rasio gliserol:PFAD semakin tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu berpengaruh secara signifikan (p<0,05) terhadap rendemen M-DAG murni. M-DAG yang memiliki nilai rendemen tertinggi yaitu M-DAG pada suhu 150°C dan rasio molar 1:3 (gliserol:PFAD) dengan rendemen sebesar 74% (Gambar 4).
Hasil spot KLT yang didapatkan kemudian diolah menggunakan software ImageJ untuk melihat komposisi luas area pada masing- masing fraksi MAG, DAG, TAG dan ALB. Pada
penelitian ini hasil yang diharapkan adalah jumlah persentase luas area MAG dan DAG lebih tinggi dibandingkan TAG+ALB. Hasil KLT menunjukkan perolehan produk DAG lebih besar, sedangkan MAG dan TAG+ALB lebih rendah (Gambar 4). Semakin tinggi suhu dan rasio molar yang digunakan, perolehan DAG semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Dixon dan Webb (1964) bahwa perubahan konsentrasi mol substrat PFAD yang tinggi dapat mempercepat reaksi. Nilai Rf yang didapatkan dari hasil KLT berturut-turut adalah 0.42 untuk MAG, 0.55 untuk DAG, dan 0.71 untuk TAG+ALB.
Pada reaksi esterifikasi, gugus hidroksil mengikat gugus asam lemak sehingga pada penelitian ini didapatkan DAG dengan jumlah persentase yang tinggi namun, waktu proses yang terlalu singkat menyebabkan pengikatan tidak berlangsung secara optimal sehingga jumlah MAG yang terbentuk masih rendah Menurut Prakoso et al (2006), pembentukan M- DAG pada reaksi esterifikasi melewati beberapa tahap, mula-mula satu gugus hidroksil pada gliserol akan mengikat satu gugus asam lemak hingga terbentuk monogliserida. Pada tahap selanjutnya dilanjutkan pengikatan terhadap gugus hidroksil lain hingga terbentuk digliserida dan trigliserida. Namun, jika waktu dan suhu proses esterifikasi yang digunakan terlalu tinggi dapat menurunkan perolehan fraksi MDAG karena akan terjadi reaksi balik menjadi FFA (Kitu 2000). Pada penelitian ini, persentase luas MAG dan DAG yang tertinggi terbentuk pada suhu 160ºC dengan rasio molar 1:3 dengan luas area DAG 70% dan MAG 10%.
Gambar 4. Persentase luas area fraksi pada berbagai rasio molar dan suhu reaksi pada M-DAG murni.
MAG ( ), DAG ( ), TAG+ALB ( )
Rasio molar gliserol :PFAD Suhu (°C)
Sintesis Mono-Diasilgliserol………Irma Rumondang dkk 5 Kadar asam lemak bebas dari M-DAG
yang telah dimurnikan memiliki kisaran nilai 40- 50%. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan nilai M-DAG kasar yang dibeli dipasaran yang memiliki kisaran nilai 39-52%. Pada proses esterifikasi, terjadi reaksi hidrolisis yang mengakibatkan kadar asam lemak bebas pada M-DAG meningkat. Hasil persentase luas area fraksi menunjukkan kadar DAG lebih tinggi pada suhu 160°C, hasil tersebut berhubungan dengan hasil kadar ALB yang menunjukkan bahwa asam lemak telah terikat oleh gliserol dan membentuk fraksi MAG, DAG dan TAG sehingga kadar ALB rendah. Sedangkan, pada suhu 150ºC asam lemak belum terikat secara sempurna dan belum bereaksi secara keseluruhan dengan gugus hidroksil sehingga kadar ALB lebih tinggi karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi (Pramana, 2010).
Hasil lanjut uji Duncan memperlihatkan bahwa suhu 160°C merupakan suhu yang lebih baik di antara dua perlakuan suhu dan rasio molar 1:4 merupakan rasio molar gliserol : PFAD yang terbaik. Sementara pada M-DAG murni suhu serta rasio proses esterifikasi tidak berpengaruh secara signifikan. Kadar ALB M- DAG murni terendah didapatkan pada suhu 160ºC dengan rasio molar 1:2 sebesar 39%
sedangkan yang tertinggi yaitu pada suhu 150ºC dengan rasio molar 1:4 sebesar 51%. Kadar ALB yang diperoleh pada M-DAG murni masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan M-DAG komersial yang memiliki kadar ALB sebesar 12%.
Berdasarkan hasil uji pH, M-DAG kasar memiliki sifat yang asam dengan nilai pH 4-4.18.
Nilai pH meningkat setelah dimurnikan dengan pH 4.25-4.68. Nilai tersebut menandakan bahwa M-DAG masih bersifat asam sesudah pemurnian. Suasana asam tersebut disebabkan masih tingginya kadar asam lemak bebas pada produk dan adanya pemakaian katalis asam yaitu MESA yang masih mempengaruhi kondisi substrat ketika proses esterifikasi sudah berakhir. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, suhu dan rasio pada proses esterifikasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pH pada M-DAG murni dan M-DAG kasar.
Produk M-DAG kasar memiliki titik leleh yang lebih rendah dibandingkan M-DAG murni.
M-DAG sebelum pemurnian memiliki kisaran nilai titik leleh 42-44°C sedangkan sesudah pemurnian meningkat menjadi 46-50°C. Adanya perbedaan tersebut disebabkan sebagian ALB+TAG telah larut dalam heksan ketika proses pemurnian berlangsung. M-DAG komersial terdiri dari komponen MAG, DAG dan TAG dengan kadar pengotor yang kecil
sehingga memiliki titik leleh tinggi. Nilai titik leleh tertinggi dari M-DAG sesudah pemurnian pada penelitian ini yaitu 50°C yang terbentuk pada suhu 160ºC dengan rasio molar 1:3. Hal tersebut berhubungan dengan hasil uji KLT dan ALB yang menunjukkan bahwa pada suhu 160ºC produk memiliki fraksi MAG tertinggi dan kadar ALB paling rendah sehingga titik leleh masih tinggi. Menurut Gunstone (1994), MAG memiliki titik leleh di atas DAG dan TAG karena susunan MAG yang terdiri dari 2 ikatan hidrogen dan DAG memiliki 1 ikatan hidrogen, sementara TAG tidak memiliki ikatan hidrogen, hal tersebut yang menyebabkan nilai titik leleh M-DAG komersial cenderung tinggi.
Pada hasil uji dapat diketahui bahwa M- DAG kasar memiliki stabilitas emulsi yang lebih rendah dengan kisaran nilai 20-53%
dibandingkan M-DAG murni dengan kisaran nilai 37-72%. Berdasarkan hasil analisis ragam, suhu berpengaruh secara signifikan (p<0.05) terhadap nilai stabilitas emulsi pada M-DAG murni.
Pada hasil uji lanjut Duncan (Gambar 5) menunjukkan bahwa suhu 160°C merupakan suhu yang terbaik di antara dua perlakuan suhu.
Semakin tinggi suhu, nilai stabilitas emulsi semakin tinggi karena pada suhu tersebut kadar ALB lebih rendah. Sehingga pada penelitian ini M-DAG murni yang memiliki nilai stabilitas tertinggi yaitu M-DAG pada suhu 160°C dengan rasio molar gliserol:PFAD 1:2 dengan nilai stabilitas 72%.
Gambar 5 Hasil stabilitas emulsi M-DAG suhu150°C dan 160°C pada rasio gliserol:PFAD 1:2, 1:3, dan 1:4 setelah 12 jam. Sebelum pemurnian ( ) dan sesudah pemurnian ( )
KESIMPULAN
Mono-diasilgliserol dapat diperoleh melalui proses esterifikasi antara gliserol dengan PFAD menggunakan zeolit dan katalis MESA
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 1-6 6 dengan konsentrasi 1.5% selama 75 menit.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada suhu dan rasio molar gliserol : PFAD terhadap hasil M-DAG. Pada suhu 150ºC menghasilkan rendemen yang tinggi (74%) serta karakteristik fisik yang diinginkan, yaitu berwarna cerah dan tidak berminyak. Sedangkan pada suhu 160ºC didapatkan stabilitas emulsi yang lebih tinggi (72%) dan kadar ALB yang lebih rendah (39%).
Pada rasio 1:2 dihasilkan kecerahan M-DAG murni dengan nilai yang tinggi yaitu 82.57.
DAFTAR PUSTAKA
Buana L, Siahaan D, Adiputra S. 2003.
Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit.
Sumatra Utara (ID) : Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Dziezak JD. 1988. Emulsifiers: the interfacial key do emulsion stability. Journal of Food Technology. 42(10) : 172-186.
Dixon M, Webb ZC. 1964. Enzymes. New York (US): Academic Pr Inc.
Dwi Setyaningsih, Balya Al Bashir, Very HeriYesen S, Neli Muna. 2016.
Purification of Mono-Diacylglycerol through Saponification and Solvent Extraction. International Journal of Environment and Bioenergy. 11(1): 1 – 11.
ISSN : 2165-8951.
Gunstone, Frank D, Harwood JL, FB Padley.
1994. The Lipid Handbook. London (NL):
Chapman And Hall.
Hambali E, Suryani A, Dadang, Hariyadi, Hanafie H, Reksowardojo IK, Rivai M, Ihsanur M, Suryadarma P, Tjitrosemitro S.
2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Hedtke D. 1996. Glycerine Processing. Di dalam Hui YH, editor. Bailey’s Industry Oil And Fat Products. Volume 3.
Ketaren S. 2012. Minyak dan Lemak Pangan.
Jakarta (ID) : Universitas Indonesia Pr.
Kocsisova T, J Cvengros. 2006. G-phase for methyl ester production splitting and refining. Petroleum & Coal. 48(2): 1-5.
Kitu NE. 2000. Sintesis mono dan diasilgliserol dari destilat asam lemak minyak kelapa melalui esterifikasi dengan katalisis lipase Rhizomucor miehei [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Mohtar Y. 2001. The Chemical Ana physical characteristic of oleochemicals produced in Malaysia. Palm Oil Development. 28:1- 20.
Prakoso T, Hapsari SC, Lembono P, Soerawidjaja TH. 2006. Sintesis trigliserida rantai menengah melalui transesterifikasi gliserol dan asam-asam lemaknya. Teknik Kimia Indonesia. 5 (3):
520-529.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 06- 1564-1995: Gliserol Kasar. Jakarta (ID):
SNI.
Syafila MT, Setiadi AH, Mulyadi, Esmiralda.
2007. Kajian biodegradasi limbah cair industri biodiesel pada kondisi anaerob dan aerob. ITB Sains & Teknologi. 39A (1&2): 165-178.
Yanuar S. Pramana dan Sri Mulyani. 2010.
Proses Gliserolisis CPO Menjadi Mono dan Diacyl GLiserol Dengan Pelarut Tert- Butanol dan Katalis MgO. Jurusan Teknik Kimia – Fakultas Teknik, UNDIP
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk 7
ISOLASI NANOKRISTALIN SELULOSA BAKTERIAL DARI JUS LIMBAH KULIT NANAS: OPTIMASI WAKTU HIDROLISIS
(ISOLATION OF NANOCRYSTALLINE BACTERIAL CELLULOSE FROM PINEAPPLE PEEL WASTE JUICE: HYDROLYSIS TIME OPTIMIZATION)
Budiman Anwar
1,2, Bunbun Bundjali
2, dan I Made Arcana
21)Departemen Pendidikan Kimia, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 229, Bandung
2)Kelompok Keahlian Kimia Fisika dan Anorganik, FMIPA, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung
E-mail : [email protected]
Received: 20 Januari 2016; revised: 10 Februari 2016: accepted: 17 Maret 2016
ABSTRAK
Nanokristalin selulosa (NCC) adalah bionanomaterial yang terbarukan, berkelanjutan, ramah lingkungan, dan potensi penggunaannya sangat luas. Salah satu metode untuk mengisolasi NCC dari selulosa adalah dengan hidrolisis menggunakan asam. Waktu hidrolisis adalah salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan isolasi NCC disamping konsentrasi asam dan suhu hidrolisis. Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh waktu hidrolisis optimum untuk isolasi NCC. Selulosa bakterial (BC), yang disintesis menggunakan media kultur jus limbah kulit nanas, digunakan sebagai sumber selulosa yang murah dan ramah lingkungan. Optimasi waku hidrolisis dikarakterisasi dengan stabilitas dispersi, %-hasil, dan diameter partikel rata-rata yang diukur menggunakan Particle Size Analyzer (PSA). Waktu optimum hidrolisis yang memberikan dispersi stabil dengan
%-hasil terbanyak (62%) dan ukuran partikel terkecil (diameter rata-rata 41,6 nm) adalah 25 menit pada suhu dan konsentrasi asam tertentu. Analisis FTIR memperlihatkan spektrum NCC mirip dengan BC-asal dengan puncak-puncak serapan khas untuk selulosa. Sedikit pergeseran terjadi pada puncak sekitar 2900 cm−1 dan 1430 cm−1 yang disebabkan oleh adanya peningkatan derajat kristalinitas, hal ini menunjukkan pula bahwa BC telah berubah menjadi NCC. Pengamatan dengan Transmission Electron Microscopy (TEM) terhadap NCC memperlihatkan morfologi yang berbentuk jarum.
Kata kunci : Nanokristalin selulosa, Selulosa bakterial, Limbah kulit nanas, Waktu hidrolisis ABSTRACT
Nanocrystalline cellulose (NCC) is a renewable, sustainable and environmentally friendly bionanomaterial and potential for used in the very wide range application. The one of methods to isolate NCC is the acid hydrolysis of cellulose. Hydrolysis time is the one of the important factors that decide the success of isolating NCC, besides of acid concentration and temperature of hydrolysis. This study is focused to obtain the optimum hydrolysis time for NCC isolation. Bacterial cellulose (BC), which synthesized using pineapple peel waste juice as a culture medium, was used as the low cost and environmentally friendly cellulose source. Optimization of the hydrolysis time was characterized by the stability of the dispersion, %-yield, and the average particle diameter measured by Particle Size Analyzer (PSA). The optimum time hydrolysis that give a stable dispersion with the most %-yields (62%) and the smallest particle size (average diameter of 41.6 nm) is 25 minutes at a certain temperature and acid concentration. FTIR analysis shows that NCC spectrum is similar to the origin BC and shows the typical absorption peaks for cellulose. A slight shift of peaks occurred around 2900 cm−1 and 1430 cm−1 caused by an increase in the degree of crystallinity, and it indicates that BC has turned into NCC. Observation by Transmission Electron Microscopy (TEM) to NCC shows the morphology of NCC that has needle-like structure.
Keywords : Nanocrystalline cellulose, Bacterial cellulose, Pineapple peel waste, Hydrolysis time
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14 8 PENDAHULUAN
Selulosa adalah biopolimer dengan kelimpahan di alam sangat berlimpah dan merupakan material terbarukan yang sangat penting dan dapat diproses menjadi berbagai produk polimer yang ramah lingkungan (Klemm et al. 2005). Produksi selulosa dalam skala nano sangat menarik perhatian karena sifat-sifatnya yang unggul, seperti kekuatan dan kekerasan yang tinggi dipadu dengan sifat yang ringan, terbiodegradasi, dan terbarukan (Maddahy et al.
2012).
Material yang digunakan sebagai sumber selulosa untuk memperoleh selulosa dalam skala nano, dikenal dengan istilah nanokristalin selulosa (NCC), pada umumnya berasal dari tumbuhan tingkat tinggi seperti kayu (Sacui et al.
2014), kapas (Chang et al. 2010), jerami gandum (Helbert et al. 1996), sabut kelapa (Bendahou et al. 2009), serat bambu (Brito et al.
2012; Zhang et al. 2012), Microcrystalline cellulose (MCC) (Bondenson et al. 2006, Ioelovich 2012), serat rami (Habibi and Dufresne 2008), kenaf (Zaini et al. 2013), serat Phormium tenax (Fortunati et al. 2013), daun mengkuang (Sheltami et al. 2012), serat sisal (Garcia de Rodriguez et al. 2006), dan lain-lain. Selain itu, tunicate (sejenis hewan laut) (Angles and Dufresne 2000, Sacui et al. 2014) dan selulosa bakterial (BC) (Hirai et al. 2009, George et al.
2010) juga digunakan sebagai sumber selulosa.
Penggunaan BC sebagai sumber selulosa mempunyai beberapa keunggulan, salah satunya adalah kemurniannya. Selulosa dari tumbuhan selalu mengandung hemiselulosa dan lignin sehingga proses pemurniannya cukup sulit. Proses pemurnian selulosa dari tumbuhan meliputi pelarutan dan pemisahan yang memerlukan berbagai bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan. Selain itu, sintesis BC dapat memanfaatkan berbagai limbah yang mencemari lingkungan sebagai media kulturnya.
Salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai media kultur adalah limbah kulit nanas.
Perkebunan nanas di Indonesia meliputi lebih dari 28.000 hektar. Produksi nanas keseluruhan per tahunnya mencapai 20 ton per hektar dengan persentase limbah kulit nanas sekitar 23%, dengan demikian limbah kulit nanas yang dihasilkan lebih dari 128.000 per tahun.
Limbah kulit nanas mengandung sumber gula dan nitrogen yang berguna untuk biosintesis BC oleh Gluconacetobacter xylinus. BC yang dihasilkan dengan menggunakan jus limbah kulit nanas sebagai media kultur mempunyai sifat yang serupa dengan BC yang dihasilkan dengan
menggunakan media konvensional (Hestrin &
Schramm’s medium), tetapi lebih murah dan hasilnya 80% lebih banyak (Castro et al. 2011, Anwar et al. 2015). Berdasarkan penelusuran literatur, belum ada laporan tentang penggunaan BC yang disintesis dengan menggunakan media kultur jus limbah kulit nanas sebagai sumber selulosa untuk memperoleh NCC. Telah diketahui bahwa morfologi dan sifat-sifat NCC mempengaruhi kinerjanya pada berbagai aplikasi. Telah diketahui pula bahwa morfologi dan sifat-sifat NCC bergantung pada sumber selulosa. Dengan demikian, penelitian dan pengembangan NCC dari berbagai sumber masih sangat relevan (Silverio et al. 2013).
Metode yang paling umum digunakan untuk mengisolasi NCC dari selulosa adalah hidrolisis dengan asam. Waktu hidrolisis adalah salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan isolasi NCC, disamping konsentrasi asam dan suhu hidrolisis (Bondeson et al. 2006, Ioelovich 2012). Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh waktu hidrolisis optimum untuk isolasi NCC dari sumber yang murah dan ramah lingkungan, yaitu BC yang disintesis dengan menggunakan jus limbah kulit nanas sebagai media kultur. Optimasi lainnya, yaitu konsentrasi asam dan suhu hidrolisis, akan dipublikasikan dalam waktu dekat.
BAHAN DAN METODE Bahan
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk biosintesis BC diperoleh dari pemasok lokal dengan grade teknis, sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk mengkarakterisasi dibeli dari Sigma & Aldrich Chemical Co. dengan grade pro analisis. Gluconacetobacter xilinus diperoleh dari pemasok lokal. Limbah kulit nanas diperoleh dari perkebunan nanas di daerah Subang Jawa Barat Indonesia.
Metode
Limbah kulit nanas yang sudah bersih dibuat jus kemudian diencerkan dan disterilkan.
Keasaman diatur pada pH = 4,5 dengan menggunakan asam asetat glasial. Inokulum sebanyak 10% v/v ditambahkan ke dalam media kultur dan diinkubasi secara statis pada suhu kamar selama 14 hari (Moosavi-Nasab and Yousefi 2010). Nata yang diperoleh dicuci dalam air mendidih selama 15 menit kemudian direndam dalam larutan NaOH 1% w/v dan selanjutnya dibilas hingga netral. Nata dikeringkan dalam oven pada 70°C selama
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk 9 48 jam sehingga diperoleh film BC. Sebagian
film BC diblender untuk mendapatkan serbuk BC (Anwar et al. 2015).
Isolasi NCC meliputi proses hidrolisis dengan asam sulfat, sentrifugasi, dialisis, dan sonikasi. Proses optimasi dikarakterisasi dengan melihat kestabilan dispersi NCC, %-hasil NCC, dan diameter partikel NCC yang diukur dengan BECKMAN COULTER DelsaNano C particle analyzer. Optimasi dilakukan dengan variasi waktu hidrolisis (5 menit, 15 menit, 25 menit, 30 menit, 35 menit, 40 menit, dan 45 menit) pada konsentrasi asam sulfat 50 %volume, suhu hidrolisis 50°C, dan rasio asam-BC 50 mL/g.
Setelah proses hidrolisis, semua contoh dilakukan quenching dengan mengencerkannya sebanyak 10 kali dengan air deionisasi. Bagian cloudy dari dispersi selulosa dipisahkan dan disentrifugasi pada percepatan 4000 g selama 10 menit. Endapan selanjutnya didialisis dalam air deionisasi sampai dispersi NCC mencapai pH ~ 6 menggunakan CelluSep T4 Regenerated Cellulose Tubular Membrane MWCO12.000−
14.000. Untuk memperoleh serbuk NCC, dispersi NCC dilakukan freeze dried menggunakan OPERON Freeze Dryer Bench Top FDB-5003.
Spektrum FTIR serbuk BC dan NCC diperoleh dengan menggunakan alat PRESTIGE 21 SHIMADZU FTIR pada daerah frekuensi 4500−450 cm−1 dan digunakan untuk mengetahui adanya pergeseran gugus fungsi. Selain itu, studi FTIR dapat pula digunakan untuk menentukan derajat kristalinitas dalam selulosa dengan membandingkan puncak absorbansi tertentu (Salmen et al. 2005). Menurut Nelson and O’Connor (1964), rasio kristalinitas (Cr.R.) selulosa dapat diperoleh dengan membanding- kan puncak absorbansi pada sekitar 1372 cm−1 (A1372) dan sekitar 2900 cm−1 (A2900):
Cr.R. = A1372 / A2900 ... (1) Analisis SEM film kering BC dilakukan dengan menggunakan JEOL JSM−6510 yang dioperasikan pada 8 kV sampai dengan 10 kV.
Morfologi NCC diamati dengan Transmission Electron Microscope (TEM). Setetes dispersi NCC diendapkan pada grid mikroskop dan dibiarkan mengering untuk pengambilan citra TEM menggunakan JEOL JEM-1400.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Optimasi Waktu Hidrolisis untuk Isolasi Nanokristalin Selulosa (NCC)
Dari hasil optimasi waktu hidrolisis, terdapat empat variasi waktu yaitu 25 menit,
30 menit, 35 menit, dan 40 menit yang menghasilkan dispersi koloid yang stabil. Bila waktu hidrolisis kurang dari 25 menit, tidak terbentuk dispersi koloid yang stabil. Hal ini disebabkan karena proses hidrolisis tidak memadai sehingga penghilangan daerah amorf tidak tuntas dan ukuran partikel belum mencapai skala nano. Sedangkan apabila waktu hidrolisis diatas 40 menit, selulosa bakterial telah mengalami depolimerisasi hingga daerah kristalinnya. Waktu hidrolisis yang memberikan dispersi stabil dengan %-hasil terbanyak (62%) dan ukuran partikel terkecil (diameter rata-rata 41,6 nm) adalah 25 menit, pada suhu 50°C dan konsentrasi asam sulfat 50%. Ikhtisar hasil optimasi diperlihatkan pada Tabel 1. dan distribusi ukuran partikel pada berbagai waktu hidrolisis diperlihatkan pada Gambar 1.
Diameter yang dihasilkan dari pengukuran Particle Size Analyzer (PSA) adalah diameter hidrodinamika (dH) yaitu diameter bola pejal yang berdifusi pada kecepatan yang sama dengan partikel yang diukur. Menurut Shaw (2013), untuk partikel yang tidak berbentuk bola, PSA akan memberikan diameter bola yang mempunyai koefisien difusi translasi rata-rata sama dengan partikel yang diukur (Gambar 2).
Dengan demikian bagi partikel yang berbentuk jarum, pengukuran diameter partikel dengan PSA akan memberikan hasil yang cenderung lebih besar dari diameter sebenarnya. Akan tetapi, PSA memberikan informasi ukuran partikel pada sistem partikel yang ruah (bulk system). Ukuran partikel sebenarnya dapat diperoleh dari hasil analsis TEM.
Spektroskopi FTIR
Analisis FTIR memperlihatkan bahwa NCC dan BC-asal yang diperoleh melalui hidrolisis asam sulfat mempunyai spektrum yang hampir identik seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Puncak-puncak khas selulosa nampak pada spektrum FTIR BC-asal maupun NCC. Hal ini menunjukkan bahwa proses hidrolisis asam pada kondisi optimum tidak mengubah struktur selulosa. Sedikit pergeseran gugus fungsi terjadi pada puncak sekitar 2900 cm−1 (vibrasi regangan C-H) dan 1430 cm−1 (vibrasi tekuk −CH2−(C6)− simetris).
Peningkatan daerah kristalin ditegaskan oleh pergeseran puncak 2918 cm−1 ke 2897 cm−1 dengan intensitas yang lebih tinggi dan peningkatan intensitas pada “pita kristalinitas”
yaitu disekitar puncak 1430 cm−1 (Ciolacu et al.
2011).
Rasio kristalinitas BC-asal dan NCC yang diperoleh dari spektrum FTIR dengan menggunakan Persamaan (1) berturut-turut
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14 10 adalah 0,829 dan 0,965. Hal ini menunjukkan
bahwa NCC mempunyai derajat kristalinitas yang lebih tinggi daripada BC-asal.
Peningkatan derajat kristalinitas dalam NCC menunjukkan bahwa penghilangan daerah amorf pada BC-asal sebagian besar telah berhasil.
Morfologi Partikel NCC
Citra SEM (Gambar 4) memperlihatkan mikro-arsitektur dari mikrofibril BC dengan panjang masih dalam skala mikro dan diameter rata-rata 51 nanometer (Anwar et al. 2015).
Hasil analisis TEM terhadap NCC memberikan informasi mengenai morfologi dan ukuran partikel NCC sebenarnya. Citra TEM (Gambar 5) memperlihatkan morfologi NCC yang mempunyai struktur berbentuk jarum dengan panjang rata-rata 420 nm dan diameter rata-rata 34 nm. Diameter partikel sebenarnya yang diperoleh dari analisis TEM lebih kecil dibandingkan dengan hasil pengukuran PSA karena morfologi partikel berbentuk jarum seperti telah diprediksi sebelumnya.
Tabel 1. Optimasi waktu hidrolisis pada suhu 50°C dan konsentrasi asam sulfat 50%
Waktu hidrolisis (menit) Kestabilan dispersi %-hasil Diameter rata-rata (nm)
5 Mengendap - -
15 Mengendap - -
25 Stabil 62,0 41,6
30 Stabil 40,8 54,0
35 Stabil 52,8 67,9
40 Stabil 55,0 63,1
45 Terhidrolisis sempurna - -
Gambar 1. Distribusi ukuran partikel NCC hasil pengukuran dengan Particle Size Analyzer (PSA) pada waktu hidrolisis (a) 25 menit, (b) 30 menit, (c) 35 menit, dan (d) 40 menit
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk 11 Gambar 2. Diameter hidrodinamika untuk partikel berbentuk jarum akan terukur lebih besar daripada ukuran
sebenarnya
500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2500 3000 3500 4000 4500
1/cm 30
40 50 60 70 80 90 100
%T
3350.35 2920.23 2899.01 2858.51 1656.85 1635.64 1566.20 1548.84 1427.32 1369.46 1336.67 1319.31 1280.73 1242.16 1161.15 1112.93 1060.85 1033.85 669.30 617.22 559.36
Bc1
(a)
500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2500 3000 3500 4000 4500
1/cm 20
30 40 50 60 70 80 90 100
%T
3350.35 2897.08 1654.92 1637.56 1429.25 1373.32 1336.67 1280.73 1240.23 1163.08 1112.93 1058.92 1031.92 900.76 669.30 615.29 557.43 439.77
bm (b)
Gambar 3. Spektrum FTIR untuk (a) BC, (b) NCC keduanya memperlihatkan puncak-puncak serapan khas untuk selulosa. Pergeseran bilangan gelombang di sekitar 2900 cm−1 dan 1430 cm−1 menunjukkan bahwa NCC mempunyai derajat kristalinitas lebih tinggi daripada BC-asal
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14 12
(a) (b)
Gambar 4. Citra SEM memperlihatkan mikro arsitektur dari mikrofibril BC perbesaran (a) 10.000x dan (b) 30.000x. Mikrofibril BC mempunyai panjang dalam skala mikro dan diameter rata-rata 51 nanometer
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5. Citra TEM untuk NCC yang diperoleh pada waktu hidrolisis (a) 25 menit, (b) 30 menit, (c) 35 menit, dan (d) 40 menit. Morfologi NCC berbentuk jarum dengan panjang rata-rata 420 nm dan diameter rata-rata 34 nm.
Isolasi Nanokristalin Selulosa Bakterial …… Budiman Anwar dkk 13 KESIMPULAN
Penelitian pendahuluan ini difokuskan pada penentuan waktu optimum isolasi NCC dari sumber yang murah dan ramah lingkungan, yaitu BC yang disintesis dengan menggunakan jus limbah kulit nanas sebagai media kultur.
Waktu hidrolisis optimum diperoleh pada rentang 25 menit sampai dengan 40 menit pada 50°C dan konsentrasi asam sulfat 50%-v/v. Derajat kristalinitas NCC lebih tinggi daripada BC-asal.
Morfologi partikel NCC berbentuk jarum dengan panjang rata-rata 420 nm dan diameter rata-rata 34 nm. Penelitian selanjutnya yang perlu dilakukan adalah optimasi konsentrasi asam sulfat dan suhu hidrolisis serta karakterisasi sifat fisikokimia NCC yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Angles, M.N. and A. Dufresne. 2000. Plasticized Starch/Tunicin Whiskers Nano- composite. 1. Structural Analysis.
Macromolecules 33: 8344−8353 Anwar B, B. Bundjali, and I.M. Arcana. 2015.
Characteristics of Bacterial Cellulose Produced by Gluconacetobacter xylinus from Local Pineapple Peel Waste Juice. Manuscript submitted for publication in Journal of Polymers and Environment Number JOOE-D-15- 00386.
Bendahou, A., Y. Habibi, H. Kaddami, and A.
Dufresne. 2009. Physico-Chemical Characterization of Palm from Phoenix-L, Preparation of Cellulose Whiskers and Natural Rubber-Based Nanocomposites. Journal of Biobased Materials and Bioenergy 3: 81−90.
Bondenson, D., A. Mathew, and K. Oksman.
2006. Optimization of the Isolation of Nanocrystals from Microcrystalline Cellulose by Acid Hydrolysis. Cellulose 13: 171−180.
Brito B.S.L., F.V. Pereira, J.L Putaux, and B.
Jean. 2012. Preparation, Morphology and Structure of Cellulose Nanocrystals from Bamboo Fibers.
Cellulose 19: 1527−36.
Castro, C, R. Zuluaga, J.L. Putaux, G. Caro, I.
Mondragon, and P. Ganan. 2011.
Structural Characterization of Bacterial
Cellulose Produced by
Gluconacetobacter swingsii sp. from Colombian Agoindustrial Wastes.
Carbohydrate Polymers 84: 96−102.
Chang, C.P., I.C. Wang, K.J. Hung, and Y.S.
Perng. 2010. Preparation and
Characterization of Nanocrystalline Cellulose by Acid Hydrolysis of Cotton Linter. Taiwan Journal for Science 25(3): 251−64.
Ciolacu, D., F. Ciolacu, V.I. Popa. 2011.
Amorphous Cellulose-Structure and Characterization. Cellulose Chemistry and Technology 45(1-2): 13−21.
Fortunati, E., D. Puglia, M. Monti, L. Peponi, C.
Santulli, J.M. Kenny, and L. Torre.
2013. Extraction of Cellulose Nanocrystals from Phormium tenax Fibres. Journal of Polymers and Environment 21; 319−328.
Garcia de Rodriguez N.L., W. Thielemans, and A. Dufresne. 2006. Sisal Cellulose Whiskers Reinforced Polyvinyl acetate Nanocomposites. Cellulose 13:
261−270.
George, J., A.S. Bawa, and Siddaramaiah. 2010.
Synthesis and Characterization of Bacterial Cellulose Nanocrystals and their PVA Nanocomposites. Advanced Materials Research 123−125:
383−386.
Habibi, Y. and A. Dufresne. 2008. Highly Filled
Bionanocomposites from
Fungctionalized Polysaccharide Nanocrystals. Biomacromolecules 9:1974−1980.
Helbert, W., J.Y. Cavaille, andA. Dufresne. 1996.
Thermoplastic Nanocomposites Filled with Wheat Straw Cellulose Whiskers.
Part I: Processing and Mechanical Behavior. Polymer Composite 17:604−11.
Hirai, A., O. Inui, F. Horii, and M. Tsuji. 2009.
Phase Separation Behavior in Aqueous Suspensions of Bacterial Cellulose Nanocrystals Prepared by Sulfuric Acid Treatment. Langmuir 25(1):497−502.
Ioelovich, M. 2012. Optimal Conditions for Isolation of Nanocrystalline Cellulose Particles. Nanoscience and Nanotechnology 2(2):9−13.
Klemm, D., B. Heublein, H.P. Flink, and A. Bohn.
2005. Cellulose: Fascinating Biopolymer and Sustainable Raw Material. Angewandte Chemie International 44: 3358−3393.
Maddahy, N.K., O. Ramezani, and H.
Kermanian. 2012. Production of Nanocrystalline Cellulose from Sugarcane Bagasse. Dalam:
Proceedings of the 4th International Conference on Nanostructures (ICNS4), Kish Island, I. R. Iran: 87−89.
J. Kimia Kemasan, Vol.38 No.1 April 2016 : 7-14 14 Moosavi-Nasab, M. dan A.R. Yousefi. 2010.
Investigation of Physicochemical Properties of the Bacterial Cellulose Produced by Gluconacetobacter xylinus from Date Syrup. World Academy of Science, Engineering and Technology 44:1258−1263.
Nelson, M.L., and T. O’Connor. 1964. Relation of Certain Infrared Bands to Cellulose Crystallinity and Crystal Lattice Type.
Part II. A New Infrared Ratio for Estimation of Crystallinity in Cellulose I and II. Journal of Applied Polymer Science 8:1325−1341.
Sacui, I.A., R.C. Nieuwendaal, D.J. Burnett, S.J.
Stranick, M. Jorfi, C. Weder, E.J.
Foster, R.T. Olsson, and J.W. Gilman.
2014. Comparison of the Properties of Cellulose Nanocrystals and Cellulose Nanofibrils Isolated from Bacteria, Tunicate, and Wood Processed Using Acid, Enzymatic, and Oxidative Methods. ACS Applied Materials and Interfaces 6: 6127−6138.
Salmen, L., M. Akertholm, and B. Hinterstoisser.
2005. Two-Dimensional Fourier Transform Infrared Spectroscopy Applied to Cellulose and Paper. In:
Dumitriu S, editor. Structural Diversity and Functional Versatility. 1st ed. New York: Marcel Dekker; p. 159−189.
Shaw, R. 2013. Dynamic Light Scattering Training- Achieving Reliable
Nanoparticle Sizing.
www.atascientific.com.au. (Accessed October 10, 2013).
Sheltami, R.M., I. Abdullah, I. Ahmad, A.
Dufresne, and H. Kargarzadeh. 2012.
Extraction of Cellulose Nanocrystals from Mengkuang Leaves (Pandanus tectorius). Carbohydrate Polymers 88:772−779.
Silverio, H.A., W.P.F. Neto, N.O. Dantas, and D.
Pasquini. 2013. Extraction and Characterization of Cellulose Nanocrystals from Corncob for Application as Reinforcing Agent in Nanocomposites. Industrial Crops and Products 44:427−436.
Zaini, L.H., M. Jonoobi, P.M. Tahir, and S.
Karimi. 2013. Isolation and Characterization of Cellulose Whiskers from Kenaf (Hibiskus cannabinus L.) Bast Fibers. Journal of Biomaterialsand Nanobiotechnology 4:
37−44.
Zhang, Y.,X.B. Lu, C. Gao, W.J. Lv, and J.M.
Yao. 2012. Preparation and Characterization of Nano Crystalline Cellulose from Bamboo Fibers by Controlled Cellulose Hydrolysis.
Journal of Fiber Bioengineering and informatics.5(3):263−271.
Pengaruh metilen bisakrilamid (MBA)……Nuri Astrini dkk 15
PENGARUH METILEN BISAKRILAMID (MBA) PADA PEMBUATAN SUPERABSORBEN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA
TERHADAP SIFAT PENYERAPAN AIR
(THE EFFECT OF METHYLENE BISACRYLAMIDE (MBA) ON THE PRODUCTION OF CELLULOSE BASED SUPERABSORBENT HYDROGEL TOWARD WATER SORPTION
BEHAVIOUR)
Nuri Astrini, Lik Anah, dan Agus Haryono
Pusat Penelitian Kimia-LIPI, Bandung, Indonesia Jl. Cisitu / Sangkuriang, Komplek LIPI Bandung
E-mail: [email protected]
Received: 20 Januari 2016; revised: 13 Februari 2016: accepted: 21 Maret 2016
ABSTRAK
Sintesis superabsorben hidrogel CMC-g-PAA yang berikatan silang telah dibuat dengan kopolimerisasi cangkok (grafting) radikal bebas menggunakan karboksi metil selulosa, asam akrilat (AA), kalium persulfat (KPS) sebagai inisiator dan N, N’-metilen bisakrilamid (MBA) sebagai crosslinker. Pengaruh konsentrasi crosslinker terhadap asam akrilik (3,13 ; 3,75 dan 4,38 %w/w) telah dipelajari berdasarkan sifat mengembang (swelling properties).
Struktur kimia yang terjadi dianalisa menggunakan spektroskopi Fourier Trasform Infra-red (FTIR). Hasil dari spektrum FTIR memperlihatkan bahwa karboksi metil selulosa dalam polimerisasi cangkok bereaksi dengan asam akrilat. Pada jumlah crosslinker 3,75% w/w diperoleh kamampuan menyerap air (equilibrium swelling) maksimum 49,62 g/g dalam air distilat dan 20,42 g/g dalam larutan NaCl 0,9%.
Kata kunci : Karboksi metil selulosa, Superabsorben hidrogel, Asamakrilat (AA), N,N’-metilenbisakrilamid (MBA) ABSTRACT
Synthesis ofcrosslinked CMC-g-PAA super absorbent hydrogel was prepared by free radical graft copolymerization reaction using carboxy methyl cellulose (CMC), acrylicacid (AA), potassium persulfate (KPS) asinitiator and N,N'-methylene bisacrylamide(MBA) as acrosslinker. The effect of cross linker concentration on the water absorbency of polymer was carried out at various mass ratio (3.13 ; 3.75 and 4.38wt%) of MBA to acrylic acid. The superabsorbent hydrogel was characterized by Fourier Trasform Infrared spectroscopy (FTIR).
The results of FTIR spectrashowed –OH ofCMC participated in graft polymerization with acrylic acid. The superabsorbent hydrogel synthesizes under maximum synthesis condition with an crosslinker content of 3.75 wt% exhibited water-sorption of 49.62 g/g and 20.42 g/g in distilled water and 0.9% NaCl solution, respectively.
Key words : Carboxymethyl cellulose (CMC), Superabsorbent hydrogel, Acrylic acid (AA), N,N’-methylene bisacrylamide (MBA)
PENDAHULUAN
Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian dan pengembangan penggunaan bahan biomaterial sedang dilakukan secara intensif dalam berbagai bidang. Salah satu bahan biomaterial potensial yang akan dikembangkan adalah hidrogel. Hidrogel superabsorben merupakan makromolekul yang mempunyai jaringan ikatan silang dan dapat mengembang dalam air atau cairan biologis.
Telah diketahui bahwa kehadiran gugus
hidrofilik, fleksibilitas rantai polimer tinggi, serta ketersediaan volume bebas (free volume) yang besar antara rantai polimer, akan meningkatkan kapasitas pembengkakan hidrogel. Hidrogel yang terbuat dari polimer sintetik menunjukkan sifat penyerapan air yang sangat baik. Tetapi toksisitas dan karsinogenisitas monomer sisa dalam hidrogel ini mungkin akan menimbulkan masalah apabila digunakan sebagai pembawa obat dan produk konsumen, seperti popok.
J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016 : 15-20 16 Berdasarkan sifatnya yang dapat menyerap
air atau larutan, hidrogel juga dapat melepas- kannya secara terkendali maka hidrogel diaplikasikan pada bidang pertanian, kesehatan dan personal care (pembalut wanita dan popok bayi ) (Suo et al.2007; Li et al. 2007; Zhang et al.
2006; Peng et al. 2008). Secara umum material hidrogel superabsorben adalah polimer hidrofilik yang mempunyai ikatan silang, linier atau bercabang yang mempunyai kemampuan menyerap air atau larutan dalam jumlah yang besar. Bahan ini dapat dibentuk dari polimer yang dapat larut dalam air menggunakan radiasi atau crosslinker (Pourjavadi et al. 2007).
Salah satu metode untuk sintesa polimer ini adalah grafting secara kimia dengan monomer vinylic seperti akrilonitril, akrilamid dan asam akrilik pada polisakarida yang biodegradable dan murah seperti tepung (starch), kitosan dan selulosa dengan menggunakan berbagai sistem penginisiasian diikuti oleh crosslingking dengan crosslinker hidrofilik. (Hennink and Nostrum 2002; Zohuriaan-Mehr and Kourosh 2008).
Penggunaan renewable dan biodegradable polisakarida secara luas untuk menggantikan polimer dari petrokimia mempunyai keuntungan pada industri dan lingkungan. Polisakarida berikatan silang merupakan cara mudah untuk mendapatkan hidrogel superabsorben baru.
Selulosa adalah salah satu polisakarida bahan organik alami yang tersedia melimpah di dunia dan dapat digunakan untuk preparasi berbagai macam material baru. Turunan selulosa seperti karboksimetil selulosa (CMC) dengan gugus karboksimetil (-CH2-COOH) yang terikat ke beberapa gugus hidroksil dari monomer glukopiranosa yang bersenyawa dengan batang tubuh selulosa memiliki aplikasi potensial sebagai polimer fungsional yang ramah lingkungan karena bersifat dapat dibiodegradasi dan sumber terbarukan (Chen et al. 2008).
Berbagai macam metoda pembentukan ikatan silang telah digunakan untuk membuat hidrogel. Reaksi ikatan silang pada saat polimerisasi sangat penting untuk menghasilkan jejaring polimer (yang dapat menyerap air).
Pengikat silang yang digunakan dalam penelitian ini adalah N,N′-metilena bisakrilamida (MBA) yang bereaksi dengan gugus fungsi karboksil pada rantai polimer sehingga terbentuk jejaring polimer seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Kemampuan polimer dalam menyerap air sangat bergantung pada derajat ikat silang.
Asam Akrilat (AA) adalah salah satu jenis monomer hidrofilik yang merupakan bahan baku untuk pembuatan polimer poliasam akrilat
(PAA). Struktur kimia dari poliasam akrilat (PAA) memiliki unit gugus –COOH yang dapat diionisasi. Rantai polimer ini dapat diberi ikatan silang pada gugus –OH. Sesuai dengan kemajuan dalam pengembangan dibidang penelitian dan teknologi, maka pada beberapa tahun belakangan ini penelitian yang berkaitan dengan polimer asam akrilat (PAA) sedang dikembangkan secara intensif sebagai bahan dasar (base material) untuk bahan biomaterial baru.
Gambar 1. Proses ikatan silang poliasam akrilat (PAA) (Gamer 2000)
Hidrogel dengan kemampuan penyerapan yang tinggi diperlukan untuk memenuhi peningkatan performa dari hidrogel superabsorben. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk meningkatkan kondisi operasi sintesa sehingga diperoleh absorbensi air yang tinggi (high water absorbency). Pada penelitian ini, dipelajari tentang pengaruh jumlah crosslinker MBA pada proses pembuatan material baru hidrogel superabsorben berbasis biopolimer, melalui proses polimerisasi cangkok (graft) berikatan silang antara asam akrilik dan CMC terhadap sifat absorbansi air (water absorbency) dari hidrogel yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE Bahan
Monomer sintetis asam akrilat (AA), kalium persulfat (KPS) dan NaOH masing masing pro- analysis didapat dari E-Merck. N,N’-methylene bisacrylamide (MBA) dari Sigma-Aldrich. Polimer
Pengaruh metilen bisakrilamid (MBA)……Nuri Astrini dkk 17 alam karboksimetil selulosa (CMC) dan aseton
teknis didapat dari P.D.Bratacho.
Spektrofotometer Fourier Trans-form Infra-Red (FTIR) Shimadzu Prestige-21
.
Metode
Pembuatan Hidrogel CMC-g-PAA
Dalam reaktor gelas leher tiga volume 1 L yang dilengkapi dengan pengaduk mekanik dan kondensor, dimasukkan CMC 1,2 g (10 %w/w terhadap AA), kemudian dilarutkan dengan akuades dan di aduk hingga homogen pada suhu kamar. Larutan tetap diaduk dan dialiri gas N2 selama 30 menit dan dipanaskan dalam water bath pada suhu 60oC. Selanjutnya kedalam larutan dimasukkan inisiator KPS 2,5 %w/w yang sebelumnya telah dilarutkan dengan sejumlah aquades sebagai inisiasi polimerisasi cangkok (graft). Setelah pengadukan selama 30 menit kemudian dimasukkan 12 g AA yang dinetralkan dengan larutan NaOH 30 %w/v dan 3,13%; 3,75% dan 4,38 %w/w MBA.
Jumlah volume aquades dalam sistem diatur hingga level tertentu agar kecepatan pengadukan tetap. Setelah berjalan selama 5 jam reaksi dihentikan. Produk dikeluarkan dari reaktor dan dikeringkan pada suhu 40oC hingga agak kering, setelah itu dicuci dengan air beberapa kali sambil di adukan, terahir dibilas dengan aseton untuk menghilangkan sisa air.
Kemudian produk hidrogel diambil dengan cara disaring dan dikeringkan pada suhu 40oC hingga kering. Skema reaksi yang terjadi pada pencangkokan berikatan silang dari poliasam akrilat (PAA) ke karboksimetil selulosa (CMC) seperti terlihat pada Gambar 2.
Karakterisasi
Hidrogel yang dihasilkan dikarakterisasi, yaitu: pengujian swelling hidrogel SAP dalam air dan larutan NaCl.
Rasio swelling adalah ukuran kemampuan polimer dalam menyerap air, dan ini sangat menentukan aplikasi dari produk hidrogel SAP yang dihasilkan. Rasio swelling dilakukan dengan metode tea-bag (Zhoa et al. 2005). Nilon kering ditimbang terlebih dahulu (Wn). Timbang sampel sebanyak 0,1 gram dan dimasukkan dalam kantong kain nilon (Wo). Kemudian hidrogel kering direndam dalam aquades atau NaCl 0,9% hingga waktu tertentu pada suhu ruang dan dibiarkan diikat diudara selama 15 menit dan ditimbang kembali sebagai (Wt).
Selanjutnya hidrogel direndam kembali ke dalam air atau larutan dalam wadah yang sama untuk pengujian rasio swelling pada interval waktu tertentu hingga pada selang waktu 2 jam.
Gambar 2. Ilustrasi skema reaksi kopolimerisasi cangkok berikatan silang dari PAA ke CMC
Rasio swelling hidrogel hasil pengujian pada masing-masing waktu perendaman dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
(1) Selain itu, dilakukan pula uji Equilibrium Swelling (ES) yaitu rasio swelling dari hidrogel pada keadaan maksimum setelah hidrogel direndam selama 24 jam.
Analisis Spektroskopi Infra-merah (FTIR) Spektrum inframerah dari karboksimetil selulosa (CMC) sebelum dan sesudah proses grafting diuji menggunakan pelet KBr dengan alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra- Red (FTIR) Shimadzu Prestige-21 pada bilangan gelombang 4000 cm-1 hingga 500 cm-1, untuk mengetahui gugus fungsi yang terjadi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Swelling Hidrogel dalam Air
Rasio perbandingan berat hidrogel dalam keadaan menyerap air (swelling) terhadap berat keringnya atau rasio swelling merupakan salah satu parameter utama dari hidrogel khususnya untuk pengujian suatu bahan sebagai absorbent.
Fungsi lama waktu perendaman terhadap rasio swelling hidrogel dalam air distilat, hasil polimerisasi dengan variasi konsentrasi kroslingker MBA disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan ketiga sampel hidrogel CMC- g-PAA yang telah dibuat dengan berat 3,13 %w/w; 3,75 %w/w dan 4,38 %w/w MBA, menunjukkan banyaknya air yang dapat diserap
J. Kimia Kemasan, Vol. 38 No. 1 April 2016 : 15-20 18 (water uptake) oleh hidrogel meningkat tajam
dalam 20 menit pertama untuk semua sampel, kemudian konstan pada menit ke 60 untuk konsentrasi MBA 3,13 %w/w dan 4,38 %w/w.
Pada MBA 3,75 %w/w, swelling terus meningkat hingga menit ke 100 dan setelah itu terlihat konstan. Secara keseluruhan hingga peren- daman selama 2 jam, maka sampel hidrogel degan jumlah MBA 3,75 %w/w menunjukkan swelling tertinggi yaitu 46,87 g/g.
Pengaruh jumlah MBA terhadap maksimum rasio swelling (equilibrium swelling) hidrogel CMC-g-PAA ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai equilibrium swelling pada penggunaan 3,13 %w/w MBA mencapai equilibrium sebanyak 40 g/g. Penambahan 3,75 %w/w MBA mengakibat-kan kenaikan equilibrium swelling yaitu mencapai 49,6 g/g, dan pada penambahan MBA menjadi 4,38 %w/w terlihat penyerapan air kembali menurun, equilibrium swelling menjadi 42,7 g/g.
Fenomena ini terjadi akibat dari bertambahnya titik-titik crosslink selama polimerisasi yang menyebabkan jaringan juga bertambah dan hal ini yang membuat ruangan untuk tempat air yang masuk menjadi berkurang.
Fenomena tersebut sesuai dengan teori Flory’s network. Pengamatan serupa telah dilaporkan oleh peneliti yang lain. (Bajpai and Anjali 2003 and Xie and Wang 2009)
Swelling Hidrogel dalam Larutan NaCl 0,9%
Dalam aplikasiya selain penyerapan terhadap air distilat, maka ion-ion garam juga mempengaruhi daya serap dari hidrogel. Larutan garam NaCl merupakan salah satu jenis garam yang umumnya dipakai untuk pengujian kemampuan daya serap hidrogel terhadap air (swelling).
0 10 20 30 40 50
0 20 40 60 80 100 120
Waktu (menit)
Swelling Ratio (g/g)
MB A -3.13%
MB A -3.75%
MB A -4.38%
Gambar 3. Pengaruh jumlah MBA terhadap sifat penyerapan air hidrogel, kondisi reaksi:
suhu 60oC; rasio berat antara AA dan CMC =10:1; rasio berat KPS 2,5 %w/w.
0 10 20 30 40 50 60
MBA-3.13% MBA-3.75% MBA-4.38%
Equilibrium Swelling (g/g)
Gambar 4. Equilibrium swelling hidrogel terhadap sifat penyerapan air dengan variasi jumlah MBA
Pengaruh lama waktu perendaman dalam larutan NaCl 0,9% pada hidrogel CMC-g-PAA sebagai fungsi konsentrasi MBA disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Terlihat bahwa dengan meningkatnya MBA swelling ratio meningkat tajam dari 0 hingga 10 menit mencapai 29,59 g/g untuk konsentrasi MBA 3,13 %w/w, 21,57 g/g pada MBA 3,75 %w/w dan 22,74 g/g untuk MBA 4,38 %w/w. Setelah 10 menit, kecepatan mengembang semakin lambat dan kapasitas mengembang maksimum hidrogel meningkat hingga 50 menit. Dengan equilibrium swelling maksimum diperoleh dengan konsentrasi MBA 3,13 %w/w sebesar 20,81 g/g.
Jika dibandingkan dengan rasio swelling hidrogel dalam larutan NaCl terhadap rasio swelling dalam air distilat (Gambar 2 dan 3), terlihat bahwa rasio swelling hidrogel dalam NaCl relatif lebih kecil pada semua konsentrasi MBA.
0 5 10 15 20 25 30 35
0 20 40 60 80 100 120
Waktu (menit)
Swelling ratio g/g
MBA-3,13%
MBA-3,75%
MBA-4,38%
Gambar 5. Pengaruh jumlah MBA terhadap sifat penyerapan air hidrogel dalam larutan 0,9% NaCL, kondisi reaksi: suhu 60oC;
rasio berat antara AA dan CMC= 100:10;
rasio berat KPS 2,5%w/w.
Pengaruh metilen bisakrilamid (MBA)……Nuri Astrini dkk 19 18
18.5 19 19.5 20 20.5 21
MBA-3.13% MBA-3.75% MBA-4.38%
Dalam larutan 0,9% NaCL
Swelling ratio g/g
Gambar 6. Equilibrium swelling hidrogel terhadap penyerapan air dalam larutan 0,9%
NaCL dengan variasi jumlah MBA
Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan dari timbulnya tekanan osmosis akibat perbedaan konsentrasi ion-ion dalam media dan dalam kerangka jaringan hidrogel. Ion-ion yang terikat pada jaringan hidrogel bersifat tidak bergerak (immobile) yang dapat dianggap terpisah dari larutan luar dengan adanya membran semipermeable. Jika hidrogel direndam dalam air, maka akan terjadi tekanan osmosis
maksimum dan hidrogel akan mengembang.
Tetapi jika hidrogel direndam dalam larutan NaCl, maka akan terjadi tekanan osmosis yang sangat rendah dikarenakan adanya ion-ion Na+ dan Cl-. (Li, A. et al 2006)
Uji Gugus Fungsi dengan FTIR
Spektrum FTIR gugus fungsi hidrogel CMC-g-PAA yang dihasilkan dan dibandingkan dengan spektrum karboksimetil selulosa (CMC) disajikan pada Gambar 7. Gambar 7A memperlihatkan spektrum dari CMC, terlihat ada dua puncak serapan tajam pada bilangan gelombang 1563 cm-1 dan 1417 cm-1 yang disebabkan oleh regangan asimetrik dan simetrik dari gugus COO- . Puncak serapan spesifik dari CMC muncul pada bilangan gelombang 3207 cm-1 merupakan gugus OH.
Pada Gambar 7B yaitu spektrum CMC-g-PAA muncul puncak serapan baru pada bilangan gelombang 1645 cm-1 dan 1519 cm-1 dan intensitas spektrum secara keseluruhan mengecil setelah terbentuk hidrogel CMC-g- PAA. Hal ini mengindikasikan terjadinya reaksi antara gugus korboksilat dari CMC dan asam akrilat dalam jaringan hidrogel. (Suo. A.L et al 2007 dan Xie. L et al 2011)
Gambar 7. Spektrum FTIR (A). CMC dan (B). CMC-g-PAA
600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2400 2800 3200 3600
4000 1/cm
67.5 70 72.5 75 77.5 80 82.5 85 87.5 90 92.5 95 97.5 100
%T
R2 (KPS) CMC
CMC
1563
4000 3600 2800 2000 1600 1200 800 Bilangan gelombang cm-1
%T
1417 3207
(A) (B) 1645 1519