• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

5 A. Definisi dan Pengertian

Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi impuls pulsa listrik dan diteruskan ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran. Telinga merupakan organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga manusia menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi ke otak di mana bunyi tersebut akan dianalisa dan diintrepetasikan. (Saladin, 2014).

Secara anatomis, telinga manusia terdiri dari 3 bagian utama, yaitu telinga bagian luar, bagian tengah yang berisi udara dan bagian dalam yang berisi cairan.

Fungsi dari telinga bagian luar adalah untuk mengumpulkan suara, sedangkan bagian tengah untuk mengkonversi dan mengirimkan rangsangan suara ke telinga bagian dalam dimana reseptor sensorik (sel rambut) berada untuk merasakan suara (Primadona, 2012).

Pendengaran adalah persepsi energi suara oleh saraf. Sedangkan gelombang suara adalah getaran udara yang merambat dari daerah tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. (Sherwood L, 2010)

Awalnya gelombang suara akan dikumpulkan dan ditangkap oleh pinna, selanjutnya gelombang suara tersebut akan disalurkan melalui saluran yaitu meatus austikus eksternus ke bagian dalam sehingga menggetarkan membran timpani.

Gerakan bergetar dari membran timpani ini akan membuat tulang-tulang telinga yang berada pada telinga tengah yaitu osikulus (maleus, inkus, stapes) ikut bergetar sehingga getaran suara tadi dapat tersalurkan ke telinga bagian dalam yaitu tingkap oval. Getaran yang ada pada tingkap oval akan menggerakkan cairan yang ada pada perilimfa dan endolimfa. Cairan yang bergerak ini akan membuat bergetarnya sel-sel rambut yang ada pada organ corti. Jika rambut permukaan dari sel rambut berubah akibat gerakan cairan di telinga bagian dalam, maka akan terdapat sinyal- sinyal saraf dan akan berhubungan melalui suatu sinaps kimiawi dengan ujung serat-serat saraf aferen yang membentuk nervus auditorius. Gelombang suara akan

(2)

dapat diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang dapat diterima oleh otak pada telinga sehingga terjadi proses pendengaran yang sempurna. (Sherwood L, 2010)

Proses pendengaran timbul akibat getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang memiliki kecepatan dan volume yang berbeda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani bergetar, getaran-getaran tersebut diteruskan menuju inkus dan stapes melalui maleus yang berhubungan dengan membran tersebut (Amin, 2012).

Secara terminologi, gangguan pendengaran diartikan sebagai penurunan kemampuan untuk mendengar pada cakupan yang luas, tingkatannya dapat mulai dari gangguan pendengaran secara subyektif sampai tuli total. (Sarah Nabila, 2019), Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara sebagian ataupun keseluruhan untuk mendengarkan suara pada salah satu maupun kedua telinga (Susanto, 2010). Sulit mendengar mengacu pada orang dengan gangguan pendengaran mulai dari yang ringan sampai sangat berat. Orang yang sulit mendengar biasanya berkomunikasi melalui bahasa lisan serta dapat dibantu menggunakan alat bantu dengar, implant koklea, dan alat bantu lainnya. Seseorang yang mengalami gangguan dengar yang sangat berat dapat menggunakan koklea implant untuk hasil yang maksimal (WHO, 2019).

Gangguan pendengaran kongenital adalah gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir (Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012). Gangguan pendengaran kongenital merupakan gangguan pendengaran yang terjadi pada bayi disebabkan oleh faktor-faktor yang terjadi pada saat kehamilan maupun pada saat lahir (Steer, Bolton & Golding 2015).

Gangguan pendengaran pada bayi perlu dideteksi sedini mungkin, hal ini karena pentingnya peranan fungsi pendengaran pada proses perkembangan bicara anak. Ketika anak mengalami keterlambatan dalam diagnosis akan mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam memulai intervensi dan akan mengakibatkan dampak yang serius untuk perkembangan selanjutnya (Azwar, 2013).

B. Etiologi

Penyebab terjadinya gangguan pendengaran berdasarkan masa terjadinya gangguan dibagi menjadi 3 masa yaitu masa prenatal, natal, dan postnatal.

(3)

1. Masa prenatal a. Faktor genetik

Gangguan pendengaran karena pendengaran dapat memiliki etiologi yang berbeda-beda. Diperkirakan sekitar 1% dari setiap gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal atau merupakan kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan faktor lingkungan. Sekitar 50% dari kasus gangguan pendengaran merupakan kelainan pendengaran bentuk mutasi gen. Mutasi gen ini dapat diturunkan kepada keturunannya (Steer, Bolton & Golding, 2015).

b. Faktor non genetik 1) Infeksi

Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya kecacatan pada janin maupun bayi. Salah satu infeksi yang sering terjadi pada ibu hamil yaitu infeksi TORCH. Infeksi TORCH merupakan singkatan dari Toxoplasma, Other disease, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus yang merupakan kelompok

infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, virus Rubella, Cytomegalovirus (CMV), virus Herpes Simplex dan oleh

infeksi lain (other disease). Infeksi TORCH dapat menyebabkan 5- 10% keguguran dan kelainan kongenital pada janin meliputi gangguan pendengaran, retardasi mental serta kebutaan. (Zida Maulina, 2017).

Menurut Depkes RI (2017) Rubella termasuk dalam penyakit ringan pada anak, tetapi dapat memberikan dampak buruk apabila terjadi pada ibu hamil trimester pertama yaitu keguguran ataupun kecacatan pada bayi sering disebut Congenital Rubella Syndrom (CRS) seperti kelainan jantung dan mata, ketulian dan keterlambatan perkembangan. Sama seperti yang dikatakan Ratna Dewi (2019) janin dengan infeksi Rubella dapat mengalami kelainan kardiovaskuler, ketulian saat lahir, kelainan mata dapat berupa glaukoma. Virus dapat berdampak di semua organ dan menyebabkan berbagai kelainan

(4)

bawaan. Janin yang terinfeksi Rubella berisiko besar meninggal dalam kandungan, lahir prematur, abortus spontan dan mengalami malformasi sistem organ.

2) Obat-obatan

Beberapa jenis obat-obatan Ototoksik dan Vestibulotoksik seperti kanamycin, amikacin, tobramycin, eritromisin memiliki kecenderungan untuk menyebabkan kerusakan sel rambut koklea dalam, ditandai dengan tuli frekuensi tinggi. Efek merusak terutama ke koklea, sementara sistem vestibular biasanya terselamatkan dari kerusakan (Putu Setiani, 2017)

3) Gangguan struktur

Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Antara lain yaitu aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk), Dysplasia Mondini (pertumbuhan tidak normal pada koklea) dan atresia liang telinga (Mudd, 2012)

2. Masa natal a. Premature

Menurut Manuaba (2010), Persalinan prematur (preterm) adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan perkiraan berat janin kurang dari 2500 gram. Bayi yang lahir secara premature mempunyai fungsi tubuh yang masih belum baik, mulai dari system peredaran darah, pernapasan, dan juga kekebalan tubuh. Bayi premature akan mengalami gangguan dalam perkembangan dan

pertumbuhannya. Pada bayi prematur risiko gangguan pendengaran pun jadi lebih tinggi. Kurang lebih 5% bayi prematur yang lahir kurang dari 32 minggu masa kehamilan akan mengalami kehilangan pendengaran pada usia 5 tahun (Hendarto, 2009).

b. Berat Badan Lahir Rendah

Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction) (Pudjiadi, dkk., 2010). Bayi berat lahir rendah (BBLR)

(5)

disebut bayi beresiko tinggi dengan adanya patofisiologi yang menyertai, prognosis BBLR akan lebih buruk terutama pada periode awal setelah lahir dibandingkan dengan bayi normal. Berbagai masalah jangka panjang mungkin timbul antara lain gangguan perkembangan, gangguan pertumbuhan, retinopati, gangguan pendengaran, penyakit paru kronis, dan kelainan bawaan (Suwoyo, Antono & Triagusanik 2011).

c. Asfiksia

Asifiksia Neonatorium adalah keadaan dimana bayi tidak dapat

segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Ai yeyeh & Lia, 2013:249). Penyebab gangguan pendengaran pada asfiksia neonatal diduga karena adanya kerusakan sel otak akibat keadaan hipoksia dan iskemia sehingga distribusi oksigen ke berbagai jaringan menurun. Tingkat kerusakan sel sangat dipengaruhi lama dan derajat asfiksia (Gatot Irawan dkk, 2011)

3. Masa postnatal

Gangguan ini muncul setelah kelahiran. Gangguan dapat terjadi kapan saja akibat dari cedera maupun penyakit. Kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran pada anak yaitu infeksi telinga, obat ototoksik, meningitis, campak, radang otak, cacar air, penyakit gondok, cedera kepala, dan paparan bising (ASHA, 2015)

C. Prevalensi

Sejak tahun 1951, World Health Organization (WHO) melalui Resolusi World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia), telah menyadari bahwa gangguan pendengaran merupakan hambatan serius bagi tumbuh kembang anak. Data WHO tahun 2013 menyebutkan 360 juta orang atau 5,2% di seluruh dunia memiliki gangguan pendengaran. 328 juta (91%) diantaranya adalah orang dewasa (183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) adalah anak-anak Kondisi ini sebagian besar terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah termasuk Indonesia. Angka ini terus meningkat akibat akses ke pelayanan yang belum optimal. Lebih Lanjut WHO mengungkapkan, diperkirakan 20% orang dengan gangguan pendengaran membutuhkan alat bantu dengar. Sementara itu,

(6)

perkiraan produksi alat bantu pendengaran saat ini hanya memenuhi 10% dari kebutuhan global dan hanya memenuhi 3% dari kebutuhan di negara berkembang.

Menurut survei yang dilakukan oleh Multi Centre Study (MCS) lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami gangguan pendengaran dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat mencapai 78 juta pada tahun 2030. Kira - kira 6,5 juta anak di Amerika Serikat usia 6-19 tahun mengalami gangguan pendengaran.

Penderita gangguan pendengaran juga mengalami peningkatan di Rusia yang mencapai angka 13 juta penduduk (Ignatotva, 2015). Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 prevalensi gangguan pendengaran di Asia Tenggara adalah 156 juta orang atau 27% dari total populasi.

Prevalensi gangguan pendengaran pada usia 12-15 tahun sebesar 5%

menurut Canada Community Health Survey and the Participation and Activity Limitations Survey (Ferder, 2015). Menurut survei Multi Centre Study (MCS)

menunjukkan bahwa prevalensi dari gangguan pendengaran di Indonesia merupakan tertinggi keempat di Asia Tenggara setelah Sri Lanka, Myanmar, dan India (H Tjan, 2013).

Prevalensi ketulian di Indonesia menurut Riskesdas 2013, diperkirakan 11,5 juta kasus dengan penyebab penyakit telinga 18,5%, gangguan pendengaran 16,8%, dan tuli berat 0,4%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menunjukkan 2,6%

penduduk Indonesia berusia 5 tahun mengalami gangguan pendengaran; 0,09%

ketulian; 18,8% serumen prop (gumpalan kotoran pada telinga yang mengeras), dan 2,4% sekret (cairan) di liang telinga.

Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi gangguan pendengaran di berbagai provinsi di Indonesia, prevalensi gangguan pendengaran tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (3,7%), dan terendah di Banten (1,6%). Terdapat sembilan provinsi dengan prevalensi gangguan pendengaran yang lebih besar dari rata-rata nasional (2,6%). Prevalensi gangguan pendengaran di provinsi Jawa Timur yaitu 2,8%.

Sedangkan kasus gangguan pendengaran di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.

Ramelan Surabaya selama 1 tahun terakhir sebanyak 432 orang yang melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa 160 orang (37%) mengalami Profound Hearing Loss, 12 orang (2,8%) mengalami Severe Hearing

(7)

Loss, 12 orang (3%) mengalami Moderately Severe Hearing Loss, dan sisanya 247 orang (57,2%) tidak mengalami gangguan pendengaran (normal).

D. Karakteristik

1. Karakteristik Bahasa Dan Bicara

Menurut Stella Bunga dkk (2015), Mayberry (2002); Standley (2005) mengatakan gangguan pendengaran yang dimiliki anak menyebabkan anak mengalami defisit dalam perkembangan bahasa dan bicara. Hal tersebut karena tidak adanya stimulus yang masuk kedalam pendengaran anak.

Menurut ASHA (2013) dalam artikel Effect of Hearing Loss on Development menyatakan bahwa gangguan pendengaran menyebabkan

keterlambatan dalam pengembangan kemampuan komunikasi baik reseptif dan ekspresif (bahasa dan bicara).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ahsan R. (2016) diperoleh bahwa permasalahan rendahnya pemahaman terhadap bahasa tulis pada orang dengan gangguan pendengaran, tidak dapat dipisahkan dari permasalahan pemerolehan dan penguasaan bahasa pada orang dengan gangguan pendengaran, karena untuk dapat memahami bahasa tertulis seseorang harus memiliki pemahaman terhadap bahasa tersebut. Permasalahan tersebut akan mengakibatkan anak gangguan pendengaran mengalami kesulitan memahami makna kontekstual dari suatu kalimat atau teks, dan kesulitan menjawab pertanyaan dari suatu teks. Permasalahan makna bahasa pada tunarungu berakar pada proses pemerolehan bahasa sejak masa awal anak gangguan pendengaran berkembang mengenal bahasa.

Bahasa ekspresif akan mengalami gangguan, yaitu seseorang tersebut akan mengalami kesulitan berekspresi dimana seseorang dengan gangguan pendengaran mengalami gangguan dalam mendengar sehingga tidak dapat memahami apa yang dikatakan orang lain, serta sulit untuk menempakan kata untuk sama-sama membahasanya (Novan, 2014). Gangguan bahasa ekspresif tersebut akan mengakibatkan hambatan dalam perkembangan kognitif dan kesulitan berbicara secara lisan dalam berkomunikasi dengan orang lain (Cahaya, 2016)

(8)

Anak tunarungu memiliki hambatan dalam mendengar dan berbicara, hambatan itu mengakibatkan minimnya informasi yang diterima anak, khususnya bahasa (kosakata) yang dapat digunakan dalam interaksi sehari-hari yang menjadikan anak tunarungu mengalami kemiskinan perbendaharaan kata (kosakata). Kemiskinan kosakata ini menjadikan anak seringkali melakukan kesalahan dalam berbicara atau mengemukakan sesuatu serta menerima informasi, hal tersebut juga akan berpengaruh pada kemampuannya dalam membuat kalimat yang digunakan dalam proses komunikasi.

Ketidaksempurnaan penerimaan informasi menyebabkan anak tunarungu memperoleh informasi yang terpotong-potong (Baiq Adelia, 2016)

Menurut Lani Bunawan dan Yuwati dalam Hermanto (2011) beberapa kelemahan wicara anak gangguan pendengaran dengan tidak berfungsinya organ pendengaran dan bicaranya yang menjadi faktor utama gangguan tersebut, kemudian anak tidak mendapatkan perhatian untuk dilatih dan dibina dengan baik, maka akan ada kendala juga dari organ berbicara seperti tegangnya otot lidah, tegangnya pada mulut, lidah yang kaku akan sangat menghambat dalam proses berbicara pada anak tunarungu, yang mengakibatkan kesulitan dalam kecakapan membunyikan artikulasi atau kata untuk mengungkapkan. Sama halnya menurut Paul dan Norbury (2012) dalam buku Language Writing, and Communicating, Fourth Edition yang menyatakan bahwa karena pendengaran adalah cara utama dimana kita memperoleh bunyi ujaran bahasa, tidak heran bahwa individu dengan gangguan pendengaran mungkin memiliki gangguan artikulasi dan fonologis.

2. Karakteristik Intelegensi

Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati dalam Hapsari Puspa (2014) pada dasarnya perkembangan intelegensi anak gangguan pendengaran sama dengan anak pada umumnya ada yang tinggi, sedang, dan rendah, akan tetapi perkembangan intelegensi dipengaruhi dengan perkembangan bahasa.

Anak dengan gangguan pendengaran akan menampakan perkembangan intelegensi lebih rendah disebabkan karena kesulitan dalam memahami bahasa.

Prestasi anak dengan gangguan pendengaran rendah bukan dikarenakan dari

(9)

kemampuan intelektual yang rendah melainkan anak tunarungu tidak dapat mengembangkan inteligensinya secara maksimal.

3. Karakteristik Sosial

Seseorang dengan ganggan pendengaran akan mengalami keterasingan dilingkungannya. Hal tersebut akan menimbulkan efek-efek negative seperti egosentrisme melebihi anak normal, takut akan lingkungan yang luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian sukar dialihkan, umumnya memiliki sfat yang polos, sederhana, dan tampak tanpa masalah, akan lebih mudah marah dan tersinggung (Hapsari Puspa, 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Kasus Indonesia menunjukkan bahwa masa transisi demokrasi berjalan sangat lambat dan bahkan (mungkin) tidak akan pernah berujung pada demokrasi, sebab utamanya adalah perilaku

Dengan profitabilitas tinggi, maka dana internal perusahaan akan lebih tinggi dengan demikian komposisi struktur modal penggunaan modal sendiri lebih besar daripada penggunaan

Materi yang akan di bahas pada penelitian ini adalah melihat kesesuaian dari taman kota di Bandar Lampung untuk di sesuaikan dengan RPTRA sehingga peneliti dapat

Dari hasil pengujian dengan menggunakan perangkat lunak Matlab dengan beberapa faktor eksposi yang digunakan pada kaset CR A didapatkan nilai deviasi rata – rata antara 0,01%

Penurunan produksi jagung tahun 2010 (ARAM I) diperkirakan terjadi pada subround Mei-Agustus sebesar 51 ton (-13,53 persen) dan subround September-Desember diperkirakan turun

(2) Dalam ha1 ternak majir bukan karena kesalahan penggaduh dan ternak yang harus dipotong paksa, maka penggaduh wajib menyerahkan ternak tersebut kepada P3T L I ~ ~

Adanya pengaruh atau manfaat terhadap penurun hipertensi dimana kemungkinan hal ini disebabkan karena daun alpukat mengandung flavonoid, dari penelitian ini kandungan

yang siap dijual pada saat tanah tersebut selesai dikembangkan dengan menggunakan metode luas areal. Biaya pengembangan tanah, termasuk tanah yang digunakan sebagai jalan dan