• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian sampai saat ini, dan juga di masa yang akan datang,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian sampai saat ini, dan juga di masa yang akan datang,"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

I . PENDAHUL UAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Sektor pertanian sampai saat ini, dan juga di masa yang akan datang, akan tetap memegang peranan penting dalam perekonomian I ndonesia. Berbagai alasan mendasar mengapa sektor pertanian perlu mendapat perhatian, antara lain karena sektor pertanian merupakan produsen produk-produk primer utama seperti pangan, serat, kayu, dan lain-lain. Sektor pertanian juga merupakan penyerap tenaga kerja yang dominan, khususnya di perdesaan. Selain itu sektor pertanian sering dilekatkan dengan kemajuan suatu bangsa, karena sektor pertanian umumnya merupakan sektor ekonomi yang dominan di negara-negara sedang berkembang. T eori pertumbuhan ekonomipun sering mengacu kepada kondisi sistem ekonomi tradisional agraris sebagai titik awal bergeraknya suatu pertumbuhan ekonomi menuju sistem ekonomi industri modern.

Gambaran sektor pertanian di I ndonesia, tidak terlepas dari persoalan-persoalan kemiskinan, tekanan penduduk, tenaga kerja yang tidak terampil, dan penyempitan lahan usahatani, penurunan kualitas lahan. Resultan dari persoalan-persoalan tersebut menyebabkan keragaan sektor pertanian selalu tertinggal dibanding sektor non-pertanian. Kemiskinan penduduk menyebabkan kualitas sumberdaya manusia rendah dan kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi baru. Di sisi lain, tekanan jumlah penduduk dengan keterampilan rendah menyebabkan sektor pertanian menjadi terbebani dengan

(2)

tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja cenderung rendah, sehingga menimbulkan pengangguran tidak kentara (disguised unemployment). Jika halnya demikian, sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang dominan perlu diinterpretasikan secara hati-hati.

Mempelajari sektor pertanian di negara sedang berkembang seperti di I ndonesia, menyangkut karakteristik tiga aspek penting (Nakajima, 1986), yaitu (1) karaktersistik teknologi produksi pertanian, (2) karakteristik rumahtangga petani (farm household) sebagai satu unit ekonomi, dan (3) karakteristik produk-produk pertanian sebagai komoditas. Aspek rumahtangga petani merupakan aspek penting untuk dipelajari mengingat sebagian besar produk sektor pertanian di I ndonesia disumbang oleh kegiatan usahatani rumahtangga. Hasil sensus pertanian tahun 2003 (T abel 1) menunjukkan rumahtangga pertanian berjumlah lebih dari 24 juta unit, atau sekitar 47 persen dari total rumahtangga. Di perdesaan, persentase tersebut jauh lebih besar, yaitu lebih dari 70 persen rumahtangga merupakan rumahtangga pertanian (Lampiran 1).

Jumlah rumahtangga pertanian di I ndonesia dari hasil sensus ke hasil sensus berikutnya selalu menunjukkan peningkatan. Jumlah rumahtangga pertanian menurut Sensus Pertanian tahun 1983 sebanyak 19.5 juta. Jumlah ini meningkat menjadi 21.5 juta rumahtangga pada Sensus Pertanian tahun 1993. Pada T abel 1, hasil sensus pertanian tahun 2003, jumlah rumahtangga pertanian sudah lebih dari 24 juta, atau selama 10 tahun meningkat lebih dari 27 persen. Pada T abel 1 juga terlihat sebaran rumahtangga pertanian menurut

(3)

pulau. T ampaknya sejalan dengan distribusi jumlah penduduk, jumlah rumahtangga pertanian pun sebagian besar (54.6 persen) terkonsentrasi di Pulau Jawa. Rumahtangga pertanian yang ada sebagian besar merupakan rumahtangga pertanian tanaman pangan padi dan atau palawija. Rumahtangga tanaman pangan tersebut, terlihat juga terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Ketimpangan distribusi rumahtangga di I ndonesia berimplikasi kepada karakteristik usahatani itu sendiri. Konsekuensi dari ketimpangan distribusi tersebut misalnya terhadap penguasaan lahan usahatani per unit rumahtangga, persaingan penggunaan lahan pertanian dengan keperluan pemukiman dan industri non-pertanian, yang pada gilirannya akan berdampak kepada pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga.

T abel 1. Jumlah Unit Rumahtangga Di I ndonesia Menurut Jenis Usaha Pertanian Di

Pulau Jawa dan Di Luar Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian T ahun 2003

P.Jawa Luar P.Jawa Total

Jenis Usaha Pertanian

Unit Persen Unit Persen Unit Persen Padi 8457724 62.27 5312376 47.07 13770100 55.37 Palawija 6771722 49.86 4086536 36.21 10858258 43.66 Padi atau Palawija 10834342 79.77 7424516 65.78 18258858 73.42 Hortikultura 4747004 34.95 3710224 32.87 8457228 34.01 Perkebunan 1717092 12.64 5226071 46.31 6943163 27.92 Total Rumahtangga

Pertanian 13582578 100.00 11286097 100.00 24868675 100.00 Sumber: Badan Pusat Statistik (2004)

Pada T abel 2 diperlihatkan sebaran persentase jumlah rumahtangga menurut golongan luas lahan yang dikuasai menurut hasil sensus pertanian tahun 2003. Dapat diduga bahwa sebagian besar rumahtangga pertanian menguasai lahan pertanian relatif sempit. Persentase kumulatif pada T abel 2

(4)

terlihat jumlah rumahtangga dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 hektar sebanyak 55.6 persen. Di Pulau Jawa jumlah golongan rumahatangga tersebut lebih banyak yaitu 74.7 persen. Badan Pusat Statistik menamakan rumahtangga pertanian golongan ini sebagai “rumahtangga petani gurem”. Jumlah golongan rumahtangga ini cenderung meningkat jika dibandingkan dengan hasil sensus pertanian pada tahun 1983 dan tahun 1993. Menurut sensus pertanian tahun 1983 jumlah rumahtangga dengan penguasaan kurang dari 0.5 hektar sebanyak 40.8 persen, sedangkan menurut sensus pertanian tahun 1993 berjumlah 48.5 persen

Seperti telah disebutkan di atas, adanya konsentrasi distribusi rumahtangga di Pulau Jawa, menyebabkan luas lahan yang dikuasai rumahtangga di Pulau Jawa jauh lebih sempit dibanding di luar Pulau Jawa. Pada T abel 2 terlihat, rata-rata penguasaan lahan yang dikuasai rumahtangga di Pulau Jawa hanya sekitar sepertiga luas lahan rata-rata yang dikuasai rumahtangga di luar Pulau Jawa. Adanya tekanan jumlah penduduk dan adanya alih fungsi lahan pertanian untuk pemukiman dan industri non-pertanian, di masa mendatang luas penguasaan lahan rumahtangga pertanian di Pulau Jawa dipastikan akan semakin menyempit. T anpa adanya upaya perbaikan teknologi pertanian yang dapat mensubstitusi fungsi lahan, penyempitan penguasaan lahan pertanian oleh rumahtangga pertanian di Pulau Jawa akan identik dengan penurunan kinerja usahatani atau kinerja sektor pertanian di Pulau Jawa.

T abel 2. Persentase Jumlah Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Di Pulau Jawa dan Di

(5)

Luar Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian T ahun 2003

Luas Lahan Dikuasai (m2) P.Jawa

(%) Luar P.Jawa (%) Total (%)

< 1000 17.84 5.87 12.34 1000 - 4999 56.83 27.31 43.26 5000 - 9999 17.23 22.71 19.75 10000 - 19999 6.15 25.00 14.82 20000 - 29999 1.18 11.14 5.76 • 30000 0.76 7.97 4.07 Jumlah 100.00 100.00 100.00 Rata-rata Penguasaan Lahan (Ha/Unit) 0.458 1.382 0.883

Sumber: Badan Pusat Statistik (2004)

Semakin banyaknya usahatani berskala kecil dapat menimbulkan persoalan sosial ekonomi yang kompleks. Karakteristik rumahtangga pertanian seperti digambarkan di atas, akan berpengaruh pada aspek teknologi dan aspek produksi sektor pertanian. Dalam konteks pembangunan pertanian, persoalan ini akan menghambat berbagai bentuk upaya modernisasi usahatani. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan usahatani kecil cenderung resisten terhadap perubahan teknologi karena berbagai alasan, antara lain karena teknologi baru, di samping menjanjikan manfaat tambahan bagi petani, biasanya disertai dengan resiko kegagalan yang tinggi. Petani kecil akan cenderung memilih teknologi tradisional dengan resiko kegagalan rendah.

Selama lebih dari 50 tahun, pemerintah telah banyak melakukan berbagai program dan proyek guna meningkatkan produksi pertanian, khususnya produksi padi, dimana produsen utamanya adalah usahatani kecil seperti dijelaskan dimuka. Upaya pemerintah tersebut cukup berhasil meningkatkan produksi padi

(6)

nasional sehingga I ndonesia sempat menjadi negara swasembada beras. Peningkatan produksi padi dilakukan pemerintah sejak tahun 1965 dengan program Bimbingan Masal (Bimas). Program ini pada dasarnya merupakan program introduksi teknologi baru budidaya padi dengan memperkenalkan bibit unggul, pupuk, obat-obatan, perbaikan teknik penanaman. T eknologi ini dari waktu ke waktu terus diperbaiki, yaitu dengan diperkenalkannya program I ntensifikasi Khusus (I nsus) dan Supra I nsus. I ntroduksi teknologi ini didukung dengan infrastruktur, seperti pembangunan jaringan irigasi, lembaga-lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, lembaga perkreditan, dan lain-lain.

Dari sisi produksi, gambaran pertanian tanaman pangan dapat dilihat dari perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi dan palawija. Perkembangan luas panen dan produksi padi sawah selama tahun 1970-2003 (Lampiran 2) menunjukkan laju peningkatan yang relatif kecil. Demikian halnya dengan produktivitas padi sawah, selama lebih dari 30 tahun tidak banyak bergerak pada empat sampai lima ton per hektar. Walaupun tidak nyata, pada tahun 1998 bahkan terjadi penurunan. Penurunan produktivitas padi tersebut diduga disebabkan oleh penurunan penggunaan pupuk dan kualitas benih akibat krisis ekonomi. Di samping itu, pada tahun 1998 terjadi kekeringan sebagai dampak Elnino. Pada masa krisis ekonomi ini harga pupuk dan benih padi unggul di pasar bebas cenderung meningkat sehingga permintaan terhadap pupuk dan benih tersebut menurun. Namun penurunan penggunaan benih dan pupuk

(7)

tersebut juga disebabkan oleh menurunnya pendapatan riil petani yang menyebabkan daya beli petani menurun.

Gambaran yang sama juga terjadi pada padi ladang. Luas panen dan produktivitas padi ladang pada kurun waktu tahun 1970-2003 tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Produktivitas tanaman selama kurun waktu tersebut tidak banyak berubah, yaitu sekitar dua ton per hektar. Produktivitas ini hanya setengah dari produktivitas padi sawah.

Lambatnya peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah dan padi ladang diduga karena produktivitas padi telah mengalami kejenuhan. Penelitian Mulyana (1998) menunjukkan bahwa produktivitas padi sawah di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi ternyata tidak responsif terhadap peningkatan penggunaan pupuk. I ni menunjukkan bahwa produksi beras secara teknis telah mengalami kejenuhan sehingga peningkatan penggunaan pupuk tidak dapat meningkatkan produksi padi secara berarti. Peningkatan penggunaan pupuk lebih lanjut dikhawatirkan justru akan menurunkan produktivitas padi. Jika kondisi seperti ini terjadi maka peningkatan produksi padi hanya dapat ditempuh dengan penemuan teknologi baru berupa rekayasa benih atau perbaikan teknologi budidaya.

Lebih lanjut Mulyana (1998) menunjukkan bahwa perkembangan areal panen dan produktivitas padi sawah ternyata tidak elastis terhadap perubahan harga gabah dan harga pupuk. I ni menunjukkan bahwa instrumen kebijakan harga input dan output tidak efektif meningkatkan produksi padi. Namun areal

(8)

panen masih responsif terhadap perubahan curah hujan, target produksi, dan penyuluhan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa petani padi lebih responsif terhadap faktor-faktor fisik dan insentif teknologi dibanding insentif ekonomi.

Melambatnya laju peningkatan produksi dan produktivitas padi menyebabkan I ndonesia kembali sering melakukan impor beras. Data impor tahun 1996-2003 yang tercatat di Badan Pusat Statistik menunjukkan volume impor beras menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun 1996 volume impor beras hanya sekitar 200 ton. Pada tahun 2003 sudah mencapai 1.4 juta ton. Volume impor meningkat drastis sejak tahun 1998, yaitu mencapai 2.9 juta ton. Peningkatan tajam tersebut diduga karena krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 dan adanya musim kering yang relatif panjang pada tahun tersebut. Krisis ekonomi dan kekeringan telah menekan luas areal panen dan produksi padi.

Gambaran perkembangan produksi beberapa komoditas palawija penting juga dapat dilihat pada Lampiran 1. Perkembangannya menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan perkembangan padi sawah dan padi ladang. Selama tahun 1970-2003, perkembangan luas panen dan produksi menunjukkan peningkatan yang tidak berarti. Demikian halnya dengan produktivitas per hektar tanaman tersebut tidak banyak mengalami perubahan, bahkan kedelai sejak tahun 2000 terlihat menurun. Perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut dapat dipahami karena perhatian pemerintah terhadap komoditas ini masih minim. Program intensifikasi dan ekstensifikasi

(9)

memang telah dilakukan tetapi program ini tidak seintensif yang dilakukan pada tanaman padi. Kebijakan harga dasar, seperti pada jagung, pernah dilakukan, tetapi kebijakan ini tidak efektif karena harga jagung di pasar bebas selalu lebih tinggi dibanding harga dasar yang ditetapkan pemerintah.

Laju peningkatan produksi palawija yang tidak seimbang dengan peningkatan kebutuhan dalam negeri menyebabkan I ndonesia masih tergantung pada palawija impor, terutama jagung dan kedelai. Volume impor komoditi palawija, seperti jagung, kedelai, kacang tanah, selama kurun waktu 1996-2003 secara umum hampir tidak banyak mengalami perubahan, kecuali pada tahun awal setelah krisis ekonomi. Pada masa krisis ekonomi volume impor jenis palawija tersebut mengalami penurunan yang cukup drastis. Pada masa awal krisis ekonomi, perilaku impor palawija memang terlihat berlawanan dengan perilaku impor beras. Beras, sebagai bahan pangan pokok, pada masa awal krisis banyak mengandalkan impor, sedangkan palawija, yang umumnya merupakan bahan baku industri, pada masa awal krisis ekonomi justru menurun karena impor menjadi sangat mahal.

Dalam rangka mengatasi persoalan ketergantungan impor palawija, dan juga mulai pada beras, pemerintah akhir-akhir ini melakukan gerakan peningkatan produksi padi dan palawija yang dikenal dengan Gerakan Mandiri Padi, Kedele dan Jagung T ahun 2001 (Gema Palagung 2001). Dengan gerakan ini diharapkan akan terjadi peningkatan produksi padi dan palawija sehingga dapat menekan impor padi (beras), kedelai dan jagung. Secara operasional

(10)

gerakan ini menyangkut upaya peningkatan peranan kelompok tani, memperlancar pengadaan dan penyaluran sarana produksi dan permodalan, perbaikan teknologi, perbaikan kinerja penyuluh dan lembaga penyuluh, mengembangkan pola kemitraan di dalam pemasaran hasil, dan peningkatan mutu koordinasi antar instansi yang terkait. Khusus untuk beras, perkembangan impor yang cenderung meningkat akan mengganggu pihak petani produsen. Karena itu, khusus untuk beras, pemerintah telah mengintervensi dengan mengeluarkan kebijakan larangan impor sampai dengan waktu tertentu.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa perkembangan tanaman pangan selama ini masih belum mampu mengimbangi kebutuhan konsumsi dalam negeri. I ni menunjukkan bahwa perkembangan tanaman pangan selama ini masih belum memuaskan.

1.2. R umusan Masalah

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa produsen utama tanaman pangan ini adalah unit-unit rumahtangga pertanian yang berciri usahatani kecil, maka persoalan tanaman pangan pada dasarnya merupakan persoalan usahatani kecil. Pemahaman terhadap usahatani kecil sangat penting baik dari segi teoretikal maupun praktikal.

Dari segi teoritikal, usahatani kecil masih menyimpan banyak pertanyaan yang perlu dijawab berkaitan dengan pemahaman perilaku ekonomi rumahtangga pertanian yang berperan ganda, sebagai konsumen dan sebagai produsen. Penelitian empiris yang berkenaan dengan perilaku ekonomi tersebut

(11)

sudah banyak dilakukan, namun karena kekompleksan persoalan yang dihadapi pada rumahtangga pertanian, masih banyak tantangan yang harus diatasi terutama dalam hal memilih metode penelitian yang tepat.

Dari segi praktikal, pemahaman terhadap perilaku usahatani kecil sangat penting untuk mengantisipasi dampak suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkembangan produksi dan produktivitas tanaman pangan yang kurang menggembirakan menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah kebijakan pengaturan harga output tidak mampu memberi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi?. Apakah introduksi teknologi produksi yang selama ini dilakukan dalam berbagai paket intensifikasi tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman pangan?. Sejauh mana pengaturan harga pupuk menyebabkan disinsentif bagi petani?. Adakah instrumen kebijakan lain yang dapat menggerakan ekonomi petani?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani, karena keputusan produksi sebagian besar sektor tanaman pangan berada pada rumahtangga petani.

Perilaku ekonomi rumahtangga petani pada dasarnya merupakan perilaku rasional di dalam mengalokasikan sumberdaya rumahtangga untuk menghasilkan barang dan jasa, serta di dalam menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Perilaku rasional rumahtangga di dalam mengalokasikan sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi keputusan produksi, sedangkan perilaku rasional di dalam menggunakan barang dan jasa untuk

(12)

memenuhi kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi keputusan konsumsi. Baik keputusan produksi maupun keputusan konsumsi akan dapat dijelaskan secara rasional jika harga sumberdaya, barang, dan jasa diketahui dengan baik. I nformasi harga yang tepat adalah harga pasar yang dihasilkan dari struktur pasar persaingan sempurna.

Di negara sedang berkembang seperti I ndonesia, pasar yang dihadapi oleh rumahtangga petani umumnya tidak sempurna. Hal ini disebabkan oleh adanya biaya transaksi, tidak adanya pasar, informasi yang asimetrik, kekuatan monopoli dan monopsoni, intervensi pemerintah, dan lain-lain. Manakala asumsi pasar persaingan sempurna tidak dipenuhi, maka perilaku rasional rumahtangga petani akan menyimpang dari yang diharapkan. Oleh karena itu, di dalam memahami perilaku ekonomi rumahtangga petani asumsi pasar menjadi penting. Mengingat hal tersebut maka pertanyaan penting yang harus dijawab dalam penelitian ini bukan menguji apakah pasar yang dihadapi rumahtangga petani tidak sempurna, tetapi sejauh mana ketidak-sempurnaan pasar yang dihadapi mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga petani.

Kekeliruan dalam menempatkan asumsi pasar menyebabkan kekeliruan dalam memahami perilaku rumahtangga. Kekeliruan terjadi dalam mengantisipasi respons rumahtangga terhadap kebijakan. Asumsi pasar yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam besaran dan arah respons rumahtangga terhadap kebijakan. Demikian pentingnya asumsi pasar tersbut maka kondisi pasar yang dihadapi rumahtangga bukan hanya ditempatkan

(13)

sebagai asumsi, tetapi perlu ditempatkan menjadi bagian dari kerangka analisis perilaku ekonomi rumahtangga.

1.3. T ujuan dan Kegunaan Penelitian

Ketidaksempurnaan pasar yang menentukan perilaku ekonomi rumahtangga petani pada dasarnya bisa berasal dari berbagai sumber. Pada penelitian ini, ketidak-sempurnaan pasar akan dipelajari dari tenaga kerja dalam keluarga dan lahan usahatani. T enaga kerja dan lahan usahatani merupakan sumberdaya yang menjadi ciri utama pada rumahtangga petani, terutaman di sektor tanaman pangan. Berdasarkan argumentasi ini maka secara umum tujuan penelitian adalah untuk mempelajari perilaku ekonomi rumahtangga petani pada pasar persaingan tidak sempurna. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Menentukan harga bayangan tenaga kerja dan harga bayangan lahan sebagai penduga variabel harga input dalam model ekonomi rumahtangga petani dalam pasar persaingan tidak sempurna.

2. Membangun model ekonomi rumahtangga petani yang mengintegrasikan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan harga bayangan lahan dalam bentuk persamaan simultan..

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna.

4. Mengevaluasi efek perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna.

(14)

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian ekonomi rumahtangga petani. Pengetahuan empiris mengenai perilaku ekonomi di tingkat rumahtangga petani, merupakan masukan yang penting bagi para perumus dan pengambil kebijakan. Efektivitas suatu kebijakan di sektor pertanian akan diukur dengan pengaruhnya ditingkat rumahtangga atau petani sebagai kelompok sasaran

Kompleksitas persoalan di rumahtangga petani, dari segi metodologi merupakan tantangan yang menarik bagi para peneliti. Jenis kegiatan dan jenis komoditi yang diusahakan unit rumahtangga petani sangat beragam antar unit rumahtangga dan di dalam satu unit rumahtangga juga selalu terdapat lebih dari satu jenis komoditi. Rumahtangga petani juga tidak bisa dipandang hanya sebagai unit ekonomi yang mencari keuntungan, tetapi merupakan kompleksitas antara ciri rumahtangga dan ciri perusahaan. Kompleksitas rumahtangga tersebut merupakan tantangan dalam proses pengumpulan dan pengolahan data rumahtangga, serta merupakan tantangan bagi aplikasi atau pengujian teori ekonomi.

1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

1. Perilaku ekonomi rumahtangga pada penelitian ini didefinisikan sebagai hubungan struktural antara variabel-variabel ekonomi rumahtangga. Hubungan-hubungan struktural tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan matematik baik linear maupun non-linear.

2. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 2000. Karena itu, data tersebut tidak dirancang khusus untuk menjawab tujuan penelitian ini. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa model pada penelitian ini perlu disesuaikan dengan kondisi data sekunder

(15)

tersebut. Di samping itu, walaupun data PATANAS pada penelitian ini dikumpulkan dalam kaitan dengan analisis dampak krisis ekonomi, pada penelitian ini adanya dampak krisis ekonomi pada data tidak dibahas secara khusus.

3. Rumahtangga petani pada penelitian dinamakan rumahtangga petani tanaman pangan. Tanaman pangan yang dimaksud adalah tanaman padi, palawija, dan sayuran. Namun demikian, tidak berarti komoditi yang diusahakan petani hanya tanaman pangan. Selain tanaman pangan diusahakan juga komoditi non-tanaman pangan, termasuk ternak dan ikan. Seluruh komoditi non-tanaman pangan pada penelitian ini dikelompokkan menjadi satu variabel eksogen.

4. Data PATANAS yang tersedia mencakup enam provinsi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Pada penelitian ini, keenam provinsi tersebut diagregasi. Walaupun pada judul penelitian ini dicantumkan “beberapa provinsi”, di dalam analisis tidak dimaksudkan untuk diperbandingkan.

5. Pendugaan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita serta harga bayangan lahan diturunkan dari fungsi produksi translog. Variabel output fungsi produksi tersebut dinyatakan dalam nilai rupiah, yang merupakan penjumlahan nilai produksi tanaman pangan selama satu tahun tiap unit rumahtangga petani. Dari fungsi produksi yang sama diturunkan harga bayangan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita dan harga bayangan pupuk urea.

6. Model ekonomi rumahtangga yang dibangun pada penelitian ini menggunakan data agregat seluruh provinsi. Di samping itu, komoiditi yang dihasilkan rumahtangga petani juga diagregasi menjadi tanaman pangan dan produksi lainnya dinyatakan

(16)

dalam nilai rupiah. Oleh karena itu, perilaku ekonomi rumahtangga pada penelitian ini tidak menspesifikasi jenis komoditi tertentu.

7. Agregasi juga dilakukan pada harga produk tanaman pangan. Harga produk yang dimaksud pada penelitian ini adalah harga komposit produk tanaman pangan.

8. Secara teoritik, ketidak sempurnaan pasar dapat berarti struktural dapat juga berarti perilaku. Ketidak sempurnaan pasar struktural dipelajari dari jumlah pembeli dan penjual yang sering dikenal dengan pasar monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni. Pada penelitian ini, ketidak sempurnaan pasar dilihat dari perilaku rumahtangga dalam menghadapi pasar, baik pasar input maupun pasar output. 9. Perilaku ekonomi rumahtangga petani dipelajari secara parsial pada setiap persamaan

struktural yang dibangun, dan secara simultan pada simulasi model. Pengaruh ketidaksempurnaan pasar terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani dipelajari dengan membandingkan antara model separable dan model non-separable. Variabel perilaku ekonomi yang dipelajari mencakup variabel produksi dan variabel-variabel konsumsi rumahtangga.

(17)

Kekhususan dalam model ekonomi rumahtangga pertanian secara teoritis adalah

adanya hubungan antara keputusan produksi dengan keputusan konsumsi. Pada tataran empirik para peneliti mencoba membuktikan adanya hubungan tersebut dan mempelajari konsekuensi praktis hubungan tersebut. Apabila rumahtangga pertanian diperlakukan atau secara konseptual dipandang sama seperti ekonomi perusahaan yang bertujuan hanya memaksimumkan keuntungan, maka akan menghasilkan antisipasi respons rumahtangga yang keliru terhadap adanya perubahan faktor ekonomi, baik yang berubah karena kebijakan maupun berubah karena proses tertentu.

Ada dua terminologi penting yang sering digunakan dalam model-model penelitian ekonomi rumahtangga, yaitu model rekursif dan model non-rekursif. Istilah yang sama juga sering digunakan adalah model separable dan non-separable. Istilah rekursif dan non-rekursif pada model-model ekonomi rumahtangga sering tumpang tindih dengan istilah yang sama yang sering digunakan pada model ekonometrik persamaan simultan. Pengertian yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Oleh karena itu, pada bagian ini juga akan dikemukakan model-model yang secara khusus menamakan model persamaan simultan.

Pengertian model rekursif dan non-rekursif pada ekonomi rumahtangga mengacu kepada hubungan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Secara teoritik, kekhususan perilaku ekonomi rumahtangga adalah adanya hubungan simultan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Istilah rekursif menunjukkan hubungan simultan yang satu arah, dari produksi ke konsumsi, tetapi tidak terjadi sebaliknya. Non-rekursif menunjuk kepada lawan Non-rekursif, yaitu menunjukkan adanya hubungan simultan yang timbal balik antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi.

(18)

Model rekursif dan non-rekursif mengemuka karena adanya koreksi terhadap asumsi pasar input dan pasar output yang dihadapi rumahtangga. Model-model ekonomi yang disebut rekursif didasarkan pada asumsi adanya pasar bersaing sempurna pada pasar input dan pasar output. Mengingat asumsi ini sangat membatasi, maka timbul usaha untuk melonggarkan asumsi pasar bersaing sempurna ini ke asumsi yang lebih realistis, yaitu adanya ketidaksempurnaan pasar yang dihadapi oleh rumahtangga. Kondisi ini merupakan gejala umum yang terjadi di negara-negara sedang berkembang.

Adanya asumsi ketidaksempurnaan pasar, sekaligus mengoreksi hubungan simultan satu arah antara produksi dan konsumsi menjadi hubungan simultan timbal balik. Dari segi metodologi, hubungan timbal balik ini menimbulkan tantangan baru bagi peneliti.

Model persamaan simultan merupakan model ekonomi rumahtangga yang lebih menekankan pada pemodelan hubungan antar variabel ekonomi rumahtangga. Model ini dikelompokkan tersendiri karena walaupun menggunakan istilah simultan tidak berarti identik dengan model non-rekursif seperti yang dijelaskan di atas. Model-model ini tidak bertujuan mengoreksi asumsi pasar bersaing sempurna yang digunakan oleh model rekursif. Oleh karena itu, bisa terjadi walaupun menggunakan persamaan simultan tetapi menggunakan asumsi pasar bersaing sempurna. Secara teoritik, hubungan keputusan produksi dan konsumsi pada kasus seperti ini sebenarnya masih rekursif.

(19)

Walaupun secara teoritik ekonomi rumahtangga pertanian digambarkan sebagai unit ekonomi yang kompleks, model-model penelitian ekonomi rumahtangga pertanian banyak yang menggunakan persamaan tunggal tanpa menghilangkan sifat khusus ekonomi rumahtangga. Semakin kompleks hubungan antar variebel yang ingin dipelajari, model persamaan tunggal akan memerlukan metode pendugaan yang semakin rumit.

Penelitian ekonomi rumahtangga yang tergolong awal dilakukan oleh Reuben Gronau (1977) yang mempelajari alokasi waktu rumahtangga antara waktu santai, serta kegiatan produksi di dalam dan di luar rumah menggunakan persamaan tunggal. Dengan menggunakan asumsi terjadi substitusi sempurna dalam mengalokasikan waktu tersebut, penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi waktu (wanita bersuami) dipengaruhi oleh, umur, pendidikan, upah suami, karakteristik anak, dan karakteristik rumahtangga lainnya. Kenaikan upah suami, misalnya, meningkatkan waktu santai istri dan menurunkan waktu kerja istri. Bagi istri yang tidak bekerja, pendidikan berpengaruh negatif, sebaliknya untuk istri yang bekerja berpengaruh positif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan persamaan tunggal, pada batas tertentu, masih dapat menjelaskan perilaku rumahtangga.

Strauss (1984) meneliti surplus pasar (marketed surplus) komoditi pangan pada rumahtangga pertanian di Siera Leone, Afrika Barat. Surplus pasar di dalam penelitian Strauss ini didefinisikan sebagai bagian produk atau tenaga kerja yang dijual ke pasar setelah dikurangi konsumsi rumahtangga. Hasil penelitian ini berhasil menunjukkan elastisitas surplus pasar menurut kelompok pengeluaran rumahtangga. Surplus pasar di semua strata pengeluaran menunjukkan elastisitas positif terhadap harga sendiri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa karakteristik rumahtanggga dan pilihan teknologi

(20)

produksi menyebabkan perbedaan surplus pasar dengan arah yang tidak selalu terduga. Perilaku seperti ini menjadi ciri khas perilaku rasional rumahtangga.

Model Gronau (1977) dan Strauss (1984) di atas menempatkan variabel harga atau upah sebagai variabel eksogen dan mengasumsikan adanya substitusi sempurna dalam mengalokasikan waktu. Oleh karena itu, model tersebut bersifat rekursif atau separable. Analisis statis komparatif, seperti mengukur elastisitas surplus pasar pada model Strauss (1984) tidak dapat diduga secara langsung. Elastisitas surplus pasar dicari dengan memanfaatkan parameter dugaan dari fungsi produksi dan fungsi permintaan. Pendekatan ini hanya bisa dilakukan jika menggunakan model rekursif atau separable.

Pendekatan seperti ini juga dilakukan untuk model ekonomi rumahtangga yang lebih kompleks seperti yang dilakukan Sawit (1993). Sawit membangun model ekonomi rumahtangga untuk petani di Jawa Barat. Model dibangun menggunakan dua komoditas, yaitu padi dan palawija sebagai produksi komposit. Model ini menekankan bahwa ekonomi rumahtangga bisa dibangun menggunakan pendekatan multi input dan multi output. Model ekonomi rumahtangga yang dibangun termasuk model rekursif. Oleh karena itu, sisi produksi dan sisi konsumsi bisa diduga dengan model terpisah. Pada sisi produksi didekati dengan fungsi keuntungan, sedangkan sisi konsumsi didekati dengan AIDS (Almost Ideal Demand System). Keduanya diselesaikan dengan menggunakan model SUR. Dengan memanfaatkan parameter-parameter dugaan yang diperoleh, Sawit dapat menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga dengan baik, bahkan dapat membandingkan dengan pendekatan konvensional, di mana sisi produksi dan sisi konsumsi dianalisis secara terpisah. Hasilnya menunjukkan bahwa pendekatan ekonomi rumahtangga multi input dan multi output, jika dibandingkan dengan pendekatan

(21)

konvensional, memang menghasilkan parameter dugaan yang berbeda dalam besaran dan tanda. Adanya perbedaan tersebut tentunya mempunyai implikasi yang sangat penting bagi para penentu kebijakan.

Contoh model rekursif lain yang dilakukan sebelum Sawit di Indonesia adalah penelitian J. Brian Hardaker dan kawan-kawan (Hardaker et al. 1985). Sisi produksi diduga dengan fungsi produksi Cobb-Douglas, sedangkan sisi konsumsi diduga dengan sistem pengeluaran linear. Pendekatan yang dilakukan pada dasarnya merupakan modifikasi dari pendekatan Barnum dan Squire (1979). Data yang digunakan adalah data rumahtangga petani padi di Desa Cibuyur, Jawa Barat.

2.2. Model Persamaan Simultan

Terlepas dari persoalan rekursivitas di atas, beberapa penelitian ekonomi rumahtangga menggunakan model persamaan simultan. Model-model yang dikembangkan umumnya bertujuan untuk menangkap kompleksitas interaksi antar berbagai variabel ekonomi rumahtangga. Variabel-variabel penting ekonomi rumahtangga seperti teknologi produksi usahatani, harga input, harga output, dan konsumsi barang, jasa dan waktu, pada model persamaan simultan dapat diformulasikan dalam satu sistem persamaan simultan. Gagasan menggunakan model persamaan simultan pada model ekonomi rumahtangga tampaknya dimulai oleh Bagi dan Singh (1974). Dikatakan demikian karena tulisan Bagi dan Singh tersebut belum diuji secara empirik. Hal yang ingin disampaikan adalah bahwa kompleksitas persoalan pada ekonomi rumahtangga bisa dijelaskan dengan model persamaan simultan, tanpa meninggalkan kerangka teori yang melandasinya. Model ekonomi rumahtangga

(22)

menggunakan persamaan simultan linear mulai diuji secara empirik oleh Evenson (1976), walaupun penelitian ini tidak mengacu kepada gagasan Bagi dan Singh.

Model ekonomi rumahtangga menggunakan persamaan simultan berkembang pesat dengan topik kajian yang beragam. Pradhan dan Quilkey (1985), misalnya menggunakan model sejenis ini untuk mempelajari perilaku rumahtangga petani padi dalam mengadopsi tekonologi baru. Perilaku rumahtangga petani dianalisis dengan menggunakan simulasi model. Penggunaan persamaan simultan untuk persoalan adopsi teknologi baru juga dilakukan oleh Basit (1995). Basit mempelajari perilaku petani dalam mengadopsi teknologi konservasi lahan kering berlereng. Namun pada penelitian ini, adopsi teknologi diduga secara terpisah menggunakan fungsi persamaan tunggal. Mungkin karena variabel adopsi teknologi konservasi pada penelitian ini berupa variabel kualitatif, sehingga pada saat itu sulit diintegrasikan dalam sistem persamaan simultan yang ada. Perkembangan perangkat lunak komputer saat ini ada yang memungkinkan model persamaan simultan menggunakan variabel kualitatif sebagai variabel endogen. Contoh model ekonomi rumahtangga seperti ini dapat dilihat pada Kimhi dan Lee (1996). Sistem persamaan simultan yang dibangun menggunakan data katagorikal sebagai variabel endogen, yaitu katagori anggota rumahtangga dalam mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam dan di luar usahatani.

Penggunaan model persamaan simultan untuk kasus-kasus rumahtangga di Indonesia juga sudah banyak dilakukan. Beberapa model persamaan simultan yang dibangun umumnya menjelaskan perilaku rumahtangga secara umum, sehingga sistem persamaan yang dibangun mengandung sejumlah kemiripan, yaitu sejumlah persamaan terkait dengan kegiatan produksi usahatani, penggunaan tenaga kerja keluarga dan luar

(23)

keluarga, pendapatan usahatani, pendapatan luar usahatani, dan sejumlah persamaan tentang konsumsi dan tabungan. Perbedaan khusus terletak pada kelompok rumahtangga yang dianalisis, misalnya strata manajemen dalam agroindustri (Idris, 1999), yaitu lower management dan personal operasi. Muhammad (2002) membedakan rumahtangga nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan pandega. Penelitian sejenis ini juga dilakukan oleh Rosalinda (2004), Faradesi (2004), tetapi tidak ada disagregasi rumahtangga.

Topik penelitian tertentu yang menjadi pokok pembahasan, jika menggunakan model persamaan simultan seringkali hanya dimunculkan dalam satu atau dua persamaan struktural atau identitas. Persamaan lainnya merupakan persamaan standar yang biasa muncul dalam model ekonomi rumahtangga. Perhatikan kembali misalnya model yang digunakan oleh Pradhan dan Quilkey (1985) yang mengkaji adopsi teknologi baru oleh petani. Persamaan yang menjelaskan adopsi teknologi cukup satu persamaan. Namun demikian, melalui simulasi pengaruh simultan seluruh variabel terhadap adopsi teknologi dapat dipelajari. Demikian juga dengan Hardono (2002) yang meneliti ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan diwakili oleh satu persamaan struktural pengeluaran pangan dan kecukupan energi. Analisis lebih lanjut mengandalkan hasil simulasi kebijakan.

Sejenis dengan Pradhan dan Quilkey, model persamaan simultan pada ekonomi rumahtangga bisa juga bertopik komoditi tertentu, seperti yang dilakukan Dirgantoro (2001). Atau bisa juga memunculkan lebih dari satu komoditi seperti pada Pakasi (1998). Pada model seperti ini, interaksi antar komoditi akan lebih jelas pada saat dilakukan simulasi. Jumlah produk yang dinyatakan secara spesifik dalam suatu persamaan

(24)

biasanya ditentukan oleh ketersediaan data komoditi yang bersangkutan. Pada usahatani daerah tropis, rumahtangga pertanian akan cenderung multi komoditi.

Muslim (2003) membangun model persamaan simultan untuk ekonomi rumahtangga menggunakan data panel Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Data sekunder ini cukup baik untuk membangun persamaan simultan model ekonomi rumahtangga. Di samping itu, adanya panel data yang cukup lengkap, Muslim berkesempatan untuk menguji perilaku ekonomi rumahtangga petani dan buruh tani dalam kondisi krisis ekonomi dibandingkan dengan sebelum krisis ekonomi. Sayangnya model yang dikembangkan tidak banyak mengandung variabel kebijakan yang dapat dijadikan bahan dalam analisis simulasi. Oleh karenanya, penelitian Muslim (2003) tidak melakukan simulasi model.

Penggunaan model persamaan simultan pada ekonomi rumahtangga memungkinkan untuk menganalisis dampak variabel makro terhadap perilaku ekonomi rumahtangga (mikro). Faradesi (2004), sebagai contoh, menganalisis dampak pasar bebas terhadap perilaku ekonomi petani padi. Analisis ini dimungkinkan melalui simulasi, yaitu melihat perubahan perilaku ekonomi yang terjadi dengan melakukan perubahan-perubahan pada variabel yang dianggap sebagai indikator krisis ekononomi, seperti penurunan harga gabah, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah, dan peningkatan harga input usahatani lainnya.

Penggunaan model persamaan simultan pada penelitian ekonomi rumahtangga, memungkinkan adanya keterkaitan berbagai perilaku ekonomi rumahtangga. Namun demikian, pada model seperti ini masih memperlakukan harga, harga input dan harga produk, sebagai variabel eksogen. Dengan demikian, sisi konsumsi dan sisi produksi,

(25)

sebenarnya masih terpisah (separable), artinya model yang dibangun seperti ini secara teoritik termasuk rekursif.

2.3. Model Non-rekursif

Perkembangan lebih lanjut mengenai ekonomi rumahtangga tampaknya mengarah kepada upaya mengoreksi beberapa keterbatasan model ekonomi rumahtangga rekursif. Model non-rekursif pada dasarnya mencoba memasukkan peubah harga input menjadi peubah endogen. Oleh karena itu, harga input tidak diukur dengan harga pasar, karena pada model ekonomi rumahtangga, harga pasar merupakan peubah eksogen. Harga input diukur dengan harga implisit, misalnya dengan nilai produk marjinal. Beberapa contoh studi empiris yang menggunakan pendekatan harga implisit atau harga bayangan antara lain adalah Lambert dan Magnac (1994), Skoufias (1994), Sadoulet, de Janvry dan Benyamin (1996), Sonoda dan Maruyama (1999), dan Lopez (1986). Berikut ini disajikan uraian singkat hasil empiris yang mereka peroleh.

Lambert dan Magnac (1994) mencoba mengestimasi harga bayangan tenaga kerja keluarga pertanian di Ivory Coast. Harga implisit diduga dengan menggunakan bentuk umum fungsi produksi Leontief. Hasil penting dari studi ini adalah bahwa penggunaan harga implisit untuk tenaga kerja keluarga menghasilkan respons tenaga kerja lebih baik jika digunakan di negara sedang berkembang.

Skoufias (1994), menggunakan model ekonomi rumahtangga non-rekursif untuk menduga penawaran tenaga kerja rumahtangga pertanian di India. Skoufias mengajukan argumentasi perlunya pendekatan non-rekursif pada model ekonomi rumahtangga karena tidak semua tenaga kerja rumahtangga mempunyai kesempatan bekerja di luar usahatani.

(26)

Oleh karena itu, opportunity cost tenaga kerja keluarga tidak bisa diukur dengan upah yang berlaku di pasar. Opportunity cost tenaga kerja diukur dengan produktivitas tenaga kerja di usahatani. Hasil empirik menunjukkan bahwa penawaran tenaga kerja keluarga, yang disagregasi menurut gender dan status pernikahan, secara nyata responsif terhadap berbagai variabel ekonomi. Skoufias juga menjelaskan bahwa rekursif non-rekursif menghasilkan perbedaan parameter dugaan dalam tanda dan besaran. Temuan ini menunjukkan bahwa asumsi model rekursif dan non-rekursif harus dinyatakan secara tegas.

Perhatian para peneliti terhadap model ekonomi rumahtangga non-separable terus berlanjut dengan metode pendugaan yang terus diperbaiki. Pendekatan yang hampir sama dengan Skoufias dilakukan oleh Barrett et al. (2005). Barrett dan kawan-kawan menggunakan harga bayangan tenaga kerja untuk menduga fungsi penawaran tenaga kerja dalam keluarga petani padi di Côte d’Ivoire, Afrika. Fungsi penawaran tenaga kerja diduga dengan nilai produktivitas marjinal tenaga kerja dan harga bayangan tenaga kerja, yang merupakan nilai produktivitas marjinal tenaga kerja yang diboboti dengan indeks efisiensi alokatif. Fungsi penawaran tenaga kerja menggunakan nilai produktivitas marjinal tenaga kerja menghasilkan tanda negatif. Diterjemahkan sebagai gejala backward bending supply tenaga kerja keluarga. Nilai produktivitas marjinal tenaga kerja diduga dengan fungsi produksi frontier. Kajian ini dilakukan mengestimasi harga bayangan tenaga kerja keluarga digunakan untuk menduga penawaran tenaga kerja. MRPL (marginal revenue product of labor) digunakan juga sebagai indikator inefisiensi alokatif dibandingkan dengan tingkat upah yang berlaku. Nilai produktivitas marjinal tenaga kerja diduga dengan fungsi produksi frontier. Pendugaan fungsi penawaran tenaga

(27)

kerja dengan nilai produktivitas marjinal bertanda negatif, diterjemahkan sebagai gejala backward banding supply. Namun Barrett et al. (2005) tidak berhenti sampai pada fungsi ini, tetapi mencoba mengoreksi nilai produktivitas marjinal tenaga kerja dengan indeks efisiensi alokatif. Harga bayangan yang terkoreksi dengan indeks efisiensi alokatif menghasilkan fungsi penawaran bersudut positif terhadap harga bayangan tersebut.

Sejalan dengan model ekonomi rumahtangga Skoufias (1994) dan Barrett et al. (2005), Sadoulet, de Janvry dan Benyamin (1996), mempelajari perilaku rumahtangga pada ketidaksempurnaan pasar tenaga kerja. Adanya biaya transaksi dalam memperoleh tenaga kerja menyebabkan ada perbedaan antara upah yang diterima dengan upah yang harus dibayarkan. Konsekuensi dari adanya diferensiasi upah tersebut, menyebabkan rumahtangga pertanian terkelompok menurut pasar tenaga kerja, rumahtangga pertanian yang menjual tenaga kerja, rumahtangga pertanian yang menyewa tenaga kerja, dan rumahtangga pertanian yang swasembada tenaga kerja. Konsekuensi lebih jauh dari pengelompokkan ini adalah pada konstruksi model ekonomi rumahtangga. Adanya rumahtangga pertanian yang tidak menjual tenaga kerjanya, menyebabkan opportunity cost tenaga kerja tersebut tidak dapat diukur dengan tingkat upah yang berlaku di pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, diperlukan model non-rekursif, di mana opportunity cost tenaga kerja keluarga diukur dengan tingkat upah internal (internal wage), yaitu harga bayangan tenaga kerja keluarga. Sadoulet dan kawan-kawan menggunakan model tersebut untuk mempelajari perilaku rumahtangga pertanian di Meksiko dalam mengalokasikan tenaga kerjanya. Pilihan model non-rekursif tidak semata didasarkan pada asumsi, tetapi dipilih melalui uji statistik. Uji statistik menunjukkan bahwa bagi rumahtangga yang swasembada tenaga kerja, model yang digunakan non-rekursif,

(28)

sedangkan rumahtangga yang menyewa atau menjual tenaga kerja, model rekursif. Hasil empirik Sadoulet dan kawan-kawan menunjukkan bahwa keputusan mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga pertanian ditentukan oleh banyak faktor, antara lain, posisi aset usahatani, keterampilan relatif tenaga kerja di rumahtangga, dan pilihan komoditas atau teknologi produksi.

Sonoda dan Maruyama (1999), mempelajari stuktur penawaran padi yang dilakukan rumahtangga pertanian di Jepang. Model yang digunakan adalah model ekonomi rumahtangga non-rekursif. Sonoda dan Maruyama berargumentasi bahwa tenaga kerja keluarga rumahtangga pertanian di Jepang dihadapkan pada kendala tingkat upah. Upah yang dibayarkan di usahatani relatif lebih rendah dibanding dengan tuntutan upah yang diminta tenaga kerja keluarga. Oleh karena itu, jika tenaga kerja diukur dengan tingkat upah yang berlaku di pasar tenaga kerja, jumlah tenaga kerja keluarga yang ditawarkan oleh keluarga lebih kecil dari yang seharusnya. Argumentasi ini menjadi alasan bahwa penggunaan tenaga kerja harus diukur dengan harga bayangan. Seperti halnya peneliti lain, Sonoda dan Maruyama menggunakan produk marjinal tenaga kerja di usahatani sebagai pendekatan harga bayangan tersebut. Mereka juga menguji secara statistik untuk meyakinkan efektivitas kendala kerja yang diajukan di dalam model.

Hasil yang menarik dari studi Sonoda dan Maruyama adalah bahwa respons penawaran padi terhadap harga sendiri secara total ternyata negatif. Respons tersebut dapat dipisah menjadi dua bagian, yaitu efek langsung dari harga sendiri (positif) dan efek tidak langsung dari adanya perubahan harga bayangan upah tenaga kerja (negatif). Di dalam kasus ini, efek tidak langsung ternyata lebih besar, sehingga respons penawaran

(29)

secara total negatif. Temuan ini menekankan kembali perlunya memperhatikan pengaruh tingkat upah internal yang berlaku di tenaga kerja keluarga.

Model ekonomi rumahtangga non-rekursif bisa dibangun dengan pendekatan dual, contohnya yang dilakukan oleh Lopez (1986). Dengan pendekatan dual, Lopez membangun model yang memungkinkan adanya saling ketergantungan antara sisi konsumsi (maksimisasi utilitas) dan sisi produksi (maksimisasi keuntungan). Model yang dibangun memungkinkan adanya perbedaan preferensi kerja di usahatani sendiri dan di luar usahatani. Pilihan rekursif dan non-rekursif dipilih melalui uji statistik. Dengan menggunakan data rumahtangga di Kanada, studi Lopez menunjukkan bahwa keputusan konsumsi dan produksi memang tidak dapat dipisahkan. Hasil lain yang penting dicatat di sini adalah bahwa elastisitas penawaran tenaga kerja menggunakan model rekursif ternyata sangat berbeda jika menggunakan model non-rekursif. Model dual memungkinkan model ekonomi rumahtangga mengkaji adanya restriksi kredit, resiko, dan membangun model dinamik (Coyle, 1994).

Pengukuran harga bayangan semakin berkembang ke arah yang lebih umum. Bhattacharyya dan Kumbhakar (1997) menduga harga bayangan input tenaga kerja dan non-tenaga kerja untuk menduga fungsi produksi. Studi ini berangkat dari pemikiran bahwa di negara-negara sedang berkembang, kegiatan usahatani dihadapkan pada keterbatasan ketersediaan modal kerja dan adanya sejumlah distorsi pada pasar input. Keterbatasan modal kerja sudah merupakan masalah yang tidak asing lagi di negara sedang berkembang, namun bagaimana pengaruhnya pada keputusan produksi di tingkat usahatani masih kurang mendapat perhatian. Demikian halnya dengan adanya distorsi pada pasar input. Distorsi ini terjadi bisa berasal dari mekanisme pasar yang memang

(30)

tidak berjalan dengan sempurna, bisa juga karena adanya sejumlah intervensi dari pemerintah. Bhattacharyya dan Kumbhakar hanya memperhatikan perilaku produksi pada kondisi keterbatasan modal dan distorsi pasar input.

Adanya dua pembatas, ketersediaan modal kerja dan distorsi pasar input, menyebabkan alokasi penggunaan input tidak optimal. Bhattacharyya dan Kumbhakar, dalam studinya menggunakan pendekatan fungsi produksi GIPF (General Indirect Production Function) untuk komoditas padi di India. Hasilnya menunjukkan bahwa sejumlah input produksi, seperti tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, pupuk, memang terdistorsi. Adanya distorsi tersebut menyebabkan penggunaan input menjadi lebih rendah, dan produksi padi tidak optimal (output loss). Distorsi tersebut, lebih merugikan usahatani berlahan sempit dibandingkan dengan usahatani berlahan luas.

Dari contoh-contoh studi empiris di atas, dapat disimpulkan bahwa model ekonomi rumahtangga non-rekursif diperlukan apabila tidak ada tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani. Artinya, penggunaan tenaga kerja keluarga tidak terkait langsung dengan tingkat upah tenaga yang berlaku di pasar. Dengan demikian, selama harga pasar ditempatkan sebagai peubah eksogen, model ekonomi rumahtangga yang dibangun pada dasarnya adalah model rekursif (Lambert dan Magnac, 1994).

Perkembangan kajian tentang ekonomi rumahtangga mengarah kepada analisis alokasi sumberdaya intra rumahtangga (Schultz, 1999; Chiappori, 1988; Aronsson, Daunfeldt, dan Wilkstrom, 1999). Model ekonomi rumahtangga menurut pendekatan ini mengasumsikan fungsi utilitas rumahtangga tidak tunggal, misalnya, dibedakan antara fungsi utilitas istri dan suami. Jika ini dipelajari pada unit rumahtangga, persoalan akan

(31)

menjadi lebih kompleks, karena untuk memaksimumkan satu fungsi utilitas suami ditentukan juga oleh bagaimana perilaku utilitas istri.

Adanya berbagai macam kendala pada lingkungan rumahtangga pertanian dan banyaknya usahatani yang menggunakan tenaga kerja keluarga, seperti Indonesia, peranan pengukuran harga bayangan yang mencerminkan opportunity cost suatu sumberdaya usahatani menjadi sangat penting diperhatikan (Huffman, 1996). Model rekursif dibangun berdasarkan asumsi bahwa tenaga kerja keluarga dan luar keluarga adalah homogen dan dapat bersubstitusi secara sempurna. Sharma (1992), telah membuktikan bahwa di Nepal tenaga kerja pada usahatani dalam keluarga dan luar keluarga itu tidak homogen. Di samping itu, juga telah dibuktikan bahwa kedua jenis tenaga kerja tersebut tidak dapat bersubstitusi dengan sempurna. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, peubah harga bayangan akan dihadirkan guna menangkap karakteristik usahatani keluarga dan adanya berbagai kendala yang dihadapi rumahtangga pertanian, baik kendala yang berasal dari sumberdaya fisik, maupun kendala yang tercipta karena krisis ekonomi dan intervensi pemerintah. Namun, perlu diingat bahwa adanya rumahtangga yang tidak bekerja di luar usahatani, atau lebih umum, tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja, berkonsekuensi bukan hanya pada aspek teoritikal, tetapi juga pada metodologi pendugaan (Hecman, 1974; Robinson, McMahon, dan Quiggin, 1982; Kimhi dan Lee, 1996).

Dari berbagai hasil kajian empirik di atas, dapat disimpulkan bahwa model-model ekonomi rumahtangga telah banyak berupaya menggambarkan keunikan perilaku ekonomi rumahtangga. Penelitian yang menggunakan model rekursif atau separable terdiri atas model persamaan tunggal dan persamaan simultan. Model persamaan tunggal

(32)

mencoba menelusuri perilaku rumahtangga yang secara konsisten diturunkan dari model dasar ekonomi rumahtangga seperti yang dikemukakan oleh Singh, Squire, dan Strauss (1986) dan kemudian diperluas oleh Strauss (1986). Kompleksitas interaksi dalam keputusan ekonomi rumahtangga banyak diselesaikan dengan model rekursif yang secara bertahap dan parsial menggunakan persamaan tunggal. Hasil yang diperoleh dalam bentuk analisis komparatif statik sangat cocok dengan teori yang dibangun, akan tetapi umumnya terbatas pada aspek tertentu.

Menggunakan persamaan tunggal dan rekursif masih belum banyak menjelaskan bagian terbesar dari interaksi perilaku ekonomi rumahtangga yang kompleks. Persoalan interaksi yang kompleks ini kemudian dijawab dengan model persamaan simultan. Menggunakan model ini, perilaku ekonomi rumahtangga tergambar dengan utuh. Namun demikian, model ini umumnya tidak bisa secara langsung menghasilkan analisis komparatif statik seperti pada model persamaan tunggal. Kebutuhan analisis ini dipenuhi melalui simulasi model. Pada model persamaan simultan ini, hubungan rekursif atau separable masih melekat pada model.

Usaha melepas hubungan rekursif dilakukan dengan mengembangkan model persamaan tunggal, yaitu dengan memasukkan variabel harga endogen di dalam keputusan rumahtangga. Namun demikian, keterbatasan persamaan tunggal tidak dapat meliput sebagian besar kompleksitas perilaku ekonomi rumahtangga. Model yang perlu dikembangkan adalah model yang dapat menangkap sebagian besar kompleksitas perilaku tersebut tetapi dengan melepas hubungan rekursif atau separable. Model yang cocok untuk ini adalah model persamaan simultan yang mengandung harga input atau output endogen. Penelitian pada disertasi ini akan menggunakan model tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kenyataan konversi lahan pertanian ke non pertanian mengakibatkan berkurangan nya luas lahan pertanaian, hal ini mempengaruhi bagi kehidupan petani dalam

Jadi berdasarkan dari hasil penelitian di Desa Bululoe Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto mengenai tingkat kepuasan petani terhadap kinerja penyuluh pertanian

Penelitian ini menganalisis pengaruh jumlah tenaga kerja, luas lahan, ekspor, impor, dan investasi sektor pertanian terhadap pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi

Partisipasi anggota rumahtangga dan/atau keluarga luas petani repong damar, laki-laki dan perempuan, dalam beragam program pembangunan, baik yang berhubungan dengan

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada pengaruh faktor-faktor produksi (luas lahan, tenaga kerja, dan modal)

Intervensi pemerintah dalam memelihara stabilitas pangan melalui kebijakan harga kurang menguntungkan petani produsen yang terlihat dari nilai tukar petani yaitu

Biaya tenaga kerja borongan merupakan salah satu komponen biaya yang berpengaruh terhadap perhitungan harga pokok produksi, hal ini dikarenakan pada saat perusahaan

Untuk menganalisis pengaruh luas lahan perkebunan terhadap nilai ekspor. perkebunan