36 BAB II
ANALISIS STRUKTURAL MODEL FARHUD DAN MUSIKALITAS DUA SYAIR RITSA>’ DALAM DI>WA>N HAFIDZ IBRAHIM
Pada bab II ini akan diuraikan pembahasan mengenai struktur teks Dua Syair Ritsa>’ dalam Di>wa>n Hafidz Ibrahim berdasarkan analisis struktur model Farhud. Kemudian akan dilanjutkan dengan uraian pembahasan mengenai musikalitas syair yang terdapat pada dua syair ritsa>’ tersebut.
A. Struktur Teks Dua Syair Ritsa>’ Model Farhud
Analisis struktural Dua Syair Ritsa>’ Dalam Di>wa>n Hafidz Ibrahim ini menggunakan analisis struktural model Farhud yang memiliki lima unsur yaitu, (1) Al-ma’na> (gagasan), (2) ‘A>thifah (perasaan atau emosi), (3) Khaya>l (imajinasi), (4) Lughatusy-syi’ir (bahasa syair), dan (5) Mu>si>qasy-syi’ir (irama dan rima). Analisis struktural merupakan prioritas utama untuk menemukan kebulatan makna instrinsik dalam sebuah syair.
1. Syair Pertama
Syair ritsa>’ adalah syair ratapan. Ratapan adalah tangisan yang disertai ucapan yang menyedihkan (KBBI, 2008: 1147). Syair ritsa>’
Mahmud Sami al-Barudi Pasha merupakan pengungkapan kesedihan Hafidz Ibrahim terhadap kematian gurunya. Mahmud Sami Al-Barudi merupakan seorang guru yang sangat diteladani oleh Hafidz Ibrahim.
Terjunnya Hafidz Ibrahim dalam dunia kemiliteran tidak lain karena keinginannya menjadi raja Pedang seperti al-Barudi. Al-Barudi yang juga mendapat julukan sebagai raja Pena karena kemahirannya dalam hal kepenulisan dan bersyair yang dia pelajari secara otodidak turut memotivasi
Hafidz Ibrahim untuk menjadi penyair handal seperti dirinya. Dalam syair ini, Hafidz Ibrahim mengungkapkan hal-hal yang menjadi keistimewaan serta kelebihan al-Barudi. Keberanian al-Barudi dalam berperang dan kemahirannya dalam bersyair mejadikan sosok al-Barudi dikenal oleh banyak orang sehingga kepergiannya pun meninggalkan kesedihan bagi banyak orang pula.
a. Al-Ma’na (Gagasan)
Gagasan utama terlahir dari beberapa gagasan yang tersebar dalam sebuah syair. Satu gagasan dengan gagasan yang lainnya memiliki hubungan yang saling berkaitan. Gagasan utama dalam syair ritsa>’ Mahmud Sami al-Barudi Pasha adalah “ratapan kematian” yang disimpulkan dari beberapa gagasan yang ada yaitu : (1) Kesukaran penyair untuk menuliskan kata-kata dalam syairnya, (2) Kekaguman penyair terhadap al-Barudi dalam hal kepenyairan, (3) Kekaguman penyair terhadap al-Barudi dalam hal keberanian berperang, (4) Perasaan kehilangan serta (5) Harapan dan doa penyair untuk kebaikan al-Barudi.
Gagasan pertama yang diungkapkan oleh penyair adalah ketidakberdayaan dirinya menuliskan sebuah syair tentang kesedihan karena kepergian al-Barudi, penyair seakan-akan kehilangan kata-kata, hanya perasaan sedih yang berkecamuk dalam hatinya hingga penyair susah memejamkan mata saat malam telah tiba. Gagasan ini ditemukan dalam bait ke-1 hingga ke-4.
يِدوُه َمَ ُرعِشلا اَيعَأ َو ُتيَيَع ينِِّإ
inni> ‘ayaitu wa a’yasy-syi’ru majhudi>
sungguh aku telah berusaha dan biarlah syair ini menjadi usaha kerasku.
ِدوُمَمَ َدعَب ِنِّاَيَ ب َّيَلَع اوُّدُر
Ruddu> ‘alayya baya>ni>
ba’da mahmu>di
Simaklah penjelasannku tentang Mahmud.
Bait ke-1
؟ِدوُدَمَ َيرَغ ِفِاَوَقلا ِلبَِلِ اَم َو
wa ma> lichablil-qawa>fi> ghaira mamdu>di?
Ada apa dengan ikatan-ikatan qawafi, mengapa dia tidak memanjang?
ِنُعِواَطُت َلَ بىضَغ ِةَغ َلََبلل اَم
Ma> lilbala>ghati ghadhba> la>
tutha>wi’uni>
Ada apa dengan balaghah, mengapa dia tak
mentaatiku?
Bait ke-2
ديِهسَت َو ٍّمَه َلَِإ ِنتَمَلسَأَف
faaslamatni> ila> hammin wa tashi>di
hingga dia menyerahkanku kepada kesedihan dan tak tidur.
هِتَّدَوَم نَع اَحفَص َ ِتِوُكُس تَّنَظ
Zhannat suku>tiya shafchan
‘an mawaddatihi
Dia mengira bahwa diamku adalah lembar-lembar cintanya.
Bait ke-3
ِدوُقعَم ّلُك ِناَسِل نِم تَقَلطََلَ
laathlaqat min lisa>ni> kulla ma’qu>di
maka dia akan melepaskan semua yang tercekat dari lidahku.
َبطَلخا اَذَه َّنأ تَرَد وَل َو ِنَمَحفَأ
Wa lau darat anna ha>dza>l- khathba afchamani>
Andai dia mengerti bahwa pembicaraan ini
membungkamku.
Bait ke-4
(Ibrahim, 2012: 376-377) Gagasan kedua mengungkapkan kemahiran bersyair yang dimiliki oleh al-Barudi. Al-Barudi sebagai raja pena mahir meluapkan perasaannya dalam sebuah syair. Kata-kata yang indah dengan susunan kalimat yang sesuai dengan kaidah sintaksis dan tidak rancu merupakan hal yang lazim terdapat dalam karya-karya syairnya. Dalam hal ini, al- Barudi berhasil membuat syair yang patuh dalam hal ke-fasha>chah-nya sehingga banyak penyair setelahnya berkiblat pada dirinya. al-Barudi
telah melahirkan banyak judul syair yang banyak dikenal orang.
Gagasan ini diambil dari bait ke-9 hingga ke-14.
َو ِفِاَوَقلا َو ىَهُ نلا ىَلَع ِديِشاَنلَا
‘alan-nuha> wal-qawa>fi> wal- ana>syi>di
Kepada akal, qawafi dan nyanyian
ِهِب ناَمَزلا َّنَض اًرِعاَش اَي َكيَّبَل
Labbaika ya> sya>’iran dhannaz-zama>nu bihi Aku memenuhi panggilanmu, wahai penyair yang sepanjang zaman menahan diri.
Bait ke-9
ِدوُعلا ِفِ ءاَلما َيرَج ِةَحاَصَفلا َتَتَ
tachtal-fasha>chati jaryal-ma>’i fil-‘u>di
di bawah fashachah, air mengalir di dahan kayu
هِقِطنَم ءاَنثَأ ِفِ ُةس َلََسلا يِر َتَ
Tajris-sala>satu fi> atsna>’i manthiqihi
Kemudahan mengalir dalam logikanya.
Bait ke-10
ِديِقاَنَعلا ءاَم ِهِركِذ نِم ُراَغَ ي
yagha>ru min dzikrihi ma>’ul-
‘ana>qi>di
air tandon merasa iri ketika menyebutkannya.
ِهِب ُّفِرَي ٌءاَم ُهَل ٍتيَب يلُك ِفِ
Fi> kulli baitin lahu ma’>un yariffu bihi Di setiap rumah, ada air yang dapat diminum.
Bait ke-11
ِدوُعلا َو ِكسِلما ِتاَحَفَ ن نَع َتيِنَغ
ghani>ta ‘an nafacha>til-miski wal-‘u>di
engkau tak membutuhkan aroma parfum dan kayu ‘ud.
هُلِئاَق َتنَأ ٍرعِشِب َكوُطَّنَح وَل
Lau channathu>ka bisyi’rin anta qa’>iluhu Jika mereka
mengenangmu dengan syair yang engkau senandungkan.
Bait ke-12
دوُضنَم ِهّللا ِلوُسَر ِحدَِبِ ٍدقِع
‘iqdin bimadchi rasu>lil-La>hi mandhu>di
Kalung pujian kepada Rasulullah yang bersusun- susun.
اَنسِب هَتبَّذَه نَأ َدعَب ُهَتيَّلَح
Challaitahu ba’da an hadzdzabtahu bisana>
Engkau menghiasinya setelah kau percantik dia dengan lingkaran.
Bait ke-13
ِديِلجا ِفِ ُدقِعلا َكاَذ َو ِباَسِلِا ِموَي
yaumil-chisa>bi wa dza>kal-
‘iqdu fil-ji>di
hari akhir, dan itulah kalung yang terpasang di seputar leher.
اَز َكاَف َك َلَِإ َيرِسَت نَأ اًنيَزَو ا ًد
Kafa>ka za>dan wa zainan an tasi>ra ila>
Cukuplah bagimu, bekal dan perhiasan untukmu melangkah ke-
Bait ke-14
(Ibrahim, 2012: 377)
Gagasan ketiga mengungkapkan kemahiran berperang yang dimiliki oleh al-Barudi. Penyair menggambarkan sosok al-Barudi sebagai prajurit perang yang gagah berani dan pantang menyerah. Al- Barudi yang pernah mendapatkan gelar Fa>riq (Letnan) dan pernah menjadi Perdana Menteri Mesir pada tahun 1896 M memiliki peran penting dalam dunia kemiliteran. Peran penting tersebut terlihat dalam keikutsertaannya mengikuti beberapa peperangan sengit, salah satunya adalah perang Karid. Perang Karid adalah perang kapal antara Perancis dan Hindia yang terjadi di Semenanjung Karid pada tahun 1866 M.
Gagasan ini diambil dari bait ke-20 hingga bait ke-25.
َّمَه َكَُّهَ َناَك َو ِديَصلا ِةَداَقلا
wa ka>na hammuka hammal- qa>datish-shaidi
dan dulu kesedihanmu adalah kesedihan panglima pemburu.
َناَعَ تسُلما َتنُك َو َريِزَولا َتنُك هب
Kuntal-wazi>ra wa kuntal-musta’a>na bihi Dahulu, engkau adalah menteri, engkaupun yang diminta pertolongan
Bait ke-20
ِديِدنِصِب اًديِدنِص ُبِرضَت ُبرَلِا َو
wal-charbu tadhribu shindi>dan bishindi>di
sementara peperangan terjadi dengan keras, dari satu pukulan ke pukulan lain.
ٌةَرِئاَط ُلاَطبلَا َو َكَل ٍةَفقَو مَك
Kam waqfatin laka wal- abtha>lu tha>iratun Berapa pemberhentian untukmu, sementara para pahlawan terbang
melayang
Bait ke-21
يديِب وَأ ِهيِف يِدوُس ِكُلاََمَ اَذَه
hadza> maja>luki su>di> fi>hi au biyadi>
ini adalah bidangmu, hitam di dalamnya, atau dengan tanganku.
َكيَلِإ تَشاَج نإ ِسفَنلل ُلوُقَ ت اَِبِ
Taqu>lu lin-nafsi in ja>syat ilaika biha>
Kau katakan kepada jiwa jika dia menguat
untukmu dengannya.
Bait ke-22
دوُعسَم ِنب نِّاَه نَع راَق يِذ ِموَي ِفِ اوُلَقَ ن اَم َّلُك ٍديِرَك َموَي َتخَسَن
ke-23Baitfi> yaumi dzi> qa>ra ‘an ha>ni>bni mas’u>di
pada hari dzi qarnya Hani ibn Mas’ud
Nasakhta yauma kari>din kulla ma> naqalu>
Engkau taklukan perang Karid atas semua yang mereka pindahkan
ِدوُهعَم َيرَغ نِكَل َو ٍيِوَر ىَلَع
‘ala> rawiyyin wa la>kin ghairu ma’hu>di
Dalam suatu riwayat, namun tidak dikenal
ءاَنَفلا ِكلِس ِفِ َكاَدعَأ َتمَظَن هِب
Nazhamta a’da>ka fi>
silkil-fana>i bihi
Engkau susunkan syair bagi musuh-musuhmu yang berada dijalan yang fana’
Bait ke-24
ِديِدعِر ُيرَغ ٌِّبَِرَع ِهِب يِمرَي
yarmi> bihi ‘arabiyyun ghairu ri’di>di
orang Arab melemparkannya tanpa rasa takut.
ُتوَلما َو ٌمِلَك مُهَّ نَأَك َيِفاَق
Kaannahum kalimun
ٌة
wal-mautu qa>fiyatun Seakan-akan mereka adalah kata-kata dan mati adalah qafiyah (akhir)
Bait ke-25
(Ibrahim, 2012: 377-378) Gagasan keempat adalah perasaan kehilangan yang sangat mendalam dirasakan oleh penyair. Dalam bait syairnya dia menyebutkan salah satu sastrawan besar yang juga seorang filsuf yaitu Abul ‘Ala al-Ma’arriy. Al-Ma’arriy dan al-Barudi dinilai memiliki kesamaan. Menurut penyair, kepergian al-Barudi adalah kesedihan dunia Timur. Penyair merasakaan kehampaan dalam dunianya karena dia juga tidak akan lagi mendengar syair-syair indah dari al-Barudi.
Gagasan ini diambil dari bait ke-26 hingga bait ke-30.
يِدوُي هَدعَب لياَعَلما ُحرَص َداَكَف
faka>da sharchul-ma’a>li>
ba’dahu yu>di>
hampir saja sesuatu yang berharga pergi
ُهُنِمؤُم ِرعِشلا ٌّيِقَت ييرَعَلما ىَدوَأ
Auda>l-ma’arri> taqiyyusy- syi’ri mu’minuhu
Seperti al-Ma’arriy, penyair yang bertakwa dan mu’min
Bait ke-26
ِديِرغَت َو ٍودَش نِم ُضوَرلا َرَفقَأ َو
wa aqfarar-raudhu min syadwin wa taghri>di dan dia pun mengosongkan kebun dari nyanyian dan kicauan.
َو ٍلضَف نِم ُقرَشلا َشَحوَأ َو ٍبَدَأ نِم
Wa auchasyasy-syarqu min fadhlin wa adabin Dunia Timur menjadi kosong dari adab kemuliaan dan adab
Bait ke-27
َج ِفِ ٌمَسَد ُهَّنَأَك ِدوُعَمَ ِفو
kaannahu dasamun fi> jaufi mam’u>di
seakan-akan dia adalah lemak di tengah perut.
ُهُذِبنَت ُعاَسملَا َو ُرعِشلا َحَبصَأ َو
Wa ashchabasy-syi’ru wal-asma>’u tanbidzuhu Syair dan pendengaran menjadi terlepas darinya
Bait ke-28
ُرُ ثعَي ُحارف ِديِقعَت َو ٍوشَح ِفِ
fara>cha ya’tsuru fi> chasywin wa ta’qi>di
pergi mencari dalam tuntutan dan kerumitan
تَخَتَسا َو ُفعَضلا ِهِب ىَولَأ ُهُتَّنِعَأ
Alwa> bihidh-dha’fu wastarkhat a’innatuhu Kelemahan menghilang dan pertolongannya pun terlepas.
Bait ke-29
ِدوُلخا ِدَّرُلخا ُتاَرَطَخ اَهُيرِثُت
tutsi>ruha> khathara>tul- khurradil-khu>di
lintasan-lintasan batin anak gadis mempengaruhinya
ِقوَشلا ُتاَمَسَن تَرَكنَأ َو هَعَ برَم
Wa ankarat nasama>tusy- syauqi marba’ahu Angin kerinduan
mengingkari marba’nya
Bait ke-30
(Ibrahim, 2012: 378) Gagasan kelima adalah harapan dan doa penyair untuk kebaikan al-Barudi. Al-Barudi yang memiliki peran besar dalam kemiliteran dan kepenyairan telah meninggalkan jejak sejarah. Jejak sejarah yang al- Barudi miliki tentu menghubungkannya dengan banyak orang dan membuat dirinya banyak dikenal orang. Ketika kematiannya tiba, penyair mengharapkan do’a dan kebaikan bagi dirinya atas kebaikan yang telah dia lakukan selama hidupnya. Gagasan ini diambil dari bait ke-31 hingga bait akhir.
ِدوُدخُأ َفوَج لَ ِهِتَمكِح ِزنَك نِم
min kanzi chikmatihi la> jaufa ukhdu>di
dari harta karun hikmahnya, bukan di tengah parit.
ٍةؤُلؤُل َفوَج ُهوُعَدوأ اوُفَصنَأ وَل
Lau anshafu> auda’u>hu jaufa lu’luatin
Jika mereka berlaku adil, mereka pasti akan
membiarkannya menjadi permata di tengah cangkang
Bait ke-31
ِدوُدقَم ِحبُصلا ٍصيِمَق نِم ٍحِضاَو وَأ
au wa>dhichin min qami>shish- shubchi maqdu>di
atau jelas, mengkafaninya dengan pakaian shubuh yang berbeda-beda.
نِم ٍجرَدِب ُهوُنَّفَك َو ىاَحَص
ِهِف
Wa kaffanu>hu bidarjin min shacha>ifihi
Mereka mengkafaninya dengan gulungan lembar- lembar buku yang dia tulis
Bait ke-32
ِديِملََلجا َت َتَ لَ ِبِكاَوَكلا َقوَف
fauqal-kawa>kibi la> tachtal jala>mi>di
di atas bintang-bintang bukan dibawah batu cadas
ِهِعِلاَطَم نِم ٍقفأِب ُهوُلَزنَأ َو
Wa anzalu>hu biufqin min matha>li’ihi
Mereka menurunkannya dari tempat munculnya sinar.
Bait ke-33
ِديِبلا َو ِراَصملَا َو ِبرَغلا َو ِقرَشلل
lisy-syarqi wal-gharbi wal- amsha>ri wal-bi>di
bagi dunia Timur dan Barat,beberapa kota dan perbatasan.
ىَعنَت نَأ َسمَشلا اوُدَشاَن َو هَنِساََمَ
Wa na>syadusy-syamsa an tan’a> macha>sinahu Mereka bersenandung untuk matahari agar memancarkan kebaikannya.
Bait ke-34
َو ٍدوُبكَم َينَب اَم ُساَنلا و ِدوُؤفَم
wan-na>su ma> baina makbu>din wa maf’u>di
manusia itu berada di antara kesusahan dan sakit hatinya
ِهِبِكوَِبِ يِداَغلا لإملل ُلوُقَأ
Aqu>lu lilmalail-gha>di>
bimaukibihi
Aku katakan kepada semua yang berada dalam kafilah
Bait ke-35
َعَم ِدوُمحَمِل اًيمِركَت ِكِىلَلما
ma’al-mala>’iki takri>man limachmu>di
bersama para malaikat untuk memuliakan Mahmud
َحوُرلا َّنِإَف َنوُيُعلا اوُّضُغ مُكُبَحصَي
Ghudhdhu>l-‘uyu>na fainnar-ru>cha yashchabukum
Mereka menundukkan mata, maka
Bait ke-36
sesungguhnya jiwa ini menemani kalian
ِديِلاَجَتلا ِدوُسَمَ ِهجَولا ِمَّسَقُم
muqassamil wajhi machsu>dit- taja>li>di
wajah yang terbagi, ujian-ujian yang membuat hasad
اَنَس ىَفخَأ دَق ِبرَقلل َحيَو اَي ٍرَمَق
Ya> waicha lilqabri qad akhfa> sana> qamarin Duhai, betapa celakanya untuk kuburan yang telah disembunyikan oleh keindahan rembulan
Bait ke-37
اََلَ
وُلوَم ُفلَأ ِلياَعَلما ِردِِبِ
ِد
laha> bikhidril-ma’a>li> alfu maulu>di
Baginya tempat, yang jauh lebih mulia dari seribu kelahiran
َّلَح ُهَيحَو اَي ِهيِف
َيحِرَق و ُذ ُهَت
Ya> waichahu challa fi>hi dzu> qari>chatuhu
Celakalah dia yang menempati pemilik kebaikan
Bait ke-38
ِديِلاَوَلما ِت ّلَِجِس ِديِدَلجا يِصُمَ
muchshil-jadi>di sijila>til- mawa>li>di
menghitung yang baru, catatan- catatan kelahiran
اَهَعَدوأ َءاَش وَل ٌدَّرُخ ٌدِئاَرَ ف
Fara>’idun khurradun lau sya>’a auda’aha>
Permata gadis jika ingin dia bisa
meninggalkannya
Bait ke-38
ِدوُسَمَ َو ٍدوُهشَم َينَب اَهُ نسُح َو
wa chusnuha> baina masyhu>din wa machsu>di
yang keindahannya terletak antara disaksikan dan diirikan
ٌةَيِساَك ِظاَفلأِب َيهَو اَهَّ نَأَك
Ka’annaha> wahya bi’alfa>zhi ka>siyatun Dia bagaikan kata-kata mutiara
Bait ke-39
ِديِغلا ىَهُ ن يِوهَتسَت َناَقهِد ِتيَب ِفِ
fi> baiti dihqa>na tastahwi>
nuhal-ghi>di
dalam sebuah rumah pemimpin kaum yang memiliki
kecerdasan mengagumkan
تَقستا دَق ٍروُّلَ ب َفلَخ ٌئِللآ
La’a>li’un khalfa ballu>rin qadit-tasaqat
Permata di balik kaca yang berkilauan
Bait ke-40
يِديِصقَت ُتعَدبأ نِإ َو اًتيَم َو اًّيَح
chayyan wa maitan wa in abda’tu taqshi>di>
hidup dan mati,mesti
kuperbaiki tujuan kata-kataku
ِفِ َكيَيحَتسََلَ ينِِّإ ُدوُمَمَ
يِمِلَك
Machmu>du inni>
la’astachyaika fi> kalimi>
Mahmud, sungguh aku malu kepadamu ketika mengatakan ini
Bait ke-41
ِدوُمَمَ َو ٍفوُعضَم َينَب اَُهَ َلَِك
kila>huma> baina madh’u>fin wa machmu>di
keduanya, antara orang yang lemah dan yang terpuji. Antara Madh’uf dan Mahmud
َكيِف رِذعاَو َيِضيِرَق رِذعاَف ُهَلِئاَق
Fa’dzir qari>dhiya wa’dhir fi>ka qa>’ilahu Maka ampuni syairku dan maafkan mulutku yang membicarakanmu
Bait ke-42
(Ibrahim, 2012: 378-379) b. Al-‘A>thifah (perasaan atau emosi)
Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya (Ratih, 2014:4). Penyair membangun emosi melalui beberapa perasaan yang muncul pada syair ritsa>’ Mahmud Sami al-Barudi Pasha, di antaranya perasaan sedih, perasaan kagum, perasaan rindu, perasaan rendah diri serta perasaan bersalah yang terdapat pada bait yang berbeda-beda.
Perasaan sedih mendominasi perasaan yang muncul dalam syair ritsa>’ Mahmud Sami al-Barudi Pasha, diantaranya terdapat pada bait ke-2, bait ke-26 hingga ke-30, bait ke-37 hingga bait ke-38, bait ke-42.
ِدوُدَمَ َيرَغ ِفِاَوَقلا ِلبَِلِ اَم َو
؟
wa ma> lichablil-qawa>fi> ghaira mamdu>di?
Ada apa dengan ikatan-ikatan qawafi, mengapa dia tidak memanjang?
ِنُعِواَطُت َلَ بىضَغ ِةَغ َلََبلل اَم
Ma> lilbala>ghati ghadhba>
la> tutha>wi’uni>
Ada apa dengan balaghah, mengapa dia tak mentaatiku?
Bait ke-2
(Ibrahim, 2012: 376)
يِدوُي هَدعَب لياَعَلما ُحرَص َداَكَف
faka>da sharchul-ma’a>li>
ba’dahu yu>di>
hampir saja sesuatu yang berharga pergi
ُهُنِمؤُم ِرعِشلا ٌّيِقَت ييرَعَلما ىَدوَأ
Auda>l-ma’arri> taqiyyusy- syi’ri mu’minuhu
Seperti al-Ma’arriy, penyair yang bertakwa dan mu’min
Bait ke-26
ِديِرغَت َو ٍودَش نِم ُضوَرلا َرَفقَأ َو
wa aqfarar-raudhu min syadwin wa taghri>di dan dia pun mengosongkan kebun dari nyanyian dan kicauan.
َو ٍلضَف نِم ُقرَشلا َشَحوَأ َو ٍبَدَأ نِم
Wa auchasyasy-syarqu min fadhlin wa adabin Dunia Timur menjadi kosong dari adab kemuliaan dan adab
Bait ke-27
ِدوُعَمَ ِفوَج ِفِ ٌمَسَد ُهَّنَأَك
kaannahu dasamun fi> jaufi mam’u>di
seakan-akan dia adalah lemak di tengah perut.
َو ُرعِشلا َحَبصَأ َو َت ُعاَسملَا
ُهُذِبن
Wa ashchabasy-syi’ru wal-asma>’u tanbidzuhu Syair dan pendengaran menjadi terlepas darinya
Bait ke-28
ِديِقعَت َو ٍوشَح ِفِ ُرُ ثعَي ُحارف
fara>cha ya’tsuru fi> chasywin wa ta’qi>di
pergi mencari dalam tuntutan dan kerumitan
ىَولَأ تَخَتَسا َو ُفعَضلا ِهِب
ُهُتَّنِعَأ
Alwa> bihidh-dha’fu wastarkhat a’innatuhu Kelemahan menghilang dan pertolongannya pun terlepas.
Bait ke-29
ِدوُلخا ِدَّرُلخا ُتاَرَطَخ اَهُيرِثُت
tutsi>ruha> khathara>tul- khurradil-khu>di
lintasan-lintasan batin anak gadis mempengaruhinya
ِقوَشلا ُتاَمَسَن تَرَكنَأ َو هَعَ برَم
Wa ankarat nasama>tusy- syauqi marba’ahu Angin kerinduan
mengingkari marba’nya
Bait ke-30
(Ibrahim, 2012: 378)
ِدووُلوَم ُفلَأ ِلياَعَلما ِردِِبِ اََلَ
laha> bikhidril-ma’a>li> alfu maulu>di
Baginya tempat, yang jauh lebih mulia dari seribu kelahiran
ُهَتَيحِرَق وُد ِهيِف َّلَح ُهَيحَو اَي
Ya> waichahu challa fi>hi dzu> qari>chatuhu
Celakalah dia yang menempati pemilik kebaikan
Bait ke-36
ِديِلاَوَلما ِت ّلَِجِس ِديِدَلجا يِصُمَ
muchshil-jadi>di sijila>til- mawa>li>di
menghitung yang baru, catatan- catatan kelahiran
اَهَعَدوأ َءاَش وَل ٌدَّرُخ ٌدِئاَرَ ف
Fara>’idun khurradun lau sya>’a auda’aha>
Permata gadis jika ingin dia bisa
meninggalkannya
Bait ke-37
(Ibrahim, 2012: 379)
َو اًتيَم َو اًّيَح يِديِصقَت ُتعَدبأ نِإ
chayyan wa maitan wa in abda’tu taqshi>di>
hidup dan mati,mesti
kuperbaiki tujuan kata-kataku
ِفِ َكيَيحَتسََلَ ينِِّإ ُدوُمَمَ
يِمِلَك
Machmu>du inni>
la’astachyaika fi> kalimi>
Mahmud, sungguh aku malu kepadamu ketika mengatakan ini
Bait ke-42
(Ibrahim, 2012: 379) Selanjutnya, perasaan kagum penyair kepada al-Barudi dalam beberapa hal. Pertama adalah kekaguman pada al-Barudi yang terdapat pada bait ke-8 atas sikapnya yang tidak pernah membangga-banggakan kebaikan, kemahiran, dan kesuksesan yang dia miliki bahkan hingga akhir hayatnya.
ِدوُجوَِبِ لِف َتَ َلَ َو ِتاَمَلما َلبَق
qablal-mama>ti wa lam tachfil bimauju>di
sebelum kematian menjemput, Engkaupun tak merayakan semua yang kau miliki.
َتيَرَدزاَو اَهنَع َكيَنيَع َتضَمغَأ اَِبِ
Aghmadhat ‘ainaika
‘anha> wazdaraita biha Kedua matamu memejam dari dunia dan
merendahkannya.
Bait ke-8
(Ibrahim, 2012: 377) Kedua adalah kekaguman penyair terhadap syair-syair yang diciptakan oleh al-Barudi. Al-Barudi sebagai pelopor kebangkitan syair Arab setelah masa kejumudan memang memiliki kelebihan dalam
penggunaan gaya bahasa dan retorika yang sederhana namun dengan makna yang mendalam. Bagi penyair, syair yang telah ditulis oleh al- Barudi merupakan syair yang telah sempurna tanpa cacat di dalamnya.
Pengungkapan perasaan kagum terdapat pada bait ke-12. Selanjutnya adalah kekaguman penyair terhadap al-Barudi dalam peperangan yang terdapat pada bait ke-21 hingga bait ke-22. Al-Barudi yang pantang menyerah dan tanpa rasa lelah terus berjuang tanpa rasa takut dari satu peperangan ke peperangan yang lain.
ِدوُعلا َو ِكسِلما ِتاَحَفَ ن نَع َتيِنَغ
ghani>ta ‘an nafacha>til-miski wal-‘u>di
engkau tak membutuhkan aroma parfum dan kayu ‘ud.
هُلِئاَق َتنَأ ٍرعِشِب َكوُطَّنَح وَل
Lau channathu>ka bisyi’rin anta qa>iluhu Jika mereka
mengenangmu dengan syair yang engkau senandungkan.
Bait ke-12
(Ibrahim, 2012: 377)
اًديِدنِص ُبِرضَت ُبرَلِا َو يِدنِصِب
ِد
wal-charbu tadhribu shindi>dan bishindi>di
sementara peperangan terjadi dengan keras, dari satu pukulan ke pukulan lain.
ٌةَرِئاَط ُلاَطبلَا َو َكَل ٍةَفقَو مَك
Kam waqfatin laka wal- abtha>lu tha>iratun Berapa pemberhentian untukmu, sementara para pahlawan terbang
melayang
Bait ke-21
يديِب وَأ ِهيِف يِدوُس ِكُلاََمَ اَذَه
hadza> maja>luki su>di> fi>hi au biyadi>
ini adalah bidangmu, hitam di dalamnya, atau dengan tanganku.
تَشاَج نإ ِسفَنلل ُلوُقَ ت َلِإ
َكي
اَِبِ
Taqu>lu lin-nafsi in ja>syat ilaika biha>
Kau katakan kepada jiwa jika dia menguat
untukmu dengannya.
Bait ke-22
(Ibrahim, 2012: 378)
Perasaan lain yang muncul adalah perasaan rindu pada bait ke- 5. Penyair menyatakan secara tegas bahwa dia merindukan al-Barudi yang telah menemui ajalnya.
ِدوُلجا َو ِءاَجيَلَا َو ِرعِشلا َسِراَف اَي
ya> fa>risasy-syi’ri wal-haija>i wal-ju>di
wahai penyair, pahlawan perang dan orang yang dermawan.
َسِنؤُم اَي َكيّبَل َو ىَتوَلما
اَنَشِحوُم
Labbaika ya> mu’nisal- mauta> wa mu>chisyana>
Aku memenuhi panggilanmu, wahai sahabat kematian yang kami rindukan.
Bait ke-5
(Ibrahim, 2012: 377) Perasaan rendah diri menutup syair ritsa>’ Mahmud Sami al- Barudi Pasha pada bait ke-42 dan bait ke-43. Penyair merasa malu atas kata-kata yang dia rangkai dalam syairnya. Penyair juga menganggap dirinya memiliki sikap dan sifat yang berkebalikan dengan al-Barudi.
َت ُتعَدبأ نِإ َو اًتيَم َو اًّيَح ِديِصق
ي
chayyan wa maitan wa in abda’tu taqshi>di>
hidup dan mati,mesti
kuperbaiki tujuan kata-kataku
ِفِ َكيَيحَتسََلَ ينِِّإ ُدوُمَمَ
يِمِلَك
Machmu>du inni>
la’astachyaika fi> kalimi>
Mahmud, sungguh aku malu kepadamu ketika mengatakan ini
Bait ke-42
ِدوُمَمَ َو ٍفوُعضَم َينَب اَُهَ َلَِك
kila>huma> baina madh’u>fin wa machmu>di
keduanya, antara orang yang lemah dan yang terpuji. Antara Madh’uf dan Mahmud
َكيِف رِذعاَو َيِضيِرَق رِذعاَف ُهَلِئاَق
Fa’dzir qari>dhiya wa’dhir fi>ka qa>’ilahu Maka ampuni syairku dan maafkan mulutku yang membicarakanmu
Bait ke-43
(Ibrahim, 2012: 379)
c. Al-Khaya>l (Imajinasi)
Sumber keindahan dalam gaya bahasa syair adalah khayalan yang indah, imajinasi yang tajam, persentuhan beberapa titik keserupaan yang jauh di antara beberapa hal, dan pemakaian kata benda atau kata kerja yang kongkret sebagai pengganti kata benda atau kata kerja yang abstrak (Al-Jarim, 2014: 11). Imajinasi tercipta dari kenyataan bukan sebuah kebohongan, meskipun terkadang imajinasi menyimpang dari rasionalitas. Dalam kesusastraan Arab, pengungkapan imajinasi seorang penyair tertuang dalam bentuk tasybi>h, majaz, isti’a>rah, kina>yah dan lain sebagainya. Begitu pun dalam syair ini penyair menggunakan beberapa bentuk sebagai berikut,
Tasybi>h
يِمرَي ِديِدعِر ُيرَغ ٌِّبَِرَع ِهِب
yarmi> bihi ‘arabiyyun ghairu ri’di>di
orang Arab melemparkannya tanpa rasa takut.
ٌةَيِفاَق ُتوَلما َو ٌمِلَك مُهَّ نَأَك
Kaannahum kalimun wal-mautu qa>fiyatun Seakan-akan mereka adalah kata-kata dan mati adalah qafiyah (akhir)
Bait ke-25
(Ibrahim, 2012: 378) Tasybi>h adalah penjelasan mengenai suatu hal atau beberapa hal yang memiliki kesamaan sifat dengan hal lain. Penjelasan tersebut menggunakan huruf kaf atau sejenisnya. Dalam bait ini, penyair menceritakan al-Barudi yang berhasil mengalahkan mereka, yaitu musuh-musuhnya dalam berperang yang tidak meraih kemenangan melainkan hanya pertaruhan hidup dan mati dan berakhir pada kematian. Penyair mengumpamakan mereka sebagai sebuah kata-kata yang pasti akan berhenti pada tanda titik atau berakhir.
ِدوُعَمَ ِفوَج ِفِ ٌمَسَد ُهَّنَأَك
kaannahu dasamun fi> jaufi mam’u>di
seakan-akan dia adalah lemak di tengah perut.
ُهُذِبنَت ُعاَسملَا َو ُرعِشلا َحَبصَأ َو
Wa ashchabasy-syi’ru wal-asma>’u tanbidzuhu Syair dan pendengaran menjadi terlepas darinya
Bait ke-28
(Ibrahim, 2012: 378) Bagi penyair, kematian al-Barudi adalah perginya syair-syair yang indah. Dalam hal ini, penyair mengumpamakan hilangnya syair indah dengan lemak di tengah-tengah perut. Lemak yang tertimbun semakin banyak di dalam perut akan menyebabkan perut terasa sakit.
ِدوُسَمَ َو ٍدوُهشَم َينَب اَهُ نسُح َو
wa chusnuha> baina masyhu>din wa machsu>di
yang keindahannya terletak antara disaksikan dan diirikan
ٌةَيِساَك ِظاَفلأِب َيهَو اَهَّ نَأَك
Kannaha> wahya bialfa>zhi ka>siyatun
Dia bagaikan kata-kata mutiara
Bait ke-40
(Ibrahim, 2012: 379) Penyair menilai al-Barudi sebagai seorang yang cerdas dan kehadirannya membawa keteladanan bagi orang lain. Namun, kebaikan dan kelebihan yang dimiliki al-Barudi tidak lantas membuat semua orang menghormati, menghargai dan memuji dirinya. Maka dalam hal ini, penyair mengumpamakan al-Barudi dengan bait syair tersebut.
Isti’a>rah
اَهنَع دوُس َو ٍضيِب نم َكيِلاَيَل
‘anha> laya>li>ka min bi>dhin wa min su>di
Malam-malammu dari dunia yang berwarna hitam dan putih.
اَمَك اَينُدلا نَع َتحَزَ ن دَقَل تَحَزَ ن
Laqad nazachta ‘anid- dunya> kama> nazachat Sungguh engkau telah berpaling dari dunia sebagaimana engkau berpaling
Bait ke-7
(Ibrahim, 2012: 377)
Dalam bait ini terdapat majaz lughawi, yakni kata yang digunakan dalam makna yang bukan hakiki. Terdapat dua kata yaitu
ٍضيِب
yang digunakan dengan makna kebahagiaan, dan kataدوُس
yangdigunakan dengan makna kesedihan. Kata
ٍضيِب
danدوُس
merupakanmusyabbah bih dari dua makna yang ingin dimaksudkan oleh penyair.
يِدوُي هَدعَب لياَعَلما ُحرَص َداَكَف
faka>da sharchul-ma’a>li>
ba’dahu yu>di>
hampir saja sesuatu yang berharga pergi
ىَدوَأ ُنِمؤُم ِرعِشلا ٌّيِقَت ييرَعَلما
Auda>l-ma’arri> taqiyyusy-
ُه
syi’ri mu’minuhu Seperti al-Ma’arriy, penyair yang bertakwa dan mu’min
Bait ke-26
(Ibrahim, 2012: 378) Dalam bait ini penyair menyamakan al-Barudi dengan Abul
‘Ala’ al-Ma’arriy dalam hal kemahiran bersyair. Syair al-Barudi berisikan tentang ketaqwaan dan keimanan, sedangkan syair al- Ma’arriy berisikan pemikiran dan falsafah. Penyair hanya menyebutkan nama al-Ma’arriy, artinya dalam hal ini penyair hanya mendatangkan musyabbah bih dan membuang musyabbah-nya. Dalam bala>ghah keadaan seperti ini dinamakan Isti’a>rah tashri>chiyyah.
Kina>yah
ِدوُدهَم َيرَغ اًنكُر ُةَليِضَفلا َكَل
lakal-fadhi>latu ruknan ghaira mahdu<di
untukmu keutamaan sebagai tiang yang takkan roboh.
دَقَ ف اَبوُكنَم َكُنكُر َّدُه نِإ تَعَ فَر
In hudda ruknuka manku>ban faqad rafa’at Jika tiangmu roboh karena musibah,maka sungguh ia telah diangkat
Bait ke-16
(Ibrahim, 2012: 378)
Hafidz Ibrahim menyifati al-Barudi seperti tiang yang takkan roboh. Untaian kata ini dia maksudkan untuk menunjukkan bahwa al- Barudi adalah orang terhormat di kalangan sahabat perangnya, pantang mundur dalam berperang dan tidak terkalahkan. Penyair tidak mengemukakan sifat tersebut secara jelas (shari>ch), melainkan dengan isyarat dan kina>yah. Karena untaian kata tersebut merupakan kina>yah dari sifat yang sesuai dengan maknanya, maka kata-kata tersebut serta yang serupa dengannya disebut kina>yah ‘an sifat (Jarim, 2014: 174).
Thibaq
يِديِصقَت ُتعَدبأ نِإ َو اًتيَم َو اًّيَح
chayyan wa maitan wa in abda’tu taqshi>di>
hidup dan mati,mesti
kuperbaiki tujuan kata-kataku
ِفِ َكيَيحَتسََلَ ينِِّإ ُدوُمَمَ
يِمِلَك
Machmu>du inni>
la’astachyaika fi> kalimi>
Mahmud, sungguh aku malu kepadamu ketika mengatakan ini
Bait ke-42
(Ibrahim, 2012: 379) Thibaq adalah berkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam satu kalimat (Jarim, 2014: 403). Dalam bait ini dua kata yang berlawanan terletak pada kata
اًّيَح
danاًتيَم
yang memiliki arti hidup danmati. Keberlawanan kedua kata tersebut tidak berbeda positif dan negatifnya sehingga disebut sebagai thibaq ijab.
d. Lughatusy-syi’ri
Bahasa dalam puisi bukan hanya sekedar alat untuk menyampaikan keterangan, tapi bahasa yang harus mempunyai kekuatan puitik (Noor, 2011:21). Syair memiliki bahasa yang khas,
bukan umum atau biasa. Syair sering menggunakan kata yang hemat namun mempunyai makna dan efek yg banyak. Lughatusy-sy’ir (bahasa syair) yang terkandung di dalam teks syair ritsa>’ Mahmud Sami al- Barudi Pasha, yaitu:
1) Kosa kata
Dalam teks syair ritsa>’ Mahmud Sami al-Barudi Pasha, penyair menggunakan kosa kata yang lazim digunakan dalam kesusastraan Arab. Kosa kata tersebut cukup sederhana sehingga memudahkan peneliti untuk mengetahui maknanya. Ada pun beberapa kosa kata yang tidak sering didengar oleh peneliti tetapi tetap mudah ditemukan dalam kamus.
Dalam teks syair ini peneliti juga menemukan satu kosa kata yang memiliki dua makna yaitu kata
ِدوُمَمَ
sebagai ism yangmemiliki makna nama Mahmud al-Barudi Pasha dan sebagai ism maf’u>l yang memiliki makna terpuji. Ism maf’u>l adalah ism musytaq dari fi’il mabni lil majhu>l untuk menunjukkan kepada pihak yang dikenai fi’il.
Penyair dalam syair ini juga memperhatikan keindahan kata.
Keindahan kata dibahas dalam ilmu bala>ghah bab ilmu badi>’. Ilmu badi>’ adalah ilmu yang mencakup pembahasan keindahan lafadz dan makna (Jarim, 2014: 377). Peneliti menemukan beberapa bait yang di dalamnya terdapat dua kata yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal, seperti pada bait ke-35, ke-40 dan, ke-43.
َب اَم ُساَنلا و دوُؤفَم َو دوُبكَم َين
wan-na>su ma> baina makbu>din wa maf’u>di manusia itu berada di antara kesusahan dan sakit hatinya
ِهِبِكوَِبِ يِداَغلا لإملل ُلوُقَأ
Aqu>lu lilmalail-gha>di>
bimaukibihi
Aku katakan kepada semua yang berada dalam kafilah
Bait ke-35
(Ibrahim, 2012: 378) Dua kata yang memiliki kesamaan terdapat pada kata
دوُبكَم
dan
دوُؤفَم.
Kesamaan tersebut terletak pada syakl harakah danjumlahnya. Keindahan kata tersebut dinamakan Jinas ghairu ta>m, yaitu perbedaan dua kata dalam salah satu atau lebih dalam hal macam huruf, syakl harakah, jumlah dan urutannya.
دوُسَمَ َو دوُهشَم َينَب اَهُ نسُح َو
wa chusnuha> baina masyhu>din wa machsu>di yang keindahannya terletak antara disaksikan dan diirikan
هَو اَهَّ نَأَك ٌةَيِساَك ِظاَفلأِب َي
Kannaha> wahya bialfa>zhi ka>siyatun
Dia bagaikan kata-kata mutiara
Bait ke-40
(Ibrahim, 2012: 379) Dua kata yang memiliki kesamaan terdapat pada kata
دوُهشَم
dan
دوُسَمَ.
Kesamaan tersebut terletak pada syakl harakah danjumlahnya. Keindahan kata tersebut dinamakan jinas ghairu ta>m.
دوُمَمَ َو فوُعضَم َينَب اَُهَ َلَِك
kila>huma> baina madh’u>fin wa machmu>di
keduanya, antara orang yang lemah dan yang terpuji.
Antara Madh’uf dan Mahmud
رِذعاَو َيِضيِرَق رِذعاَف َكيِف
ُهَلِئاَق
Fa’dzir qari>dhiya wa’dhir fi>ka qa>’ilahu Maka ampuni syairku dan maafkan mulutku yang membicarakanmu
Bait ke-43
(Ibrahim, 2012: 379)
Dua kata yang memiliki kesamaan terdapat pada kata
فوُعضَم
dan
دوُم َمَ.
Kesamaan tersebut terletak pada syakl harakah danjumlahnya. Keindahan kata tersebut dinamakan jinas ghairu ta>m.
2) Struktur
Pada syair ritsa>’ Mahmud Sami al-Barudi Pasha karya Hafidz Ibrahim ini, kata-kata yang digunakan sesuai dengan kaidah sintaksis. Kata-kata yang menyusun kalimat juga tidak tanafur sehingga mudah diucapkan dan enak didengar. Struktur kalimatnya tergolong fasi>ch dan terbebas dari cacat sintaksis. Selain itu, susunan kalimatnya tidak rancu sehingga mudah untuk mengetahui letak fa>’il, maf’u>l bih, cha>l, dan lain sebagainya.
Dalam syair ini penggunaaan kalimat didominasi dengan kalimat deklaratif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang bersifat pernyataan singkat dan jelas (KBBI, 2008: 333). Selain itu, terdapat pula kalimat interogatif pada bait ke-2 dan ke-19. Kalimat interogatif adalah bentuk verba atau kalimat yang digunakan untuk pertanyaan (2008:261). Jenis kalimat ini mengandung kalimat tanya dan diakhiri dengan tanda tanya. Dalam bahasa Arab kalimat interogatif di awali dengan kata istifha>m yakni, man, mata>, aina, kam, kaifa, ayyu (Ni’mah, 1988:126).
؟ِدوُدَمَ َيرَغ ِفِاَوَقلا ِلبَِلِ اَم َو
wa ma> lichablil-qawa>fi>
ghaira mamdu>di?
Ada apa dengan ikatan- ikatan qawafi, mengapa dia tidak memanjang?
ِنُعِواَطُت َلَ بىضَغ ِةَغ َلََبلل اَم
Ma> lilbala>ghati ghadhba>
la> tutha>wi’uni>
Ada apa dengan balaghah, mengapa dia tak mentaatiku?
Bait ke-2
(Ibrahim, 2012: 376)
دوُصقَِبِ تَزاَف وأ ِريِداَقَلما َنوُد
du>nal-maqa>di>ri au fa>zat bimaqshu>di
bukan yang ditetapkan oleh takdir atau dia akan
beruntung dengan sebuah tujuan.
ُهُباَبرَأ تَضَق لَه اَجِلِا اوُلَس اًرَطَو
Salu>l-chija> hal qadhat arba>buhu watharan Tanyakanlah akal, apakah Tuhannya telah memutuskan
harapannya?
Bait ke-19
(Ibrahim, 2012: 377) 3) Kemahiran bersastra
Hafidz Ibrahim merupakan salah satu penyair yang riwayat kehidupannya serta karirnya dalam hal kepenyairan dibukukan oleh beberapa ulama. Di antaranya, Ahmad Zaky Abu Syadi yang menuliskan tentang Hafidz Ibrahim secara khusus dalam majalah
“Apolo” pada bulan Juli tahun 1933, karya Ahmad Mahfudz yang berjudul “Chaya>tu Hafidz Ibrahim”, sastrawan Damaskus Sayyid Ahmad ‘Abid dalam bukunya yang berjudul “ Dzikra> As-sya>’iraini”
yang berisi kumpulan tulisan tentang Hafidz Ibrahim dan Ahmad Syauqi. Munculnya buku tentang dirinya menunjukkan bahwa Hafidz Ibrahim adalah sosok yang patut dicatat dalam sejarah kesusastraan karena perjalanan hidupnya yang menarik serta kemahirannya dalam dunia kepenyairan.
Hafidz Ibrahim juga dikenal sebagai penyair yang mahir dalam mengolah rasa, terlebih perasaan sedih. Dalam syair ini penyair sangat jeli dalam memilih kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Penyair juga mendatangkan makna mendalam dalam sebuah ungkapan metaforis. Ungkapan metaforis yang penyair sajikan memberikan pengaruh dalam jiwa sehingga pembaca turut larut dalam kesedihan yang dirasakan oleh penyair.
Kemahirannya tersebut memudahkan peneliti dan pembaca memahami syair tersebut.
Hafidz Ibrahim sebagai penyair neo-klasik juga dituntut kemahirannya dalam mengolah irama dan rima dalam syairnya.
Dalam hal ini penyair berhasil menjaga konsistensi rima dengan memilih kata-kata yang yang berakhiran huruf dal. Kemahirannya semakin terlihat karena kata-kata berakhiran huruf dal yang digunakan tidak ada yang berulang.
e. Mu>si>qasy-syi’ir
Syair ritsa>’ Mahmud Sami al-Barudi Pasha merupakan syair yang lahir pada periode Neo-klasik. Syair pada periode ini kembali terikat dengan aturan wazan dan qa>fiyah sehingga dalam syair ini penyair mengutamakan konsistensi dalam membangun irama dan rima.
Irama dalam syair Arab dikenal dengan sebutan bachr. Sedangkan rima dikenal dengan sebutan qa>fiyah. Pola irama (bachr) yang dibangun dalam syair adalah bachr basi>th yang tersusun atas taf’ilah mustaf’ilun
fa>’ilun mustaf’ilun fa>’ilun, sedangkan qa>fiyah syair ini konsisten diakhiri dengan huruf dal.
2. Syair Kedua
Syair Ritsa>’ merupakan salah satu tema besar dalam periode Neo- Klasik. Ritsa>’ memiliki arti ratap, tangis, duka cita (al-Munawwir, 1977:
473). Syair Ritsa>’ Al-Ustadz Al-Imam Asy-Syekh Muhammad Abduh mengungkapkan ratapan yang kuat yang ditunjukkan oleh Hafidz sebagai seorang murid ketika dia menangisi guru-guru yang memiliki hubungan baik dengan dirinya. Salah satu guru terbaiknya adalah Muhammad Abduh.
syair ritsa Muhammad Abduh tidak hanya menjelaskan kesedihan dirinya semata namun juga tentang kepedihan agama, ilmu, dan perdamaian. Selain itu syair ini juga menggambarkan rekam jejaknya yang luar biasa serta kesedihan mendalam yang dirasakan oleh hati kaum muslim. Hafidz Ibrahim dalam syairnya seakan-akan mengajarkan bagaimana pengungkapan puncak kesedihan dan derita kepedihan. Bait-baitnya dipenuhi dengan ekspresi jiwa dan hati yang muram. Ada pun dalam syair ini juga disebutkan kemuliaan dan kebaikan seorang Muhammad Abduh sehingga banyak yang merasakan kehilangan dirinya.
a. Al-Ma’na> (Gagasan)
Gagasan dalam puisi tidak diungkapkan secara eksplisit seperti dalam tulisan-tulisan ilmiah, tetapi diungkapkan melalui kode-kode yang tertulis dalam puisi. Oleh sebab itu, dari deskripsi umum di atas dapat dideduksikan beberapa pokok pikiran yang dimuat dalam teks, untuk kemudian merumuskannya secara jeli dan menjelaskan
hubungannya dengan tema utama (Sangidu, 2008: 301). Peneliti menemukan beberapa gagasan dalam syair “Ritsa>’ Al-Ustadz Al-Imam Asy-Syekh Muhammad Abduh” yaitu (1) Keadaan psikologis penyair (2)
Kekhawatiran terabaikannya ilmu dan kehilangan sosok guru, (3) Kebanggaan terhadap Muhammad Abduh, serta (4) Kesedihan penyair.
Gagasan pertama yang diungkapkan oleh penyair adalah ketakutan dirinya akan datangnya kematian serta deskripi keadaan dirinya yang diliputi oleh kesedihan yang mendalam. Gagasan ini terdapat pada bait ke-3 hingga bait ke-7.
ىشخأ تحبصأف تِايح لوطت نأ
fa’ashbachtu akhsya> an tathu>la chaya>ti
namun kini, aku menjadi takut akan panjangnya kehidupanku
تولما يداع ىشخأ تنك دقل هلبق
Laqad kuntu akhsya>
‘a>diyal-mauti qablahu Sungguh, aku takut akan kedatangan kematian sebelumnya
Bait ke-3
ىلع تارظنلا مكلت نم ةرظن
‘ala> nazhratin min tilkumun- nazhira>tin
Hanyalah satu tatapan mata, dari sekian banyak tatapan mata.
يفلَاوف - هنيب و نيب برقلا و -
Fawa>lahafi> wal-qabru baini> wa bainahu Duhai betapa
menyedihkannya aku – sementara jarak kubur antara aku dan dia-
Bait ke-4
تافرع فِ برقلا لايح نِّأك
kaanni> chiya>lal-qabri fi>
‘arafa>tin
seakan-akan aku di hadapan kubur ini karena sangat mengenalnya
سأرلا رساح هيلع تفقو اعشاخ
Waqaftu ‘alaihi cha>sirar- ra’si kha>syi’an
Aku diam tertunduk di dekat kepala jenazah Al- Imam
Bait ke-5
ةلَفب شحوم فِ هديلاتَ
taja>li>dahu fi> mu>chisyin bifala>tin
اوعدوأف ماملإا ردق اولهج دقل
Laqad jahilu> qadral- Ima>mi fa’audu’u>
Bait ke-6
membiarkan badannya
tergeletak di kesunyian sahara
Mereka tak tahu maqam dan kedudukan Al-Imam hingga membiarkannya begitu saja
تافر يرخ ضرلَا عاقب يربِ
bikhairi biqa>’il-ardhi khaira rufa>ti
akan mencari tanah terbaik untuk jenazah terbaik
اولزنلَ نيدجسلماب اوحرض ولو
Wa lau dharachu> bil- masjidaini la’anzalu>
Andai mereka mengais dua masjid,mereka akan turun (untuk
menghormatinya)
Bait ke-7
(Ibrahim, 2012: 379-380) Gagasan kedua yaitu kekhawatiran penyair atas terhenti dan menghilangnya ilmu yang telah diajarkan dan disebarkan oleh Muhammad Abduh. Hal yang bisa terjadi jika tidak ada generasi penerus yang menyebarkan dakwahnya dan juga jika ilmu tersebut tidak diamalkan. Gagasan ini adalah simpulan yang diambil dari bait ke-9 hingga bait ke-14.
؟ةاحم يرغب ايندلا فِ كتَيأ
ayutraku fi>d-dunya> bighairi chuma>ti?
Akankah dia (agama Muhammad) ini akan
ditinggalkan di dunia ini tanpa penjaga?
دممَ نيد نيدلا اذه تكرابت
Taba>rakta ha>dzad-di>nu di>nu muchammadin Terberkatilah engkau agama ini, agama Muhammad
Bait ke-9
تازمغلل نيدلا ةانق تنلَو
wala>nat qana>tud-di>ni lilghamaza>ti
channel agama semakin melemah hanya dalam beberapa kedip mata saja.
دق قرشلا لَاع اذه تكرابت ىضم
Taba>rakta ha>dza>
‘a>limusy-syarqi qad madha>
Terpujilah engkau, seorang ‘Alim dari Timur ini kini telah berlalu
Bait ke-10
تارمثلا تننج الم و تنب و
wa binta wa lamma> najtanits- tsamara>ti
هأطش جرخأف اعرز انل تعرز
Zara’ta lana> zar’an fa’akhraja syath’ahu
Bait ke-11
engkau justru (menjauh) pergi, dan ketika kami memetik buahnya
Engkau telah menanam untuk kami beberapa tumbuhan,hingga ketika tangkainya keluar
تاوم يرغ ضرلَا و هفراشي
yusya>rifuhu wal-ardhu ghairu mawa>ti
yang akan memuliakannya, sementara bumi ini tidaklah mati
اقفوم بيصي لَأ هل اهاوف
Fawa>han lahu alla>
yushi>bu muwaffaqan Namun justru membuat pohon itu melayu, apakah dia tidak
memberi persetujuannya
Bait ke-12
تارفص انفاطعأ لَإ تدرف
faruddat ila> a’tha>fina> shafira>ti namun hanya kekosongan yang diberikan kepada cinta kami
انحار كدعب ملَعلَا لَإ انددم
Madadna> ilal-a’la>mi ba’daka ra>chan Kami berlalu pergi menghadap para ‘alim ulama setelah
(kepergian)mu
Bait ke-13
تاقرش ىمعلا نرثآ و ندعف
fa’udna wa a<tsarna>l-‘ama>
syariqa>ti?
Namun mata memerah karena tangis hingga menjadi buta saja yang kembali
اننويع كاوس يغبت انب تلاج و
Wa ja>lat bina> tabghi>
siwa>ka ‘uyu>nuna>
Mata kami berputar-putar mencari selainmu
Bait ke-14
تاحفصلا اودوس تىح كناكم
maka>naka chatta> sawwadu>sh- shafacha>ti
tingginya kedudukanmu, hingga mereka membuat catatan-catatan hitam untukmu
اوركنأ و هللإا تاذ فِ كوذآ و
Wa a<dzauka fi> dza>til- ila>hi wa ankaru>
Mereka melukaimu karena sisi Tuhan yang kau miliki, dan mereka mengingkari
Bait ke-15
(Ibrahim, 2012: 380) Gagasan ketiga adalah kebanggaan penyair terhadap Muhammad Abduh atas peran dan jasanya dalam menegakkan agama Allah, menyiarkan dakwah dan kesahajaannya di hadapan Allah.
Gagasan ini adalah simpulan dari bait ke-16 hingga bait ke-23.
تاركن سفنأ فِ ةفرعم و
wama’rifatan fi> anfusin nakira>ti
ma’rifah dalam jiwa-jiwa yang nakiroh
فِ ابكوك مهيف تنك دقل بهايغ
Laqad kunta fi>him kaukaban fi> ghaya>hibin Dahulu, engkau adalah bintang dalam kegelapan
Bait ke-16
تاملظلا و رونلا ينب تقرف و
wa farraqta bainan-nu>ri wadh- dhuluma>ti
Engkau bedakan antara cahaya dan kegelapan
و امكح ليزنتلا انل تنبأ ةمكح
Abanta lana>t-tanzi>la chukman wa chikmatan Engkau ajarkan kepada kami al-Qur’an yang diturunkan, yang penuh dengan hukum dan hikmah
Bait ke-17
تاهج ثلَث نم ارون تعلطأف
faathla’ta nu>ran min tsala>tsi jiha>ti
engkau pancarkan cahaya dari tiga sisi
تقفوو ملعلاو نيدلا ينب
اجلِاو
Wawaffaqta bainad-di>ni wal-‘ilmi wal-chija>
Engkau selaraskan antara agama, ilmu dan akal
Bait ke-18
تاحفنلاب حورلا اهيف كدمأ
amaddaka fi>har-ru>chu bin- nafacha>ti
ruh Jibril membawamu kesana dalam beberapa hembusan
وتونالَ تقفو ةفقو نانير و
Waqafta liha>nu>tu>
wari>na>na waqfatan Engkau hentikan Gabriel Hanutu dan Ernest Rinan
Bait ke-19
تاغزنلا كشلا لهأ كفاخف
fakha>faka ahlusy-syakki wan- nazagha>ti
hingga orang-orang yang ragu dan para pengganggu itu pun takut kepadamu
تفخ و لك فِ للها ماقم
فقوم
Wakhifta maqa>mal-Lahi fi> kulli mauqifin
Engkau takut kepada maqam Allah dalam setiap pemberhentian
Bait ke-20
تاعجلَا ةذل اهيلع تضفن
nafadhta ‘alaiha> ladzdzatal- haja’a>ti
ةءافغإ فِ كل مك و رجفلا
ةظقي
Wa kam laka fi> ighfa>atil- fajri yaqzhatin
Bait ke-21
Engkau abaikan nikmatnya tidur lelap
Berapa banyak engkau terbangun dalamtidur fajarmu
تاوللخا فِ تيبلا هلإ يجانت
tuna>ji> ila>hal-baiti fi>l-khalawa>ti memohon kepada Tuhan Baitullah dalam kesendirian
كهجو تيبلا رطش تيلوو ايلاخ
Wawallaita syathral- baiti wajhaka kha>liya Engkau hadapkan wajahmu ke Baitullah dalam kekosongan
Bait ke-22
تامزعلا قداص اهيف تهبن و
wanabahta fi>ha> sha>diqal-
‘azama>ti
engkau tekankan dalam kegelapan malam itu’azam yang jujur
فِ تدناع ةليل مك و اهفوج
ىركلا
Wa kam lailatin ‘a>nadta fi> jaufiha>l-kara>
Berapa lama engkau ingkari kantuk di jantung malam
Bait ke-23
(Ibrahim, 2012: 381) Gagasan keempat adalah deskripsi kesedihan penyair yang dia sampaikan dengan pilihan kata (diksi) yang tepat serta penggunaan gaya bahasa yang mudah dipahami. Gagasan tersebut disimpulkan dari beberapa bait yang tidak berurutan, diantaranya bait ke-27, bait ke-37, bait ke-46.
تاونسلا مأشأ انيلع تنلَ
laanti ‘alaina> asyamus- sanawa>ti
engkau bagi kami adalah tahun-tahun paling membuat putus asa
هشعن داوعأب ترم ةنس ايف
Faya> sanatan marrat bia’wa>di na’syihi
Wahai tahun, yang telah berlalu dengan cabang- cabang kantuknya
Bait ke-27
(Ibrahim, 2012: 381)
تابرعلاب نوكلا نويع تقاضو
wa dha>qat ‘uyu>nul-kauni bil-
‘abara>ti
ضرلَا هل تتَراف قرشلا ىكب ةجر
Bakasy-syarqu fartajjat lahul-ardhu rajjatan
Bait ke-37
mata-mata alam raya ini menjadi sempit akan kata-kata (kehilangan)
Dunia “Timur”
menangis, bumi benar- benar bergoncang
(Ibrahim, 2012: 381)
تاعطقنم للها سفنأ ىلع
‘ala> anfusin lil-Lahi munqathi’a>ti
Atas beberapa jiwa, karena Allah jua kami hentikan (tangisan itu)
انءاكب نإو درف ىلع انيكب
Bakaina ‘ala> fardin wa inna buka>ana>
Kami menangisi satu jiwa, dan sesungguhnya tangisan kami
Bait ke-46
(Ibrahim, 2012: 382) b. Al-‘A>thifah (perasaan atau emosi)
Perasaan atau emosi yang muncul di sepanjang teks syair dapat berupa monoton perasaan sedih, marah, gembira maupun perasaan yang beraneka ragam yang ditunjukkan oleh penyair di dalam teks tersebut (Badr dalam Sangidu, 2008: 301). Dalam syair ritsa>’ yang berhubungan dengan kematian ini tidak hanya memunculkan perasaan sedih, namun dalam beberapa bait yang tidak berurutan dapat diketahui pula beranekaragam perasaan lain yang muncul.
Di permulaan syair peneliti menemukan adanya perasaan takut akan kematian pada bait ke-3. Kemudian pada bait ke-43 muncul perasaan takut penyair akan adanya orang yang berperilaku syirik dengan mengagung-agungkan jasad Muhammad Abduh secara berlebihan. Rasa takut tersebut diungkapkan dengan kata yang dapat dipahami secara langsung.
تِايح لوطت نأ ىشخأ تحبصأف
fa’ashbachtu akhsya> an tathu>la chaya>ti
namun kini, aku menjadi takut akan panjangnya kehidupanku
تولما يداع ىشخأ تنك دقل هلبق
Laqad kuntu akhsya>
‘a>diyal-mauti qablahu Sungguh, aku takut akan kedatangan kematian sebelumnya
Bait ke-3
(Ibrahim, 2012: 379)
تادجسلاب هجولا اذه رون لَإ
ila> nu>ri ha>dzal-wajhi bissajada>ti
kepada cahaya wajah ini, dengan sujud-sujud mereka
يف اولضي نأ ىشخلَ نِّإف ؤم
ناو
Fainni> laakhsya> an yadhillu> fayu’minu>
Karena sesungguhnya aku takut jika mereka akan tersesat, hingga mereka menunjuk
Bait ke-43
(Ibrahim, 2012: 382) Kesedihan berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting atau bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya kesedihan yang teramat sangat terjadi bila kehilangan orang yang sangat dicintai (Minderop, 2011: 43). Perasaan sedih terdapat pada bait yang tidak berurutan, yaitu pada bait ke-5 yang menggambarkan keadaan penyair yang sedang tertunduk meratapi kuburan Muhammad Abduh, bait ke-13 dengan menggunakan kata yang dapat di pahami secara langsung yakni kata tangis. Bait ke-27 hingga ke-29 menjelaskan kesedihan penyair dengan meratapi tahun kematian Muhammad Abduh. Tahun yang sangat sulit bagi diri penyair melihat dampak yang terjadi setelah kepergian gurunya.
تافرع فِ برقلا لايح نِّأك
kaanni> chiya>lal-qabri fi>
‘arafa>tin
seakan-akan aku di hadapan kubur ini karena sangat mengenalnya
سأرلا رساح هيلع تفقو اعشاخ
Waqaftu ‘alaihi cha>sirar- ra’si kha>syi’an
Aku diam tertunduk di dekat kepala jenazah Al- Imam
Bait ke-5
تاقرش ىمعلا نرثآ و ندعف
fa’udna wa a<tsarna>l-‘ama>
syariqa>ti?
Namun mata memerah karena tangis hingga menjadi buta saja yang kembali
اننويع كاوس يغبت انب تلاج و
Wa ja>lat bina> tabghi>
siwa>ka ‘uyu>nuna>
Mata kami berputar-putar mencari selainmu
Bait ke-13
(Ibrahim, 2012: 380)
تاونسلا مأشأ انيلع تنلَ
laanti ‘alaina> asyamus- sanawa>ti
engkau bagi kami adalah tahun-tahun paling membuat putus asa
هشعن داوعأب ترم ةنس ايف
Faya> sanatan marrat bia’wa>di na’syihi
Wahai tahun, yang telah berlalu dengan cabang- cabang kantuknya
Bait ke-27
تارهزلا رضان اضور تيوذأ و
wa adzwaiti raudhan na>dhiraz- zahara>ti
memporak-porandakan kebun dengan bunga-bunga yang bermekaran
تلطع و ، افيس انل تمطح ابرنم
Chathamta lana> saifan wa ‘aththalti minbaran Engkau telah
mematahkan pedang kami, merusakkan mimbar,
Bait ke-28
تايوطنم نزلِا تارجم ىلع
‘ala> jamara>til-chuzni munthawiya>ti
Pada bara kesedihan yang menyala di seluruh penjuru
تلعشأ و اسابرن تأفطأ و اسفنأ
Waathfa’ti nibra>san wa asya’alti anfusan
Engkau padamkan lampu dan nyalakan nafsu
Bait ke-29
(Ibrahim, 2012: 381)
Bait ke-8 menggambarkan perasaan khawatir penyair terhadap dunia Islam. Penyair menilai bahwa Muhammad Abduh adalah seorang penjaga yang mampu melindungi Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Bagi penyair perginya Muhammad Abduh sama seperti hilangnya penjaga agama Islam.
؟ةاحم يرغب ايندلا فِ كتَيأ
ayutraku fi>d-dunya> bighairi chuma>ti?
Akankah dia (agama Muhammad) ini akan ditinggalkan di dunia ini tanpa penjaga?
دممَ نيد نيدلا اذه تكرابت
Taba>rakta ha>dzad-di>nu di>nu muchammadin Terberkatilah engkau agama ini, agama Muhammad
Bait ke-8
(Ibrahim, 2012: 380) Perasaan kecewa pada bait ke-10 dan ke-11. Kemunculan perasaan kecewa penyair muncul karena kepergian atau kematian Muhammad Abduh ketika banyak orang yang berbondong-bondong ingin belajar dan menimba ilmu dari dirinya.
تارمثلا تننج الم و تنب و
wa binta wa lamma> najtanits- tsamara>ti
engkau justru (menjauh) pergi, dan ketika kami memetik buahnya
هأطش جرخأف اعرز انل تعرز
Zara’ta lana> zar’an fa’akhraja syath’ahu Engkau telah menanam untuk kami beberapa tumbuhan,hingga ketika tangkainya keluar
Bait ke-10
تاوم يرغ ضرلَا و هفراشي
yusya>rifuhu wal-ardhu ghairu mawa>ti
yang akan memuliakannya, sementara bumi ini tidaklah mati
اقفوم بيصي لَأ هل اهاوف
Fawa>han lahu alla> yushi>bu muwaffaqan
Namun justru membuat pohon itu melayu, apakah dia tidak memberi
persetujuannya
Bait ke-11
(Ibrahim, 2012: 380)
Bait ke-21 hingga ke-23 menggambarkan perasaan haru penyair terhadap kesahajaan Muhammad Abduh yang sering menghabiskan malamnya untuk bermunajat kepada Rabbnya.
تاعجلَا ةذل اهيلع تضفن
nafadhta ‘alaiha> ladzdzatal- haja’a>ti
Engkau abaikan nikmatnya tidur lelap
ةظقي رجفلا ةءافغإ فِ كل مك و
Wa kam laka fi> ighfa>atil- fajri yaqzhatin
Berapa banyak engkau terbangun dalam tidur fajarmu
Bait ke-21
تاوللخا فِ تيبلا هلإ يجانت
tuna>ji> ila>hal-baiti fi>l- khalawa>ti
memohon kepada Tuhan Baitullah dalam kesendirian
كهجو تيبلا رطش تيلوو ايلاخ
Wawallaita syathral-baiti wajhaka kha>liya
Engkau hadapkan wajahmu ke Baitullah dalam kekosongan
Bait ke-22
تامزعلا قداص اهيف تهبن و
wanabahta fi>ha> sha>diqal-
‘azama>ti
engkau tekankan dalam kegelapan malam itu’azam yang jujur
اهفوج فِ تدناع ةليل مك و ىركلا
Wa kam lailatin ‘a>nadta fi>
jaufiha>l-kara>
Berapa lama engkau ingkari kantuk di jantung malam
Bait ke-23
(Ibrahim, 2012: 380-381) Bait ke-40 dan ke-41 menunjukkan kebanggaan kepada Muhammad Abduh yang kepergiannya meninggalkan luka dan kepedihan. Hal ini menjadi tanda betapa besar jasa yang telah diberikan oleh Muhammad Abduh kepada dunia Islam juga perannya sebagai alim ulama yang dicintai semua kalangan.
تاهبشلا مداه يجايدلا جارس
sira>jad-daja>ji> ha>dimasy- syubuha>t
cahaya ad-Dayajiy, sang penghancur syubhat
هرصع لَاع ملَسلإا لَاع ىكب
Baka> ‘a>lamul-isla>mi
‘a>lima ‘ashrihi
Dunia Islam menangisi Alim zamannya
Bait ke-40
ثايغ ةاده مامإ مدع يوذ
ghiya>tsa dzawi> ‘udmin ima>ma huda>ti
sebagai hujan bagi orang tak punya, imam para da’i
لمارأ لاثم ليايع ذلَم
Mala>dza ‘aya>yilin tsima>la ara>milin
Orang yang selalu dituju oleh keluarga dan para janda
Bait ke-41
(Ibrahim, 2012: 381) c. Al-Khaya>l (Imajinasi)
Hafidz Ibrahim adalah seorang penyair yang memiliki kepekaan rasa yang kuat sehingga dalam syair ritsa>’ terlihat kemahirannya dalam mengungkapkan kata-kata dalam sebuah perumpamaan. Secara imajinatif, penyair telah berhasil menggambarkan dua hal utama yaitu, kesedihan penyair dengan orang-orang yang mengenal Muhammad Abduh serta peran Muhammad Abduh terhadap ilmu, agama dan sesama. Prof. Sangidu dalam jurnalnya yang berjudul “Abun (Elegi untuk Ayah: Analisis Struktural Model Farhud”, memaparkan imajinasi
penyair dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu paparan langsung, pemandangan dan gambar-gambar artistik. Ada pun dalam teks syair ritsa>’ Muhammad Abduh sebagai berikut :
1) Penggambaran melalui paparan langsung memudahkan pembaca dalam memahami syair tanpa perlu berfikir panjang. Hal ini terdapat pada bait ke-27 dan ke-36.
انيلع تنلَ
تاونسلا مأشأ
laanti ‘alaina> asyamus- sanawa>ti
engkau bagi kami adalah tahun-tahun paling membuat putus asa
هشعن داوعأب ترم ةنس ايف
Faya> sanatan marrat bia’wa>di na’syihi
Wahai tahun, yang telah berlalu dengan cabang- cabang kantuknya
Bait ke-27
(Ibrahim, 2012: 381) Dalam bait ini seolah-olah penyair berbicara dengan Tahun.
Pembicaraan yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tahun adalah benda mati yang tidak memiliki kemampuan untuk mendengar. Dapat diketahui secara langsung bahwa penyair menganggap tahun tersebut sebagai tahun yang menyedihkan.
تارعتسم سافنلَا هعفدت و
wa tadfa’uhul-anfa>su musta’ira>ti
mendorong sesenggukan nafas yang menyalakan kesedihan
هلقت تايرالجا عومدلا داكت
Taka>dud-dumu>’ul- ja>riya>tu tuqilluhu Hampir saja air mata duka yang mengalir akan membawanya
Bait ke-36
(Ibrahim, 2012: 381) Penyair mengungkapkan keadaan berduka yang dapat diketahui secara langsung lewat penggambaran dalam bait syairnya yang menyebutkan air mata, sesenggukan nafas dan kesedihan.
2) Penggambaran melalui pemandangan mengajak pembaca untuk ikut berimajinasi dan larut dalam pemaknaan yang ingin disampaikan oleh penyair. Syair ini didominasi oleh penggambaran melalui pemandangan, yaitu pada bait ke-4, ke-10 hingga ke-11, ke-16 hingga ke-17, ke-31 hingga ke-35, ke-37 hingga ke-40.
تارظنلا مكلت نم ةرظن ىلع
‘ala> nazhratin min tilkumun-nazhira>tin
Hanyalah satu tatapan mata, dari sekian banyak tatapan mata.
يفلَاوف - هنيب و نيب برقلا و -
Fawa>lahafi> wal-qabru baini> wa bainahu Duhai betapa
menyedihkannya aku – sementara jarak kubur antara aku dan dia-
Bait ke-4
(Ibrahim, 2012: 379) Dalam bait ini, pemandangan tersebut menunjukkan dekatnya jarak antara diri penyair dengan kuburan Muhammad Abduh.
تارمثلا تننج الم و تنب و
wa binta wa lamma>
najtanits-tsamara>ti engkau justru (menjauh) pergi, dan ketika kami memetik buahnya
هأطش جرخأف اعرز انل تعرز
Zara’ta lana> zar’an fa’akhraja syath’ahu Engkau telah menanam untuk kami beberapa tumbuhan,hingga ketika tangkainya keluar
Bait ke-10
و هفراشي تاوم يرغ ضرلَا
yusya>rifuhu wal-ardhu ghairu mawa>ti
yang akan memuliakannya, sementara bumi ini tidaklah mati
اقفوم بيصي لَأ هل اهاوف
Fawa>han lahu alla>
yushi>bu muwaffaqan Namun justru membuat pohon itu melayu, apakah dia tidak
memberi persetujuannya
Bait ke-11
(Ibrahim, 2012: 380) Bait ke-10 dan ke-11 merupakan pemandangan pepohonanan yang mengimajinasikan ilmu yang diamalkan dan kebaikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh. Hanya saja semenjak kepergian Muhammad Abduh, penyair merasa ilmu dan kebaikannya seakan-akan turut menghilang.