• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persimpangan

Persimpangan merupakan titik pertemuan dari beberapa ruas jalan.

Berdasarkan bentuknya, persimpangan sendiri memiliki beberepa jenis seperti simpang lengan tiga (pertigaan), simpangan lengan empat (perempatan) atau bahkan bisa lebih. Oleh karena itu, persimpangan merupakan salah satu hal penting dalam dunia lalu lintas. Di setiap persimpangan memiliki resiko seperti kecelakaan dan kemacetan. Sehingga untuk persimpangan yang memiliki resiko kecelakaan dan kemacetan tinggi, perlu diadakan peninjauan atau solusi dari dinas terkait untuk menyelesaikannya. Berdasarkan jenis fasilitasnya, persimpangan memiliki 2 macam yakni persimpangan bersinyal dan persimpangan tidak bersinyal.

Persimpangan sendiri juga berpengaruh terhadap waktu dan kecepatan perpindahan mobilitas setiap orang yang melintasinya, dimana semakin ramai suatu persimpangan tentu semakin lama waktu dan kecepatan mobilitas setiap orang.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, persimpangan adalah pertemuan atau percabangan jalan, baik sebidang maupun yang tidak sebidang. Termasuk dalam pengertian persimpangan adalah pertigaan (simpang tiga), perempatan (simpang empat), perlimaan (simpang lima), persimpangan bentuk bundaran, dan persimpangan tidak sebidang, namu tidak termasuk persilangan sebidang dengan rel kereta api.

Persimpangan juga sangat perlu untuk dilakukan peninjauan dan perencanaan ulang karena seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka kendaraan yang ada di jalan juga semakin meningkat, imbasnya adalah kemacetan yang terjadi di persimpangan jalan.

Masalah-masalah yang terjadi pada persimpangan adalah sebagai berikut:

a. Volume lalu lintas dan kapasitas simpang.

b. Desain geometrik simpang.

c. Tundaan dan panjang antrian.

(2)

d. Kecepatan.

e. Pengaturan lampu lalu lintas (jika ada).

f. Kecelakaan dan keselamatan.

g. Parkir.

2.2 Jenis-Jenis Persimpangan

Secara garis besarnya persimpangan terbagi dalam 2 bagian:

1. Persimpangan sebidang

Persimpangan sebidang adalah persimpangan dimana berbagai jalan atau ujung jalan masuk persimpangan mengarahkan lalu lintas masuk ke jalan yang dapat berlawanan dengan lalu lintas lainnya.

Pada persimpangan sebidang menurut jenis fasilitas pengatur lalu lintasnya dipisahkan menjadi 2 (dua) bagian:

a. Simpang bersinyal (signalised intersection) adalah persimpangan jalan yang telah terdapat lampu sinyal yang berguna untuk mengatur jalan dan berhentinya kendaraan dari masing-masing jalan.

b. Simpang tak bersinyal (unsignalised intersection) adalah pertemuan jalan yang belum terdapat lampu sinyal untuk mengatur lalu lintasnya.

2. Persimpangan tak sebidang

Persimpangan tak sebidang adalah persimpangan yang telah dibuatkan jalan untuk berpindah ruas dari jalan satu ke jalan lainnya tanpa harus bertemu kendaraan dari arah berlawanan. Contoh seperti jalan layang. Hanya saja untuk membuat persimpangan tak sebidang tentu memerlukan biaya yang mahal dan luas lahan yang cukup besar karena cukup memakan banyak tempat.

2.3 Pengaturan Persimpangan

Peraturan lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedangkan yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana jalan dan fasilitas pendukung yang dimanfaatkan untuk bergeraknya suatu kendaraan, orang, dan/atau barang.

Tujuan utama dari pengaturan lalu lintas ialah untuk menjaga keselamatan,

(3)

kenyamanan arus lalu lintas dengan memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas dan terarah. Contoh pengaturan lalu lintas baik di simpang maupun di jalan adalah dengan memanfaatkan penggunaan lampu lalu lintas, marka, serta rambu-rambu lalu lintas yang telah banyak kita ketahui, seperti larangan berhenti, batas kecepatan kendaraan dan rambu putar balik.

Persimpangan jalan juga merupakan penyumbang konflik terbesar dalam dunia lalu lintas. Satu perempatan jalan sebidang dapat menghasilkan 16 titik konflik. Oleh karena itu, selain upaya untuk memperlancar lalu lintas, juga perlu dipikirkan mengenai kenyamanan dan keamaan bagi pengendara yang melintas.

Contohnya adalah memasang lampu lalu lintas, larangan belok kanan, atau bahkan pembangunan jembatan layang.

Kriteria bahwa suatu persimpangan sudah harus menggunakan alat pemberi isyarat lalu lintas menurut Ditjen Perhubungan Jalan, 1996 adalah:

1. arus minimal lalu lintas yang menggunakan rata-rata di atas 750 kendaraan/jam selama 8 jam dalam sehari;

2. atau bila waktu menunggu/tundaan rata-rata kendaraan di persimpangan telah melampaui 30 detik;

3. atau persimpangan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam selama 8 jam dalam sehari;

4. atau sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan;

5. atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab yang disebutkan di atas.

6. atau persimpangan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam selama 8 jam dalam sehari;

7. atau sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan;

8. atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab yang disebutkan di atas.

2.4 Pengertian Jalan

Dalam Undang - Undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 menyatakan bahwa untuk menciptakan pembangunan yang merata atau seimbang di seluruh daerah di Indonesia, jalan merupakan salah satu hal yang harus

(4)

dipertimbangkan, jalan sendiri merupakan bagian dari transportasi nasional yang juga berfungsi untuk membantu masyarakat di bidang perekonomian, sosial budaya serta lingkungan.

Badan jalan menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (2009:1) adalah bagian dari jalan yang terdiri dari jalur, ada atau tidak adanya median jalan atau jalur pemisah. Sedangkan bahu jalan adalah salah satu area di samping perkerasan jalan yang berfungsi sebagai tempat berhentinya suatu kendaraan apabila diharuskan untuk menepi.

2.5 Sistem Jaringan Jalan

Dalam Undang - Undang no 38 tahun 2004 menyebutkan bahwa sistem jaringan jalan dibbagi menjadi 2 jenis, yakni sistem jaringan primer dan sistem jaringan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan pengembangan barang dan jasa berupa pusat-pusat kegiatan di tingkat nasional. Sedangkan sistem jaringan sekunder banyak digunakan pada wilayah perkotaan untuk menjamin distribusi masyarakat berupa barang dan jasa menjadi aman.

2.6 Klasifikasi Jalan

Undang - Undang No 38 tahun 2004 tentang jalan, menyatakan bahwa klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi 4, yaitu:

1. Jalan Arteri adalah jalan yang memiliki kapasitas yang tinggi, dan memiliki standar kecepatan rencana rata - rata 60 km/jam. Karena intensitas jalan arteri ini cukup tinggi, maka semestinya pada setiap jalan arteri sudah dilengkapi dengan rambu - rambu lalu lintas, lampu penerangan jalan, marka jalan dan komponen-komponen keselamatan lainnya. Untuk memastikan keselamatan bagi kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor, biasanya di sebelah kiri jalan arteri juga disediakan jalur khusus.

2. Jalan Kolektor adalah jalan yang biasa digunakan untuk perjalanan rute sedang dan dengan kecepatan rata - rata 40 km / jam. Di daerah pemukiman padat penduduk, kendaraan angkutan berat tidak diperbolehkan untuk melintasi jalan ini, lokasi parkir badan jalan juga dibatasi, dan sama seperti jalan primer,

(5)

fasilitas-fasilitas penunjang keselamatan juga perlu diperhatikan.

3. Jalan Lokal adalah jalan yang menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, jalan jenis ini biasanya tak sepadat jalan primer dan jalan kolektor. Jalan jenis ini memiliki kecepatan rata - rata 20 km / jam, kendaraan angkutan barang dan bus juga diperbolehkan melewati jalan jenis ini.

4. Jalan Lingkungan adalah jalan yang hanya melayani angkutan disekitar lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.7 Tingkat Pelayanan (Level Of Service)

Tingkat pelayanan (level of servive) adalah perbandingan antara kinerja ruas jalan atau simpang dengan kepadatan jalan, kecepatan dan hambatan yang terjadi.

Rumus matematis tingkat pelayanan jalan yaitu V/C (V adalah volume lalu lintas, C adalah kapasitas jalan). Tingkat pelayanan jalan dan simpang sendiri memiliki kategori-kategori kelayakan, dimana yang terbaik adalah nilai (A), dan yang terburuk adalah nilai pelayanan (F).

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2006 tentang Karakteristik Tingkat Pelayanan atau Level of Services (LOS) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Karakteristik Tingkat Pelayanan Tingkat

Pelayanan (LOS)

Karakteristik

Batas Lingkup

V/C

A

Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi memilih keepatan yang diinginkan tanpa hambatan

0,0 – 0,20

B

Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas.

Pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan

0,21 – 0,44

C

Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak

0,45 – 0,74

(6)

kendaraan dikendalikan, pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan D Arus mendekati tidak stabil, kecepatan

masih dikendalikan, Q/C masih dapat ditolerir

0,75 – 0,84

E Volume lalu lintas mendekati/berada pada kapasitas arus tidak stabil, terkadang berhenti

0,85 – 1,00

F

Arus yang dipaksakan/macet, kecepatan rendah, V di atas kapasitas, antrian panjang dan terjadi hambatan- hambatan yang besar

> 1,00

Sumber : Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14, 2006 2.8 Simpang Tak Bersinyal

Simpang tak bersinyal adalah simpang yang tidak memiliki lalu lalu lintas untuk mengatur jalan dan berhentinya kendaraan dari masing-masing jalan.

Sehingga simpang jenis ini memiliki resiko kecelakaan yang lebih tinggi dibanding simpang bersinyal. Biasanya simpang ini dipakai di jalan-jalan kecil atau perumahan karena volume kendaraannya rendah. Namun masih ada beberapa persimpangan yang memiliki kepadatan tinggi dan tidak memiliki lampu lalu lintas, tentu hal ini perlu ditinaju kembali demi memastikan keselamatan dan kenyamanan setiap pengendara yang melintas.

2.9 Jenis Pengendalian Persimpangan

Salah satu cara pengendalian persimpangan tentunya adalah dengan memanfaatkan rambu lalu lintas dan marka jalan. Seperti yang sudah diketahui, rambu lalu lintas memiliki banyak sekali macam dan setiap simpang memiliki kebutuhan rambu yang berbeda-beda. Pemasangan rambu lalu lintas harus sesuai dengan karakteristik atau kebutuhan simpang yang ada, oleh karena itu bisajadi pada simpang satu dengan yang lain berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah

(7)

rambu lalu lintas putar balik yang tidak bisa digunakan untuk simpang dengan kepadatan yang tinggi, karena nantinya akan mengakibatkan tundaan yang semakin parah. Selain pemasangan, tentu juga diperlukan adanya perawatan berkala agar rambu yang telah dipasang dapat berfungsi dan terbaca dengan jelas oleh pengendara yang melintas.

Selain rambu lalu lintas, perlu juga adanya marka untuk membatasi bagian- bagian jalan agar tidak terjadi tabrakan atau tumpang tindih antara kendaraan satu dan kendaraan lainnya. Hal-hal ini perlu diperhatikan dengan baik untuk mengatasi masalah di persimpangan, dan juga tentunya untuk mewujudkan ketertiban dalam berlalu lintas. Jenis pengendalian persimpangan dengan menggunakan beberapa cara, yaitu :

1. Rambu larangan berhenti

Rambu larangan berhenti biasa digunakan pada jalan yang telah mendekati simpang, gunanya adalah agar tidak ada kendaraan yang berhenti mendekati simpang karena berpotensi mengakibatkan kemacetan yang semakin tinggi. Rambu ini ditulis dengan huruf S yang dicoret, S sendiri merupakan penyederhanaan dari kata “STOP” yang memiliki arti berhenti. Rambu ini diletakkan pada bagian sisi kiri jalan.

2. Rambu Pengendali Kecepatan

Rambu pengendali kecepatan ini banyak digunakan di jalan tol untuk memberitahukan kepada pengendara batasan kecepatan maksimum dan minimum.

Rambu ini dimaksudkan agar tidak ada kendaraan yang berjalan terlalu cepat demi meminimalisir kecelakaan, dan juga tidak ada kendaraan yang berjalan terlalu pelan sehingga mengganggu pengendara yang lain.

3. Median Jalan

Median jalan sendiri sebenernya memiliki fungsi yang sangat penting untuk membatasi jalur dan/atau lajur berlawanan pada suatu jalan. Dengan adanya median jalan, tentu tidak ada lagi kendaraan yang mendahului

(8)

kendaraan lain dengan mengambil lajur berlawanan. Hal ini tenti juga memberikan kenyamanan bagi pengendaran, dan yang paling penting pengendara merasa lebih aman.

4. Bundaran (Rotary) dan Perputaran (Roundabout)

Bundaran dan perputaran adalah salah satu bentuk belokan yang didesain sedemikian rupa agar meminimalisir adanya tabrakan dari dua arah berlawanan. Bundaran dan perputaran umumnya hanya memiliki satu arah lajur saja. Namun kekurangan dibuatnya bundaran adalah lebih banyak membutuhkan lahan dan tentu biaya yang makin mahal untuk setiap pembangunannya.

5. Peralatan Lampu Lalu Lintas

Salah satu cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah pada persimpangan tentu adalah dibuatnya lampu lalu lintas. Sebab selain mengatasi kemacetan, lampu lalu lintas juga menekan angka kecelakaan karena pengendara dari tiap-tiap jalan mengetahui kapan harus berjalan dan kapan harus berhenti.

Namun tentu juga perlu adanya penyesuaian lama durasi lampu lalu lintas agar tidak malah menjadi kemacetan yang semakin padat. Durasi lampu lalu lintas di tiap-tiap jalan bisa berbeda-beda seiring dengan volume kepadatan yang ada. Definisi dari lampu lalu lintas sendiri ialah alat yang dilengkapi pengatur waktu yang memberi penanda jarak berhenti dan jalan pada pengguna jalan sehingga arus lalu lintas yang melewati persimpangan menjadi tertib terkendali.

Sebuah simpang tak bersinyal dapat diubah menjadi simpang bersinyal atau bundaran menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-15) dikarenakan faktor keselamatan lalu lintas dalam hal mengurangi tingkat kemacetan dan kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan dari lain arah, bisa juga akibat jarak pandang gerakan yang terbatas akibat terhalang oleh rumah, tanaman atau hal lainnya yang berada di sudut persimpangan.

(9)

2.10 Pengaturan Simpang Tak Bersinyal

Pengaturan simpang tak bersinyal menurut Aqsha (2009:19) pilihan utama pada klasifikasi jalan tidak melayani tingkat arus lalu lintas yang tinggi.

Berikut adalah kelebihan dari penerapan simpang tak bersinyal, yaitu : 1. Para pejalan kaki dan pengendara kendaraan baik bermotor atau tidak

bermotor dapat berjalan melewati simpang tanpa hambatan dari lampu lali lintas.

2. Biaya perawatan simpang tidak bersinyal relatif lebih kecil.

Namun ada juga kekurangan dari simpang tidak bersinyal adalah sebagai berikut :

1. Banyak mengakibatkan kecelakaan karena para pengendara tidak tahu kapan harus berjalan dan kapan harus berhenti.

2. Apabila lalu lintas padat, tentu akan sulit bagi pengendara yang hendak menyeberang untuk berpindah jalan.

3. Banyak pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengendara yang melintas.

2.11 Karakteristik Kendaraan

Setiap jenis kendaraan menurut Aqsha (2009:26) memiliki pertimbangan sendiri untuk melintas pada suatu jalan sesuai dengan jenis kendaraannya. Setiap jenis kendaraan dikelompokkan menjadi empat (4) yang dijelaskan pada Tabel 2.2 Setiap karakteristik kendaraan memiliki nilai ekuivalen yang berbeda-beda. Pembagian karakteristik kendaraan sendiri bisa beracuan pada jumlah roda, atau jarak as pada kendaraan tersebut.

Karakteristik kendaraan ini nantinya berpengaruh terhadap ekuivalen mobil penumpang pada setiap persimpangan atau jalan yang dilewati.

(10)

Tabel 2.2 Jenis Kendaraan

No Jenis Kendaraan Keterangan

Kendaraan Ringan 1.

(LV)

2. Kendaraan Berat (HV)

3. Sepeda Motor (MC)

Kendaraan Tak 4.

Bermotor (Sumber : MKJI, 1997)

Kendaraan bermoto roda dua as dengan empat roda, dengan jarak as 2,0 - 3,0 m (meliputi : mobil penumpang, mikrobis, dan truk kecil).

Kendaraan bermotor yang memiliki lebih dari empat roda (meliputi : bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi).

Kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi : sepeda motor dan kendaraan roda 3).

Kendaraan yang digerakkan oleh manusia dengan menggunakan roda (meliputi : sepeda, becak dan kereta dorong).

Setiap jenis kendaraan menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:2- 10) diubah menggunakan satuan mobil penumpang per satuan waktu atau (smp/jam) dengan mengalikan nilai Ekivalen mobil penumpang (emp) kendaraan.

Ekivalensi mobil penumpang (emp) adalah suatu faktor konversi untuk menyetarakan berbagai tipe kendaraan yang beroperasi di suatu ruas jalan kedalam satu jenis kendaraan yakni mobil penumpang. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 telah menetapkan nilai-nilai EMP untuk berbagai jenis kelompok kendaraan bermotor.

Nilai ekivalen mobil penumpang (emp) kendaraan menurut Alamsyah (2008:69) untuk setiap jenis kendaraan tergantung karakteristik jalannya, jenis garis dan volume lalu lintas keseluruhan dinyatakan dalam kendaraan/jam. Ekivalen mobil penumpang pada sepeda motor juga karakteristik jalan 2 / 2, tergantung pada lebar jalur lalu lintas. Nilai Ekivalen mobil penumpang (emp) kendaraan dijelaskan dalam Tabel 2.3

(11)

Tabel 2.3 Nilai Ekivalen Mobil Penumpang (emp) Kendaraan

Jenis Kendaraan Emp

Kendaraan Ringan (Leave Vehicle) Kendaraan Besar (Heavy Vehicle) Sepeda Motor (MotorCycle) (Sumber : MKJI, 1997)

1,0 1,3 0,5

2.12 Kapasitas

Kapasitas total lengan simpang merupakan hasil kali kapasitas dasar (C0) dengan faktor-faktor penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan terhadap kapasitas.

Kapasitas dasar (C0) ialah merupakan kapasitas pada kondisi tertentu, biasanya dipakai dalam kondisi ideal.

Rumus kapsitas adalah sebagai berikut :

C = C0 x Fw x FM x FCS x FRSU x FLT x FRT x FMI

Dimana :

C = kapasitas aktual (sesuai kondisi yang ada di lapangan) C0 = kapasitas dasar (smp / jam)

FW = Faktor Penyesuaian lebar rata-rata pendekat FM = Faktor Penyesuaian median jalan

FCS = Faktor Penyesuaian ukuran kota

FRSU = Faktor Penyesuaian tipe lingkungan jalan FLT = Rasio arus belok kiri

FRT = Rasio arus belok kanan FMI = Rasio arus jalan minor

(12)

Tabel 2.4 Ringkasan Variabel-variabel Masukan Model Kapasitas Tipe

Variabel Uraian Variabel Nama

Masukan

Faktor Model

Geometri Tipe simpang IT

Lebar rata-rata pendekat W1 FW

Tipe median jalan utama M FM

Lingkungan Kelas ukuran kota CS FCS

Tipe lingkungan jalan RE

Hambatan samping SF

Rasio kendaraan tak bermotor PUM FRSU

Lalu lintas Rasio belok kiri PLT FLT

Rasio belok kanan PRT FRT

Rasio arus jalan minor QM/QTot FMI

(Sumber : MKJI 1997) 2.12.1 Tipe Simpang

Tipe simpang menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3- 32) untuk menentukan banyaknya jumlah lengan pada suatu persimpangan ditentukan dengan menggunakan kode IT dengan tiga angka, yang terdiri dari semua lengan pendekat, total lajur jalan minor, dan total lajur jalan mayor / utama. Lengan pendekat adalah jumlah ruas jalan yang berfungsi untuk masuk dan keluarnya berbagai jenis kendaraan. Variabel kode tipe simpang (IT) dijelaskan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Kode Tipe Simpang Kode

IT

Jumlah Lengan Simpang

Jumlah Lajur Jalan Minor

Jumlah Lajur Jalan Utama

322 3 2 2

324 3 2 4

342 3 4 2

422 4 2 2

424 4 2 4

(Sumber : MKJI 1997)

Pada simpang tidak bersinyal, jika ada jalan utama dan jalan minor yang mempunyai empat lajur, yaitu simpang 344 dan 444, maka simpang tersebut dianggap sebagai simpang kode 324 dan 424. Karena tipe simpang seperti itu tidak dijumpai selama survey di lapangan.

(13)

1. Kapasitas Dasar (Co)

Suatu ruas jalan menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3- 33) harus mampu menampung besarnya jumlah kendaraan oleh masing- masing kapasitas jalan yang ada. Berikut tipe simpang dan nilai kapasitas dasar dicantumkan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tipe Simpang (Sumber : MKJI, 1997)

Kapasitas dasar berdasarkan tipe persimpangan ditentukan dengan kode IT yaitu kode tiga angka yang diubah menjadi satuan mobil penumpang per jam. Kapasitas dasar menurut tipe simpang dijelaskan pada Tabel 2.6.

(14)

Tabel 2.6 Nilai Kapasitas Dasar Menurut Tipe Simpang

Tipe Simpang IT Kapasitas dasar smp/jam

322 2700

342 2900

324 atau 344 3200

422 2900

424 atau 444 3400

(Sumber : MKJI 1997)

2. Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (FW)

Penyesuaian lebar pendekat (FW) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-33) dijelaskan pada grafik di bawah. Variabel yang mempengaruhi adalah lebar rata - rata untuk semua pendekat W, dan tipe simpang IT. Faktor penyesuaian lebar pendekat (FW) dijelaskan pada Grafik 2.1.

Grafik 2.1. Faktor penyesuaian lebar pendekat (FW) (Sumber : MKJI, 1997)

3. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)

Teknik lalu lintas menurut Aqsha (2009:47) perlu mempertimbangkan faktor median jalan dengan ciri-ciri jalan yang memiliki lebar jalan tiga (3) meter atau lebih. Median jalan juga bisa digunakan untuk daerah berlindung tanpa mempengaruhi proses kinerja jalan saat beroperasi. Faktor penyesuaian median jalan utama (FM) dijelaskan pada Tabel 2.7 dengan

(15)

masing-masing nilai FM . Pada suatu kondisi jika ada median jalan utamanya sempit maka pada jalan tersebut akan dilakukan pelebaran jalan jika memungkinkan. Tipe median jalan utama digunakan empat (4) laju masukan.

Tabel 2.7 Faktor Penyesuain Media Jalan Utama (FM)

Uraian Tipe M Faktor Penyesuain

Median (FM) Tidak ada median jalan utama Tidak ada 1,00 Ada median jalan utama,

lebar <3 m Sempit 1,05

Ada median jalan utama,

lebar >3 m Lebar 1,20

(Sumber : MKJI 1997)

4. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Masukkan untuk factor penyesuaian ukuran kota (FCS) menurut Direktoral Jendral Bina Marga (1997:3-34) adalah ukuran kota yang diteliti dan total penduduk dalam juta. Faktor FCS dijelaskan pada Tabel 2.9

Tabel 2.8 Kelas Ukuran Kota

Ukuran Kota Jumlah Penduduk (Juta)

Sangat Kecil <0,1

Kecil 0,1 - 0,5

Sedang 0,5 - 1,0

Besar 1,0 - 3,0

Sangat Besar >3,0

(Sumber : MKJI 1997)

Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS) juga dijelaskan pada Tabel 2.8. Data masukan adalah ukuran kota (CS), klasifikasi jumlah penduduk dalam juta, dan nilai untuk menentukan variabel ukuran kota (FCS).

(16)

Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

Ukuran Kota CS Penduduk Juta Faktor Penyesuaian Kota (FCS)

Sangat Kecil < 0,1 0,82

Kecil 0,1 - 0,5 0,88

Sedang 0,5 - 1,0 0,94

Besar 1,0 - 3,0 1,00

Sangat Besar > 3,0 1,05

(Sumber : MKJI 1997)

5. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Kendaraan Tak Bermotor (FRSU)

Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-35) dibedakan menjadi tiga (3) kawasan yaitu kawasan komersial, kawasan permukiman, dan akses terbatas.

Faktor tipe lingkungan jalan dijelaskan sesuai dengan Tabel 2.10.

Variabel masukan adalah tipe lingkungan jalan (RE), kelas hambatan samping (SF) dan rasio kendaraan tak bermotor (PUM).

Tabel 2.10 Tipe Lingkungan Jalan

Tipe Lingkungan Jalan Keterangan

Komersial

Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan, perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan

kaki dan kendaraan.

Pemukiman

Tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan

kendaraan.

Akses terbatas

Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya karena adanya

penghalang fisik, jalan samping, dsb).

(Sumber : MKJI 1997)

Nilai faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor (FRSU) yang telah ditemukan, dikalikan dengan nilai rasio kendaraan tak bermotor (PUM) sesuai dengan kawasan tipe lingkungan jalannya, sesuai tingkatan tinggi, sedang, atau rendah. Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan,

(17)

hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor (FRSU) dijelaskan pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor (FRSU)

Kelas Tipe Lingkungan

Jalan RE

Kelas Hambatan Saping SF

Rasio Kendaraan Tak Bermotor PUM 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 > 0,25 Komersial

Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70 Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71 Pemukiman

Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72 Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73 Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74 Akses

Terbatas

Tinggi/Se dang/Ren

dah

1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75

(Sumber : MKJI 1997)

Setiap kejadian hambatan samping dipantau dalam jarak 200 meter ke arah kanan dan 200 meter ke arah kiri dalam potongan melintang dengan dikalikan bobotnya. Pada Tabel 2.11 diatas nilai kendaraan tak bermotor terhadap kapasitas simpang sama dengan kendaraan ringan dengan nilai ekivalen mobil penumpang = 1,0 persamaan ini digunakan apabila pemakai mempunyai bukti yang menyatakan bahwa nilai ekivalen mobil penumpangnya adalah 1,0 dengan jenis kendaraannya berupa sepeda atau kendaraan tak bermotor.

6. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)

Faktor penyesuaian belok kiri (FLT) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-36) menggunakan ketentuan nilai untuk PLT sesuai dengan rentang dasar empiris dari manual. Untuk mencari nilai faktor penyesuaian belok kiri diharuskan dahulu untuk menghitung nilai PLT

yang dirumuskan dengan :

(18)

Faktor penyesuaian belok kiri (FLT) dijelaskan pada Grafik 2.2.

Grafik 2.2. Faktor penyesuaian belok kiri (FLT) (Sumber : MKJI, 1997)

7. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)

Faktor penyesuaian belok kanan (FRT) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-37) data yang diperlukan adalah jumlah total kendaraan yang membelok ke kanan pada satu lengan pendekat.

Nilai FRT untung simpang yang memiliki empat (4) lengan simpang adalah 1,0. Untuk mencari nilai FRT harus benar-benar memperhatikan nilai PLT sebelum dimasukkan kedalam tabel yang terdapat rumus. Nilai PLT yang digunakan harus disesuaikan dengan pemilihan tipe simpang.

Nilai PLT dihitung dengan menggunakan rumus :

(19)

Faktor penyesuaian belok kanan dijelaskan pada Grafik 2.3.

Grafik 2.3. Faktor penyesuaian belok kanan (FRT) (Sumber : MKJI, 1997)

8. Faktor Penyesuaian Jalan Minor (FMI)

Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-38) sesuai dengan tipe suatu persimpangan. Pada perhitungan rasio arus jalan minor harus memperhatikan nilai PMI terlebih dahulu, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel yang terdapat rumus. Nilai PMI dihitung dengan menggunakan rumus :

Faktor penyesuaian jalan minor (FMI) akan di jelaskan pada Grafik 2.4

(20)

Grafik 2.4 Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (Sumber : MKJI, 1997)

2.13 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan merupakan nilai perbandingan dari volume lalu lintas dengan kapasitas simpang. Derajat kejenuhan dapat menunjukkan gambaran dari adanya masalah atau tidak pada suatu persimpangan. Apabila kapasitas jalan atau simpang sempit, maka gerak dari kendaraan yang melintas menjadi terbatas.

Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-40) perhitungan nilai derajat kejenuhan pada suatu persimpangan dihitung dengan menggunakan rumus:

DS = Q / C ... (2-8)

Dimana :

DS = Derajat Kejenuhan

Q = Arus maksimum (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam)

(21)

1

2.13.1 Tundaan

Tundaan (delay) menurut Alamsyah (2008:177) digunakan untuk mengetahui kondisi kemacetan padu suatu jalan. Semakin macet suatu jalan maka semakin besar tundaan yang terjadi pada jalan tersebut. Tundaan (delay) merupakan waktu tempuh perjalanan yang digunakan untuk melewati suatu persimpangan dari satu titik ke titik yang lain. Adapun langkah-langkah untuk menghitung tundaan simpang, yaitu :

A. Tundaan Lalu Lintas Simpang (DTi)

Tundaan lalu lintas simpang (DTi) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-40) adalah tundaan rata-rata yang mencakup seluruh jenis kendaraan bermotor yang memasuki persimpangan. Tundaan lalu lintas simpang (DTi) dijelaskan pada Grafik 2.5. DTi ditentukan dari kurva empiris antara tundaan lalu lintas simpang (DTi) dan derajat kejenuhan (DS). Tundaan Lalu Lintas Simpang (DTi) dihitung dengan menggunakan rumus :

Untuk DS<0,6

DT1= 2 + 8,2078 x DS - (1-DS) x 2. ... (2-9)

DT = ,

( , ( , )) – (1-DS) x 2. ... (2-10)

(22)

Grafik 2.5. Tundaan Lalu Lintas Simpang VS Derajat Kejenuhan (Sumber : MKJI, 1997)

B. Tundaan Lalu Lintas Jalan Utama (DTMA)

Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-41) merupakan rata – rata dari semua kendaraan bermotor yang memasuki persimpangan melalui jalan utama. Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA) dijelaskan pada Grafik 2.6 yang ditentukan dari kurva empiris antara Tundaan Lalu Lintas Jalan Utama (DTMA) dan derajat kejenuhan (DS). Ada dua batasan rumus yang digunakan untuk menghitung Tundaan Lalu Lintas Jalan Utama (DTMA) yaitu :

Untuk DS<0,6

DTMA=1,8 + (5,8234 x DS) – (1-DS) x 1,8. ... (2-11)

Grafik 2.6. Tundaan Lalu Lintas Jalan Utama VS Derajat Kejenuhan (Sumber : MKJI, 1997)

C. Tundaan Lalu Lintas Jalan Minor (DTMI)

Tundaan lalu lintas jalan minor rata - rata (DTMI) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-41) ditentukan dari nilai rata – rata perhitungan

(2-12) DT1= ( , ,

Untuk DS>0,6

(23)

tundaan simpang dan rata –rata tundaan jalan utama. Penentuan Tundaan Lalu Lintas Jalan Minor (DTMI) dihitung dengan rumus :

Dimana :

QTOT : Arus total

QMA : Arus lalu lintas jalan utama QMI : Arus lalu lintas jalan minor D. Tundaan Geometrik Simpang (DG)

Tundaan geometrik simpang (DG) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-42) adalah tundaan yang menghitung total kendaraan yang memasuki persimpangan. Tundaan Geometrik Simpang (DG) dihitung dengan rumus :

Untuk DS<1,0

DG = (1-DS) x (PT x 6 +(1-PT) x 3) + DS x 4. ... (2-14) Untuk DS≥1,0

DG = 4 detik/smp. ... (2-15) Dimana:

DG : Tundaan geometrik simpang DS : Derajat Kejenuhan

PT : Rasio belok total E. Tundaan Simpang (D)

Tundaan simpang (D) menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997:3-42) dihitung dengan rumus :

D = GD + DTi ... (2-16) Dimana:

D : Tundaan simpang

(24)

DG : Tundaan geometrik

DTi : Tundaan lalu lintas simpang 2.13.2 Peluang Antrian

Menurut Rorong (2015) peluang antrian ditentukan dari batasan peluang antrian berbanding dengan derajat kejenuhan. Menghitung peluang antrian menggunakan dua (2) rumus untuk batas atas dan batas bawah. Peluang antrian dihitung dengan rumus :

Batas atas :

Qpa = (47,7 x DS) – (24,68 x DS2) + (56,47 x DS3) ... (2-17) Batas bawah :

Qpb = (9,02 x DS) + (20,66 x DS2) + (10,49 x DS3) ... (2-18) 2.14 Simpang Bersinyal

Simpang-simpang bersinyal merupakan bagian dari sistem kendali waktu tetap yang dirangkai atau sinyal aktual kendaraan terisolir. Simpang bersinyal biasanya memerlukan metode dan perangkat lunak khusus dalam analisanya.

Kapasitas simpang dapat ditingkatkan dengan menerapkan aturan prioritas sehingga simpang dapat digunakan secara bergantian. Pada jam-jam sibuk hambatan yang tinggi dapat terjadi, untuk mengatasi hal itu pengendalian dapat dibantu oleh petugas lalu lintas namun bila volume lalu lintas meningkat sepanjang waktu diperlukan sistem pengendalian untuk seluruh waktu (fulltime) yang dapat bekerja secara otomatis. Pengendalian tersebut dapat digunakan alat pemberi isyarat lalu lintas (traffic light) atau sinyal lalu lintas.

Gambar 2.2 Konflik-konflik Utama dan Kedua pada Simpang Bersinyal dengan 4 Lengan

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

(25)

Menurut MKJI (1997), pada umumnya sinyal lalu lintas dipergunakan untuk beberapa alasan berikut:

1. Untuk menghindari kemacetan sebuah simpang oleh arus lalu lintas yang berlawanan, sehingga kapasitas simpang dapat dipertahankan selama keadaan lalu lintas puncak.

2. Untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh tabrakan antara kendaraan-kendaraan yang berlawana arah. Pemasangan sinyal lalu lintas dengan alasan keselamatan lalu lintas umunya diperlukan bila kecepatan kendaraan yang mendekati simpang sangat tinggi dan/atau jarak pandang terhadap gerakan lalu lintas yang berlawanan tidak memadai yang disebabkan oleh bangunan-bangunan atau tumbuh-tumbuhan yang dekat pada sudut-sudut simpang.

3. Untuk mempermudah menyeberangi jalan utama bagi kendaraan dan/atau pejalan kaki dari jalan minor.

Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) menguraikan metodologi untuk analisa simpang bersinyal yang didasarkan pada prinsip-prinsip utama sebagai berikut :

2.14.1 Data Masukan

2.14.1.1 Kondisi Geometrik

Kondisi geometrik digambarkan dalam bentuk gambaran sketsa yang memberikan informasi lebar jalan, lebar bahu dan lebar median serta petunjuk arah untuk tiap lengan simpang.

2.14.1.2 Kondisi Arus Lalu-lintas

Arus lalu lintas (Q) untuk setiap gerakan dikonversi dari kendaraan per jam menjadi satuan mobil penumpang dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang untung masing-masing pendekat terlindung dan terlawan:

(26)

Tabel 2.12 Ekivalen Kendaraan Penumpang Pendekat Terlindung dan Terlawan

Jenis Kendaraan

emp untuk tipe pendekat Terlindung Terlawan

Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0

Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3

Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

Perhitungan masing-masing pendekat rasio kendaraan belok kiri PLT, dan rasio belok kanan PRT duntuk arus LT dan RT dapat dihitung dengan rumus berikut:

PLT = Arus LT / Arus total pada lengan simpang (2.9) PRT = Arus RT / Arus total pada lengan simpang (2.10) dimana :

LT = arus lalulintas belok kiri RT = arus lalu lintas belok kanan

Untuk perhitungan rasio kendaraan tak bermotor dapat dihitung dengan rumus

berikut : PUM = QUM/QMV (2.11)

dimana : QUM = arus kendaraan tak bermotor (kend/jam) QMV = arus kendaraan bermotor (kend/jam) 2.14.2 Penggunaan Sinyal

2.14.2.1 Fase sinyal

Jumlah fase yang baik adalah fase yang menghasilkan kapasitas besar dan rata-rata tundaan rendah. Bila arus belok kanan dari satu kaki dan arus belok kanan kaki lawan arah terjadi pada fase yang sama, arus ini dinyatakan sebagai opposed.

Sedangkan arus belok kanan yang dipisahkan fasenya dengan arus lurus atau belok kanan tidak diijinkan, maka arus ini dinyatakan sebagai protected.

2.14.2.2 Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang

Untuk analisa operasional dan perencanaan, disarankan untuk membuat suatu perhitungan rinci waktu antar hijau untuk waktu pengosongan dan waktu hilang. Pada analisa yang dilakukan bagi keperluan perancangan, waktu antar hijau

(27)

berikut (kuning + merah semua) dapat dianggap sebagai nilai normal : Tabel 2.13 Waktu Antar Hijau untuk Simpang Bersinyal

Ukuran Simpang Rata-rata Lebar Jalan

Nilai Normal Waktu Antar Hijau

Kecil 6-9 m 4 detik/fase

Sedang 10-14 m 5 detik/fase

Besar > 15 m > 6 detik/fase

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

Apabila periode merah semua untuk masing-masing akhir fase telah ditetapkan, waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau :

LTI = ∑ (MERAH SEMUA + KUNING)i = ∑ IGi (2.12) Periode waktu kuning pada sinyal lalu lintas di perkotaan Indonesia biasanya adalah 4,0 detik.

2.14.3 Penentuan Waktu Sinyal 2.14.3.1 Lebar Pendekat Efektif

Lebar pendekat (We) dari setiap pendekat berdasarkan informasi tentang lebar pendekat (WA), lebar masuk (WMASUK) dan lebar keluar (WKELUAR)

2.14.3.2 Arus Jenuh Dasar

Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (We) :

S0 = 600 x We smp/jam hijau (2.13)

2.14.3.3 Faktor Penyesuaian

a) Faktor penyesuaian ukuran kota

(28)

Tabel 2.14 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Penduduk Kota (Juta Jiwa) Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

> 3,0 1,05

1,0 – 3,0 1,00

0,5 – 1,0 0,94

0,1 – 0,5 0,83

< 0,1 0,82

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997 b) Faktor penyesuaian hambatan samping (FSF)

Faktor ini merupakan fungsi dari tipe lingkungan jalan, tingkat hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor. Jika gangguan samping tidak diketahui dapat diasumsikan nilai yang tinggi agar tidak terjadi over estimate untuk kapasitas. Faktor penyesuaian hambatan samping pada simpang tak bersinyal dan simpang bersinyal memiliki perbedaan. Faktor ini dapat ditentukan berdasarkan tabel 2.12

Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FSF)

Lingkungan Jalan

Hambatan Samping

Tipe Fase Rasio Kendaraan Tak Bermotor 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥ 0,25

Komersial (COM)

Tinggi Terlawan (O) 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 Terlindung (P) 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81

Sedang Terlawan (O) 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71 Terlindung (P) 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82 Rendah Terlawan (O) 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,72 Terlindung (P) 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83

Permukiman (RES)

Tinggi Terlawan (O) 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72 Terlindung (P) 0,96 0,94 0,92 0,89 0,86 0,84 Sedang Terlawan (O) 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73 Terlindung (P) 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85 Rendah Terlawan (O) 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74 Terlindung (P) 0,98 0,96 0,94 0,91 0,88 0,86 Akses

Terbatas (RA)

T/S/R

Terlawan (O) 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 Terlindung (P) 1,00 0,98 0,95 0,93 0,90 0,88

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

(29)

c) Faktor penyesuaian kelandaian, dapat ditentukan dari gambar 2.9

Gambar 2.9 Faktor Penyesuaian Kelandaian (FG)

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

d) Faktor penyesuaian parkir (FP), adalah jarak dari garis henti ke kendaraan yang parkir pertama dan lebar approach ditentukan dari formula di bawah ini atau diperlihatkan dalam gambar 2.11

Fp = (Lp/3 – (WA – 2) x (LP/3 – g) / WA) / g (2.14) dengan :

LP = jarak antara garis henti dan kendaraan yang parkir pertama.

WA = Lebar approach (m)

g = waktu hijau approach yang bersangkutan (detik)

Gambar 2.10 Faktor Penyesuaian Parkir (FP) Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

(30)

e) Faktor penyesuaian belok kanan (FRT), ditentukan sebagai fungsi dari rasio kendaraan belok kanan PRT.

Gambar 2.11 Rasio Belok Kanan (PRT) Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

Catatan : Faktor penyesuaian belok kanan (FRT) hanya berlaku untuk pendekat tipe arus terlindung, jalan dua arah, lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk.

f) Faktor penyesuaian belok kiri (FLT), ditentukan sebagai fungsi dari rasio belok kiri PLT.

Gambar 2.12 Rasio Belok Kiri PLT

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

g) Perbandingan Arus dengan Arus Jenuh

Penghitungan perbandingan arus (Q) dengan arus jenuh (S) untuk tiap approach dirumuskan di bawah ini.

FR = Q/S (2.15)

(31)

Perbandingan arus kritis (FRCRIT) yaitu nilai perbandingan arus tertinggi dalam tiap fase. Jika nilai perbandingan arus kritis untuk tiap fase dijumlahkan, akan didapat perbandingan arus simpang.

IFR = Σ (FRCRIT) (2.16)

Perhitungan perbandingan fase (phase ratio, PR) untuk tiap fase merupakan suatu fungsi perbandingan antara FRCRIT dengan IFR.

PR = FRCRIT / IFR (2.17)

2.14.4 Waktu Siklus dan Waktu Hijau 2.14.4.1 Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian

c = (1,5 x LTI +5) / (1 - ∑FRcrit) (2.18)

dimana :

c = Waktu siklus sinyal (detik)

LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik) FR = Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)

Frcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal

∑FRcrit = Rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus tersebut

2.14.4.2 Waktu Hijau

gi = (c – LTI) x FRcrit (2.19)

dimana :

gi = tampilan waktu hijau pada fase i (detik) 2.14.4.3 Waktu Siklus yang Disesuaikan

c = ∑g + LTI (2.20)

2.14.5 Kapasitas

Kapasitas untuk tiap lengan simpang dihitung dengan formula dengan formula berikut :

C = S x g / c (2.21)

dengan :

(32)

S = arus jenuh (smp/jam) g = waktu hijau (detik)

c = waktu siklus yang ditentukan (detik)

Dari hasil perhitungan dapat dicari niali derajat jenuh rumus di bawah ini:

DS = Q / C (2.22)

dengan :

DS = derajat jenuh

Q = arus lalulintas (smp/jam) C = kapasitas (smp/jam)

(33)

RINGKASAN JURNAL-JURNAL

No. Penulis Judul Keterangan

1. Moch Khilmi Nasrullah (2021)

Evaluasi Kinerja Simpang Tiga Tak Bersinyal Pada

Jalan Raya Menganti – Jalan Mastrip Kota

Surabaya

Simpang tiga tak bersinyal pada Jalan Raya Menganti – Jalan Mastrip Kota Surabaya terdapat permasalahan pada simpang berupa lamanya tundaan dan seringnya terjadi kemacetan.

Metode yang digunakan adalah MKJI 1997. Kinerja simpang untuk kondisi simpang tak bersinyal pada kondisi eksisting menunjukkan menunjukkan kapasitas sebesar = 9819 smp/jam, arus lalu lintas = 9114 smp/jam, derajat kejenuhan (DS) sebesar = 0,93 sehingga menghasilkan tundaan = 12,32 detik/smp dengan peluang antrian 34,70 – 67,88 %. Bentuk alternatif solusi guna mengatasi kemacetan pada simpang.

Alternatif 1 jenis kendaraan HV dilarang melintasi simpang, dengan ini menunjukkan kapasitas 9819 derajat

kejenuhan kapasitas sebesar = 9819 smp/jam, arus lalu lintas = 9066 smp/jam, derajat

kejenuhan (DS) sebesar = 0,92 sehingga menghasilkan tundaan

= 12,00 detik/smp dengan peluang antrian 33,95 – 65,01

%.

2. Desi Yanti Futri Citra Hasibuan

(2021)

Analisis Kinerja Simpang Tak Bersinyal Persimpangan Pasar Sibuhuan, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera

Utara

Tugas akhir ini menggunakan metode Manual Kapasitas Jalan 1997 menganalisis

persimpangan untuk

meningkatkan kinerja simpang tak bersinyal tersebut. Analisis hasil penelitian menunjukkan kinerja simpang untuk kondisi simpang tak bersinyal pada kondi eksisting dengan adanya parkir disisi jalan yang

(34)

mengurangi lebar efektif, didapat jumlah arus total maksimum 2341 smp/jam, kapasitas (C) = 2707,06 smp/jam, dan derajat

kejenuhan (DS) = 0,86, tundaan simpang (D) = 14,62 detik/smp dan peluang antrian (QP) 30,03 – 59,32%. Maka dari itu perlu dilakukan perhitungan ulang dengan berbagai alternatif agar nilai DS memenuhi persyaratan Manual Kapasitas Jalan

Indonesia yaitu < 0,75.

3. Marchyano Beltsazar Randa

Kabi (2020)

Analisis Kinerja Simpang Tak Bersinyal (Studi Kasus : Simpang

Tiga Ringroad – Maumbi)

Dari penelitian metode yang digunakan adalah MKJI 1997, dan didapat arus pada jam puncak terjadi pada hari pada jam 17.00 – 18.00. Dengan volume total kendaraan 3394 kend/jam atau 2671,4 smp/jam.

Hasil perhitungan menunjukan bahwa kapasitas simpang ( C ) sebesar 2728,775080 smp/jam, dengan derajat kejenuhan ( DS ) sebesar 0,98 smp/jam yang artinya derajat kejenuhan yang terjadi > 0,75 dari yang

disyratkan. Tundaan simpang ( D ) sebesar 18,1070 detik/smp, dan peluang antrian ( QP ) yang terjadi adalah 38% - 76%.

4. Novriyadi Rorong (2015)

Analisa Kinerja Simpang Tidak Bersinyal Di Ruas Jalan S. Parman dan Jalan

Panjaitan

Pada penelitian ini, digunakan metode MKJI 1997. Analisis hasil penelitian menunjukan kinerja simpang untuk kondisi simpang tak bersinyal pada keadaan eksisting dengan adanya parkir disisi jalan yang mengurangi lebar efektif, didapat jumlah arus total 2050 smp/jam, kapasitas (C) = 2140 smp/jam dan derajat kejenuhan (DS) = 0,958. Melebihi batas kejenuhan yang disarankan oleh Manual Kapasitas Jalan

Indonesia yaitu > 0,75 dan

(35)

0,803 pada alternatif pelarangan parkir nilainya >

0,75 pada kondisi belum ada jalan alternatif yang lain dimana jalan boulevard dua dan

jembatan soekarno 5. Andi Syaiful Amal

(2017)

Analisis Kinerja Simpang Empat Bersinyal (Studi Kasus : Simpang

Empat Taman Dayu Kabupaten Pasuruan)

Simpang Taman Dayu

merupakan salah satu simpang bersinyal di Kabupaten

Pasuruan. Letak simpang yang strategis yakni berada ditengah- tengah jalur Malang – Surabaya mengakibatkan volume arus lalu lintas yang melalui simpang ini tinggi, hal ini berpotensi menimbulkan kemacetan, kecelakaan, antrian, kemacetan dan tundaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Hasil kinerja simpang Taman Dayu Pandaan saat ini dapat dilihat dari nilai kapasitas (Pendekat Utara 457 smp/jam, Pendekat Barat 1656 smp/jam, Pendekat Selatan 1384

smp/jam, Pendekat Timur 369 smp/jam), derajat kejenuhan simpang (Pendekat Utara 0,75, Pendekat Barat 0,78, Pendekat Selatan 0,91, Pendekat Timur 0,43), Tundaan rata-rata simpang 354,70, dari ukuran parameter tersebut kinerja simpang menunjukkan tingkat pelayanan E.

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik Tingkat Pelayanan  Tingkat   Pelayanan  (LOS)  Karakteristik  Batas  Lingkup V/C  A
Tabel 2.2 Jenis Kendaraan
Tabel 2.3 Nilai Ekivalen Mobil Penumpang (emp) Kendaraan
Tabel 2.4 Ringkasan Variabel-variabel Masukan Model Kapasitas  Tipe
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Bina Teknik Jalan dan Jembatan Direktorat Jenderal Bina Marga mengacu kepada Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina

Secara formal, EDI didefinisikan oleh International Data Exchabge Association (IDEA) sebagai “transfer data terstruktur dengan format standard yang telah disepakati,

a) Setelah penghamparan, setiap lapis harus dipadatkan dengan peralatan pemadat yang memadai dan disetujui Pengawas Pekerjaan sampai mencapai kepadatan

1 Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Sumatera Utara 2 Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Provinsi Bengkulu 3 Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Bangka Belitung 4

a) Selama proses pelaksanaan pelapisan, Penyedia Jasa harus melakukan pemeriksaan mutu hasil pekerjaan sesuai ketentuan dalam spesifikasi ini, dengan disaksikan

a) Pekerjaan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan struktur tiang pancang baja yang berada di lingkungan air laut dari kerusakan akibat korosi dengan

a) Pekerjaan kolom batu vibrasi atau vibrated stone column adalah jenis perbaikan tanah dalam dimana alat penggetar atau vibrator digunakan untuk membentuk kolom

a) Setelah penghamparan, setiap lapis harus dipadatkan dengan peralatan pemadat yang memadai dan disetujui Pengawas Pekerjaan sampai mencapai kepadatan