• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Maṣlaḥah Fatwa MUI No. 11/2012 Tentang Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Studi Maṣlaḥah Fatwa MUI No. 11/2012 Tentang Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH 2022 M/1443 H

SUPRIADI NIM. 150101001

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga

(2)

Program Studi Hukum Keluarga Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum

(3)
(4)
(5)

v

Fakultas/Prodi : Syari’ah & Hukum/Hukum Keluarga

Judul Skripsi : Studi Maṣlaḥah Fatwa MUI No. 11/2012 Tentang Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina

Tanggal Munaqasyah : 19 Juli 2022 M Tebal Skripsi : 63 Halaman

Pembimbing I : Dr. Faisal, S. TH., MA Pembimbing II : Muhammad Iqbal, SE., MM

Kata Kunci : Tanggung Jawab, Nafkah, Anak Zina, Maṣlaḥah.

Hukum tentang anak zina merupakan isu hukum klasik yang sudah dibahas oleh ulama mazhab dan masih menjadi polemik sampai saat ini. Permasalahan muncul ketika dihadapkan pada perlindungan hukum terhadap anak zina. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sudah menetapkan fatwa, yang intinya cenderung berbeda dengan ketentuan fikih klasik. Pertanyaan yang diajukan di dalam penelitian ini adalah bagaimana dalil hukum yang digunakan MUI dalam penetapan tanggung jawab nafkah anak zina di dalam Fatwa No. 11/2012, dan bagaimanakah konteks maṣlaḥah hukum nafkah anak zina dalam Fatwa MUI No. 11/2012 tersebut? Jenis penelitian ini adalah library research. Data dianalisis dengan deskriptif-analisis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalil hukum yang digunakan oleh MUI mengacu pada riwayat hadis Imām Al-Bukhāri dan riwayat Abi Dawud tentang nasab anak zina kepada ibu, sehingga kewajiban nafkah kepada ibu dan keluarga ibunya. Dalil yang lain mengacu kepada tiga kaidah fikih tentang kemaslahatan.

Kaidah fikih yang dipakai MUI secara langsung berkaitan dengan tanggung jawab kebutuhan nafkah anak zina dibebankan kepada laki-laki yang menyebabkan anak zina itu lahir melalui mekanisme ta’zir yang diberikan oleh pemerintah. Adapun metode istinbat (penalaran hukum) yang digunakan MUI adalah metode istinbath istishlahi. Konteks maṣlaḥah hukum nafkah anak zina dalam Fatwa MUI No.

11/2012 termasuk dalam kategori maṣlaḥah mursalah.

Nama : Supriadi

NIM : 150101001

(6)

vi

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, Selanjutnya shalawat beriring salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Muhammad saw, karena berkat perjuangan beliau, ajaran Islam sudah dapat tersebar keseluruh pelosok dunia untuk mengantarkan manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan. sehingga penulis telah dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul: Studi Maṣlaḥah Fatwa MUI No. 11/2012 Tentang Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina.

Teruntuk ibu dan ayah penulis ucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik secara moril maupun materiil yang telah membantu selama dalam masa perkuliahan yang juga telah memberikan do’a kepada penulis, yang selalu ada dan memberikan motivasi kepada penulis agar dapat menyelesaikan studi ini, juga dalam berbagai hal demi berhasilnya studi penulis.

Kemudian rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Mujiburrahman M.Ag UIN Ar-Raniry rektor

2. Bapak Dr. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, M.SH Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

3. Bapak Fakhrurrazi M. Yunus, Lc., MA selaku Ketua Prodi Hukum Keluarga

4. Bapak Dr. Faisal, S. TH., MA Pembimbing Pertama

5. Bapak Muhammad Iqbal, SE., MM selaku Pembimbing Kedua

(7)

vii Raniry

7. Kepala perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan seluruh karyawannya

8. Kepala perpustakaan induk UIN Ar-Raniry dan seluruh karyawannya 10. Teman-teman seperjuangan angkatan tahun 2015

Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat banyak kekurangannya. Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.

Banda Aceh 2 Mei 2022 Penulis,

Supriadi

(8)

viii

dan No. 0543b/U/1987)

Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah pedoman transliterasi yang merupakan hasil Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Di bawah ini, daftar huruf- huruf Arab, serta transliterasinya dengan huruf Latin.

1. Konsonan

HURUF

ARAB NAMA HURUF LATIN NAMA

ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

ب Ba B Be

ت Ta T Te

ث Ṡa Es (dengan titik di atas)

ج Ja J Je

ح Ḥa Ha (dengan titik di bawah)

خ Kha Kh Ka dan Ha

د Dal D De

ذ Żal Ż Zet (dengan titik di atas)

ر Ra R Er

ز Za Z Zet

س Sa S Es

ش Sya SY Es dan Ye

ص Ṣa Es (dengan titik di bawah)

ض Ḍat De (dengan titik di bawah)

ط Ṭa Te (dengan titik di bawah)

ظ Ẓa Zet (dengan titik di bawah)

ع ‘Ain Apostrof Terbalik

غ Ga G Ge

ف Fa F Ef

ق Qa Q Qi

(9)

ix

ك Ka K Ka

ل La L El

م Ma M Em

ن Na N En

و Wa W We

ـﻫ Ha H Ha

ء Hamzah Apostrof

ي Ya Y Ye

Sumber: SKB Menag dan Mendikbud RI No. 158/1987 dan No. 0543b/U/1987

Hamzah (ء) yang terletak pada awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika hamzah ( ء) terletak di tengah ataupun di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, yang terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda ataupun harakat, transliterasinya sebagai berikut:

HURUF

ARAB NAMA HURUF LATIN NAMA

َا Fatḥah A A

ِا Kasrah I I

ُا Ḍammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

TANDA NAMA HURUF LATIN NAMA

ْي َا Fatḥah dan ya Ai A dan I

ْوَا Fatḥah dan wau Iu A dan U

(10)

x

َﻒْﻴَﻛ

: kaifa

َلْﻮَﻫ

: haula 3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

HARKAT

DAN HURUF NAMA HURUF DAN

TANDA NAMA

ﺎَــ

ﻰَــ Fatḥah dan alif atau ya ā a dan garis di atas

ﻲِــ Kasrah dan ya ī i dan garis di atas

ﻮـُــ Ḍammah dan wau ū u dan garis di atas

Contoh:

َتﺎَﻣ

: māta

ﻰَﻣَر

: ramā

َﻞْﻴِﻗ

: qīla

ُتْﻮَُﳝ

: yamūtu

4. Ta Marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua bentuk, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati ataupun mendapatkan penambahan harkat sukun, transliterasinya adalah [h]. Jika pada kata yang berakhir dengan huruf ta marbūṭah, diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang (al-), serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

لﺎَﻔْﻃﻷا ُﺔَﺿْوَر

: rauḍah al-aṭfāl

(11)

xi

ُﺔَﻠْـﻴِﻀَﻔﻟا ُﺔَﻨْـﻳِﺪَﳌا

ُﺔِﻤْﻜِﳊا

: al-ḥikmah

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau disebut dengan kata tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan satu tanda tasydīd ( ّـ) dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah, misalnya di dalam contoh berikut:

ﺎَﻨﱠـﺑَر

: rabbanā

ﺎَﻨْـﻴﱠَﳒ

: najjainā

ﱡﻖَﳊا

: al-ḥaqq

ﱡﺞَﳊا

: al-ḥajj

َﻢِّﻌُـﻧ

: nu’ima

ﱞوُﺪَﻋ

: ‘aduwwun

Jika huruf ﻯ memiliki tasydīd di akhir suatu kata, dan kemudian didahului oleh huruf berharkat kasrah ( ِــ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).

Contoh:

ّﻲِﻠَﻋ

: ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

ِّﰊَﺮَﻋ

: ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ﻝﺍ (alif lam ma‘arifah). Pada pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa yaitu (al-), baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tersebut tidaklah mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang itu ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:

(12)

xii

ﺔَﻟَﺰْﻟﱠﺰﻟا

: al-zalzalah (bukan az-zalzalah)

ﺔَﻔَﺴْﻠَﻔﻟا

: al-falsafah

ُدَﻼِﺒﻟا

: al-bilādu

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena di dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contohnya:

َنْوُﺮُﻣَْ>

: ta’murūna

ُءﻮﱠﻨﻟا

: al-nau’

ٌءْﻲَﺷ

: syai’un

ُتْﺮِﻣُأ

: umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah, atau kalimat Arab yang ditransliterasikan adalah kata, istilah, atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang telah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan dalam bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis di dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Alquran dari al-Qur’ān, sunnah, hadis, khusus dan juga umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

نآﺮﻘﻟا لﻼﻇ ﰲ

: Fī ẓilāl al-Qur’ān

ﻦﻳوﺪﺘﻟا ﻞﺒﻗ ﺔﻨﺴﻟا

: Al-Sunnah qabl al-tadwīn

(13)

xiii sabab

9. Lafẓ al-Jalālah (

)

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransliterasikan tanpa huruf hamzah. Contoh:

ِﷲ ُﻦْﻳِد

: dīnullāh

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan pada lafẓ al-jalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

ِﷲ ِﺔَْﲪَر ِْﰲ ْﻢُﻫ

: hum fī raḥmatillāh

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku atau Ejaah Yang Disempurnakan (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang (al-), baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa mā Muḥammadun illā rasūl

Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh Al-Qur’ān

(14)

xiv Abū Naṣr Al-Farābī

Al-Gazālī

Al-Munqiż min Al-Ḍalāl

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Riwayat Penulis

2. Surat keputusan penunjukkan pembimbing.

(16)

xvi

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBARAN JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SIDANG... iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR ISI ... xvi

BAB SATU PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Kajian Pustaka ... 4

E. Penjelasan Istilah ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB DUA LANDASAN TEORITIS TENTANG NAFKAH ANAK ZINA DALAM HUKUM ISLAM ... 15

A. Nafkah ... 15

1. Pengertian Nafkah ... 15

2. Sebab-Sebab Wajib Nafkah ... 18

3. Landasan Normatif Kewajiban Nafkah Anak ... 22

4. Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina Menurut Pendapat Ulama Mazhab ... 25

B. Maṣlaḥah ... 27

1. Pengertian Maṣlaḥah ... 28

2. Macam-Macam Maṣlaḥah ... 31

3. Pendapat Ulama tentang Maṣlaḥah sebagai Dasar Hukum ... 36

BAB TIGA ANALISIS TANGGUNG JAWAB NAFKAH ANAK ZINA DALAM FATWA MUI NOMOR 11/2012 ... 40

A. Fatwa MUI Nomor 11/2012 ... 40

1. Isi Fatwa MUI No. 11/2012 ... 40

2. Latar Belakang Lahirnya Fatwa MUI No. 11/2012 ... 42

(17)

xvii

B. Dalil Hukum yang Digunakan MUI dalam Penetapan Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina Dalam Fatwa No.

11/2012 ... 45

C. Konteks Maṣlaḥah Hukum Nafkah Anak Zina dalam Fatwa MUI No. 11/2012 ... 54

BAB EMPAT PENUTUP ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 64

LAMPIRAN ... 65

(18)

1

BAB SATU PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan anak zina bukanlah isu yang baru muncul di dalam ranah hukum Islam. Sejak dahulu, Islam telah mengatur kedudukan anak zina di dalam lingkup hukum kekeluargaan. Misalnya, nasab anak zina, hak warisnya, hak nafkah anak, dan perlakuan terhadap anak tersebut. Meskipun begitu masalah anak zina sampai saat ini masih hangat dibicarakan, baik dalam diskusi-diskusi ilmiah, dialog, debat, bahkan dalam percalapan hari-hari masyarakat awam pada umumnya.

Secara definitif yang dimaksud anak zina adalah anak yang dilahirkan dari perbuatan zina, yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang sah (kecuali dalam bentuk syubhat) meskipun dia lahir di dalam perkawian yang sah dengan laki-laki yang melakukan zina itu atau dengan laki-laki lain.1 Islam mengatur bahwa anak zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.2 Ia dipandang tidak mempunyai ayah, artinya kelahiran anak sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan laki-laki manapun, termasuk dengan laki-laki yang menyebabkan anak itu lahir (laki-laki zina).

Imbas dari ketiadaan nasab anak dengan laki-laki tersebut dan hanya bisa dinasabkan kepada ibu saja, maka konsekuensi yang kemudian muncul adalah hak nafkah anak. Ulama terdahulu telah sepakat bahwa tanggungan nafkah anak zina hanya dibebankan kepada ibu saja. Sebab, anak tidak memiliki kerabat lain selain ibu dan keluarga ibunya. Untuk itu, atas dasar nasab anak dengan ibu inilah yang menyebabkan pihak ibu berkewajiban menanggung nafkah anak.

Dilihat dari pendekatan maqashid al-syari’ah (tujuan pensyariatan hukum Islam), bahwa hukum ditetapkannya kewajiban nafkah dari ibu kepada anak zina

1Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 148.

2Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Terj: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk) Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 37.

(19)

yaitu untuk menjaga kelangsungan hidup anak tersebut. Di sini, berlaku hukum bahwa nafkah diwajibkan untuk menjaga jiwa anak dari kesia-siaan (hifz al-nafs).

Menafkahi anak secara hukum wajib untuk dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki hubungan nasab dengan anak itu, hal ini dilakukan semata agar anak itu tumbuh dan berkembang dengan baik.

Mengenai hukum nafkah, para ulama sepakat salah satu syarat seseorang mempunyai hak nafkah ialah karena hubungan nasab yang sah, seperti hubungan pernikahan dan sebab adanya kepemilikan budak.3 Artinya bahwa kunci bagi seseorang wajib menanggung nafkah adalah keterikatan hubungan nasab, berupa ayat wajib menafkahi anaknya sebab ada hubungan nasab. Dalam kasus anak zina, anak tersebut secara hukum tidak “memiliki ayah” yang wajib untuk menanggung nafkahnya. Anak zina hanya memiliki hubungan nasab (kekerabatan) dengan ibu saja, dan ibunyalah yang menanggung nafkah anak tersebut.

Di Indonesia, ketentuan hukum terhadap anak zina dan perlakuan terhadap anak tersebut sudah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu dalam Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Materi yang dimuat dalam fatwa tersebut berkisar masalah hukum anak zina, baik nasab, hak waris, nafkah, dan perlakuan, serta kewajiban kepada pemerintah supaya memasukkan delik zina sebagai perbuatan yang dapat dijerat hukuman yang berat.

Meski ada kesamaan dalam isi secara umum, namun di dalam poin tentang tanggungan nafkah anak zina, kedua fatwa tersebut cenderung berbeda. Di dalam dua fatwa tersebut menempatkan pengaturan hak nafkah anak zina dari laki-laki sebagai ayahnya. MUI menyatakan, nafkah anak zina selain ditanggung ibunya, juga ditanggung oleh laki-laki yang dianggap sebagai ayahnya (laki-laki pezina) atas dasar hukuman yang diberikan pemerintah. Salah satu pertimbangannya ialah demi perlindungan dan kemaslahatan anak.

3Abdurrahman al-Jaziri, Fikih Empat Mazhab, (Terj: Faisal Saleh. Ed: Mushlich Taman), Jilid 5, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), hlm. 1069.

(20)

Ketentuan Fatwa MUI tersebut cenderung baru, dan sama sekali belum ada penjelasannya dalam fikih klasik. Penetapan tanggungan nafkah anak zina dalam Fatwa MUI tersebut tentu dilandasi oleh dalil-dalil sebagai penguat argumentasi hukum, dan hal ini tidak terlepas dari jangkauan penerapan teori-teori yang ada di dalam hukum Islam. Pengaturan tanggung jawab nafkah anak zina di atas justru tidak memberikan kepastian hukum apakah ayah benar-benar masih mempunyai kewajiban menafkahi anak hasil zina yang sudah lahir atau tidak. Apabila dilihat dalam konteks fikih klasik, anak zina tidak memiliki hubungan nasab dengan laki- laki yang mengakibatkan anak itu lahir. Fatwa MUI tentu memiliki pertimbangan tersendiri menetapkan fatwanya. MUI menetapkan ada kewajiban laki-laki pada anak sebagai hasil perzinaannya dengan perempuan selaku ibu anak. Jika dilihat dalam perspektif fikih klasik, maka putusan ini cenderung tidak selaras dengan pandangan jumhur ulama.

Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk dikaji lebih jauh kedua fatwa tersebut. Oleh karena itu, permasalahan ini akan dikaji dengan judul: “Studi Maṣlaḥah Fatwa MUI No. 11/2012 Tentang Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah dalil hukum yang digunakan oleh MUI dalam penetapan tanggung jawab nafkah anak zina di dalam Fatwa No. 11/2012?

2. Bagaimana konteks maṣlaḥah hukum nafkah anak zina dalam Fatwa MUI No. 11/2012?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan dan menganalisis dalil hukum yang digunakan oleh MUI dalam penetapan tanggung jawab nafkah anak zina di dalam Fatwa No. 11/2012?

(21)

2. Untuk menjelaskan dan menganalisis konteks maṣlaḥah hukum nafkah anak zina dalam Fatwa MUI No. 11/2012.

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka atau dalam istilah lain disebut kajian penelitian terdahulu, merupakan paparan beberapa penelitian yang telah lalu dengan maksud dan tujuan untuk melihat sejauh mana penelitian tersebut memiliki kesamaan maupun perbedaan dengan skripsi ini. Sejauh amatan penulis, belum ada kajian yang secara khusus menelaah Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina: Studi Fatwa MUI No. 11/2012. Namun begitu, ada beberapa penelitian yang relevan, di antaranya yaitu sebagai berikut:

1. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Alhaitami, mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2017, dengan judul: Analisis Konsep Maqāṣid al-Syarī‘ah dalam Pertimbangan Putusan MK RI No. 46/PUU- VIII/2010 dan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Status Anak di Luar Nikah”.4 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa maqāṣid al-syarī‘ah dalam penerapan nasab anak di luar nikah yaitu memberlakukan nasab berdasarkan nikah yang sah. Maqāṣid al-syāri‘ah di sini mengembalikan nasab anak sesuai dengan yang sebenarnya. Māqaṣid al-Syāri’ah dalam konteks pemelih-araan keturunan juga mengubah kebiasaan mengangkat anak (tabanī) masa jahiliyyah, di mana jika sebelumnya anak angkat dinasabkan kepada ayah angkatnya, Syāri’ mengubah serta memerintahkan supaya anak dipanggil dengan nasab kepada ayah kandungnya. Adapun analisis perbandingan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa MUI ditinjau menurut konsep māqaṣid al-Syarī‘ah perlu dipisahkan dari dua sisi.

4Muhammad Alhaitami, mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2017, dengan judul: Analisis Konsep Maqāṣid al-Syarī‘ah dalam Pertimbangan Putusan MK RI No. 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Status Anak di Luar Nikah”.

(22)

Pertama Putusan MK dengan māqaṣid al-Syarī‘ah tidak sejalan.

Dikarenakan putusan MK No. 46/PUU VIII/2010 menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua, māqaṣid al-Syarī‘ah memberlakukan nasab berdasarkan nikah yang sah sesuai tujuan syari’at yaitu melindungi dan memelihara keturunan yang sah. Jadi asumsi yang mendasari putusan MK ini adalah ma’nā al-munāsib al-ghārīb dari jenis yang bertentangan dengan syarak (mulghā). Sedangkan dari sisi Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Hasil Anak Zina dengan māqaṣid al-Syarī‘ah sejalan. Karena dari sudut pandangan teori Maqāṣīd, tertautnya nasab anak zina kepada ibu merupakan penyempurna (almukammil) bagi al-ḍarūriyyah pensyariatan nikah.

Penelitian di atas berbeda dengan fokus kajian skripsi ini. Penelitian tersebut lebih menekankan penemuan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan MUI tentang status nasab anak luar nikah. Sementara, skripsi ini lebih mengarah pada tanggungan nafkah anak zina dalam Fatwa MUI dan kaitannya dengan teori mashlahah.

2. Skripsi yang ditulis oleh Reza Dermawan, mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2018, dengan judul: “Hubungan Kewajiban Nafkah Anak dengan Pertalian Nasab: Analisis tentang Pemenuhan Kebutuhan Hidup Anak Zina dalam Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012”.5 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa antara nasab dengan kewajiban terhadap pemenuhan nafkah anak dalam hukum Islam memiliki hubungan timbal balik. Kewajiban nafkah anak atas seseorang baru ada ketika adanya

5Reza Dermawan, mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2018, dengan judul: “Hubungan Kewajiban Nafkah Anak dengan Pertalian Nasab: Analisis tentang Pemenuhan Kebutuhan Hidup Anak Zina dalam Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012”.

(23)

hubungan nasab. Konsep kewajiban nafkah anak dalam Islam merupakan bagian konsekuensi adanya nasab. Hubungan nasab ini baru ada ketika didahului oleh hubungan perkawinan yang sah.

Penelitian di atas juga berbeda dengan skripsi ini. Perbedaannya terletak pada fokus kajian yang dilakukan. Penelitian di atas lebih diarahkan pada kejian nasab dan nafkah, sementara dalam skripsi ini diarahkan pada penemuan hukum atas Fatwa MUI terkait tanggungan nafkah anak zina dilihat dari sisi mashlahah.

3. Skripsi yang ditulis oleh Madrus Martinus, mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, tahun 2017 dengan judul: “Pemberian Wasiat Wajibah kepada Anak Zina: Analisis Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya”.6 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa landasan hukum yang menjadi rujukan Majelis Ulama Indonesia dalam merumuskan fatwa terkait pemberian wasiat wajibah kepada anak zina yaitu adanya gambaran umum dari al-Quran, Hadis nabi dan Atsar sahabat yang menerangkan tentang perlindungan terhadap setiap anak yang dilahirkan.

Majelis Ulama Indonesia memperhatikan harus adanya perlindungan hukum dalam bentuk pemberian wasiat wajibah, demi kemaslahatan hidup anak dengan berpedoman pada konsep mashlahah yang digali dari beberapa kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah. Dalam fikih, peralihan harta melalui jalan wasiat wajibah ditujukan kepada karib kerabat atau ahli waris yang tidak mendapatkan bagian harta warisan.

Penelitian di atas difokuskan pada poin wasiat wajibah kepada anak zina yang ada dalam Fatwa MUI. Namun, skripsi ini menekankan pada poin

6Madrus Martinus, mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, tahun 2017 dengan judul: “Pemberian Wasiat Wajibah kepada Anak Zina: Analisis Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya”.

(24)

tanggungan nafkah anak zina dengan dua kajian sekaligus, yaitu Fatwa MUI dalam teori mashlahah.

4. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Canggih Ghulam Halim, mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2012 dengan judul: “Kedudukan Anak Hasil Pernikahan yang Tidak Sah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia”.7 Hasil temuan penelitiannya yaitu putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu langkah perlindungan bagi anak luar nikah, putusan ini di keluarkan atas dasar pengujian Pasal 43 ayat (1) UUP yang menghasilkan putusan yang mengubah isi dari Pasal tersebut.

Mahkamah Konstitusi memandang bahwa Pasal tersebut telah melanggar hak anak. Anak terlahir dengan keadaan suci dan tidak menang- gung dosa dari orang tuanya. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang status anak zina dan perlakuan terhadapnya, karena dinilai putusan tersebut telah memberikan peluang terhadap perzinaan, dan membuat wanita (pelaku zina) merasa terlindungi. Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwanya menegaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya, anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Penelitian di atas lebih mengarah pada penemuan hukum atas status nasab, bukan pada kajian tanggungan nafkah anak zina. Di samping itu, penelitian tersebut dalam kajian perbandingan antara putusan MK denga fatwa MUI. Adapun skripsi ini diarahkan bukan pada nasab, tetapi pada

7Ahmad Canggih Ghulam Halim, mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2012 dengan judul: “Kedudukan Anak Hasil Pernikahan yang Tidak Sah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia”.

(25)

tanggungan nafkah anak zina, dan kajiannya yaitu antara Fatwa MUI dalam kajian mashlahah.

5. Skripsi yang ditulis oleh Hartian Nurpancha, mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 2017, dengan judul: “Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Islam, Serta Status Pembuktiannya Melalui Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”.8 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa status hukum anak luar kawin hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkan, sedangkan dalam hubungan hukum dengan ayahnya terdapat perbedaan.

Menurut hukum Islam anak zina tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya atau keluarga ayahnya karena dalam hukum Islam tidak mengenal adanya pengakuan.

Sedangkan menurut KUHPerdata, anak luar kawin bisa memiliki hubungan dengan ayahnya apabila ada pengakuan. Status pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi penentuan hak waris bagi anak luar kawin, maka dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang memutus bahwa seorang anak luar kawin dapat dibuktikan dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimana dalam bahasa kedokteran disebut sebagai tes Paternitas, maka anak tersebut bisa mendapatkan hak-haknya seperti anak sah. Dengan diakuinya anak di luiar kawin ini berdampak pada hak-hak keperdataan anak luar kawin ini harus diakui. Dengan adanya putusan tersebut maka apabila seorang laki-laki terbukti melalui ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa merupakan ayah biologis dari seorang anak luar kawin, maka laki-laki tersebut berkewajiban memenuhi hak-hak anaknya,

8Hartian Nurpancha, mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 2017, dengan judul: “Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Islam, Serta Status Pembuktiannya Melalui Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”.

(26)

baik atas hak pengakuan dengan dikeluarkannya akta kelahiran, hak atas nafkah maupun hak waris.

Penelitian di atas memiliki perbedaan dengan skripsi ini.

Perbedaannya tampak jelas pada fokus yang dikaji, yaitu status nasab anak dalam hukum Islam dan metode pembuktian menurut ilmu pengetahuan dan teknologi (melalui tes DNA). Sementara dalam skripsi ini diarahkan pada penemuan masalah terhadap tanggungan nafkah anak zina dalam Fatwa MUI dalam tinjauan maṣlaḥah.

Penelitian-penelitian serupa cukup banyak ditemukan, namun begitu enam penelitian di atas cukup menjadi indikasi sejauh pembahasan penelitian yang mempunyai keterkaitan dengan skripsi ini. Mengacu pada beberapa penelitian tersebut, dapat dikatehui belum ada kajian yang secara khusus menelaah topik masalah seperti dalam skripsi ini. Penelitian pertama lebih diarahkan pada status nasab anak. Penelitian kedua berkaitan dengan nafkah anak dalam kaitan dengan nasab, tetapi tidak bicara jauh tentang Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina: Studi Fatwa MUI No. 11/2012.

Penelitian ketiga mengkaji fatwa MUI, namun objek kajiannnya pada poin ini hanya membahas fokusnya pada wasiat wajibah. Penelitian keempat dan kelima juga berkaitan dengan temuan masalah mengenai nasab anak.

Adapun dalam penelitian ini secara khusus mengakaji tanggungan nafkah anak zina menurut ulama MUI inilah yang membedakan dengan kajian penelitian terdahulu.

E. Penjelasan Istilah

Adapun istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Tanggung Jawab

Istilah tanggungan nafkah mempunyai atas dua kata. Istilah tanggungan merupakan turunan kata tanggung. Kata tanggung mempunyai beberapa arti di antaranya tanggung, menanggung, menyangga (bahan yang berat), memikul,

(27)

memanggul, memelihara, menahan, tertimpa, mengurus dan bersedia memikul biaya, dan sebagainya atau menjamin, menyatakan kesediaan untuk membayar utang orang lain kalau orang itu tidak menepati janjinya, dan bertanggung jawab.9

2. Nafkah

Adapun istilah nafkah, harta benda berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.10 Dalam arti lain nafkah merupakan mencukupi makanan, pakaian dan tempat tinggal orang yang menjadi tanggungannya.11 Mengacu pada dua pengertian tersebut, maka dapat ditarik satu pengertian bahwa tanggungan naflah merupakan beban atau memikul tanggung jawab untuk memberikan biaya nafkah seperti maknan, pakaian dan tempat tinggal.

3. Anak Zina

Istilah anak zina adalah istilah yang familiar disebutkan dalam literatur fikih maupun hukum adat. Menurut Amiur Nuruddin, anak zina di dalam fikih Islam disebut dengan anak yang tidak sah. Anak zina merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah (zina).12 Dalam pengertian lain, anak zina sebagai anak yang dilahirkan tanpa suami yang sah berdasarkan syari’at Islam, ataupun anak yang dilahirkan ibunya melalui jalan yang tidak syar’i.13 Berdasarkan rumusan tersebut, maka anak zina dapat diartikan sebagai anak

9Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), hlm.

1442-1443.

10Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Terj: Fedrian Hasmand), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), hlm. 716: Muslih Abdul Karim, Keistimewaan Nafkah Suami dan Kewajiban Isteri, (Jakarta: Qultum Media, 2007), hlm. 54.

11Yahya Abduttahman al-Khatib, Fikih Wanita Hamil, (Terj: Mujahidin Muhayan), (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 164.

12Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, Uu No 1/1974 Sampai Khi, Cet. III, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 277-278.

13Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Terj: Abdurrahim & Masrukhin), (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hlm. 642.

(28)

yang tidak sah, tidak memiliki ayah secara hukum, karena dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Pengertian lebih lanjut tentang anak zina akan diuraikan secara rinci dalam bab selanjutnya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah yang cukup penting dan diperlukan dalam suatu penelitian. Hal ini dilakukan untuk menentukan arah suatu penelitian.

Metode adalah cara dalam suatu penelitian, sedangkan penelitian yaitu pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlu kan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta.14 Jadi metode penelitian adalah metode atau cara-cara di dalam melaksanakan satu bentuk penelitian dan aktifitas penelitian. Beberapa poin penting dalam metode penelitian yaitu akan dijelaskan berikut ini:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu kajian yang data- datanya diperoleh dari kepustakaan. Pendekatan penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif, yaitu sebuah pendekatan yang tidak menggunakan angka-angka ataupun statistik di dalam analisisnya, akan tetapi menggunakan analisis konseptual yang ditelusuri dari teori-teori para ahli.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan deskriptif-analisis, yaitu menggambarkan objek masalah dan kemudian dilakukan analisis sesuai dengan teori-teori yang relevan.

3. Sumber Data

Di dalam penelitian ilmiah dikenal dengan dua sumber data yaitu primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang bersifat mentah,

14Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.

13.

(29)

serta perlu diolah kembali oleh peneliti. Untuk itu, penggunaan data primer ini hanya dapat diperoleh di dalam penelitian lapangan hukum empiris. Adapun data sekunder, merupakan data yang sifatnya bahan bacaan, seperti literatur hukum, kitab, atau peraturan perundang-undangan. Untuk itu penggunaan data sekunder ini hanya dapat diperoleh dalam penelitian lapangan hukum normatif.

Menyangkut sumber data penelitian ini, yaitu dari kepustakaan, karena penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif, maka data-data dikumpulkan bersumber dari data kepustakaan. Data kepustakaan di sini terdiri dari teks kitab suci, kitab hadis, peraturan perundang-undangan, kitab fikih, buku-buku hukum dan bahan-bahan kepustakaan lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data-data penelitian ini secara keseluruhan diperoleh dari data-data atau bahan kepustakaan. Untuk mengumpulkan data kepustakaan ini, maka penulis membagi ke dalam tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan data yang bersifat pokok, khususnya bahan yang berasal dari pembahasan tentang Tanggung Jawab Nafkah Anak Zina: pada Fatwa MUI Nomor 11/2012.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan data yang sifatnya pendukung yang terdiri dari bahan-bahan kepustakaan seperti buku-buku hukum, kitab, dan lainnya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang sifatnya pelengkap yang diperoleh dari kamus-kamus hukum, ensiklopedi, jurnal, artikel dan juga bahan-bahan yang lainnya yang relevan.

5. Objektivitas dan Keabsahan data

Objektivitas dan Keabsahan data atau uji conformability ini merupakan menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan peneliti baik

(30)

mengenai sumber data, analisis data maupun keabsahan data.15 Objektivitas dan Keabsahan data menurut Mardawi adalah berbicara mengenai keabsahan data dengan memastikan apakah hasil penelitian bisa dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai antara data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan.16 Jadi dapat dipahami objektivitas dan keabsahan data adalah salah satu bagian yang penting dalam penelitian kualitatif, untuk mengetahui derajat kepercayaan dari hasil penelitian yang dilakukan dan menentukan hasil akhir suatu penelitian.

6. Analisis Data

Data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya akan disusun secara baik dan sistematis, ilmiah, termasuk mereduksi data yang tidak perlu, sehingga menjadi data yang akurat, kemudian dilakukan analisis kualitatif dan ditarik suatu kesimpulan. Oleh sebab itu, langkah analisis penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data dari berbagai sumber hukum, baik dari data primer, sekunder dan tersier.

b. Mereduksi, yaitu melakukan pemilihan dan pemilahan terhadap data- data yang sudah dikumpulkan dan mencari data yang relevan dengan penelitian ini.

c. Melakukan analisis berdasarkan teori-teori yang relevan.

d. Menarik kesimpulan terhadap permasalahan penelitian.

7. Pedoman penulisan skripsi

Adapun teknik penulisan penelitian ini penulis berpedoman pada buku pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa, yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2019.

15Sasa Sunarsa, Penelusuran Kualitas Dan Kuantitas Sanad Qira’at Sab’: Kajian Takhrij Sanad Qira’at Sab’, (Jawa Tengah: CV Mangku Bumi Media, 2020). hlm. 85.31.

16Mardawi, Praktis Penelitian Kualitatif; Teori Dasar dan Analisis Data Dalam Perspektif Kualitatif, (Yogyakarta: Deepublish, 2020). hlm. 85.

(31)

Sedangkan terjemahan ayat Alquran dikutip dari Alquran dan terjemahan-nya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI Tahun 2015.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami pembahasan skripsi ini, maka dipergunakan sistematika dalam empat bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab sebagaimana di bawah ini.

Bab satu merupakan bab pendahuluan yang dibagi dalam 7 (tujuh) sub-bab, yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian serta sub-bab terakhir berisi sistematika pembahasan.

Bab dua menerangkan tentang landasan teori mengenai kajian umum tentang nafkah anak zina dalam hukum Islam. Bab ini terdiri dari dua sub bab, masing-masing dilengkapi dengan pembahsan yang relevan, yaitu konsep nafkah dalam Islam meliputi pengertian nafkah, dasar normatif kewajiban nafkah, dan sebab-sebab wajib nafkah, dan pandangan ulama tentang nafkah anak zina. Sub bab kedua tentang teori maṣlaḥah, yang terdiri dari pengertian maṣlaḥah, macam- macam maṣlaḥah, dan pandangan ulama tentang maṣlaḥah sebagai dalil hukum.

Bab tiga menjelaskan permasalahan yang menjadi objek penelitian, yaitu mengenai analisis tanggung jawab nafkah anak zina: studi fatwa MUI No 11/2012 yang berisi gambaran umum tentang Fatwa MUI, kemudian dalil yang digunakan MUI dalam menetapkan nafkah anak zina, pada sub bab terakhir dijelaskan terkait konteks maṣlaḥah nafkah anak zina dalam fatwa MUI.

Bab empat merupakan bab penutup, yaitu kesimpulan dan saran-saran.

(32)

15

ANAK ZINA DALAM HUKUM ISLAM

A. Nafkah

Nafkah merupakan salah satu bagian penting dalam hukum keluarga Islam.

Keberadaan hukum nafkah ini telah disinggung di dalam dalil Alquran dan sabda (hadis) Rasulullah Saw. Pemenuhan nafkah juga berkaitan langsung hajat hidup dalam sebuah keluarga, atas dasar itu Islam mewajibkan ketentuan nafkah kepada salah satu anggota keluarga, terutama laki-laki sebagai suami bagi isteri dan ayah bagi anak-anaknya. Untuk lebih memahami konsep nafkah ini, maka pada bagian ini akan dijelaskan empat sub bahasan, yaitu pengertian nafkah, landasan hukum nafkah, sebab-sebab nafkah, dan tanggung jawab nafkah anak zina menurut ulama mazhab.

1. Pengertian Nafkah

Kata nafkah merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab yaitu al- nafqah. Kata tersebut merupakan bentuk derevatif dari kata dasar nafaqa, artinya habis, mengeluarkan belanja.1 Abdurrahman Al-Jaziri mengemukakan makna nafkah secara bahasa berarti ihkrāj wa al-żahāb, artinya mengeluarkan dan pergi. Kata al-nafaqah merupakan bentuk masdar dan bentuk jamaknya yaitu ُﺕﺎَﻗﺎَﻔَﻨْﻟَﺍ.2 Menurut Wahbah al-Zuhaili, asal kata nafkah diambil dari kata infaq, artinya mengeluarkan, dan kata tersebut menurutnya tidak digunakan kecuali pada hal-hal kebaikan, bukan untuk kemaksiatan.3 Pemaknaan nafkah tersebut diarahkan pada perbuatan dan tindakan, bukan diarahkan pada harta

1Achmad Warson Munawwir dan Muh. Fairuz, Kamus Al-Munawwir: Kamus Indonesia Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 1449.

2Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, (Terj: Faisal Saleh), Jilid 5, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017), hlm. 1069.

3Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Terj: Abdul Hayyie Al-Kattani dkk), Jilid 10, Cet. 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), hlm. 94.

(33)

yang menjadi objek perbuatan. Ini bisa dipahami dari makna “mengeluarkan”, yaitu tindakan yang dilakukan seseorang mengeluarkan sesuatu.

Makna di atas juga dipahami bahwa nafkah ialah harta yang dikeluarkan orang yang wajib mengeluarkannya kepada orang yang berhak menerimanya, misalnya dari suami kepada isteri, ayah kepada anak dan lainnya. Nafkah juga dimaknai “berkurang”, artinya harta orang yang dinafkahkan secara langsung akan berkurang. Demikian juga nafkah dimaknai dengan istilah “pergi”, karena harta seseorang (ayah) akan pergi (dalam arti kiasan) karena diberikan kepada anak-anaknya.

Kata nafkah kemudian di serap dan dijadikan sebagai salah satu kata baku di Indonesia. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata nafkah mempunyai beberapa arti, di antaranya belanja untuk hidup, uang pendapatan, belanja yang diberikan suami kepada isteri, rezeki, dan bekal hidup sehari-hari.4 Makna ini agaknya telah beralih kepada pengertian asal sebelumnya, di mana nafkah telah diasosiasikan sebagai suatu benda, baik uang atau makanan, pakaian dan harta lainnya.

Menurut istilah, terdapat banyak rumusan, di antaranya dapat dipahami dari empat pendapat ahli sebagai berikut:

a. Menurut Al-Jaziri, bahwa nafkah adalah beban yang dikeluarkan seseorang terhadap orang yang wajib dinafkahi berupa roti, lauk pauk, pakaian tempat tinggal, dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti dana untuk air, minyak lampu dan lainnya.5 Makna ini cenderung masih umum, yaitu umum untuk orang yang wajib menafkahi, dan umum pula orang yang berhak menerima nafkah. Boleh jadi dimaksud adalah nafkah dari orang tua pada anak, dari anak pada orang tua yang sudah uzur dan fakir, nafkah dari suami pada isteri dan lainnya.

4Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), hlm.

992.

5Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala..., Jilid 5, hlm. 1069.

(34)

b. Definisi yang semakna dengan pengertian tersebut juga dikemukakan oleh Al-Jaza’iri, bahwa nafkah adalah apa yang diberikan oleh seseorang berupa sandang, pangan dan papan kepada orang yang wajib diberikan.6 Makna ini juga agaknya berlaku umum.

c. Menurut Al-Asyqar, nafkah adalah harta yang ditetapkan sebagai hak isteri yang harus dipenuhi suami untuk makanannya, pakaian dan tempat tinggal, perlindungan, dan sebagainya.7

d. Definisi senada juga diketengahkan oleh Amir Syarifuddin, bahwa nafkah adalah kewajiban suami terhadap isterinya berbentuk materi.

Materi yang disepakati ulama adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok (sembako), pakaian, dan juga perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut dengan sandang, pangan, dan papan.8

Dua pengertian terakhir cenderung lebih khusus diarahkan kepada definisi nafkah suami terhadap isteri. Dalam konsep nafkah, sebetulnya tidak hanya dari suami kepada isteri, tetapi berlaku umum dari orang yang wajib menafkahi kepada orang yang wajib dinafkahi, dengan syarat-syarat tertentu.

Memperhatikan dan menganalisa beberapa rumusan etimologi dan terminologi nafkah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa nafkah ditujukan pada tiga bentuk, yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal atau semua bentuk kecukupan dari tiga bentuk nafkah tersebut. Dengan begitu dapat disarikan kembali dalam rumusan baru bahwa nafkah adalah pemberian wajib yang ditetapkan syarak pada seseorang terhadap prang lain yang wajib dinafkahi.

6Abu Bakr Jabir Al-Jaza’iri, Minhaj Al-Muslim, Cet. 1 (terj: Syaiful dkk), (Surakarta: Ziyad Books, 2018), hlm. 584.

7Umar Sulaiman Al-Asyqar, Ahkam Al-Zawaj fī Dau’ Al-Kitab wa Al-Sunnah, (Terj: Iman Firdausi), (Solo: Tinta Medinam, 2015), hlm. 310.

8Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. 5, Edisi ke 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm. 165-166.

(35)

2. Sebab-Sebab Wajib Nafkah

Pembahasan ini juga erat kaitannya dengan sub bab sebelumnya. Namun, dalam pembahasan ini lebih diarahkan pada sebab-sebab wajib nafkah dan syarat-syaratnya, baik itu syarat wajib nafkah karena kekerabatan, maupun syarat wajib nafkah karena akad pernikahan. Oleh sebab itu, masing-masing pembahasannya dapat dirinci berikut ini:

a. Sebab Wajib Nafkah karena Kekerabatan

Bagi anggota keluarga yang senasab, seperti antara anak dengan orang tua, orang tua dengan anak, dan dengan sesama saudara, hanya wajib dipenuhi nafkah ketika memenuhi syarat-syarat tertentu. Minimal, syarat wajib nafkah sebab kekerabatan itu ada tiga, yaitu kerabat yang dinafkahi itu benar-benar di dalam kondisi miskin, kemudian kerabat yang menafkahi itu benar-benar pada posisi yang mampu, dan terakhir memiliki hubungan hak saling mewarisi:9

1) Kerabat itu miskin

Keadaan miskin ialah indikator keharusan pemenuhan hak nafkah.

Pada posisi ini, semua anggota kerabat, baik anak, orang tua, dan saudara baru wajib dinafkahi dalam kondisi miskin. Anak wajib menafkahi orang tua yang miskin, orang tua wajib menafkahi anak yang miskin, begitu pula saudara memiliki kewajiban untuk menafkahi saudara yang lainnya jika dalam keadaan miskin. Dengan begitu kemiskinan di sini menjadi salah satu indikator (sebab) sehingga seorang yang miskin tersebut wajib untuk dinafkahi.10

Kata miskin dalam literatur fikih dimaknai sebagai orang yang tidak memiliki harta, ataupun mempunyai harta namun masih jauh dari kecukupan untuk hidup sehari-hari. Dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali,

9Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh..., Jilid 10, hlm. 98-99.

10Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Terj: Asep Sobari., dkk), Jilid 3, (Jakarta: Al-I’tishom, 2012), hlm. 623.

(36)

miskin adalah orang yang mampu memenuhi kebutuhannya tetapi belum mencukupi, atau jauh dari kata cukup.11 Kesimpulannya, semua anggota kerabat yang secara hukum menjadi ahli waris wajib dinafkahi kerabat yang lain pada waktu kondisinya dalam keadaan miskin.

2) Orang yang memberi nafkah itu dalam keadaan kaya

Menurut Al-Zuhaili, orang yang wajib menafkahi itu adalah orang yang berkecukupan dan memiliki kelebihan harta.12 Syarat ini dipandang penting sebab jika kondisinya justru kekurangan, maka ia masuk dalam golongan yang berhak dinafkahi bukan yang menafkahi. Boleh dikatakan bahwa syarat ini adalah kebalikan dari syarat yang pertama sebelumnya.

Artinya, jika seseorang kaya, maka ia wajib menafkahi kerabatnya yang miskin, jika keadaan sebaliknya miskin, maka ia mendapat hak nafkah yang wajib dipenuhi orang kerabatnya yang kaya.

3) Sebagai ahli waris

Hukum keluarga Islam menentukan adanya relasi hubungan antara dimensi hukum waris dengan nafkah. Namun, ahli waris dimaksudkan ialah orang-orang yang memiliki bagian furūḍ al-muqaddarah (bagian harta waris yang pasti dan telah ditentukan seperti ½, 1/3, 2/3, 1/6) dan aṣabah, yaitu, seperti orang tua, anak, cucu, saudara laki-laki dan juga perempuan, paman, bibi, kerabat lainnya yang secara hukum memiliki hak waris.13 Hal ini seperti telah penulis singgung sebelumnya. Pada kondisi ini, maka nafkah baru dikatakan wajib diberikan di ketika pihak yang membutuhkan nafkah itu betul-betul dari kerabat, punya hubungan nasab, serta sebagai ahli waris yang memiliki bagian pasti. Sehingga, kerabat yang tidak memiliki bagian pasti tidak mendapat hak nafkah.

11Analiansyah, “Miskin dalam Pandangan Ulama Fikih dan Tafsir”. Diakses melalui situs:

http://baitulmal.acehprov.go.id/?p=2404, tanggal 15 Januari 2022.

12Wahbah Al-Zuḥailī, Al-Fiqh..., Jilid 10, hlm. 98.

13Muhammad Ali Al-Sabuni, Al-Mawaris fi Al-Syari’ah Al-Islamiyyah fi Dau’ Al-Kitab wa Al-Sunnah, (Terj: Hamdan Rasyid), (Jakarta: Dar Al-Kutub al-Islamiyah, 2005), hlm. 41.

(37)

Tiga syarat tersebut berlaku umum dan menjadi kriteria sekaligus indikator wajib nafkah. Kondisi miskin menjadi syarat wajib nafkah dari kerabat yang punya kelebihan harta. Tiga syarat di atas bersifat kumulatif, bukan alternatif. Artinya bahwa ketiga syarat tersebut harus terpenuhi secara bersamaan. Salah satu syarat saja tidak terpenuhi maka nafkah tidak berlaku. Orang kaya tidak berhak dinafkahi, dan orang lainnya yang tidak memiliki hubungan kekerabatan juga tidak wajib diberi nafkah. Demikian pula dalam hal kerabat, seseorang tidak wajib dinafkahi ketika kerabat yang dimaksud tidak memiliki hak saling mewarisi.

b. Sebab Wajib Nafkah karena Pernikahan

Sama seperti pembahasan terdahulu, sebab nafkah karena pernikahan, atau lebih tepatnya nafkah suami terhadap isteri, mempunyai syarat-syarat khusus. Kewajiban suami menafkahi isteri pada prinsipnya dipenuhi dalam kondisi di mana kedua pasangan tidak berada di dalam kondisi yang tidak normal. Suami hanya wajib menafkahi isteri ketika suami memenuhi dua syarat, yaitu merdeka dan hadhir atau ada.14 Sementara itu, isteri yang wajib dinafkahi apabila suami bebas menahan isteri. Sebab, jika suami kehilangan hak untuk mengekang isteri di dalam rumah, isteri tersebut tidak wajib dinafkahi.15

Pemahaman ulama dalam konteks wajib nafkah memang bergantung pada penahanan isteri atas suaminya di rumah. Khusus dalam konteks nafkah suami terhadap isteri, para ulama kemudian memberikan beberapa garis batasan yang dijadikan sebagai syarat wajib nafkah, yaitu: Pertama, akad nikah yang dilakukan pasangan tersebut secara hukum dipandang sah.

Untuk itu, tidak wajib nafkah ketika pernikahannya diketahui batil. Kedua, isteri tidak berbuat nusyūz, meliputi tidak menolak ajakan suami untuk

14Al-Zuhaili, al-Fiqh..., Jilid 10, hlm. 111.

15Al-Zuhaili, al-Fiqh..., Jilid 10, hlm. 117.

(38)

berhubungan badan, tidak keluar rumah tanpa izin suami kemudian kembali lagi ke rumah, atau keluar rumah dan berencana tidak tinggal lagi dengan suami.16

Menurut al-Sya’rawi, kata nusyūz secara bahasa berarti al-makān al- murtafi’, demikian juga seorang wanita yang meninggikan dirinya terhadap suaminya.17 Demikian juga disebutkan oleh Rasyīd Riḍā, bahwa makna asal nusyūz yaitu meninggikan atau al-irtifā’.18 Dalam konteks nusyūz, dimaknai sebagai pembangkangannya terhadap suami, tidak taat atau keluar rumah tanpa izin dari suami. Meskipun ulama sepakat menyatakan nusyūz sebagai penghalang penyaluran nafkah isteri, namun mereka justru berbeda dalam menetapkan nusyūz yang bagaimana yang bisa menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri.19 Lebih jelasnya, masalah ini dikemukakan dalam pendapat berikut:

1) Menurut mazhab Hanafi, seorang isteri yang nusyūz seperti menolak untuk digauli, dan keluar rumah tanpa izin suami kemudian kembali ke rumah suami, atau menolak untuk diajak tidur, tidak menjadi sebab gugurnya nafkah. Kecuali isteri tidak lagi mau ditahan suami di dalam rumah, dalam arti tidak mau lagi tinggal di rumah suami, maka hal ini menjadi gugur kewajiban nafkah.

2) Menurut mazhab Maliki, syarat wajib nafkah bagi seorang isteri yaitu isteri bersedia diajak untuk melakukan hubungan suami isteri. Artinya suami mempunyai kuasa untuk dapat melakukan hubungan badan dengan isteri.

16Abd al-Hamid Kisyk, Bina’ al-Usrah al-Muslimah: Mausu’ah al-Zawaj al-Islami, (Terj:

Ida Nursida), Cet. 9, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 136.

17Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, (Kairo: al-Maktabah al-Tawfiqiyyah, t. tp), hlm. 228.

18Muhammad Rasyid Rida, Huquq al-Nisa’ fī al-Islam, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1984), hlm. 51.

19Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 185.

(39)

3) Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, syarat wajib nafkah bagi isteri yaitu isteri haru memberitahukan kesiapan dan kesediaannya untuk digauli suami kapan saja suami menginginkan. Jika tidak diberitahu tentang penyerahan diri tersebut, maka ia tidak berhak atas nafkah.

Selain itu, isteri juga tidak wajib diberi nafkah jika ia menolak ajakan suami hanya sekedar untuk bercumbu, keluar rumah tanpa izin suami, baik dengan niat kembali lagi atau tidak kembali. Pendapat mazhab Hanbali cenderung sama seperti mazhab Syafi’i.20

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sebab wajib nafkah karena hubungan pernikahan adalah suami diketahui keberadaannya (hadhir).

Bagi suami miskin, ia masih tetap berkewajiban menafkahi isterinya, namun nafkah yang tidak diberikannya saat ia miskin menjadi utang baginya yang sewaktu-waktu ia mampu dan kaya, wajib melunasi utang nafkah kepada isteri.

Sementara itu, kriteria agar isteri berhak mendapatkan nafkah adalah suaminya bebas dan memiliki kemampuan untuk menahannya di rumah. Bagi isteri nusyūz, hak nafkahnya menjadi gugur, sebab syarat nafkah isteri dalam Islam adalah isteri tidak dalam keadaan nusyūz.

3. Landasan Normatif Kewajiban Nafkah Anak

Dasar hukum adanya kewajiban nafkah anak dalam Islam mengacu pada yaitu Alquran dan Hadis. Adapun dasar hukum yang berasal dari Alquran mengacu pada beberapa surat, di antaranya dalam ketentuan QS. Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:

ِﺿۡﺮُـﻳ ُتَٰﺪِﻟَٰﻮ ۡ ﻟٱَو ۥُﻪَﻟ ِدﻮُﻟۡﻮَﻤ ۡ

ﻟٱ ﻰَﻠَﻋَو ۚ

َﺔَﻋﺎَﺿﱠﺮﻟٱ ﱠﻢِﺘُﻳ نَأ َداَرَأ ۡﻦَﻤِﻟ ِۖ ۡﲔَﻠِﻣﺎَﻛ ِ ۡﲔَﻟۡﻮَﺣ ﱠﻦُﻫَﺪَٰﻟۡوَأ َﻦۡﻌ َﻻَو ﺎَﻫِﺪَﻟَﻮِﺑ ۢ

ُةَﺪِﻟَٰو ﱠرٓﺎَﻀُﺗ َﻻ ۚﺎَﻬَﻌۡﺳُو ﱠﻻِإ ٌﺲۡﻔَـﻧ ُﻒﱠﻠَﻜُﺗ َﻻ ِۚفوُﺮۡﻌَﻤۡﻟﭑِﺑ ﱠﻦُُ<َﻮۡﺴِﻛَو ﱠﻦُﻬُـﻗۡزِر دﻮُﻟ ۡﻮَﻣ

ُﻪﱠﻟ ِﺑ ۥ ضاَﺮَـﺗ ﻦَﻋ ًﻻﺎَﺼِﻓ اَداَرَأ ۡنِﺈَﻓ َۗﻚِﻟَٰذ ُﻞۡﺜِﻣ ِثِراَﻮۡﻟٱ ﻰَﻠَﻋَو ۚۦِﻩِﺪَﻟَﻮ َﻤُﻬ ۡـﻨِّﻣ

رُوﺎَﺸَﺗَو ﺎ َﻼَﻓ

َحﺎَﻨُﺟ

20Al-Jazīrī, al-Fiqh..., Jilid 5, hlm. 1088-1096.

(40)

ۗﺎَﻤِﻬۡﻴَﻠَﻋ ۡنِإَو ۡﱡﰎدَرَأ نَأ ْآﻮُﻌِﺿَۡﱰ ۡﺴَﺗ ۡﻢُﻛَﺪَٰﻟ ۡوَأ

َﻼَﻓ َحﺎَﻨُﺟ ۡﻢُﻜۡﻴَﻠَﻋ اَذِإ ﻢُﺘ ۡﻤﱠﻠَﺳ ﱠﻣ ﻢُﺘۡـﻴَـﺗاَء ٓﺎ ِۗفوُﺮۡﻌَﻤ ﻟﭑِﺑ ۡ

ٱ ﱠنَأ ْآﻮُﻤَﻠ ۡﻋٱَو َﱠYٱ ْاﻮُﻘﱠـﺗٱَو ﲑِﺼَﺑ َنﻮُﻠَﻤۡﻌَـﺗ ﺎَِﲟ َﱠY

.

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.

seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.

apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah: 233).

Kemudian dalam kentuan QS. Al-Thalaq ayat 7, yang berbunyi sebagai berikut:

ۥُﻪُﻗۡزِر ِﻪۡﻴَﻠَﻋ َرِﺪُﻗ ﻦَﻣَو ۖۦِﻪِﺘَﻌَﺳ ﻦِّﻣ ﺔَﻌَﺳ وُذ ۡﻖِﻔﻨُﻴِﻟ ﺎًﺴ ۡﻔَـﻧ ُﱠYٱ ُﻒِّﻠَﻜُﻳ َﻻ ُۚﱠYٱ ُﻪٰﯩَﺗاَء ٓﺎﱠِﳑ ۡﻖِﻔﻨُﻴۡﻠَـﻓ

اﺮ ۡﺴُﻳ ﺮ ۡﺴُﻋ َﺪۡﻌَـﺑ ُﱠYٱ ُﻞَﻌۡﺠَﻴَﺳ ۚﺎَﻬٰـﯩَﺗاَء ٓﺎَﻣ ﱠﻻِإ .

“ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuan nya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempi tan” (QS. Al-Thalaq: 7).

Dalil pertama di atas bicara masalah kewajiban ayah untuk menafkahi ibu dalam masa penyusuan. Namun, dalil tersebut juga sebagai dasar kewajiban ayah terhadap anaknya. Dalil kedua bicara masalah adanya beban nafkah bagi orang-orang yang mampu, dengan memberi rejeki, baik kepada anak maupun kepada isteri. Dengan demikian, alasan normatif hukum tentang kewajiban menafkahi anak telah dijelaskan dalam ayat Alquran. Dalil naqli kedua tentang dasar kewajiban nafkah terhadap anak dimuat dalam beberapa hadis Rasulullah. Adapun hadis yang membicarakan masalah nafkah anak dapat ditemui dalam hadis sebagai berikut:

(41)

ُﱠYا ﻰﱠﻠَﺻ ِِّﱯﱠﻨﻟا َﱃِإ ٌﺪْﻨِﻫ ْتَءﺎَﺟ ْﺖَﻟﺎَﻗ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﻦَﻋ ِﻪﻴِﺑَأ ْﻦَﻋ ٌمﺎَﺸِﻫ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َلﺎَﻗ ٌﻊﻴِﻛَو ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َkَأ ﱠنِإ ِﱠYا َلﻮُﺳَر َl ْﺖَﻟﺎَﻘَـﻓ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻣ يِﺪَﻟَوَو ِﲏﻴِﻄْﻌُـﻳ َﺲْﻴَﻟَو ٌﺢﻴِﺤَﺷ ٌﻞُﺟَر َنﺎَﻴْﻔُﺳ

ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟِk ِكَﺪَﻟَوَو ِﻚﻴِﻔْﻜَﻳ ﺎَﻣ يِﺬُﺧ َلﺎَﻗ ُﻢَﻠْﻌَـﻳ َﻻ َﻮُﻫَو ِﻪِﻟﺎَﻣ ْﻦِﻣ ُتْﺬَﺧَأ ﺎَﻣ ﱠﻻِإ ِﲏﻴِﻔْﻜَﻳ .

ﻩاور )

ﻘﻬﻴﺒﻟا .(ﻲ

“ Telah menceritakan kepada kami Waqi' dia berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam dari ayahnya dari Aisyah berkata; "Hindun datang menemui Nabi shallallahu'alaihi wa sallam seraya berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir dan dia tidak memberiku dan anakku sesuatu yang dapat mencukupiku kecuali jika saya mengambil dari hartanya sedang dia tidak mengetahuinya".

Beliau bersabda: "Ambillah (harta suamimu) yang dapat mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik." (HR. Baihaqi).21

Hadis di atas menunjukkan bahwa nafkah isteri dan juga anak menjadi tanggung jawab ayah. Anak-anak yang wajib dinafkahi menurut pendapat mayoritas ulama adalah anak-anak yang langsung dari ayah, kemudian cucu dan seterusnya ke bawah. Artinya, seorang kakek wajib memberi nafkah kepada cucunya baik dari pihak atau jalur manapun. Nafkah ini wajib karena termasuk bagian dari satu kesatuan (keluarga), bukan karena kewarisan.

Namun menurut pendapat Imam Malik, sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa nafkah anak yang wajib hanyalah anak yang langsung saja, anaknya anak atau cucu tidak termasuk karena berdasarkan makna zahir ayat di atas (surat al-Baqarah ayat 233 di atas). Masih dalam pendapat yang sama dinyatakan bahwa nafkah itu wajib sebab semata-mata hubungan kewarisan, bukan karena bagian dari satu keluarga.22

تﻮﻘﻳ ﻦﻣ ﻊﻴﻀﻳ نأ ًﺎﲦإ ءﺮﳌk ﻰﻔﻛ ) .

دود ﻮﺑأ ﻩاور (

“ Hukumnya berdosa orang yang menyia-nyiakan orang-orang yang wajib dinafkahi”.23

21Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Baihaqi, Al-Kitab Sunan Al-Shaghir, (Bairut: Dar al-Kutub

‘Ulumiyah, 1994), hlm. 157.

22Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami …, jilid 10, hlm. 137.

23Abu Daud, Sunan Abi Dawud, juz 2, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 75.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai keturunan langsung dari “Empu” Karyo diwongso, seorang “Empu” dari Gunung Kidul, Ngadeni hingga di usia senjanya masih mampu membuat Tosan Aji khususnya keris

serta jasa pengurusan pelaksanaan ibadah haji yang diberikan BMT NU Sejahtera kepada anggota/nasabah menggunakan akad ijarah. Dari jasa pengurusan haji dan layanan

Berapa suhu fermentasi yang dibutuhkan bakteri Lactobacillus fermentum NBRC 15885 dalam memproduksi peptida bioaktif dengan aktivitas antimikroba tertinggi terhadap

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) dengan judul “Pengaruh Intervensi Promosi Kesehatan Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Praktek

Hal-hal apa yang dibutuhkan oleh petani kopi untuk mengembangkan

Baduy dangka adalah suku baduy yang tinggal di luar wilayah Kanekes, berbeda dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar.. Kampung Dangka berfungsi sebagai “buffer zone” atas

berghei sebesar 30,198% (Hapsari, 2012) sedangkan secara in vitro konsentrasi inhibitory concentration 50 (IC50) terhadap P. Berdasarkan temuan kebiasaan masyarakat di atas,