• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka. 1. Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka. 1. Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

a. Matematika

Istilah matematika memiliki beragam pengertian, dengan kata lain tidak ada definisi tunggal dan disepakati oleh ahli dan pakar matematika, pengertian matematika bergantung pada cara pandang orang yang mendefinisikannya. Matematika berasal dari istilah Latin yaitu Mathematica yang awalnya mengambil istilah Yunani yaitu Mathematike yang berarti relating to learning yang berkaitan dengan hubungan pengetahuan, kata Yunani tersebut memiliki akar kata Mathema yang berarti pengkajian, pembelajaran, ilmu atau pengetahuan (knowledge) yang ruang lingkupnya menyempit, dan arti teknisnya menjadi pengkajian matematika (Haryono, 2014: 6). Lebih lanjut dalam bukunya, Haryono (2014: 6) mengungkapkan bahwa Mathematike berhubungan dengan kata serumpun yaitu Mathenein yang berarti belajar, sehingga matematika adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan berpikir atau belajar, atau dapat pula diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Menurut Tinggih (Hodiyanto, 2016: 9) bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, bahwasanya dalam matematika lebih menekankan pada kegiatan penalaran sedangkan, ilmu lain lebih menekankan pada hasil observasi atau eksperimen di samping penalaran.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan (Depdiknas, 2016: 88). Ismail, dkk (Hamzah dan Muhlisrarini, 2014: 48) memberikan definisi hakikat matematika adalah ilmu yang membahas angka–angka dan

(2)

perhitungannya, membahas masalah–masalah numerik, mengenai kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, sarana berpikir, kumpulan sistem, struktur dan alat. Dan beberapa definisi matematika didefinisikan oleh Anitah, dkk (Hamzah dan Muhlisrarini, 2014: 47–48) sebagai berikut:

1. Matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi.

2. Matematika adalah ilmu tentang keluasan atau pengukuran dan letak.

3. Matematika adalah ilmu tentang bilangan–bilangan dan hubungan–

hubungannya.

4. Matematika berkenaan dengan ide–ide, struktur–struktur, dan hubungan–hubungan yang diatur menurut urutan yang logis.

5. Matematika adalah ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan pada observasi (induktif) tetapi diterima generalisasi yang didasarkan kepada pembuktian secara deduktif.

6. Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat akhirnya ke dalil atau teorema.

7. Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan besaran, dan konsep–konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak tentang bilangan, simbol, logika, penalaran, masalah numerik, serta aturan–aturan, ide–ide, dan struktur yang diatur dengan ketat, logis, dan terorganisir.

b. Komunikasi

Berdasarkan KBBI, komunikasi yaitu: 1) pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak; 2) perhubungan (Depdiknas, 2016: 721).

Hodiyanto (2016: 10) mengungkapkan komunikasi membuat seseorang dapat mengekspresikan ide dan pemikirannya, saling bersosialisai, serta menerima, dan melakukan pembelajaran. Serta secara implisit Effendy mengatakan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau

(3)

mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik secara lisan maupun tulisan melalui media (Pratama, 2016: 15).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan dari seseorang kepada orang lain melalui lisan maupun tulisan sedemikian hingga pesan tersebut dapat dipahami. Melalui komunikasi, seseorang dapat bertukar ide atau gagasan dan mengklarifikasikan pemahaman.

c. Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

1) Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

Komunikasi merupakan bagian penting dari proses belajar dan mengajar matematika. Salah satu standar kemampuan matematis yang ditetapkan National Council of Teachers of Mathematics adalah komunikasi (communications) (NCTM, 2000: 29). Prayitno, dkk (2013:

385) menyatakan, “komunikasi matematis adalah suatu cara siswa untuk menyatakan dan menafsirkan gagasan–gagasan matematika secara lisan maupun tertulis, baik dalam bentuk gambar, tabel, diagram, rumus, ataupun demonstrasi”. Sedangkan Aufa, dkk (2016: 234) menjabarkan kemampuan komunikasi matematis sebagai,

Ability to connect messages by reading, listening, asking questions, and then communicate the location of the problem and present them in solving problems that occur in a classroom environment, where there is a transfer messages that contain material math studied.

Penjabaran yang lebih luas tentang komunikasi matematis dikemukakan oleh Romberg dan Chair (Izzati dan Suryadi, 2010: 725), yaitu:

Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; menyatakan peristiwa sehari–hari dalam bahasa atau simbol matematika; mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; menjelaskan

(4)

dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Siswa diharapkan memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan jelas. Hal tersebut penting karena dengan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan jelas, artinya siswa mampu untuk menyatakan ide–ide atau pemikiran mereka dengan orang lain, yang mana hal tersebut menunjukkan pemahaman atau keterangan dan fakta apa saja yang telah dipelajari oleh siswa. Hal tersebut sejalan dengan Izzati & Suryadi (2010: 721) yang menyatakan “komunikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan bahasa matematis untuk mengekspresikan gagasan matematis dan argumen dengan tepat, singkat dan logis. Komunikasi membantu siswa mengembangkan pemahaman mereka terhadap matematika dan mempertajam berfikir matematis mereka”. Serta diperkuat dengan pernyataan NCTM (2000:

60) bahwa, “Communication is essential part of mathematics and mathematics education. It is a way of sharing ideas and clarifying understanding. Through communication, ideas become objects of reflection, refinement, discussion, and amendment”.

Melalui proses komunikasi, siswa saling bertukar pemikiran dan sekaligus mengklarifikasi pemahaman yang diperoleh dalam pembelajaran, serta gagasan–gagasan atau ide–ide menjadi objek refleksi, penghalusan, bahan diskusi, dan perbaikan. Tentu saja dalam mengkomunikasikan gagasan matematika ini berbeda dengan mengkomunikasikan gagasan lain, hal ini dikarenakan matematika memiliki bahasa tersendiri, yang mana kebanyakan berupa simbol–

simbol dan angka–angka. Dengan memahami bahasa matematika ini siswa mampu mengkomunikasikan ide–idenya menjadi lebih baik dan lebih mudah sehingga diperoleh pemahaman yang benar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis tertulis adalah kemampuan untuk menyatakan atau mengungkapkan gagasan dan ide matematis

(5)

dalam bentuk tulisan artinya kemampuan membuat ekspresi matematika dalam bentuk model matematika, maupun gambar, tabel, dan sebagainya serta kemampuan siswa menuliskan jawaban dengan bahasa sendiri dalam rangka menyelesaikan permasalahan matematika.

2) Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

Sebelumnya, Greenes dan Schulman (Prayitno, dkk, 2013: 385) merumuskan kemampuan komunikasi matematis terdiri dari: a) menyatakan ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual dalam tipe yang berbeda; b) memahami, menafsirkan, dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual; dan c) mengkonstruk, menafsirkan dan menghubungkan bermacam–macam representasi ide dan hubungannya.

Sedangkan lebih lanjut Eliot dan Kenney (Qodariyah dan Rohaeti, 2015: 241) menguraikan indikator kemampuan komunikasi matematis sebagai berikut: a) menyatakan suatu situasi, gambar, diagram atau situasi dunia nyata ke dalam bahasa matematik, simbol, ide, dan model matematika; b) menjelaskan dan membaca secara bermakna, menyatakan, memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi suatu ide matematika dan sajian matematika secara lisan, tulisan, atau secara visual; c) mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika; dan menyatakan suatu argumen dalam bahasanya sendiri.

Kemudian, lebih rinci Sumarmo menyatakan, “students' mathematical communication capabilities include: a) connecting the real objects, drawings, and diagrams into the idea of mathematics; b) explain ideas, situations and relationships mathematical orally or in writing with real objects, pictures, graphs and algebra; c) declare a daily occurrence in the language or math symbol; d) listen, discuss, and write about mathematics; e) read with comprehension or writing mathematical presentation; f) make a conjecture, make arguments,

(6)

formulating definitions and generalizations; g) describes and made inquiries about the math they have learned” (Paridjo & Waluyo, 2017:

61).

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai indikator kemampuan komunikasi matematis di atas, dapat dipahami bahwasanya komunikasi matematis terdiri dari komunikasi matematis lisan dan komunikasi matematis tertulis. Serta berdasarkan uraian pendapat di atas, indikator kemampuan komunikasi matematis tertulis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a) Kemampuan menyatakan situasi atau merepresentasikan apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal ke dalam bahasa matematika berupa angka, kata–kata, simbol, notasi, gambar, grafik, diagram, atau model matematika dengan tepat terhadap suatu permasalahan.

b) Kemampuan dalam memilih, mengkonstruksi, atau menghubungkan konsep, rumus, atau ide matematika yang sesuai untuk digunakan dalam penyelesaian masalah.

c) Kemampuan dalam memberikan alasan secara sistematis terhadap akhir dari penyelesaian permasalahan.

2. Model Pembelajaran

a. Pengertian Model Pembelajaran

Keberhasilan proses belajar yang dilakukan siswa salah satunya ditunjang oleh kemampuan guru dalam mendesain proses pembelajaran, dimana kemampuan memilih dan menggunakan berbagai model pembelajaran sangat dibutuhkan di sini, karena pada dasarnya tidak semua model pembelajaran cocok digunakan pada setiap mata pelajaran maupun setiap materi pelajaran. Sebelumnya, Trianto (2012: 21) mengungkapkan bahwa secara kaffah model dimaknai sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu hal. Sedangkan dalam Trianto (2012: 22), Joyce mengungkapkan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman

(7)

merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat–perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku–buku, film, komputer, kurikulum, dan lain–lain.

Pendapat lain mengenai model pembelajaran dijabarkan oleh Cahyo (2013: 99) sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, praktisnya model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang digunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam ruang kelas dan untuk menyusun materi pengajaran. Sejalan dengan hal tersebut, Winataputra (Sugiyanto, 2009: 3) mengungkapkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Lima unsur dasar model pembelajaran menurut Joyce &

Weil, yaitu:

1. Syntax, yaitu langkah–langkah operasional pembelajaran.

2. Social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran.

3. Principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespons siswa.

4. Support system, segala sarana, bahan, dan alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran.

5. Instructional dan nurturant effects, hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).

(Sumantri, 2015: 37–38) Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini didefinisikan model pembelajaran adalah perencaaan yang digunakan untuk merancang pembelajaran di dalam kelas, yang berisi langkah–langkah pembelajaran serta terdiri dari bahan dan alat yang mendukung pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.

(8)

b. Model Problem Based Learning

Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik Kurikulum 2013 adalah model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), yang tentunya memberikan kesempatan bagi siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran, baik itu aktif pemikirannya maupun aktif mengkomunikasikannya. Pembelajaran Berbasis Masalah adalah suatu model pembelajaran yang menekankan masalah kehidupan yang bermakna (masalah nyata). Seperti dikutip pendapat Arends (2008: 41) bahwa inti dari pembelajaran berbasis masalah adalah penyajian situasi permasalahan yang autentik dan bermakna kepada siswa yang dapat menjadi landasan penyelidikan dan inkuiri. “Problem–based learning (PBL) is one of the student centred approaches…” (Awang & Daud: 482), sehingga berdasarkan uraian di atas, siswa dapat terlibat belajar dan terlibat dalam pemecahan masalah yang kontekstual (masalah nyata dalam kehidupan sehari–hari), akibat selanjutnya siswa dapat memahami bahwasanya materi yang dipelajari memanglah bermanfaat untuk kehidupannya.

Craig dan Hale menyatakan, “PBL is a type of experiential learning or instructional learning approach organized around self–directed investigation, explanation and resolution of meaningful problems in a collaborative small group” (Ishak dkk, 2015: 383). Artinya PBL adalah jenis pembelajaran pengalaman atau pendekatan pembelajaran instruksional yang diselenggarakan di sekitar penyelidikan mandiri, penjelasan dan penyelesaian masalah yang berarti dalam kelompok kecil kolaboratif.

Trianto (2012: 92) menyatakan bahwa model Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme. Artinya, model Problem Based Learning dapat memfasilitasi siswa dalam membangun pengetahuan mereka sendiri, meningkatkan kemampuan diri, mengembangkan kemandirian, melatih kemampuan berpikir, keterampilan memecahkan masalah, dan merupakan salah satu sarana untuk melatih kemampuan komunikasi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh, Rusman (2014: 212) bahwa kurikulum

(9)

pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok, dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibandingkan pendekatan yang lain. Lebih lanjut, Mayor menyatakan, “PBL helps students develop advanced cognitive abilities such as creative thinking, problem solving and communication skills” (Awang &

Daud: 482), yang artinya PBL membantu siswa mengembangkan kemampuan kognitif lanjutan seperti pemikiran kreatif, keterampilan pemecahan masalah dan komunikasi. Yang mana dalam memecahkan masalah ini menggunakan aturan–aturan yang sudah diketahui (Cahyo, 2013: 283).

Pembelajaran berbasis masalah memiliki karakteristik: 1) pembelajaran yang dipandu oleh masalah yang menantang; 2) siswa bekerja dalam kelompok kecil; dan 3) guru berperan sebagai fasilitator dalam pembelajaran (Widjajanti & Wahyudin, 2011: 403). Lebih lanjut Arends (2008: 42) mengemukakan bahwa karakteristik model ini yaitu: 1) pengajuan pertanyaan atau masalah perangsang; 2) berfokus pada keterkaitan antar disiplin; 3) penyelidikan autentik; 4) menghasilkan produk dan memamerkannya; 5) kolaborasi. Langkah–langkah model Problem Based Learning:

1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, dan memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan maslah yang dipilih.

2) Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain–lain).

3) Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, dan pemecahan masalah guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan dan membantu mereka berbagai tugas dengan temannya.

4) Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses–proses yang mereka gunakan.

(Hamdani, 2011: 87–88)

(10)

Sedangkan, sintaks model Problem Based Learning menurut Arends (2008: 57) disajikan dalam Tabel II.1.

Tabel II.1. Sintaks Model Problem Based Learning menurut Arends

Fase Perilaku guru

Fase 1:

Memberikan orientasi tentang permasalahannya

kepada siswa

Guru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.

Fase 2:

Mengorganisasikan siswa untuk meneliti

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas–tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.

Fase 3:

Membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4:

Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit

Guru membantu siswa dalam perencanaan dan perwujudan artefak–artefak yang tepat seperti laporan, rekaman video, dan model–

model, dan membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain.

Fase 5:

Menganalisis dan mengevaluasi proses

mengatasi masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap hasil investigasinya serta proses–proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Adapun menurut Warsono dan Hariyanto (2017: 152), model Problem Based Learning memiliki beberapa kelebihan diantaranya:

1) Siswa akan terbiasa menghadapi masalah dan tertantang untuk menyelesaikan masalah.

2) Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi antar teman.

3) Semakin mengakrabkan guru dengan siswa.

4) Membiasakan siswa menerapkan metode eksperimen, jika suatu masalah harus dilakukan melalui eksperimen.

Sedangkan kelemahan model Problem Based Learning menurut Warsono dan Hariyanto (2017: 152) yaitu:

1) Tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan masalah.

(11)

2) Seringkali memerlukan biaya mahal dan waktu yang panjang.

3) Aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, model Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa yang menggunakan masalah sebagai konteks bagi siswa untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan. Adapun dalam penelitan ini langkah–

langkah model Problem Based Learning dijabarkan dalam Tabel II.2.

Tabel II.2. Sintaks Model Problem Based Learning yang Digunakan

Tahap Perilaku guru

Fase 1:

Orientasi siswa pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik (bahan dan alat) yang dibutuhkan untuk penyelesaian masalah, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.

Fase 2:

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Fase 3:

Membimbing penyelidikan individual

maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Fase 4:

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk menyampaikan kepada teman yang lain terkait hasil karyanya.

Fase 5:

Menganalisis dan mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses–proses yang telah dilaksanakan.

c. Model Pembelajaran Langsung

Kardi dan Nur menyatakan model pembelajaran langsung sering disebut dengan model pengajaran aktif (active teaching model), mastery

(12)

teaching, dan explicit instruction (Trianto, 2012: 41). Menurut Arends,

“model pengajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah” (Trianto, 2012: 41). Pembelajaran langsung menurut Kardi (Huda, 2015: 186), dapat berbentuk ceramah, demonstrasi pelatihan atau praktik, dan kerja kelompok.

Model pembelajaran langsung dilaksanakan dengan mengandalkan kemampuan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran, sehingga dalam proses pembelajaran guru sangat aktif dan mendominasi di dalam kelas, serta dalam hal ini siswa bertindak sebagai penerima ilmu. Dapat diartikan bahwa guru mentransformasikan langsung kepada siswa materi yang hendak disampaikan. Adapun ciri–ciri model pembelajaran langsung menurut Kardi dan Nur (Trianto, 2012: 41–42) adalah 1) adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian belajar; 2) sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran;

dan 3) sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil.

Menurut Kardi & Nur (Trianto, 2012: 43), sintaks model pembelajaran langsung terdiri dari lima fase, yang disajikan dalam Tabel II.3.

(13)

Tabel II.3. Sintaks Model Pembelajaran Langsung menurut Kardi & Nur

Fase Peran Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar.

Fase 2 Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan

Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap.

Fase 3

Membimbing pelatihan

Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal.

Fase 4

Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik.

Fase 5

Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan

penerapan

Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari–hari.

Adapun menurut Wahyuningtyas (2016: 30) kelebihan dan kekurangan model pembelajaran langsung disajiikan dalam Tabel II.4.

Tabel II.4. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Langsung

Kelebihan Kekurangan

Guru mengendalikan materi dan urutan infromasi yang diterima oleh siswa.

Siswa memiliki kesempatan yang sedikit untuk terlibat aktif dalam kelas.

Dapat digunakan untuk menekankan poin–poin penting atau kesulitan yang mungkin dihadapi oleh siswa.

Guru menjadi peran utama dalam pembelajaran sehingga kesuksesan pembelajaran tergantung pada kemampuan guru untuk menyampaikan materi kepada siswa.

Dapat digunakan dalam kelas besar maupun kecil.

Guru sulit untuk menerima umpan balik terhadap pemahaman siswa

Dapat menyampaikan

informasi yang banyak dalam waktu yang relatif singkat.

Merujuk pada pengertian model pembelajaran langsung dan sintaks model pembelajaran langsung di atas, dalam penelitan ini digunakan langkah–langkah model pembelajaran langsung disajikan dalam Tabel II.5.

(14)

Tabel II.5. Sintaks Model Pembelajaran Langsung yang Digunakan

Fase Peran Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

Menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang hendak dicapai pada pembelajaran tersebut dan mempersiapkan siswa belajar.

Fase 2 Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan

Menyajikan informasi kepada siswa dengan metode ceramah.

Fase 3

Membimbing pelatihan

Meminta siswa untuk mengerjakan soal yang telah diberikan, kemudian guru membimbing belajar pada saat siswa mengerjakan soal.

Fase 4

Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik dengan meminta beberapa siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaan dan memberi umpan balik.

Fase 5

Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan

Memberikan tes individu kepada siswa serta memberikan latihan soal untuk dikerjakan di rumah.

3. Kemandirian Belajar Matematika a. Kemandirian

Berdasarkan KBBI, kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Depdiknas, 2016: 872).

Asrori (Wahyuningtyas, 2016: 31) mengatakan bahwa kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh melalui proses individuasi, yang mana proses ini adalah proses realisasi diri dan proses menuju kesempurnaan.

Berdasarkan pendapat di atas, kemandirian adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak bergantung pada orang lain. Individu yang memiliki kemandirian yang kuat tentu akan mampu bertanggung jawab, berani menghadapi masalah, berani menerima risiko, dan tidak terpengaruh maupun tergantung pada orang lain.

(15)

b. Belajar

Berdasarkan KBBI, belajar yaitu: 1) berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; 2) berlatih; 3) berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (Depdiknas, 2016: 23). Sedangkan menurut Slavin (Trianto, 2012: 16) mengatakan, “belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir”. Menurut Abdillah belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu (Aunurrahman, 2012: 35).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri individu yang terjadi melalui pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

c. Kemandirian Belajar Matematika

1) Pengertian Kemandirian Belajar Matematika

Kemandirian belajar sering diartikan dengan self regulated learning, dalam beberapa penelitian istilah kemandirian belajar dikenal dengan istilah self regulated learning. Mudjiman menyatakan, belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai sesuatu kompetensi guna mengatasi masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki (Hartono, 2015: 29).

Bandura (Qohar & Sumarmo, 2013: 63) mendefinisikan istilah kemandirian belajar sebagai sebagai kepribadian manusia dan kemampuan untuk mengamati tingkah lakunya sendiri. Schunk and Zimmerman menyatakan “Self–Regulated Learning as a learning process that affected by his or her thinking, feeling, strategy, and behavior which oeriented to attainment of his or her goals (Qohar &

(16)

Sumarmo, 2013: 63). Artinya kemandirian belajar sebagai proses yang digunakan untuk mengaktifkan dan mempertahankan pikiran kita, perilaku, dan emosi kita untuk mencapai tujuan kita.

Hartono (2015: 30) mengungkapkan bahwa kemandirian belajar merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi masalah, mempunyai rasa percaya diri, melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan. Sugandi & Sumarmo (2010: 501) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki kemandirian belajar cenderung “berinisiatif belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, memonitor, mengatur dan mengontrol kinerja atau belajar; memandang kesulitan sebagai tantangan; mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan; memilih dan menerapkan strategi belajar; mengevaluasi proses dan hasil belajar; serta konsep diri”.

Hakikatnya kemandirian belajar adalah suatu kemampuan untuk mengatasi permasalahan secara mandiri. Siswa yang memiliki kemandirian belajar akan berusaha terlebih dahulu untuk mempelajari materi pelajaran, setelah kesulitan barulah bertanya maupun berdiskusi dengan teman maupun guru. Siswa yang mandiri pun mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan dan mampu bekerja sendiri. Lebih lanjut, siswa yang kemandirian belajar tinggi mampu untuk mengoptimalkan potensi dirinya, percaya diri, tekun, penuh ide, mampu untuk menemukan strategi belajarnya yang sesuai, dan mampu untuk mengatur aktivitas belajarnya sendiri sehingga siswa akan mampu memahami dan dapat menyelesaikan persoalan, kedepannya siswa tidak akan mudah menyerah ketika tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan.

Berdasarkan pendapat dan uraian di atas, dalam penelitian ini kemandirian belajar matematika adalah kemampuan seorang siswa untuk belajar dengan inisiatif sendiri atau tanpa bantuan orang lain

(17)

dalam penemuan tujuan belajar, perencanaan belajar, strategi belajar, dan evaluasi hasil belajar matematika.

2) Indikator Kemandirian Belajar Matematika

Menurut Zimmerman (Madha, 2015: 949), kemandirian belajar sebagai, “strategies include self evaluation, organizing, and transforming, goal–setting and planning, seeking information, keeping records and monitoring, enviromental structuring, self consequating, rehearing and memorizing, seeking social assistance, and reviewing records”. Artinya, kemandirian belajar merupakan strategi yang meliputi evaluasi diri, mengatur dan mengubah, penetapan tujuan dan perencanaan, pencarian informasi, menyiapkan catatan dan pemantauan, penataan lingkungan, berlatih dan menghafal, mencari bantuan, dan meninjau catatan.

Kuo (2010: 4) menyebutkan bahwa pada umumnya kemandirian belajar merupakan kombinasi dari kemampuan (skill) dan kemauan (will). Corno (Kuo, 2010: 4–5) menyatakan, “skills refer to students’ use of different cognitive and metacognitive strategies that include planning and organizing for learning, goal setting, self–monitoring, self–evaluation, time management and resource–management strategies. Artinya kemampuan merujuk pada perencanaan dan pengorganisasian belajar, penentuan tujuan belajar, self–monitoring, evaluasi hasil belajar, manajemen waktu, dan menajemen sumber belajar. Sedangkan Garcia (Kuo, 2010: 5) menyatakan “Will refers to students’ motivational orientation in terms of goals, value, and expectancies”. Artinya, kemauan merujuk pada motivasi siswa dalam belajar dan harapan pada hasil belajar.

Dalam kemandirian, menurut Zimmerman (Indiani, 2017: 91) mencakup tiga fase yaitu: a) fase pemikiran; b) fase kontrol kinerja; dan c) refleksi diri. Yang mana fase–fase tersebut saling mempengaruhi dan membentuk siklus.

(18)

Lebih lanjut Song dan Hill (2007: 31–32) menjabarkan aspek–

aspek kemandirian belajar sebagai berikut:

a) Personal Attributes

“Personal attributes refer to learners' motivations for and capability of taking responsibility for their. Personal attributes also include resource use and robust cognitive strategies”. Hal tersebut mengungkapkan bahwa personal attributes merupakan aspek yang berkaitan dengan motivasi siswa, tanggung jawab siswa dalam hal belajar, penggunaan sumber belajar, dan strategi belajar. Semakin tinggi motivasi belajar, maka semakin kuat pula keinginan siswa untuk selalu bersungguh–sungguh dalam belajar untuk mencapai tujuannya tanpa bergantung orang lain. Adanya kesungguhan itu membuat siswa mempunyai tanggung jawab yang tinggi atas tugas–tugas sebagai siswa. Lebih lanjut, dengan tanggung jawab yang tinggi atas tugas sebagai siswa, siswa tersebut akan mengoptimalkan sumber belajar yang ada, dan mengatur strategi belajarnya.

b) Processes

“Process refers to learners' autonomous learning processes. Specifically, learner autonomy is primarily manifested in the process of planning, monitoring, and evaluating one’s learning”. Hal tersebut mengungkapkan bahwa processes merupakan aspek yang berkaitan dengan otonomi proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa meliputi perencanaan belajar, pemantauan/pemonitoran belajar, serta evaluasi pembelajaran. Perencanaan belajar sendiri oleh siswa penting, hal tersebut mengindikasikan adanya kesiapan dan kematangan dalam belajar, yang mana perencanaan ini tercermin dengan membuat jadwal belajar, mempersiapkan buku dan alat tulis, belajar di rumah, belajar sambil mencatat hal–hal penting, membaca kembali materi yang telah dipelajari, memeriksa catatan matematika.

(19)

Sedangkan yang dimaksudkan kegiatan pemantauan disini adalah kegiatan memantau atau menanyai diri sendiri apakah strategi yang dilaksanakan sudah sesuai dengan rencana ataukah belum.

Misalnya ketika guru tidak hadir, siswa tetap belajar dan membuat catatan bila diperlukan. Kemudian untuk kegiatan evaluasi, hal yang dilakukan siswa adalah mengerjakan kembali soal ulangan di rumah dan berusaha untuk memperbaiki kesalahan jika salah.

c) Context

“Context focuses on environmental factors and how those factors impact the level of self–direction provided to the learner”.

Hal tersebut mengungkapkan bahwa context berfokus pada faktor lingkungan dan bagaimana faktor tersebut mempengaruhi kemandirian belajar siswa. Ada beberapa faktor dalam konteks pembelajaran yang dapat mempengaruhi pengalaman belajar siswa, antara lain struktur dan sifat tugas dalam konteks pembelajaran.

Berdasarkan beberapa pendapat terkait indikator kemandirian belajar matematika, dalam penelitan ini indikator kemandirian belajar matematika siswa disajikan dalam Tabel II.6.

Tabel II.6. Indikator Kemandirian Belajar Matematika Siswa

Indikator Sub–indikator

Pemikiran Penetapan tujuan dan strategi belajar Kemampuan dan keyakinan diri Kontrol Kinerja

Pengendalian dan instruksi diri Pengawasan strategi belajar Pengamatan diri

Refleksi Diri Evaluasi diri Reaksi diri

(20)

3) Tingkat Kemandirian Belajar Matematika

Tingkat kemandirian belajar siswa dibedakan menjadi tiga macam menurut Grow (Hartono, 2015: 31–32), diantaranya:

a) Siswa dengan kemandirian belajar rendah

Siswa dengan kemandirian belajar rendah memerlukan bimbingan guru. Guru berperan sebagai pelatihan yang bertujuan untuk memacu kontrol siswa terhadap pelajarannya.

b) Siswa dengan kemandirian belajar sedang

Siswa dengan kemandirian belajar sedang memiliki motivasi namun terkadang menolak pelajaran yang diberikan karena guru tidak menjelaskan manfaat materi pelajaran bagi kehidupan yang akan datang. Guru berperan penting dalam mendukung siswa agar mampu menyusun tujuan belajar dalam mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kemandirian belajar.

c) Siswa dengan kemandirian belajar tinggi

Siswa dengan kemandirian belajar tinggi mampu menyusun tujuan dan standar belajar dalam meraih tujuan pembelajaran.

Siswa telah sadar dan bertanggung jawab terhadap proses belajar, memiliki kemampuan dalam mengatur waktu, menyusun tujuan belajar, evaluasi diri, pencarian informasi, dan menggunakan sumber belajar. Guru lebih berperan sebagai konsultan.

4. Tinjauan Materi Lingkaran a. Pengertian Lingkaran

Lingkaran adalah himpunan semua titik pada bidang yang berada pada jarak sama dari titik tertentu yang dikenal sebagai pusat lingkaran, sedangkan jari–jari adalah garis yang menghubungkan pusat lingkaran ke titik pada lingkaran (Alexander & Koeberlein, 2011: 278).

(21)

b. Unsur–unsur Lingkaran

Gambar II.1. Lingkaran

Berdasarkan Gambar II.1, unsur–unsur lingkaran yaitu:

1) Titik O adalah titik pusat lingkaran

2) OB OA, , dan OD adalah jari–jari lingkaran 3) AB adalah diameter lingkaran

4) BD AE dan , AB adalah tali busur. Tali busur terpanjang adalah diameter lingkaran

5) BD AE, , dan AD adalah busur minor lingkaran 6) AB adalah busur mayor lingkaran

7) OC adalah apotema

8) Daerah v adalah juring lingkaran 9) Daerah w adalah temberang

10)   AOD adalah sudut pusat lingkaran 11)   AED adalah sudut keliling lingkaran c. Sudut Pusat dan Sudut Keliling Lingkaran

1) Hubungan Sudut Pusat dan Sudut Keliling Lingkaran

Sebuah sudut keliling lingkaran adalah sudut yang titik sudutnya adalah titik pada lingkaran dan kaki sudutnya adalah tali busur lingkaran. Beberapa aturan terkait sudut pusat dan sudut keliling yaitu:

a) “The measure of an inscribed angle of a circle is one–half the measure of its intercepted arc” (Alexander & Koeberlein, 2011:

283). Artinya besar sudut keliling lingkaran adalah setengah dari

(22)

besar busur yang dihadap. Dalam lingkaran, besar sudut pusat sama dengan besar busur yang dihadap, “in a circle, the degree measure of a central angle is equal to the degree measure of its intercepted arc” (Alexander & Koeberlein, 2011: 281), sehingga besar sudut keliling lingkaran adalah setengah dari besar sudut pusat lingkaran.

b) “An angle inscribed in a semicircle is a right angle” (Alexander &

Koeberlein, 2011: 285). Artinya, sebuah sudut keliling dalam setengah lingkaran adalah sudut siku–siku, sehingga besar sudut keliling yang menghadap diameter lingkaran adalah 90 .

c) “If two inscribed angles intercept the same arc, then these angles are congruent” (Alexander & Koeberlein, 2011: 285). Artinya, jika dua sudut keliling menghadap pada busur yang sama, maka sudut–

sudut ini kongruen.

2) Segi Empat Tali Busur

“A polygon is inscribed in a circle if its vertices are points on the circle and its sides are chords of the circle” (Alexander &

Koeberlein, 2011: 289). Artinya, sebuah segi empat dalam lingkaran jika titiknya pada lingkaran dan sisi–sisinya adalah tali busur lingkaran.

“If a quadrilateral is inscribed in a circle, the opposite angles are supplementary” (Alexander & Koeberlein, 2011: 289). Artinya, kedua sudut yang berlawanan dalam sebuah segiempat dalam lingkaran adalah sudut yang bersuplemen. Dengan kata lain, jumlah kedua sudut tersebut adalah 180 .

d. Luas dan Keliling Lingkaran

Keliling lingkaran dirumuskan sebagai berikut:

2 Kdr

(Alexander & Koeberlein, 2011: 380) Sedangkan luas lingkaran dirumuskan sebagai berikut:

2 2

1

L4d r

(Alexander & Koeberlein, 2011: 383)

(23)

dengan keterangan, K : keliling lingkaran L : luas lingkaran

 : 3,14 atau 22 7

d : diameter lingkaran 1jari-jari lingkaran 2

 

 

 

r : jari–jari lingkaran

e. Hubungan Sudut Pusat dengan Panjang Busur dan Luas Juring 1) Hubungan Sudut Pusat dengan Panjang Busur Lingkaran

Dalam lingkaran dengan panjang keliling K, panjang busur AB yang besarnya adalah  diberikan oleh:

AB360 K

(Alexander & Koeberlein, 2011: 381) atau

AB360 K

 ekuivalen dengan

360 AB

K

 

. 2) Hubungan Sudut Pusat dengan Luas Juring Lingkaran

“A sector of a circle is a region bounded by two radii of the circle and an arc intercepted by those radii” (Alexander & Koeberlein, 2011: 387), artinya juring lingkaran adalah wilayah yang dibatasi oleh dua jari–jari lingkaran dan busur yang dihadap oleh jari–jari tersebut.

Rasio besar sudut pusat  terhadap 360 sama dengan rasio luas juring lingkaran L dengan luas juring lingkaran adalah

luas juring 360 L

(Alexander & Koeberlein, 2011: 387) atau luas juring

360 L

 ekuivalen dengan luas juring2 360 r

.

5. Penelitian Relevan

a. Penelitian yang dilakukan Upi Supraptinah, Budiyono, dan Sri Subanti (2015) dengan judul “Eksperimentasi Model Pembelajaran Discovery

(24)

Learning, Problem Based Learning, dan Think–Talk–Write dengan Pendekatan Saintifik terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ditinjau dari Kemandirian Belajar Siswa” diperoleh kesimpulan bahwa model Problem Based Learning menghasilkan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik jika dibandingkan dengan model Discovery Learning dan Think–Talk–Write pada materi bangun datar. Hal ini berarti model Problem Based Learning cocok jika digunakan pada materi bangun datar. Hasil selanjutnya, siswa dengan kemandirian belajar tinggi mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematika yang lebih baik daripada kemandirian sedang maupun rendah, sedangkan kemandirian belajar sedang maupun rendah mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematika yang sama baik. Persamaan antara penelitian Supraptinah, Budiyono, dan Subanti dengan penelitian ini adalah metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dan model pembelajaran yang digunakan adalah model Problem Based Learning. Serta menggunakan tinjauan yang sama yaitu kemandirian belajar matematika siswa. Sedangkan perbedaannya terletak pada materi, variabel terikat, dan populasinya.

Berturut–turut materi, variabel terikat, dan populasi pada penelitian Supraptinah, Budiyono, dan Subanti adalah bangun datar, kemampuan pemecahan masalah, dan siswa kelas VIII SMP se–Kabupaten Sragen.

Sedangkan materi, variabel terikat, dan populasi pada penelitian ini adalah lingkaran, kemampuan komunikasi matematis tertulis, dan siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Surakarta.

b. Penelitian yang dilakukan Nur Izzati Abdullah, Rohani Ahmad Tarmizi, dan Rosini Abu (2010) dengan judul The Effects of Problem Based Learning on Mathematics Performance and Affective Attributes in Learning Statistics at Form Four Secondary Level diperoleh kesimpulan bahwa model Problem Based Learning menunjukkan keterampilan komunikasi matematis yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional (langsung) pada materi statistika. Hal ini berarti model Problem Based Learning cocok jika digunakan pada materi statistika. Persamaan antara

(25)

penelitian Abdullah, Tarmizi, dan Abu dengan penelitian ini adalah metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dan model pembelajaran yang digunakan adalah model Problem Based Learning.

Sedangkan perbedaannya terletak pada materi, tinjauan, dan populasinya.

Berturut–turut materi, populasi, dan tinjauan pada penelitian Abdullah, Tarmizi, dan Abu adalah statistika, siswa tingkatan 4 Menengah Atas (tingkatan pendidikan di Malaysia), serta tidak memiliki tinjauan.

Sedangkan materi, tinjauan, dan populasi pada penelitian ini adalah lingkaran, kemandian belajar matematika siswa, dan siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Surakarta.

c. Penelitian yang dilakukan Lisna Siti Permana Sari dan Moersetyo Rahadi (2014) dengan judul “Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama”

diperoleh kesimpulan bahwa model peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hal ini berarti model Problem Based Learning cocok jika digunakan pada materi bagus dan kubus. Persamaan antara penelitian Sari dan Rahadi dengan penelitian ini yaitu metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dan model pembelajaran yang digunakan adalah model Problem Based Learning. Sedangkan perbedaannya terletak pada populasinya. Populasi pada penelitian Sari dan Rahadi adalah siswa MTs Negeri 1 Garut kelas VIII sedangkan populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Surakarta.

d. Penelitian yang dilakukan Abdul Qohar dan Utari Sumarmo (2013) dengan judul Improving Mathematical Communication Ability and Self Regulation Learning of Yunior High Students by Using Reciprocal Teaching diperoleh kesimpulan bahwa terdapat asosiasi (hubungan) antara kemampuan komunikasi matematis dengan kemandirian belajar siswa. Pada penelitian Qohar dan Sumarmo, Kemandirian Belajar Matematika Siswa mencoba untuk ditingkatkan, sedangkan pada penelitian ini Kemandirian Belajar

(26)

Matematika Siswa sebagai variabel bebas. Perbedaan antara penelitian Qohar dan Sumarmo dengan penelitian ini yaitu terletak pada model pembelajaran dan populasinya. Model pembelajaran yang digunakan pada penelitian Qohar dan Sumarmo adalah Reciprocal Teaching sedangkan model pembelajaran pada penelitian ini adalah model Problem Based Learning. Populasi pada penelitian Qohar dan Sumarmo adalah siswa SMP di Bojonegoro Jawa Timur sedangkan populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Surakarta.

e. Penelitian yang dilakukan Asep Ikin Sugandi dan Utari Sumarmo (2010) dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Kooperatif Jigsaw terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa SMA” diperoleh kesimpulan bahwa model Problem Based Learning dalam setting belajar kooperatif JIGSAW memberikan pengaruh terbesar dibandingkan dengan pengaruh pembelajaran konvensional, level sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa terhadap pencapaian kemampuan komunikasi matematis serta kemandirian belajar siswa. Persamaan antara penelitian Sugandi dan Sumarmo dengan penelitian ini adalah model pembelajaran yang digunakan yaitu model Problem Based Learning, namun pada penelitian Sugandi dan Sumarmo ditambahkan dengan setting kooperatif Jigsaw. Pada penelitian Sugandi dan Sumarmo, Kemandirian Belajar Matematika Siswa sebagai variabel terikat sedangkan pada penelitian ini Kemandirian Belajar Matematika Siswa sebagai variabel bebas. Perbedaan lainnya terletak pada populasinya. Pada penelitian Sugandi dan Sumarmo populasinya siswa kelas XI Program IPA dan populasi pada penelitian ini siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Surakarta.

B. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dalam penelitian ini memilliki tujuan untuk memperoleh kejelasan variabel–variabel yang memiliki pengaruh terhadap penelitian. Dari faktor–

faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikasi matematis tertulis, diantaranya

(27)

adalah model pembelajaran dan kemandirian belajar matematika siswa. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dipaparkan, peneliti mengajukan kerangka berpikir yaitu:

1. Hubungan antara Model Pembelajaran dengan Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

Kegiatan belajar mengajar yang baik akan mampu mengarahkan dan meningkatkan kemampuan siswa, salah satunya kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa. Kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa merupakan hal penting karena dengan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang tinggi siswa dapat mengkomunikasikan gagasan matematika dengan jelas, itu artinya siswa mampu untuk menyatakan ide–ide atau pemikiran mereka, yang mana hal tersebut menunjukkan pemahaman atau apa saja yang telah dipelajari oleh siswa. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa adalah dengan meningkatkan kualitas pembelajaran yang dapat diwujudkan dengan menerapkan model pembelajaran yang bermakna bagi siswa serta membuat siswa aktif. Siswa dengan tingkat pemahaman materi yang cukup tinggi tentu akan mampu mengekspresikan komunikasi matematisnya dengan baik.

Banyak sekali model pembelajaran yang dapat memicu siswa untuk aktif dalam pembelajaran, seorang guru hendaknya dapat memilih dan menentukan model yang tepat untuk suatu materi tertentu. Dimungkinkan dengan model pembelajaran yang berbeda akan menghasilkan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang berbeda pula. Salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran, baik itu aktif pemikirannya maupun aktif mengkomunikasikannya adalah model Problem Based Learning. Pembelajaran berbasis masalah, menitikberatkan pada masalah dunia nyata (kehidupan sehari–hari) yang tentunya siswa dapat memahami bahwasanya materi yang dipelajari memanglah bermanfaat untuk kehidupannya sehingga diharapkan timbul kebermaknaan dalam pembelajaran.

Model pembelajaran ini melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran serta dalam proses memahami makna pada masalah sehingga dapat terjadi interaksi antar siswa dan interaksi antar siswa dengan guru. Siswa

(28)

diajak untuk aktif sehingga pengetahuan tidak hanya diperoleh dari guru, melainkan siswa dapat pula mengkonstruksi sendiri pengetahuan baru mereka dengan pengetahuan sebelumnya.

Model Problem Based Learning dapat membantu melatih komunikasi matematis tertulis siswa, karena pada dasarnya model pembelajaran ini menangani masalah dari kehidupan sehari–hari yang barang tentu memerlukan pemrosesan informasi, melihat masalah, mengembangkan pemecahan masalah yang mana pemecahan masalah ini menggunakan lambang atau simbol matematika. Lambang atau simbol matematika inilah yang menjadi salah satu pokok hal penting dalam komunikasi matematis tertulis. Permasalahan dalam model Problem Based Learning, merupakan soal terbuka sehingga mendorong siswa untuk mengeksplorasi dan menyampaikan ide–ide matematikanya, akibatnya siswa memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis tertulisnya.

Disamping model Problem Based Learning, dalam penelitian ini hendak diterapkan pula model pembelajaran langsung. Dimana dalam model ini guru menjadi pemeran utama dalam proses pembelajaran. Artinya model pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang terpusat pada guru, guru secara langsung mengajar kepada siswa di depan kelas. Siswa diharapkan untuk memperhatikan penjelasan guru secara seksama. Dalam model pembelajaran ini guru mengajarkan tentang konsep–konsep matematika dalam rangka untuk membuat siswa mengetahui sesuatu, bukan untuk melakukan sesuatu, sehingga dalam hal ini, siswa kurang aktif dalam pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menduga bahwa model Problem Based Learning akan menghasilkan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan dengan model pembelajaran langsung. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Abdullah, Tarmizi, dan Abu (2010) yang diperoleh kesimpulan bahwa model Problem Based Learning menunjukkan keterampilan komunikasi matematis yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional (langsung).

(29)

2. Hubungan Kemandirian Belajar Matematika dengan Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

Selain penerapan model pembelajaran yang kurang melibatkan siswa untuk aktif, penyebab dari rendahnya kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa yang lainnya adalah berasal dari dalam siswa itu sendiri. Salah satunya yaitu kemandirian belajar matematika siswa. Setiap siswa tentunya memiliki kemandirian belajar matematika yang berbeda, perbedaan kemandirian belajar matematika ini dapat mempengaruhi perbedaan kemampuan akademik.

Siswa yang kemandirian belajar matematika tinggi mampu untuk mengoptimalkan potensi dirinya, mampu untuk menemukan strategi belajarnya yang sesuai, mampu bekerja secara kelompok maupun individu, mampu mengemukakan gagasan/ide, dan mampu untuk mengatur aktivitas belajarnya sendiri sehingga siswa akan mampu memahami dan dapat menyelesaikan persoalan, kedepannya siswa tidak akan mudah menyerah ketika tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan, dan akibat selanjutnya adalah meningkatnya kemampuan akademik siswa, serta merta meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika yang rendah dimungkinkan kurang mampu dalam mengemukakan gagasan/ide, dan belum mampu untuk mengatur aktivitas belajarnya sendiri sehingga siswa akan belum mampu memahami dan menyelesaikan persoalan, kedepannya siswa mudah menyerah ketika tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan, dan akibat selanjutnya adalah kurangnya kemampuan akademik siswa, serta merta mengakibatkan kurangnya kemampuan komunikasi matematis siswa. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Qohar & Sumarmo (2013: 71) bahwa terdapat hubungan/korelasi yang positif antara kemampuan komunikasi matematis siswa dan kemandirian belajar siswa.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menduga bahwa siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika tinggi dimungkinkan mempunyai kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik dibandingkan siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika sedang dan rendah.

Sedangkan pada siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika sedang

(30)

dimungkinkan mempunyai kemampuan komunikasi matematis tertulis lebih baik dibandingkan siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika rendah.

3. Hubungan antara Model Pembelajaran pada masing–masing Tingkat Kemandirian Belajar Matematika dengan Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

Model pembelajaran dan kemandirian belajar diduga memiliki pengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa. Untuk mengurangi permasalahan dalam proses pembelajaran, serta untuk memaksimalkan kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa maka diperlukan kemandirian belajar matematika yang tinggi dan model pembelajaran yang tepat. Model Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang memicu siswa untuk aktif dalam pembelajaran serta menitikberatkan pada masalah dunia nyata (kehidupan sehari–hari) yang tentunya siswa dapat memahami bahwasanya materi yang dipelajari memanglah bermanfaat untuk kehidupannya sehingga diharapkan timbul kebermaknaan dalam pembelajaran. Model Problem Based Learning berpusat pada siswa sehingga siswa dapat belajar bekerjasama dalam suatu kelompok maupun mandiri. Siswa difokuskan pada masalah sehingga siswa mampu menyelesaikan masalah tersebut secara kelompok dan mandiri.

Siswa diajak untuk aktif sehingga pengetahuan tidak hanya diperoleh dari guru, melainkan siswa dapat pula mengkonstruksi sendiri pengetahuan baru mereka dengan pengetahuan sebelumnya. Model ini dapat membantu melatih kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa, karena pada dasarnya model pembelajaran ini menangani masalah yang mana dalam pemrosesan informasi menggunakan lambang atau simbol matematika serta siswa diharapkan mampu untuk mengeksplorasi dan menyampaikan ide–ide matematikanya. Kemandirian belajar matematika pada model Problem Based Learning sangat diperlukan karena siswa akan menghadapi masalah yang disajikan dimana siswa dituntut untuk mencari solusi masalah tersebut secara mandiri. Siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika tinggi biasanya mampu bekerja secara kelompok maupun individu, sudah dapat dikatakan mampu memahami dan dapat menyelesaikan persoalan, memiliki pengetahuan yang lebih banyak

(31)

daripada siswa lain, serta sudah terbiasa menghadapi permasalahan yang menuntut untuk memanggil pengetahuan–pengetahuan yang telah diterima sebelumnya. Tentu saja dalam hal ini siswa dengan kemandirian belajar matematika tinggi akan semakin berkembang.

Siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah akan mengalami pengembangan kemandirian belajar matematika karena didukung model pembelajaran ini. Siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang sedikit mampu untuk dalam memahami dan menyelesaikan persoalan yang menuntut untuk memanggil pengetahuan–pengetahuan yang telah diterima sebelumnya, hal tersebut dikarenakan pengetahuan yang dimiliki tidak sebanyak siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika tinggi, sehingga masih adanya sedikit bimbingan oleh guru. Siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang akan mudah terangsang dalam pembelajaran jika dibandingkan dengan siswa kemandirian belajar matematika rendah. Siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika rendah, kurang mampu dalam menangani permasalahan karena pengetahuan yang dimiliki masih bisa dikatakan kurang, sehingga sangat diperlukan bimbingan oleh guru.

Berdasarkan uraian di atas, dimungkinkan pada model Problem Based Learning, siswa dengan dengan kemandirian belajar matematika tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah, serta siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar matematika rendah.

Model pembelajaran langsung merupakan model pembelajaran dimana guru menjadi pemeran utama dalam proses pembelajaran. Artinya model pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang terpusat pada guru, guru secara langsung mengajar kepada siswa di depan kelas, mengajarkan tentang konsep–konsep matematika dalam rangka untuk membuat siswa mengetahui sesuatu, bukan untuk melakukan sesuatu, sehingga dalam hal ini, siswa kurang aktif dalam pembelajaran. Tentu saja, siswa yang memiliki kemandirian belajar

(32)

matematika tinggi dapat dengan mudah menerima pembelajaran karena pada dasarnya siswa yang kemandirian belajar matematika tinggi mampu untuk mengoptimalkan potensi dirinya, mampu untuk menemukan strategi belajarnya yang sesuai, dan mampu untuk mengatur aktivitas belajarnya sendiri sehingga siswa akan mampu memahami dan dapat menyelesaikan persoalan, kedepannya siswa tidak akan mudah menyerah ketika tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan.

Berbeda dengan siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika sedang dan rendah, yang belum secara sempurna atau bahkan belum mampu mengoptimalkan potensi diri, belum secara sempurna memahami dan menyelesaikan persoalan karena pengetahuan yang dimiliki tidak sebanyak siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika tinggi, serta kurang mampu dalam menangani permasalahan. Siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah akan cenderung berperan sebagai penerima informasi dari siswa dengan kemandirian belajar matematika tinggi. Siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah tentu membutuhkan bantuan dan dorongan guru untuk dapat mandiri. Kemampuan yang dimiliki kemungkinan dapat bertambah, namun karena peran siswa kemandirian belajar matematika sedang dan rendah yang relatif sama maka kemungkinan kemampuan mereka akan sana.

Berdasarkan uraian di atas, dimungkinkan pada model pembelajaran langsung, siswa dengan kemandirian belajar matematika tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah, serta siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang sama.

4. Hubungan antara Tingkat Kemandirian Belajar Matematika pada masing–

masing Model Pembelajaran dengan Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis

Kemandirian belajar matematika dan model pembelajaran diduga memiliki pengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa,

(33)

sehingga terdapat perbedaan terhadap kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa pada setiap kemandirian belajar matematika dan model pembelajaran.

Siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika tinggi biasanya memiliki inisiatif belajar yang tinggi sehingga siswa tersebut memiliki tujuan untuk menguasai konsep tertentu, mampu mengoptimalkan potensi dirinya, mampu untuk menemukan strategi belajarnya yang sesuai, dan mampu untuk mengatur aktivitas belajarnya sendiri. Dengan demikian, siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika tinggi dapat dengan mudah menerima pembelajaran meskipun guru menggunakan model pembelajaran yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, baik model Problem Based Learning maupun model pembelajaran langsung akan menghasilkan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang sama.

Siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika sedang memiliki inisiatif belajar yang sedang pula, belum mampu secara sempurna mengoptimalkan potensi diri sehingga dalam pembelajaran masih perlu diberikan bimbingan mengenai tujuan yang hendak dicapai, yang dirasa mampu menjadikan siswa merasakan kebermanfaatan konsep yang akan dipelajari.

Dengan demikian, siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika sedang tentu akan memiliki komunikasi matematis tertulis yang berbeda ketika diterapkan model pembelajaran yang berbeda pula. Berdasarkan uraian di atas, siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika sedang yang diberi model Problem Based Learning akan memberikan kemampuan komunikasi matematis tertulis lebih baik jika dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.

Siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika rendah, siswa belum mampu mengoptimalkan potensi diri sehingga kurang mampu dalam menangani permasalahan karena pengetahuan yang dimiliki masih bisa dikatakan kurang, masih sangat memerlukan bimbingan mengenai tujuan yang hendak dicapai, yang dirasa mampu menjadikan siswa merasakan kebermanfaatan konsep yang akan dipelajari. Dengan demikian, siswa yang

(34)

mempunyai kemandirian belajar matematika rendah tentu akan memiliki komunikasi matematis tertulis yang sangat berbeda ketika diterapkan model pembelajaran yang berbeda pula. Berdasarkan uraian di atas, siswa yang mempunyai kemandirian belajar matematika rendah yang diberi model Problem Based Learning akan memberikan kemampuan komunikasi matematis tertulis lebih baik jika dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, dapat digambarkan bagan pola pemikiran dalam penelitian, yaitu pada Gambar II.2.

Gambar II.2. Bagan Pola Pemikiran dalam Penelitian

Melalui Gambar II.2, dapat diketahui dalam penelitian ini diasumsikan bahwa 1) model pembelajaran mempengaruhi komunikasi matematis tertulis; 2) kemandirian belajar mempengaruhi komunikasi matematis tertulis; dan 3) model pembelajaran memiliki interaksi dengan kemandirian belajar matematika terhadap komunikasi matematis tertulis.

C. Hipotesis

Berdasarkan pada rumusan masalah, tinjauan pustaka, dan kerangka berpikir yang telah dijabarkan sebelumnya, dalam penelitian ini diajukan hipotesis yaitu:

1. Model Problem Based Learning akan menghasilkan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan dengan model pembelajaran langsung pada materi lingkaran.

2. Siswa dengan kemandirian belajar matematika tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah, serta siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang memiliki kemampuan komunikasi

(35)

matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar rendah pada materi lingkaran.

3. Pada model Problem Based Learning, siswa dengan dengan kemandirian belajar matematika tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah, serta siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar matematika rendah pada materi lingkaran. Pada model pembelajaran langsung, siswa dengan kemandirian belajar matematika tinggi memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang dan rendah, serta siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang sama dengan kemandirian belajar rendah pada materi lingkaran.

4. Pada siswa dengan kemandirian belajar matematika tinggi, siswa yang memperoleh model Problem Based Learning menghasilkan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang sama jika dibandingkan dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran langsung. Pada siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang, siswa yang memperoleh model Problem Based Learning menghasilkan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran langsung. Pada siswa dengan kemandirian belajar matematika rendah, siswa yang memperoleh model Problem Based Learning menghasilkan kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran langsung pada materi lingkaran.

Gambar

Tabel II.1. Sintaks Model Problem Based Learning menurut Arends
Tabel II.2. Sintaks Model Problem Based Learning yang Digunakan
Tabel II.3. Sintaks Model Pembelajaran Langsung menurut Kardi & Nur
Tabel II.5. Sintaks Model Pembelajaran Langsung yang Digunakan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

dan M otivasi Belajar Siswa SM K Pada Topik Limbah Di Lingkungan Kerja Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.

 Syaifuddin 2006 ANATOMI FISIOLOGI untuk mahasiswa keperawatan EGC Jakarta  Guyton Arthur C 2007 Buku. ajar Fisiologi Kedokteran

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman