TEORI FENOMENOLOGI DAN ETNOMETODOLOGI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Logika Saintifik”
Oleh :
Latifatus Sun’iyah B75210082
Dosen pembimbing :
Drs. Masduqi Affandi, M.Pd.I
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
PEMBAHASAN
1. A. TEORI FENOMENOLOGI
Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara terminology, fenomenologi adalah ilmu
berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. [1] Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Tokoh-tokoh fenomenologi:
Edmund Husserl Alfred Schutz Peter L. Berger
Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz, seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-time). Dia muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol; barngkali cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah
dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun, dia tertarik dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik sosiologi terhadap karya Weber. [2]
Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai suatu “arus-pengalaman” (stream of
experience). Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang
berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita. [3]
Fenomenologi tertarik dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang sama sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat, mengidebtifikasikannya melalui suatu proses dengan menghubungkannya dengan latar belakangnya. [4]
Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan:
“tindakan” sejauh ini mengacu pada tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini
mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas
Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari
pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat, sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam. [5]
Jadi, kita menentukan apa yang Schutz sebutkan sebagai
“hubungan-hubungan makna” (meanings contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorgnisir pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna. Hubungan-hubungan makna iorganisir secara bersama-sama, juga melalui proses tipikasi, ke dalam apa yag Schutz namakan “kumpulan pengetahuan” (stock of knowledge).
Kalau kita tetap pada tingkat kumpulan pengetahuan umum
(commomsense knowledge), kita diarahkan kepada studi-studi yang berlingkup kecil, mengenai situasi-situasi tertentu, yang
merupakan jenis karya empiris. Dimana interaksionisme
simboliklah yang lebih unggul. Secara umum karya Schutz telah digunakan untuk memberikan konsep-konsep kepekaan yang lebih lanjut, sering secara implicit. Saya kira tiada satupun studi empiris yang menggunakannya secara sistematik kecuali melalui
pengembangan etnometodologi. Namun demikian, Peter Berger telah mencoba secara sistematis untuk mengembangkan
fenomenologi menjadi suatu teori mengenai masyarakat. [6]
v Contoh teori fenomenologi dalam kehidupan sehari-hari
Saat ini sepasang pemuda-pemudi tidak lagi mempunyai rasa malu dalam hal berpacaran. Banyak di jumpai misalkan di taman,
mereka tidak malu bermesraan atau bahkan beradegan hal yang tidak senonoh seperti ciuman di tempat umum. Hal itu merupakan suatu fenomena atau suatu realitas yang nampak pada saat ini dan menjadi suatu yang tidak di anggap tabuh lagi.
1. B. TEORI ETNOMETODOLOGI
Istilah etnometodologi (ethomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula. [8]
Kita mulai dengan definisi etnometodologi studi tentang “kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi di mana mereka menemukan dirinya sendiri”. (Heritage, 1984:4).
Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa kita dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya,
fakta sosial berada di luar dan memaksa individu. Pakar yang
menerima pemikiran demikin cenderung melihat actor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali
kemampuannya atau tak mempunyai kebebasan untuk membuat pertimbangan. Seperti sosiolog, pakar etnometodologi cenderung membicarakan actor seperti “si tolol yang memberikan
pertimbangan”. [9]
Sebaliknya etnometodologi membicarakan objektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota (definisi anggota segera menyusul)
sebagai produk aktivitas metodologis anggota. Garfinkel
melukiskan sasaran perhatian etnometodologi sebagai berikut:
Realitas objektif fakta sosial bagi etnometodologi adalah fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus-menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui, atau menunda (Garfinkel, 1991:11). [10]
Salah satu pendirian kunci Garfinkel mengenai etnometodologi adalah bahwa mereka “dapat dijelaskan secara reflektif”.
Penjelasan adalah cara actor malakukan sesuatu seperti mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi
tertentu. Penjelasan (acaunnting) adalah proses yang dilalui actor dalam memberikan penhelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatian untuk menganalisis penjelasan actor maupun cara-cara penjelasan diberikan dan diterima (atau ditolak) oleh orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa pakar etnometodologi memustkan perhatian dalam mengalisis percakapan. Satu contoh, ketika seorang maahasiswa menerangkan kepada profesornya mengapa ia gagal mengambil ujian, ia sebenarnya memberikan suatu penjelasan. Mahasiswa itu mencoba mengemukakan pemikiran mengenai suatu peristiwa kepada profesornya. Pakar etnometodologi tertarik pada sifat dasar panjelasan itu, dan lebih umum lagi, pada praktik penjelasan yang dengannya mahasiswa memberikan penjelasan dan profesor
etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan metodologis. Artinya mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis. [11]
Bagimanapun juga, masalah pokok yang menjadi sasaran studi etnometodologi adalah berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas. Karena itu akan semakin banyak studi makin banyak diversifikasinya dan makin “growing paints”.
Studi setting institusional melukiskan sejumlah karya fariasi dalam etnometodologi, tetapi dalam sudut padang kita hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol, diantaranya:
1. Studi etnometodologi tentang setting institusional Dilakukan oleh pertama kali oleh Garfinkel dan rekannya
berlangsung dalam setting biasa dan tidak di institusionalkan (non-institutonalized) seperti di rumah, kemudian bergeser kea rah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam siding pengadilan, klinik, dan kantor polisi. Tujuan studi seperti ini adalah memahami cara orang dalam setting institusonal
melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tempat tugas itu berlangsung. Misalnya, tingkat angka criminal disusun oleh kantor polisi bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan yang ditetapkan secra jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan prosedur berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah korban harus digolongkan sebagi korban pembunuhan. Jadi, angka criminal seperti itu berdasarkan penafsiran pekerjaan dan
profesional, dan pemeliharaan catatan criminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk studi yang sebenarnya.
Tujuan analisis percakapan adalah untuk memahami sacara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan didefinisikan dalam arti yang sama dengan unsure dasar perspektif etnometodologi: “percakapan adalah aktivitas interaksi yang
menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis”. Meski percakapan mempunyai aturan dalam prosedur keduanya tak menentukan apa yang dikatakan, tetapi lebih digunakan untuk “menyempurnakan percakapan”. Sasaran perhatian percakapan terbatas pada mengenai apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri dan bukan kekuatan eksternal yang membatasi percakapan.
Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial. [12]
Sasaran sentral kajian etnometodologi adalah menganalisis
penalaran sosiologis praktis dan melaluinya aktivitas sosial diatur dan dijelaskan. Perhatian ini mengsumsikan gagasan bahwa semua ciri scenic dari interaksi sosial muncul sesekali dan dibentuk
sebagai prestasi praktis, di mana melaluinya masing-masing pihak menunjukkan kompetensi mereka dalam manajemen praktis dalam tatanan sosial. Sebagai analisis, minat kita adalah untuk
menerangkan, dalam kaitannya dengan pemanfaatan, metode yang dengannya keteraturan semacam itu dapat di tampilkan, dikelola, dan dikenali oleh anggotanya. [13]
Bagi seorang ahli etnometodologi asumsi-asumsi demikian secara substansial tidak ada dan di dalam masing-masingnya, setiap kelas berkonspirasi secra bersama-sama, gun memberikan kesan bahwa mereka ada. Kita sedang “membuat” sebuah kelas-mahasiswa saya sedang membuat dirinya sebagai seorang mahasiswa dan saya sedang membuat diri saya sebagai seorang dosen. Setiap interaksi sosial yang stabil adalah sebuah prestasi, sesuatu yang sudah dikerjakan, juga etnometodologi mencari tahu bagaimana hal itu dikerjakan. Karena itu nama ologi (studi mengenai), ethno (orang-orang) method (metode) guna menciptakan keteraturan sosial. [14]
1. Percakapan telepon (pengenalan dan pengakuan)
Emanuel A. Schegloff memandang pengujiannya tentang cr membuka percakapan telepon sebagai bagian upaya lebih besar untuk memahami ciri keteraturan sosial, yang ditekankan pada perhatiannya terhadap berbagai macam fenomena teratur dalam proses interaksi seperti pengaturan giliran berbicara dan cara orang memperbaiki pelanggaran yang dilakukan dalam prosedur percakapan biasa yang diantaranya termasuk pembukaan,
penutupan, dan keteraturan urutan berbicara.
1. Membuat tertawa
Gail Jefferson mempertanyakan bagaimana orang tahu kapan saatnya tertawa dalam percakapan. Menurut pandangan awam, tertawa sama sekali bebas waktunya dalam percakapan atau interaksi, artinya, kapan saja dikehendaki. Tetapi Jefferson menemukan bahwa beberapa ciri structural mendasar suatu
ucapan dimaksudkan untuk membuat pihak lain agar tertawa yakni pertama, penempatan tawa oleh pembicara di ujung ucapannya. Kedua, tertawa diletakkan di tengah pembicaraan, misalnya di tengah kalimat. Jadi, kemungkinan yang dapat menimbulkan tertawa tak diorganisir sebebas yang diperkirakan orang.
Masalahnya bukanlah sesuatu yang akan terjadi, tertawa atau apa pun lainnya, tapi tertawa harus terjadi atas dasar suka rela atau oleh ajakan. [15]
KESIMPULAN
Etnometodologi (ethomethodology), berarti “metode” yang
digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula.
Sasaran sentral kajian etnometodologi adalah menganalisis
dikerjakan. Karena itu nama ologi (studi mengenai), ethno (orang-orang) method (metode) guna menciptakan keteraturan sosial.
Fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut.
Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Soekanto, Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Surbakti, Ramlan. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media Publishing.
Zeitlin, Muhammad. 1998. Memahami kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
[1] Soerdjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993). Hlm. 68.
[2] Muhammad Zeitlin, 1998. Memahami kembali Sosiologi. (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press. 1998). Hlm. 128.
[3] Ibid., hlm. 129.
[4] Soerdjono Sukanto, Op.Cit., hlm. 69.
[5] Muhammad Zeitlin, Op.Cit., hlm. 129-130.
[6] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana. 2007). Hlm. 346.
[7] Ibid., hlm. 345.
[8] Ramlan Surbakti, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. (Malang: Aditya Media Publishing. 2010). Hlm. 185.
[9] Muhammad Zeitlin., hlm. 132-133.
[11] Ibid., hlm. 323-324.
[12] Ibid., hlm. 326-327.
[13] Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 187.
[14] George Ritzer, Op.Cit. hlm. 138.