TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Udara
Pencemaran udara dapat mengganggu kesehatan manusia, tanaman dan
binatang atau pada benda-benda, dapat pula menggganggu pandangan mata, kenyamanan hidup dari manusia dan penggunaan benda-benda. Pengaruh yang sangat penting adanya pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan,
kenyamanan, keselamatan, estetika, dan perekonomian (Suratmo,2004). 2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya (Wardhana, 2008). Pencemaran udara adalah adanya bahan kontaminan di
atmosfer karena ulah manusia (man made). Hal ini untuk membedakan dengan pencemaran udara alamiah (natural air pollution) dan pencemaran udara di tempat
kerja (occupational air pollution) (Mukono, 2006).
Definisi pencemaran udara menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor : Kep-02/MENKLH/I/1988 adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energy, dan/atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai
Peraturan Pemerintah (PP) 41 tahun 1999 menyebutkan bahwa pencemaran
udara adalah masuk atau dimasukkannya zat energi dari komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (Achmadi, 2012).
2.1.2. Penyebab Pencemar Udara
Secara umum penyebab pencemaran udara menurut Wardhana terdiri dari 2
macam,yaitu :
A. karena faktor internal (secara alamiah), contoh : (1) Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.
(2) Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik.
(3) Proses pembusukan sampah organik, dll.
B. Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contoh : (1) Hasil pembakaran bahan bakar fosil.
(2) Debu/serbuk dari kegiatan industri.
(3) Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.
Publikasi Environmental Protection Agency (EPA), yaitu Suplemen No.9 tahun 1979 (AP-42), berisi sumber pencemar udara dan fakto beban emisi udara. Faktor beban emisi udara dalam Lampiran 1 untuk sumber pembakaran tetap, sumber
pembakaran bergerak (transportasi), proses industri dan kegiatan pembuangan limbah padat (Djajadiningrat dkk, 1998).
utamanya adalah letusan gunung merapi ata uaktivitas magma yang keluar, terutama
gas-gas CO2, CO, NOx, SO2 serta berbagai logam berat metal seperti merkuri, Cd
serta unsur-unsur bahan kimia lainnya. Sedangkan sumber antropogenik utamanya adalah kendaraan bermotor, industri, rumah tangga, serta kegiatan lain seperti
merokok.
Sumber pencemar udara dapat dikelompokkan menjadi sumber bergerak dan
sumber tidak bergerak (Suradji, 2010). a. Sumber bergerak
Sumber pencemar udara bergerak dapat dikelompokkan menjadi : (a)
kendaraan bermotor; (b) pesawat terbang; (c) kereta api, dan (d) kapal laut. Sarana transportasi sebagai sumber pencemar karena proses pembakaran bahan bakar pada
mesin yang digunakan sebagai penggerak kendaraan tersebut.
Penyebab pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan oleh
kendaraan bermotor antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, ozon, CO , HC, dan partikel debu.
b. Sumber tak bergerak (menetap)
Yang termasuk sumber pencemar dari bahan bakar bersumber menetap adalah pembakaran beberapa jenis bahan bakar yang diemisikan pada suatu lokasi yang
1. Proses industri
Proses industri juga merupakan sumber polutan menetap, tetapi karena pada umumnya memiliki pertumbuhan yang cepat khususnya di wilayah perkotaan, maka dalam menentukan kawasan yang digunakan untuk kegiatan ini perlu mendapat
pertimbangan dari berbagai aspek, baik dari segi tata ruang, maupun rencana tata wilayah.
2. Pembuangan sampah padat
Tempat pembuangan sampah padat sebagai sumber pencemar udara karena gas yang dihasilkan dari proses dekomposisi khususnya sampah organic yang dapat
mengurai. Adapula sumber pencemar yang proses pencemarannya tidak dapat diduga sebelumnya, sehingga emisi yang ditimbulkannya tidak dapatdiprediksi baik
kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya pencemaran udara yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan, kebakaran gedung/bangunan, pembakaran sampah batu baraa, dan pembakaran di daerah pertanian.
2.1.3. Bahan Pencemar Udara
Menurut Achmadi, bahan pencemar bisa dikelompokkan ke dalam :
a) Kelompok senyawa kimia toksik.
b) Kelompok mikroorganisme berasal dari: bakteri, virus, parasit jamur, dan lain sebagainya.
c) Bahaan radioaktif berupa limbah yang tidak terkendali baik kegiatan tambang, industri berbahan radioaktif maupun rumah sakit.
Menurut Gunawan Suratmo, bahan pencemar berdasarkan pembagian Miller
(1979) adalah sebagai berikut : a) Karbon oksida (CO, CO2);
b) Sulfur oksida (SO2,SO3);
c) Nitrogen oksida (N2O,NO, NO2);
d) Hidrokarbon (CH4,C4H10,C6H6);
e) Fotokemis oksidan (O3,PAN dan aldehida);
f) Partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam, minyak dan garam); g) Senyawa inorganik (asbestos, HF, H2S, NH3,H2SO4,H2NO3);
h) Senyawa inorganik lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia lainnya);
i) Zat radioaktif; j) Panas;
k) Debu;
l) Kebisingan.
Polutan udara menurut Suradji digolongkan menjadi :
i) Sulfur dioksida (SO2)
ii) Karbon monoksida (CO) iii) Nitrogen Oksida (NOx)
2.1.4. Efek Bahan Pencemar Udara
Menurut Mukono, baik gas maupun partikel yang berada di atmosfer dapat menyebabkan kelainan pada tubuh manusia. Secara umum efek pencemaran udara terhadap individu atau masyarakat dapat berupa :
a. Sakit, baik yang akut maupun yang kronis.
b. Penyakit yang tersembunyi yang dapat memperpendek umur dan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan. c. Mengganggu fungsi fisiologi dari :
1. Paru 2. Saraf
3. Transport oksigen oleh hemoglobin 4. Kemampuan sensorik
d. Kemunduran penampilan, misalnya pada: 1. Aktivitas atlet
2. Aktivitas motorik 3. Aktivitas belajar
e. Iritasi sensorik.
f. Penimbunan bahan berbahaya dalam tubuh.
g. Rasa tidak nyaman (bau)
Beberapa jenis pencemar yang dianggap membahayakan kesehatan masyarakat misalnya: p.m. 2.5 dan p.m. 10; CO;H2S; SO2; Lead; NOx; Ozone, dan
2.1.5. Klasifikasi Bahan Pencemar
Menurut Mukono, Bahan pencemar udara atau polutan dapat dibagi menjadi dua bagian :
1. Polutan Primer
Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber tertentu, dan dapat berupa :
a) Polutan Gas, terdiri dari :
1. Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksigenasi, dan karbon oksida (CO atau CO2).
2. Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida.
3. Senyawa nitrogen, yaitu nitrogen oksida dan amoniak.
4. Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida, hidrokarbon terklorinasi, dan bromin.
b) Partikel
Partikel yang di atmosfer mempunyai karakteristik yang spesifik, dapat berupa zat padat maupun suspense aerosol cair di atmosfer. Bahan partikel tersebut
dapat berasal dari proses kondensasi, dispersi maupun erosi bahan tertentu. 2. Polutan Sekunder
Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau lebih bahan
kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Polutan sekunder mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yang tidak stabil. Termasuk dalam polutan sekunder adalah ozon,
2.1.6. Baku Mutu Kualitas Udara
Undang-undang yang ada di Indonesia saat ini mengatur lingkungan secara umum dan dikenal sebagai UU No 4 tahun 1982 sebagai undang-undang udara bersih. Peraturan seperti ini dikenal sebagai standar emisi, baik emisi dari cerobong
pabrik, maupun emisi kendaraan bermotor (Soemirat, 2009).
Tabel 2.1.Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Menurut KEP-2/MENKLH/I/1988 NO Parameter Waktu 1 SO2 24 Jam 0,01 ppm Pararosanilin Spectrophotometer
2 CO 8 jam 20,00 ppm NIDR NIDR analyzer
3 NOX 24 jam 0,05 ppm Saltzman Spectrophotometer
4 OX 1 jam 0,10 ppm Chem.lum Spectrophotometer
5 Debu 24 jam 0,26 mg/m3 Gravimetric Hi-volume sampler
6 Pb 24 jam 0,06 mg/m3 Gravimetric Hi-vol, AAS
7 H2S 30 menit 0,03 ppm Hgthiocyanat Spectrophotometer
8 NH3 24 jam 2,00 ppm Nessler Spectrophotometer
9 HC 3 jam 0.24 ppm Flame-untuk baku mutu kadar debu adalah Flame-untuk PM10 yaitu partikel debu yang berukuran
<10 µm adalah 150 µg/Nm3 untuk lama pengukuran 24 jam dan baku mutu PM2.5
adalah 65 µg/Nm3 untuk lama pengukuran 24 jam dan 15 µg/Nm3 untuk lama pengukuran 1 jam.
ditimbulkan melalui lalu lalang kendaraan pembawa material atau areal terbuka
(dokumen AMDAL PT Britoil Offshore Indonesia). 2.2. Partikel Debu
2.2.1. Pengertian Debu
Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Partikel dapat diartikan secara murni atau
sempit sebagai bahan pencemar udara yang lebih luas, dalam kaitannya dengan masalah pencemaran lingkungan, pencemar, partikel dapat meliputi berbagai macam bentuk, mulai dari bentuk yang sederhanasampai dengan bentuk yang rumit atau
kompleks yang kesemuanya merupakan bentuk pencemaran udara (Wardhana, 2004). Debu (Dust) adalah istilah yang lebih umum untuk partikel padat, umumnya
lebih besar dari koloidal, dan secara temporer tersuspensi dalam udara atau gas lain. Debu tidak mempunyai kecenderungan berflokulasi kecuali dalam keadaan elektrostatik, tidak berdifusi, tetapi turun (mengendap) karena pengaruh gaya berat
bumi (Suradji, 2010).Dust atau debu, adalah aerosol yang berupa butiran padat yang terhambur dan melayang di udara karena adanya hembusan angin (Wardhana, 2004).
Partikulat adalah debu/ padatan halus dan aerosol atau cairan berukuran halus. Partikel ini terdapat banyak di udara. Ukuran yang dapat memasuki saluran respiratorius ini adalah 10µ ke bawah (Soemirat, 2009).
Partikel mikro (p.m.) atau disebut juga sebagai debu atau particulate matter (p.m.) merupakan sekumpulan benda mati maupun kehidupan mikro yang memiliki
macam bahan hidup atau mati. Kandungan partikel mikro (p.m) atau debu ini sangat
tergantung dari sumbernya, bisa dari proses industri, grinding, crushing, debu vulkanik letusan gunung berapi, gesekan ban mobil, pembakaran bahan bakar carbon, spora jamur, hingga virus. Partikel mikro bisa berupa particulate matter (PM 2,5)
atau particulate matter berukuran 10 mikron (PM 10) yakni partikel berdiameter di bawah 10 mikron atau berdiameter di bawah 2,5 mikron. Dalam berbagai
pembahasan partikel 2,5 mikron dapat dianggap sangat membahayakan (Achmadi, 2012).
2.2.2. Sumber Debu
Partikulat atau debu adalah bagian yang besar dari emisi polutan yang berasal dari berbagai macam sumber seperti mobil, truk, pabrik baja, pabrik semen, dan
pembuangan sampah terbuka (Suradji, 2010). Menurut Wisnu Wardhana, sumber pencemar partikel dapat berasal dari peristiwa alami dan dapat juga berasal dari ulah manusia dalam rangka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Sumber
pencemar partikel akibat ulah manusia sebagian besar dari pembakaran batubara, proses industri, kebakaran hutan dan gas buangan alat transportasi.
Pencemaran partikel yang berasal dari alam contohnya adalah : 1. Debu tanah/ pasir halus yang terbawa oleh angin kencang.
2. Abu dan bahan-bahan vulkanik yang terlempar ke udara akibat letusan gunung
berapi.
3. Semburan uap air panas di sekitar daerah sumber panas bumi di daerah
Sumber artifisial debu terutama adalah pembakaran; apakah itu pembakaran
batu bara, minyak bumi, dan lain lainnya yang dapat menghasilkan jelaga (partikulat yang terdiri atas karbom dan lain-lain zat yang melekat padanya). Sumber lain adalah segala proses yang menimbulkan debu seperti pabrik semen, industri metalurgi,
industri konstruksi, industri bahan makanan, dan juga kendaraan bermotor (Soemirat, 2009).
2.2.3. Debu Sebagai Polutan Udara
Ukuran partikulat yang dapat memasuki saluran respiratorius adalah 10µ ke bawah. Yang berukuran 5µ sampai dengan 10µ akan mudah tersaring secara fisik
oleh bulu-bulu yang terdapat dalam rongga hidung, trakea, dan brokus. Yang lebih halus akan mudah terbawa oleh udara inspirasi ke dalam paru-paru, tetapi yang
berukuran < 2 mikron akan mudah masuk, dan mudah pula keluar dengan udara ekspirasi. Jadi yang terendapkan di dalam alveoli biasanya adalah yang berukuran antara 2-5 mikron (Soemirat, 2009).
Debu (partikulat) adalah bagian yang besar dari emisi polutan yang berasal dari berbagai macam sumber seperti mobil, truk, pabik baja, pabrik semen, dan
pembuangan sampah terbuka. Mungkin hal ini sangat mengejutkan bahwa Environmental Protection Agency (EPA) memperkirakan bahwa kebakaran hutan menghasilkan seperempat dari seluruh emisi partikulat. Sepertiga darinya berasal dari
Tabel 2.2 Perkiraan Prosentasi komponen pencemar udara dari sumber pencemar transportasi di Indonesia
Komponen Pencemar Prosentase (%)
CO 70,50
NOX 8,89
SOX 0,88
HC 18,34
Partikel 1,33
Total 100
Sumber : Wardhana, 2004
2.2.4. Baku Mutu Debu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara menjelaskan mengenai baku mutu udara ambien
yang di dalamnya dijelaskan mengenai baku mutu kadar debu. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yaitu PM10adalah 150 µg/m3.
2.2.5. Pengukuran Kadar Debu
Pengukuran kadar debu yaitu PM10 dilakukan menggunakan metode analisis
gravimetric menggunakan peralatan Hi-Vol yang pengukurannya memerlukan waktu
selama 24 jam (PP NO 41 Tahun 1999). 2.3. Industri Galangan Kapal
2.3.1. Definisi Industri
tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangunan dan perekayasaan
industri (UU RI NOMOR 5 TAHUN 1984).
Istilah industri mencakup sejumlah aktivitas yang bermacam-macam, masing-masing dengan potensi yang dapat mempengaruhi kesehatan para pekerja, keluarga
mereka dan masyarakat luas. Istilah ini meliputi pula industri-industri berat dan industri-industri ringan. Industri berkisar dari usaha-usaha informal yang kecil
dengan satu atau dua pekerja sampai yang besar dengan ribuan karyawan (Laporan Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).
2.3.2. Perkembangan Industri
Pembanguan di sektor industri, perhotelan, rumah sakit dan sektor lainnya akhir-akhir ini berkembang sangat pesat. Berdasarkan data Satisitik Industri Tahun
2003, jumlah industri sedang telah mencapai 113.253 dan industri besar 36.021. Angka ini belum termasuk industri kecil yang jumlahnya lebih dari 1.275.175 industri (Hamid dkk, 2007).
Industrialisasi telah memberikan banyak kontribusi positif terhadap kesehatan di antaranya adalah melalui peningkatan penghasilan, kemakmuran sosial yang lebih
besar, dan pelayanan-pelayanan yang lebih baik, khususnya dalam transportasi dan komunikasi (Laporan Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001). Perkembangan industri ini, selain memberikan dampak yang positif ternyata
perkembangan di sektor industri juga memberikan dampak yang negatif, yaitu berupa limbah industri yang bila tidak dikelola dengan baik dan benar akan mengganggu
Kegiatan bidang industri sering merupakan sumber masalah gangguan
terhadap kesehatan lingkungan. Kegiatan bidang industri, dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, jenis produk, bahan baku, proses maupun jenis limbah sendiri. Dengan demikian, kegiatan bidang industri akan mengeluarkan limbah cair, limbah
gas/partikel dan limbah padat (Mukono, 2006).
2.3.3. Industri Perkapalan
Mengutip penjelasan Djoko Pramono pada tahun 2005 yang menjelaskan bahwa berdasarkan Inpres No. 10/1984, yang diundangkan tanggal 28 November 1984, yang dimaksud dengan industri perkapalan meliputi industri galangan kapal,
penunjang galangan kapal, bangunan lepas pantai, dan pemecah kapal.
2.3.4. Industri Galangan Kapal
Dokumen AMDAL PT. Britoil Offshore Indonesia galangan kapal (shipyard)
menyatakan yang dimaksudkan dengan kegiatan utama marine base dengan komponen kegiatan berupa pembuatan, perbaikan atau pemeliharaan kapal tunda(tug
boat)dan tongkang serta sebagaioffshore logistic supplay.
2.3.4.1.Kegiatan Industri Galangan Kapal
Berdasarkan pemaparan dokumen AMDAL PT. Britoil Offshore Indonesia untuk kegiatan galangan kapal, offshore logistic, pelabuhan khusus, pengerukan dan
a. Kegiatan kapal
Kegiatan kapal di marine base adalah kegiatan labuh dan bongkar muat. Kapal-kapal yang bersandar adalah kapal-kapal pembawa material (bahan baku), kapaltug boatpendorong dan pengendali tongkang.
b. Bongkar Muat
Kegiatan bongkar muat yang dilakukan adalah pembongkaran bahan baku dan
bahan penolong untuk kegiatan galangan kapal danoffshore logistic. c. Pembuatan, Perbaikan dan Pemeliharaan Kapal / Tongkang
Perbaikan yang dilakukan adalah perbaikan badan kapal, perbaikan mesin,
perbaikan sistem elektronik dan elektrik kapal, dan terkadang diikuti oleh pencucian kapal atau tangki kapal. Kegiatan perbaikan kapal dilakukan dengan proses sebagai
berikut ; 1. Docking
Docking adalah kegiatan penempatan kapal atau tongkang yang akan diperbaiki sesuai dengan keperluannya. Untuk perbaikan bagian atas maka dilakukan
docking di air (running repaire), tetapi jika perbaikan juga termasuk bagian bawah
kapal/tongkang (seperti lunas, dasar kapal) maka dilakukan docking darat dengan cara menarik kapal/tongkang ke daratan.
2. Cleaning
Cleaning adalah kegiatan membersihkan seluruh bagian kapal atau tongkang dari teritip, kotoran, dan karat. Peralatan yang digunakan adalah amplas, gerinda,
3. Checking
Checking adalah kegiatan pemeriksaan bagian-bagian kapal yang mengalami kerusakan dan perlu penggantian. Checking dilakukan secara visual dan selama
checking tersebut dilakukan juga penandaan dan pengukuran volume yang harus diperbaiki.
4. Pemotongan dan Penggantian
Bagian-bagian kapal yang rusak yang telah diperiksa dan ditandai kemudian dipotong dan selanjutnya diganti dengan yang baru. Pemotongan dilakukan dengan alat potong gas.
5. Service Mesin
Kegiatan service mesin adalah serangkaian kegiatan perawatan mesin,
penyetelan katup-katup, penggantian bagian-bagian yang sudah aus (tidak berfungsi), pelumasan, dan pembersihan. Service dilakukan terhadap mesin utama dan mesin bantu kapal.
6. Penggantian, perawatan elektronik dan perpipaan
Kegiatan ini meliputi pemeriksaan terhadap jaringan elektronik, elektrik dan
sistem perpipaan dari kerusakan, malfunction dan kebocoran. Untuk bagian-bagian yang tidak berfungsi akan dilakukan penggantian dan penyambungan dengan yang baru.
7. Penghalusan dan Pengecatan
Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan gerinda untuk menghaluskan
Berdasarkan lampiran 2 Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999, limbah
yang berasal dari kegiatan sandblasting ditetapkan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari sumber spesifik, yaitu limbah sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah.
Limbah sandblasting dari aktivitas penghalusan bagian permukaan kapal dikategorikan sebagai limbah B3 karena pada limbah tersebut terindikasi
mengandung sejumlah logam berat yang dapat menimbulkan dampak negatif atau memberikan gangguan terhadap kesehatan dan lingkungan. Paparan debu limbah
sandblasting secara terus-menerus berpotensi menyebabkan iritasi pada kulit, gangguan pernapasan bahkan silikosis. Setelah permukaan kapal halus maka dilakukan pengecatan.
8. Peluncuran
Peluncuran adalah kegiatan pelepasan kapal yang sudah diperbaiki ke perairan.
d. Pembuatan dan PemeliharaanOffshore Equipment
Offshore Equipment adalah peralatan yang digunakan dalam kegiatan lepas
pantai seperti anjungan. Pembuatan peralatan offshore diawali dengan membuat rancang bangun, kemudian dilakukan pembuatan pola dan pemotongan bahan baku. Selanjutnya potongan-potongan disambung dengan cara mengelas dan dihaluskan,
pada akhirnya dicat dan dibawa ke lepas pantai.
e. Peluncuran Kapal atau Tongkang
perairan. Setelah kapal sampai di perairan, ikatan dilepas dan selanjutnya dilakukan
sea trialdengan menggunakantugboat.
f. Penanganan Limbah
g. Pengapalan dan PengangkutanOffshore Equipment
Peralatan offshore yang telah dibuat selanjutnya dimuat ke kapal dengan bantuanmobile crane.
2.4. Perumahan dan Permukiman
Perkembangan pengetahuan manusia, membuat terjadinya peningkatan kebutuhan manusia, mulailah dipertimbangkan efisiensi dan efektifitas. Cara hidup
juga mengalami perubahan sehingga terjadilah proses industrialisasi, otomatisasi, dan modernisasi. Cara hidup ini diikuti pula oleh perubahan manusianya menjadi lebih
individual dan egoistis. Letak geografis dan kondisi lingkungan juga mempengaruhi perkembangan pertumbuhannya (Auliadkk, 2008).
2.4.1. Pengertian Perumahan dan Permukiman
WHO memberikan pengertian bahwa perumahan (housing) adalah suatu bangunan fisik yang digunakan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan dan
bangunan tersebut termasuk fasilitas dan perlengkapan pelayanan yang diperlukan, berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya, baik untuk keluarga maupu individu (Sarudji, 2010).
Dalam mempertimbang keterkaitan antara perumahan dan kesehatan, perumahan diartikan lebih dari pada sekedar struktur fisik rumah. Perumahan
pembuangan kotoran manusia, serta limbah cair. Unsur-unsur lain adalah lokasi dan
lingkungan tetangga di sekitar tempat suatu unit perumahan, yang seharusnya dapat memberikan pertahanan terhadap kecelakaan dan vector-vektor penyakit (Laporan Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).
2.4.2. Typologi Hunian
Menurut Aulia, dkk tahun 2008, typologi hunian adalah :
a. Rumah tunggal(detached house)
1. Rumah yang berdiri sendiri pada persilnya dan terpisah dari rumah disebelahnya.
2. Tipe besar dengan luas persil di atas 400m². b. Rumah Koppel (Semi-Detached House)
1. Rumah yang umumnya berada pada satu persil.
2. Terdiri atas satu bangunan dengan 2 unit rumah tinggal, dimana atapnya menjadi satu.
3. Dari segi kepemilikan rumah biasanya satu persil dibagi menjadi dua kepemilikan sehingga masing-masing unit rumah mempunyai kepemilikan
sendiri.
c. Rumah Deret (Row House)
1. Suatu jenis hunian yang bangunan/unit rumahnya menempel satu dengan
lainnya.
2. Pada umumnya berderet maksimal 6 (enam) unit.
d. Rumah Tipe Maisonette
1. Rumah tinggal yang terdiri dari 2 lantai, bisa berupa 1 unit tersendiri, bisa juga berderet dan dapat juga berada pada satu massa besar.
2. Umumnya lantai satu dimanfaatkan untuk kegiatan umum seperti ruang tamu,
ruang keluarga, dapur, dll. Lantai dua dimanfaatkan untuk kegiatan pribadi seperti ruang tidur.
e. Apartemen
1. Adalah sebuah bangunan bertingkat banyak dan terdiri dari unit-unit hunian. 2. Bertingkat rendah maks. 4 lantai dan bertingkat tinggi > 8 lantai.
3. Ada beberapa jenis istilah untuk tipe bangunan ruma htigngal seperti ini. 4. Biasanya dibedakan atas kelompok penghuninya seperti rumah susun atau flat
untuk kelompok penghuni masyarakat menengah ke bawah dan apartemen atau kondominium untuk kelompok penghuni masyarakat menengah ke atas. f. Ruko (Rumah Toko)/Shop Houses
1. Termasuk pada rumah deret hanya dibedakan dari fungsi bangunan yaitu fungsi hunian dan fungsi niaga.
2. Jumlah tingkat 2-4 lantai.
3. Umumnya berada pada pusat-pusat kegiatan.
2.5. ISPA
2.5.1. Pengertian ISPA
Definisi penyakit ISPA menurut World Health Organization (WHO) adalah
atau infeksi ringan sampai penyakit parah dan mematikan, tergantung pada patogen
penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. Definisi penyakit ISPA lainnya adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau disertai radang
parenkim paru ( Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, 2005).
Pengertian ISPA adalah penyakit Saluran pernapasan akut dengan perhatian
khusus pada radang paru (pneumonia), dan bukan penyakit telinga dan tenggorokan. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit utama penyebab kematian bayi dan sering menempati urutan pertama angka kesakitan balita
(Widoyono, 2008). Penyakit ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang mencakup pneumonia, batuk-pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsillitis,
dan otitis (Misnadiarly, 2008). 2.5.2. Epidemiologi ISPA
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit batuk dan
pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak
3-6 kali setahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih
Penyakit pneumonia di negara berkembang, merupakan 25% penyumbang
kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Dari survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas pada bayi akibat pneumonia sebesar 42,4% dan pada balita sebesar 40,6%, sedangkan angka
mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada balita sebesar 36% (Widoyono, 2008).
Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan bahwa angka mortalitas pada bayi akibat penyakit ISPA menduduki urutan pertama (36%), dan angka mortalitas pada balita menduduki urutan kedua (13%). Di Jawa Tengah pada tahun 1999 penyakit
ISPA selalu menduduki ranking 1 pada 10 besar penyakit pasien rawat jalan di puskesmas.
2.5.3. Klasifikasi ISPA
Widoyono mengklasifikasikan penyakit ISPA terdiri dari : a. Bukan pneumonia
Mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding
dada bagian bawah kearah dalam. Contohnya adalah common cold, faringitis, tonsillitis, dan otitis.
b. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas. Diagnosis gejala
ini berdasarkan umur. Batas frekuensi napas cepat pada anak berusia dua bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak usia 1 sampai <5 tahun adalah 40 kali per menit.
c. Pneumonia berat
Didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai sesak
napas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai <5 tahun.
Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai adanya
napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam (severe
chest indrawing).
Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. ISPA ringan, seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala
batuk, pilek dan sesak.
b. ISPA sedang, apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390 C dan
bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. ISPA berat, gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :
b. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat. Gejalanya antara
lain adalah demam, sesak napas, napas dan nadi berdenyut lebih cepat, dahak berwarna kehijauan atau seperti karet (Misnadiarly, 2008).
c. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai
demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.
2.5.4. Tanda dan Gejala ISPA
Tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Batuk.
2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal pada waktu berbicara atau menangis).
3. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
4. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba.
b. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu
2. Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer).
3. Tenggorokan berwarna merah.
4. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak. 5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
6. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur). 7. Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
c. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Bibir atau kulit membiru.
2. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.
3. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
4. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah. 5. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
6. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba. 7. Tenggorokan berwarna merah.
2.5.5. Etiologi ISPA
Infeksi bakterial sering merupakan penyulit ISPA yang disebakan oleh virus, terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai
keradangan parenkim (Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, 2005).
Menurut Widoyono tahun 2008 etiologi penyakit ISPA terdiri dari :
Virus : influenza, adenovirus, sitomegavirus.
Jamur :Aspergilus sp, Candida albicans, Histoplasma, dan lain-lain.
Aspirasi : makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing
(biji-bijian, mainan plastik kecil, dan lain-lain).
ISPA yang disebabkan oleh bakteri adalah infeksi pernapasan umum yang
disebabkan oleh organisme seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Chlamydia spp., dan Mycoplasma pneumoniae. Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyak
negara merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri(WHO, 2007).
Terdapat beberapa ISPA yang disebabkan oleh jasad renik bukan golongan virus maupun bakteri, yaitu ISPA yang disebabkan oleh Mikoplasma Pneumonia yang termasuk dalam golonganpleuropneumonia-like organism (PPLO) karena tidak
dapat dimasukkan ke dalam golongan virus maupun bakteri. Kemudian Psitakosis-Ornitosis yang menyebabkan epizoonosis pada beberapa burung, serta Demam Q
yang disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella burnetti. Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA.
Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi
virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama. ISPA yang
Tabel 2.3 . 6 kelompok besar virus pernapasan sebagai penyebab ISPA
Group Virus Sub Group Tipe
Orthomyxovirus Influenza virus A
B C
Paramyxovirus Para Influenza Virus 1-4
Metamyxovirus Respiratory synctial virus (RS- virus)
Adenovirus 1-31
Picornavirus Rhinovirus 1-51
Coxsackie virus A 1-21
Coxsackie virus B 1-6
Echovirus 1-32
Coronavirus ?
Sumber : Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, 2005. 2.5.6. Patogenesis ISPA
Menurut Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, saluran pernapasan selama
hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan Saluran pernapasan
terhadap infeksi maupun partikel gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu :
a. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.
b. Makrofag alveol. c. Antibodi setempat.
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi pada
terdahulu. Hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia
adalah :
a. Asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara b. Sindroma imotil
c. Pengobatan dengan o2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih)
Makrofag banyak terdapat di alveol dan akan dimobilisasi ke tempat lain bila
terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag membunuh materi, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini.
Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah IgA. Antibodi ini
banyak didapatkan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi pada anak. Mereka dengan
defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa dengan penderita yang mengalami immunodefisiensi lain, seperti penderita yang mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas dan lain-lain (immuno compromised host).
Gambaran klinik radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung pada : a. Karakteristik inokulum, meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat virulensi
jasad renik yang masuk.
b. Daya tahan tubuh, tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa, gerak mukosilia, makrofag alveol dan IgA.
c. Umur, mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang
Gambaran klinik yang jelek dan tampak lebih berat tersebut terutama
disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang belum memperoleh kekebalan alamiah.
Pada ISPA dikenal tiga cara penyebaran infeksi yaitu :
a. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk.
b. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk dan bersin-bersin.
c. Melalui kontak langsung/ tidak langsung dari benda yang telah dicemari jasad renik ( hand to hand transmission).
Pada infeksi virus, transmisi harus diawali dengan penyebaran virus ke daerah
sekitar terutama melalui bajan sekresi hidung. Virus yang menyebabkan ISPA terdapat 10-100 kali lebig banyak didalam mukosa hidung daripada mukosa faring.
Dari beberapa penelitian klinik, laboratorium dan penelitian lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus yang terbesar bila dibandingkan dengan cara penularan aerogen (yang semula banyak diduga
sebagai penyebab utama).
Perjalanan mikroorganisme menurut Misnadiarly bisa sampai ke paru-paru
antara lain melalui :
a. Inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar. b. Aliran darah dari infeksi di organ tubuh yang lain.
2.5.7. Faktor Resiko ISPA
Orang yang rentan (mudah terkena) pneumonia dimana pneumonia merupakan salah satu klasifikasi dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut menurut Misnadiarly lain :
a) Peminum alkohol. b) Perokok.
c) Penderita diabetes mellitus. d) Penderita gagal jantung.
e) Penderita penyakit paru bostruktif menahun (PPOK).
f) Gangguan sistem kekebalan karena obat tertentu (penderita kanker menerima organ cangkokan).
g) Gangguan sistem kekebalan karena penyakit tertentu (misalnya penerima organ cangkokan).
2.6. Kerangka Konsep