• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Putra (2012) mengungkapkan Orang Bajo hidup tersebar dan mengembara di lautan luas tidak hanya di kawasan Indonesia, tetapi juga di perairan asia tenggara. Ada yang berpendapat orang bajo berasal dari Malaysia, ada juga yang berpendapat orang bajo berasal dari daerah wajo, di Sulawesi selatan. Orang bajo banyak melewatkan harinya di lautan dengan hidup dalam kelompok-kelompok kecil, menggunakan perahu untuk berpindah-pindah dari satu pantai ke pantai lainya di kepulauan nusantara. Analisis dongeng bajo secara struktural cukup berbeda dengan cara analisis levi strauss menganalisis kisah Oedipus maupun kisah yunani lainya yang tidak membagi dongeng-dongeng ke dalam beberapa episode. Kisah bajo dongeng dibagi ke dalam beberapa episode dengan terlebih dahulu membaca keseluruhan cerita agar mendapatkan kesan pengetahuan cerita tersebut. Setelah itu membaginya dalam beberapa episode. Setiap episode ini umumnya berisi tentang deskripsi tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita, sebagaimana yang dikatakan oleh Levi Strauss tindakan atau peristiwa ini merupakan miteme yang hanya dapat ditemukan pada tingkat kalimat.

Wibowo (2013) melakukan penelitian yang mengungkapkan langkah pertama yang digunakan dalam menganalisis mitos adalah mengidentifikasi dan

(2)

9 menggambarkan struktur permukaan dari kedua mitos. Struktur permukaan ini dianalisis secara sinkronis dan diakronis untuk menemukan miteme-mitemenya.

Langkah kedua, yaitu menganalisis dan mengidentifikasi struktur dalam dari miteme-miteme ini. Struktur-struktur dalam ini akan diperas ke dalam suatu pola oposisi biner yang sekaligus akan memunculkan makna dari kedua mitos itu.

Hasil analisis menyimpulkan bahwa baik mitos Jaka Tarub maupun mitos Tanabata keduanya menggambarkan suatu pandangan terhadap status sosial dan pernikahan. Melalui mitosnya, orang Jawa dan orang Jepang menyampaikan pandangannya tentang pernikahan yang ideal/yang diinginkan dan yang tidak ideal/yang tidak diinginkan, yang terkait dengan status sosial.

Pada tahun 2010, terdapat penelitian Damang Tri Hapsoro berjudul “Novel Blakanis Arswendo Atmowiloto: Sebuah Analisis Struktural” yang memaparkan

analisis struktural intrinsik. Penjabaran dalam penelitian tersebut lebih ditekankan pada sikap kejujuran, dan intrinsik dalam teks. Kejujuran dapat membawa ketenangan batin dan jiwa, terdapat pula ironi dalam cerita seperti kematian Ki Blaka.

Ari Prasetyo (2010) melihat Blakanis dari sudut pandang semiotika, melalui kalimat atau kata dari Arswendo Atmowiloto memiliki makna tertentu.

Tinjauan semiotika dalam penelitian ini lebih menyorot pada moral yang terkandung dalam novel Blakanis, sama seperti yang diutarakan pendahulunya bahwa kejujuran adalah dasar utama sifat manusia untuk berbudi baik.

(3)

10 2. Landasan Teori

a. Strukturalisme Claude Levi-Strauss

Claude Lévi-Strauss memulai penelitian tentang mitos-mitos pada masyarakat primitif ketika memulai ekspedisi di Brazil. Ekspedisi tersebut melahirkan buku Tristes Tropique yang membabtis Lévi-Strauss sebagai seorang antropolog yang tertarik pada etnografi (Ahimsa-Putra, 2006:11).

Inti tujuan dari paradigma antropologi struktural Straussian adalah penemuan pesan dari generasi lama (primitif) kepada generasi masa kini (modern). Karena budaya primitif menjadi asing ketika dipahami oleh masyarakat modern, penyampaian pesan tersebut dilakukan dengan cara pembentukan analogi berupa simbol yang bersifat arbitrer (Badcock, 2006:141). Analogi arbitrer tersebut berupa mite atau mitos dalam suatu kebudayaan masyarakat tertentu sebagai simbol penyampaian pesan lintas generasi dengan melihat relasi antarunsur mitos yang membentuk menjadi suatu struktur.

Lévi-Strauss banyak melakukan penelitian kebudayaan dengan mengandalkan disiplin ilmu kebahasaan atau linguistik sebagai pisau telaah atas gejala sosial-budaya di luar bahasa. Hal tersebut disebabkan oleh hubungan yang saling memengaruhi antara bahasa dan kebudayaan (Ahimsa-Putra, 2006:23). Hubungan tersebut dapat dibedakan dalam tiga pandangan, yakni 1) bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi kebudayaan mereka sehingga kedudukan bahasa dan kebudayaan adalah setara; 2) bahasa merupakan salah satu unsur

(4)

11 kebudayaan sehingga kedudukan bahasa berada di bawah payung kebudayaan; dan 3) bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan sehingga dapat diartikan bahwa bahasa mendahului kebudayaan atau juga dapat diartikan bahwa material pembangun bahasa satu jenis dengan material pembentuk kebudayaan (Ahimsa-Putra, 2006:24–25).

Levi-straus menguraikan berbagai unsur kebudayaan manusia dengan suatu metode analisa khas yang juga diambilnya dari ilmu linguistik yang disebut dengan metode segitiga kuliner (triangle culinaire). Metode tersebut diterapkan terhadap unsur makanan. Levis-Strauss banyak menaruh perhatian terhadap makanan, karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusia, makanan juga menjadi unsur kebudayaan dan sumber energi manusia yang sangat dini. Sehingga unsur makanan paling cocok untuk mengilustrasikan perbedaan antara alam dan kebudayaan. Berbagai jenis makanan juga mempunyai arti sosial, arti keagamaan,dan arti simbolik. Menurut dia makanan terbagi menjadi tiga jenis yaitu makanan yang melalui proses pemasakan, fermentasi, dan mentah. Jadi makanan yang bebas dari proses dan kena proses.

Dari golongan tersebut kemudian digolongkan ke dalam dua extreme yaitu makanan yang dimasak dan makanan yang terkena proses fermentasi. Golongan yang satu adalah kebudayaan, sedangkan golongan kedua adalah golongan alam. Golongan makanan mentah itulah keadaan antara yang ditemukan oleh manusia, karena makanan mentah termasuk

(5)

12 golongan alam karena tidak kena campur tangan manusia. Namun termasuk golongan kebudayaan juga, karena sumber makanan berupa tumbuh- tumbuhan yang ditanam atau binatang yang dipelihara atau diburu.

Menurut levis-strauss masyarakat bersahaja dianggapnya sebagai contoh dari masyarakat elementer, dan manusia yang hidup didalamnya tentu berfikir secara elementer artinya berfikir secara bersahaja (la pensee sauvage). Masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh sistem kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi di dalamnya berdasarkan sistem simbolik yang menentukan sikap mereka terhadap paling sedikit tiga kelas kerabat, yaitu kerabat karena hubungan darah, karena hubungan kawin, dank arena hubungan keturunan. Hubungan antara saudara sekandung dan hubungan karena perkawinan ada dua macam yang menurut levi-strauss secara universal selalu bertentangan kebutuhan. Seorang individu biasanya akan bersikap positif dalam hubungannya dengan iparnya. Kehidupan kekerabatan menurut levi-strauss dianggap hubungan positif adalah hubungan berdasarkan sikap bersahabat, mesra, dan cinta-mencintai.

Sedangkan yang dianggap hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi, dan menghormat.

Dari trikotomis timbal-balik bahasa dengan budaya tersebut, Lévi- Strauss cenderung sepakat dengan poin ketiga, yakni pandangan akan bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aneka aktivitas yang pada dasarnya mirip atau sama. Aktivitas tersebut bukan karena adanya hubungan kausalitas, melainkan berasal dari produk nalar manusia. Jadi, hubungan

(6)

13 bahasa dan kebudayaan menurut Lévi-Strauss adalah kesejajaran atau korelasi tentang cara suatu masyarakat mengekspresikan pandangan mereka tentang waktu pada tataran kebahasaan dan kebudayaan. Upaya penemuan tersebut dilakukan melalui penyusunan struktur-struktur dengan unsur-unsur pembentuknya sehingga korelasi yang ditemukan akan berada pada tingkat struktur, bukan pada pengulangan-pengulangan pada tingkat perilaku (Ahimsa-Putra, 2006:25–26).

Lévi-Strauss memperluas karya Saussure tentang bahasa ke dalam isu-isu antropologi, yakni mengenai mitos-mitos dalam masyarakat seperti penelitian yang sudah ia lakukan. Rekonseptualisasi fenomena-fenomena sosial yang dianalisis secara struktural tersebut terjadi karena adanya kesamaan antara sistem linguistik dan sistem kekerabatan pada fenomena sosial. Sistem kekerabatan dengan sistem fonemik pada linguistik merupakan produk dari struktur logis nirsadar pikiran yang beroperasi berdasarkan hukum-hukum umum (Ritzer dan Goodman, 2010:648).

Disebutkan oleh Lane mengenai asumsi dasar Lévi-Strauss tentang strukturalisme yang ia terapkan dalam penelitian terhadap mitos-mitos, yakni 1) adanya anggapan bahwa aktivitas sosial dan hasilnya merupakan bahasa-bahasa berupa perangkat tanda dan simbol; 2) manusia memiliki kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga dapat disebutkan bahwa kemampuan manusia “normal”, yakni untuk menstruktur yang terdesain sedemikian rupa dan tidak menjadi tanpa batas; 3) suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada waktu tertentu atau secara

(7)

14 sinkronis; dan 4) relasi-relasi pada struktur dalam dapat disederhanakan menjadi oposisi berpasangan (Ahimsa-Putra, 2006:66–69).

Tiga hal yang Lévi-Strauss sejajarkan dengan mitos, yakni nalar manusia, bahasa, dan musik. Ketiganya memiliki persamaan dan perbedaan dengan mitos. Mitos dalam konteks kajian Lévi-Strauss bukanlah mitos dalam kajian mitologi, melainkan suatu dongeng. Dongeng merupakan fenomena budaya yang darinya dapat diketahui kekangan dalam gerak atau dinamika nalar manusia (Ahimsa-Putra, 2006:75–78).

Sifat nirsadar dan fenomena sosial menjadi ketertarikan Lévi-Strauss ketika mengamati kemiripan berbagai dongeng di dunia. Kemiripan tersebut bukan lantaran sebuah kebetulan atau terjadi interaksi antarmanusia di belahan wilayah yang berbeda, melainkan terdapatnya kekangan, batasan, atau jalur-jalur struktural berupa keinginan-keinginan tanpa kesadaran yang diwujudkan melalui suatu ekspresi berupa dongeng-dongeng. Dalam hal ini, Lévi-Strauss mendapatkan pengaruh dari ilmu geologi, Karl Marx, dan psikoanalisis Sigmund Freud (Ahimsa-Putra, 2006:79).

Marx memberikan sumbangsih yang besar dalam pemikiran Lévi- Strauss. Hubungan dialektis antara individu dan struktur sosial, oleh Lévi- Strauss dilihat melalui hubungan struktur pikiran dan struktur masyarakat (Ritzer dan Goodman, 2010:239). Disebutkan bahwa kode merupakan superstruktur, yakni penyebab sosial dari sistem budaya yang mendasari totemisme dan sistem kekerabatan Australia merupakan suatu dialektika

(8)

15 yang tergantung pada hubungan individu dengan menggunakan faktor produksi sebagai alat penyelesai. Dengan kata lain, kode budaya ditentukan oleh material yang merasionalisasi, menjustifikasi, serta mempertahankan faktor kondisi material (Badcock, 2006:104–105).

Terdapat persamaan dan perbedaan antara mitos dan bahasa.

Persamaan tersebut, yakni 1) bahasa merupakan media, alat, sarana berkomunikasi sebagai penyampai pesan antarindividu atau antarkelompok.

Mitos disampaikan melalui proses penceritaan dengan menggunakan media/alat/sarana berupa bahasa yang mengandung pesan-pesan di dalamnya; 2) bahasa dan mitos sama-sama memiliki aspek langue (aspek struktur dalam bahasa) dan parole (aspek statistikal yang muncul dari kekonkretan penggunaan bahasa); dan 3) pencarian makna dalam bahasa bukanlah terdapat pada fonem, melainkan pada kombinasi fonem-fonem.

Mitos pun demikian, makna dapat ditemukan apabila dilakukan pencarian terhadap kombinasi berbagai tokoh, perbuatan, serta posisi tokoh (Ahimsa- Putra, 2006:80–84).

Perbedaan mitos dengan bahasa, antara lain 1) jika bahasa sebagai langue berada dalam waktu yang dapat berbalik, bahasa sebagai parole berada dalam waktu yang tidak dapat berbalik. Akan tetapi, mitos terdapat pada waktu yang dapat dan tidak dapat berbalik. Mitos yang bersifat historis-ahistoris tersebut dapat menjelaskan masa lampau, masa kini, dan masa depan. Dengan kata lain, bahasa memiliki sisi sinkronis dan diakronis yang harus dipisahkan dalam suatu analisis, sedangkan mitos memiliki sisi

(9)

16 sinkronis, diakronis, dan pankronis (sinkronis dan diakronis yang menyatu);

2) jika terdapat penerjemahan isi atau susunan yang buruk dari bahasa satu ke bahasa lain, makna bahasa tersebut akan sulit ditangkap. Akan tetapi, seburuk apa pun penerjemahan bahasa di dalam mitos, sifat atau ciri mitis- nya (myth) tidak akan hilang. Mitos akan tetap dapat dikenali sebagai sebuah mitos, bukan karena isi dan susunannya, melainkan karena ceritanya;

dan 3) bahasa terdiri dari unit pada tingkat berbeda, yakni fonem, morfem, dan semem. Unit dalam mitos terletak pada tataran yang lebih kompleks daripada bahasa, yakni gross constituent units atau mythemes (miteme) (Ahimsa-Putra, 2006:81–86).

Analisis novel Blakanis menggunakan teori strukturalisme Lévi- Strauss ditempuh dengan mengungkapkan struktur luar terlebih dahulu.

Langkah selanjutnya adalah menemukan struktur dalam yang berada di balik cerita. Melalui struktur dalam tersebut, baru dapat disederhanakan menjadi oposisi biner yang menyingkap proses pemikiran, yakni produksi makna sehingga dapat mengungkapkan logika di balik cerita (Eriyanto, 2015:165–

166). Kedua langkah tersebut dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut. Pertama, mencari miteme (mytheme) lantas menyusun miteme secara sintagmatik dan paradigmatik (Ahimsa-Putra, 2006:94–95). Dalam menemukan miteme tersebut, seperti yang disebutkan dalam Susanto, yakni dengan menentukan sekuen dari satu teks atau dapat disebut dengan episode yang merupakan bagian lebih besar dari miteme-miteme (Susanto, 2012:102). Episode-episode ini ditandai dengan batas-batas cerita yang

(10)

17 umumnya berisi tentang tindakan atau peristiwa yang dialami tokoh-tokoh (Ahimsa-Putra, 2006:204).

Miteme adalah unit terkecil mitos berupa rangkaian kalimat atau kata yang menunjukkan relasi atau makna tertentu. Miteme dapat berlaku sebagai simbol dan tanda sekaligus. Miteme sebagai simbol karena memiliki acuan atau makna referential. Miteme sebagai tanda karena memiliki nilai (value) sesuai dalam konteks tertentu. Simbol tersebut merupakan segala sesuatu yang dimaknai meski tanpa konteks. Tanda merupakan sesuatu yang tidak bermakna, tetapi mempunyai nilai hanya jika berada dalam suatu konteks (Ahimsa-Putra, 20016:86). Miteme hanya dapat ditemukan pada tingkat kalimat dengan satu ide tindakan atau peristiwa yang dilakukan tokoh (Ahimsa-Putra, 2006:205). Miteme ditulis dalam kartu indeks dengan membubuhkan nomor sesuai urutan cerita sehingga dapat menunjukkan suatu subjek yang melakukan fungsi tertentu, disebut dengan relasi (Ahimsa-Putra, 2006:95).

Dalam pengembangannya, Ahimsa-Putra menyebutkan ceriteme untuk menemukan persamaan serta perbedaan. Ceriteme—yang mirip dengan miteme ini lebih serupa dengan lexia yang disebutkan oleh Barthes—yaitu kata-kata, frasa, serangkaian kalimat, bagian alinea atau alinea yang mengandung pengertian tertentu serta ditempatkan dalam relasi tertentu dengan ceriteme lain sehingga dapat memunculkan makna. Fungsi ceriteme adalah pendeskripsian pengalaman, sifat-sifat, latar belakang

(11)

18 kehidupan, interaksi atau hubungan sosial, status sosial dari tokoh-tokoh yang menjadi sasaran analisis (Ahimsa-Putra, 2006:263–264).

Kedua, sama halnya dengan miteme yang menunjukkan suatu relasi, ceriteme dapat ditangkap dengan lebih mudah ketika disusun secara disusun secara sintagmatik dan paradigmatik. Hal tersebut karena mitos memiliki waktu yang sinkronis, diakronis, dan pankronis (Ahimsa-Putra, 2006:95).

Hubungan sintagmatik (horizontal) berupa relasi yang menunjukkan unsur- unsur kebahasaan yang saling terkait secara linear pada tataran tertentu.

Hubungan paradigmatik (vertikal) diartikan sebagai relasi yang memperlihatkan hubungan pada unsur-unsur kebahasaan tingkat tertentu yang saling menggantikan (Susanto, 2012:98–99). Fungsi hubungan sintagmatik dan paradigmatik adalah untuk menunjukkan hubungan pengaluran keseluruhan cerita yang dilihat dari jalinan cerita dan pemaknaan serta megetahui deret linear serta non-linearnya (Rahmawati, 2014:43).

Dengan kata lain, hubungan tersebut akan menunjukkan persamaan dan perbedaan miteme atau pun ceriteme sehingga dapat ditemukan variasi- variasi sebuah tema yang dapat diperjelas dengan pemolaan relasi antarelemen atau struktur serta makna-makna tertentu (Ahimsa-Putra, 2006:264).

Jalan pikiran, nalar, logika, atau cara pembuat karya memproduksi makna dapat dipahami melalui pembuatan oposisi atau perbandingan berpasangan yang letaknya tidak terpisah dari suatu karya. Lévi-Strauss menjabarkan tentang pembentukan kategori-kategori konseptual pada suatu

(12)

19 sistem merupakan hakikat pemahaman akan realitas yang sifatnya universal akibat adanya oposisi biner. Saussure menyebutkan bahwa konstruksi oposisi biner merupakan proses produk struktur fisik otak manusia sehingga proses pemahaman bersifat universal dan fundamental. Oposisi biner dapat bersifat ekslusif, yakni perbandingan antara satu hal dan hal negasi lainnya, seperti kaya dengan miskin, menikah dengan tidak menikah, dan sebagainya. Oposisi biner juga dapat bersifat tidak ekslusif, seperti pada pasangan antara air dan api, siang dan malam, dan sebagainya (Eriyanto, 2015:166–168).

B. Kerangka Pikir

Analisis struktural dalam penelitian novel Blakanis ini dapat dideskripsikan sebagai berikut.

1. Tahap awal adalah penentuan topik penelitian, yakni makna teks Blakanis sebagai pesan. Langkah awal, perlu diungkapkan struktur berpikir tokoh Ki Blaka serta relasi cara berpikir Ki Blaka terhadap tokoh lainnya untuk menemukan pesan atau makna terdalam pengarang.

2. Penentuan teori yang sesuai dengan permasalahan, yakni mengungkapkan maksud terdalam atau pesan dari pengarang terkait dengan aktivitas nalar, digunakan teori strukturalisme Lévi-Strauss sebagai alat telaah penelitian.

3. Analisis permasalahan dilakukan dengan menemukan struktur luar dan struktur dalam. Penemuan struktur luar dilakukan dengan membuat analisis sekuen yang memunculkan episode dan unit episodenya. Melalui analisis sekuen

(13)

20 tersebut akan ditemukan miteme-miteme yang berkategori di dalam karya sehingga struktur berpikir tokoh dapat dideskripsikan. Penemuan struktur dalam dilakukan dengan menyusun miteme-miteme secara sintagmatik dan paradigmatik. Melalui penyusunan deret tersebut, akan memunculkan relasi berpikir tokoh sehingga dapat dipaparkan oposisi biner.

4. Tahap terakhir adalah memberikan simpulan jawaban atas permasalahan yang ada di dalam novel Blakanis, yakni pesan atau maksud terdalam pengarang, berdasarkan analisis yang dilakukan. Pemaparan tersebut dikaitkan dengan konteks sehingga memperluas pesan yang terkandung.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun lembaga sosial masyarakat seperti LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), Dharma Wanita Persatuan, dan yang terakhir

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Ina Karya Jaya pada bulan November 2014 dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang bermakna secara statistik antara kualitas tidur dengan tekanan darah pada

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Menurut Suheriyanto (2008), belalang merupakan jenis serangga yang hidup sendiri, tetapi pada saat jumlahnya sangat banyak mereka hidup berkelompok dan dapat

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh persepsi konsumen mengenai nilai produk dalam kaitannya dengan produk — produk A MILD terhadap