• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

38 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Turut Serta Melakukan Perekrutan Dengan Penyalagunaan Posisi Rentan Untuk Mengeksploitasi Orang Di Provinsi Nusa Tenggara Timur

1. Pengertian tindak pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat atau “kejahatan” (Crime/Verbrechen/misdaad). Yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis. Mengenai pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat diantar para sarjana di Indonesia, sesudah perang dunia II (dua) persoalan ini “dihangatkan” oleh Prof. Moeljatno,17 Guru Besar Hukum Pidana pada Universitas Gadjah Mada dalam, pidato beliau pada diesnatalis Universitas Gadja Mada pada tahun 1955 yan berjudul “perbuatan pidana dan pertanggung jawab dalam hukum pidana” belia membedakan dengan tegas “dapat dipidananya perbuatan” dan dapat dipidananya orang (strafbarfeit van de person) dan sejalan dengan ini beliau memisahkan antara pengertian perbuatan (criminal act) dan

“pertanggungjawaban pidana” (criminal responsibility atau criminal liability).

Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana. Pandangan beliau dapat disebut pandangan dualistic mengenai perbuatan pidana, tindak pidana atau (strafbarfeit). Pandangan ini adalah penyimpangan dari pandangan yang monistic ini melihat keseluruhan

17Sudharto, Hukum Pidana 1, (Yayasan Sudarto, Cetakan 3, Semarang),2009, Hlm 65-66.

(2)

39

tumpukan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.

Istilah “Strafbarfeit” telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai pengertian. Ada yang menterjemahkannya kedalam penegertian

“peristiwa pidana”, “perbuatan pidana”, atau “delik” serta pembuat undang- undang sendiri menerjemahkannya dengan istilah tindak pidana. Kendatipun para ahli membuat rumusan yang berbeda-beda tentang batasan atau pengertian dari istilah “strafbarfeit” sebagaimana mereka memandang batasan atau pengertian tindak pidana. Sebagaiman pandangan dari para ahli yakni sebagai berikut;18 Sebagaimana di ketengahkan oleh Lamintang, sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum yang sudah tentu hal ini tidak tepat, oleh karena itu kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Simons merumuskan “Een Strafbarfeit” adalah suatu kelakuan/perbuatan (handeling) yang diancam oleh

undang-undang, bertentangan dengan hukum (onerechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggungjawab. Van Hamel, merumuskannya hampir sama dengan yang dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana bersifat perbuatan orang (mestelijke getrading) yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersifat

melawan hukum yang patut atau dapat dipidana yang dilakukan dengan kesalahan.

H.B Vos, merumuskan “Strafbarfeit” adalah suatu kelakuan yang dialarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.

18Aksi Sinurat, Bahan Ajar Hukum Pidana, FH. Undana. 2015, Hlm 56-57.

(3)

40

Pompe merumuskan “strafbarfeit” adalah suatu pelanggaran kaidah (pengganguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelanggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejatraan umum. Pompe berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak pidana tidak lain daripada feit yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Menurut Pompe bahwa teori strafbarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dengan ancaman pidana. Dalam hukum positif. Demikian Pompe, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. (strafbarfeit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana akan tetapi disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan, jelas bahwa beliau seperti juga Moeljatno, memisahkan tindak pidana dari orang yang dapat dipidana.19 Moeljatno, menurutnya perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larang tersebut. Menurut Moeljatno, untuk memahami pengertian strafbarfeit ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu, bahwa feit dalam strafbarfeit berarti kelakuan atau tingkah laku (handeling); bahwa pengertian strafbarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Dalam pidato Dies Natalis beliau memberi arti kepadaa perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut untuk adanya perbuatan pidana harus

19 Sudarto, Op.Cit. Hlm 70-72.

(4)

41

adanya unsur-unsur, Perbuatan manusia, memenuhi rumusan dalam undang- undang (ini merupakan syarat formil), bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil). Beliau mengatakan syarat formil itu harus ada, karena adanya azas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materil juga harus ada karena perbuatan itu harus nyata pula dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan; oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari sipembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena hal-hal tersebut melakat pada orang yang berbuat. Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakuan perbuatan pidana belaka; disamping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kenampuan bertanggung jawab. Disamping terdapat persamaan antara pendapat Pompe dan Moeljatno juga terdapat perbedaan ialah bahwa unsur sifat melawan hukum bagi Moeljatno ialah syarat yang mutlak yang tidak dapat ditinggalkan untuk adanya perbuatan pidana sedang Pompe tidak memandangnya sebagai demikian. Menurut Pompe unsur itu diperlukan untuk adanya pemidanaan.20 2. Unsur-unsur tindak pidana

Keragaman rumusan tindak pidana yang diberikan oleh para pakar hukum pidana, sehingga uraian mengenai unsur-unsur tindak pidana itu sendiri akan berbeda-beda pula antara yang satu dengan yang lain, sekalipun pada konklusif

20Ibid, Hlm. 72.

(5)

42

akhir akan tampak suatu pemahaman yang kurang lebih sama sebagaimana yang dikemukakan oleh S.R. Sianturi bahwa unsur-unsur tindak pidana ialah; yang pertama Subyek, yang ke dua kesalahan yang ke tiga bersifat melawan hukum

dari tindakan dan yang ke empat, suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan-undangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana, ke lima, waktu dan tempat keadaan (unsur obyektif lainnya). Dengan demikian menurut Sianturi perumusan pengertian tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggungjawab. Pada umumnya menurut Lamintang tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP dapat dijabarkan ke dalam dua unsur yakni, subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan dimana tindakan tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.

Padangan para ahli mengenai unsur-unsur tindak pidana dibagi ke dalam 2 (dua) pandangan yakni pandangan monistic dan pandangan dualistic. Pandangan monistic dan dualistic akan diuraikan secara jelas pada paragaraph di bawah ini yakni sebagai berikut;21

21Sudahrto, Op.Cit. Hlm 66-72.

(6)

43 a. Pandangan monistic

Aliran Monistis yaitu Pandangan dalam ilmu hukum pidana yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana. Simons merumuskan unsur-unsur strafbaarfeit adalah, perbuatan manusia positif atau negatif berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan, diancam dengan pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Simons menyebut adanya unsur subyektif dan unsur obyektif dari strafbaarfeit dan unsur obyektif menurut Simons ialah; perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti di dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau di muka umum unsur subyektif menurut Simons ialah; orang yang mampu bertanggung jawab, adanya kesalahan (dolus atau culpa) perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan tersebut dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Van Hamel merumuskan unsur-unsur strafbaarfeit adalah; perbuatan manusia yang dirumuskan di dalam undang-undang, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan patut dipidana. E Mezger merumuskan tindak pidana adalah, keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Salanjutnya dikatakan dengan demikian unsur-unsur tindak pidana yakni sebagai berikut; Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan), sifat melawan hukum (subyektif maupun obyektif), dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang, diancam dengan pidana. J. Bauman merumuskan unsur-unsur tindak pidana ialah,

(7)

44

perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

Karni merumuskan tindak pidana atau delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbauatan patut di pertanggungjawabkan.

Wirjono Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jadi jelas sekali defenisi-defenisi diatas tidak ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility

b. Pandangan dualistic

Aliran dualistis yaitu Pandangan dalam ilmu hukum pidana yang memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana. H.B Vos merumuskan istilah tindak pidana/strafbaarfeit hanya berunsurkan; kelakuan manusia dan diancam dengan pidana di dalam undang-undang berbeda dengan W.P.J. Pompe yang merumuskan tindak pidana/strafbaarfeit adalah tidak lain dari daripada feit, yang diancam dengan pidana dalam ketentuan undang-undang memang beliau mengatakan bahwa menurut teori strafbaarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan pidana. Dalam hukum positif demikian, Pompe menyatakan sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaarfeit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana akan tetapi disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan.

(8)

45

Moeljatno merumuskan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno merumuskan untuk adanya perbuatan pidana harus adanya unsur-unsur, perbuatan manusia, perbuatan yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil) dan bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil). Syarat formil itu harus ada karena, adanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP.

Syarat materil itu harus pula ada karena perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan; oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan dalam masyarakat itu. Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari sipembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang berbuat. Jadi, untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar apabila diikuti pendirian Moeljatno maka tidak cukup apabila seorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka disamping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.

Prof. Sudahrto dalam bukunnya hukum pidana 1 (satu) memberikan kesimpulan dari padangan dualistic dan monistic mengenai unsur-unsur tindak pidana yakni sebagai berkut; Bagi pandangan monistic, seorang yang melakukan tindak pidana sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai dengan syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat sedangkan, bagi yang berpandangan dualistic seorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana. Memang harus diakui bahwa

(9)

46

untuk sistemik dan jelasnya pengertian tentang tindak pidana, dalam arti keseluruhan syarat untuk adanya pidana pandangan dualistis ini lebih memberikan manfaatnya yang penting ialah bahwa kita harus senantiasa menyadari untuk mengenakan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu. Apakah syarat itu demi jelanya kita dijadikan satu sebagai melekat pada perbuatan atau seperti dilakukan Simons, dan sebagainya ataukah dipilah-pilah ada syarat yang melekat pada perbuatan dan ada syarat yang melekat pada orangnya seperti yang diajukan oleh Moeljatno, itu adalah tidak prinsipil yang penting ialah bahwa semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.

B. Penyertaan (delneming) 1. Pengertian penyertaan

Penyertaan dikenal dengan istilah turut campur dalam peristiwa pidana, turut berbuat delik, atau turut serta yang pada initinya biasa dikenal dalam berbagai bahasa sebagaimana dalam bahasa inggirs perbuatan turut serta dikenal dengan istilah Delneming (Belanda), Complicity (Inggris), Teilnahme /Tatermenheit (jerman), Participation, (Perancis).22

2. Pengertian penyertaan menurut konsep KUHP

Pembuat/dader (Pasal 55 KUHP) yang terdiri dari; pelaku, (pleger) yang menyuruh melakukan, (doenpleger) yang turut serta (medepleger) Penganjur (uitloker) Pembantu/medeplichtge Pasal 56 KUHP yang terdiri dari; Pembantu pada saat kejahatan dilakukan, pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

22 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut, Penerbit; Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fh Undip, Semarang, 2012, Hlm 47-69.

(10)

47

Klasisfikasi terkait konsep penyertaan di dalam KUHP Pasal 55 dan Pasal 56 yakni sebagai berikut;

a) Pelaku (pleger)

Pelaku/pleger ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik. Dalam praktek sukar menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat. Mengenai hal ini ada beberapa pedoman yakni; Peradilan Indonesia artinya orang yang menurutya undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab. Kemudian yang berikut menurut Peradilan Belanda ialah, orang yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang tetapi tetap membiarkan keadaan terlarang itu berlangsung terus menerus.

b) Orang yang menyuruh melakukan (doeenpleger)

Doenpleger artinya orang yang melakukan suatu kegiatan dengan

perantaraan orang lain, sedang perantaraan ini hanya diumpamakan hanya sebagai alat. Dengan demikian pada dooenpleger pada menyuruh melakukan terdapat dua pihak yakni, pembuat langsung, (actor phisicus/manus ministra) dan pembuat tidak langsung, (actor intelectualis/manus domina) Pada dooenpleger terdapat unsur-unsur sebagai berikut ialah; alat yang dipakai ialah manusia, alat yang dipakai itu berbuat bukan alat yang mati, alat yang dipakai itu tidak dapat dipertanggungjawabkan unsur ketiga. Inilah yang merupakan ciri – ciri atau tanda orang yang menyuruh melakukan (dooenpleger). Hal yang menyebabkan alat (pembuat materil) tidak dapat bertanggungjawab ialah;23

23 Ibid, Hlm 51.

(11)

48

1) Bila tidak sempurna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya (Pasal 44 KUHP)

2) Bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48 KUHP)

3) Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah seperti dalam (Pasal 51 ayat 2 KUHP).

4) Bila ia keliru menegenai salah satu unsur delik;

5) Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan c) Orang yang turut serta (medepleger)

Undang-undang tidak memberikan defenisi terkait Medepleger atau orang yang turut serta melakukan tetapi menurut MVT atau (Memory Van Toelichting) yakni penjelasan dari KUHP sendiri ialah, orang yang turut serta melakukan orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.

Syarat adanya medepleger ialah; ada kerjasama secara sadar dan ada pelaksanaan bersama secara fisik. Yang dimaksudkan kerjasama secara sadar ini ialah berarti ada pemufakatan terlebih dahulu cukup apabila ada pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan mencapai hasil yang sama. Yang terpenting harus ada “kesengajaan” untuk bekerjasama yang sempurna dan erat.

Dan ditujukan kepada hal yang dilarang oleh Undang-undang. Sebagai contoh kasus tidak ada perbuatan turut serta bila orang yang satu hanya menghendaki untuk menganiaya sedangkan temannya menghendaki untuk matinya si korban.

Penentuan kehendak atau kesengajaan itu masing-masing peserta itu ditentukan secara normatif. Kemudian berkaitan dengan pelaksanaan bersama secara fisik yakni persoalan kapan dikatakan ada perbuatan pelaksanaan merupakan persoalan

(12)

49

yang sulit namun secara singkat dapat dikatakan bahwa perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan. Yang terpenting disini harus ada kerjasama yang erat dan langsung batas anatara perbuatan pelaksanaan dan perbuatan pembantuan sangatlah sulit.24 d) Penganjur (uitlokker)

Pengertian penganjur ialah orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang. Jadi hampir sama dengan menyuruh melakukan (dooenpleger) pada penganjuran ini ada usaha untuk menggerakan orang lain

sebagai pembuat materil/actor phisycus.

Berdasarkan pengertian penganjuran diatas maka syarat dapat dipidanya penganjur atau Uitlokker ialah;25

1) Ada kesengajaan untuk menggerkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.

2) Menggerakannya dengan menggunakan upaya-upaya sarana-sarana seperti yang disebut dalam undang – undang bersifat (limitatif) terbatas.

3) Putusan kehendak dari si pembuat ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada 1 dan 2 jadi ada (phisycisce causaliteit)

4) Si pembuat materil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana

5) Pembuat materil tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.

24 Ibid, Hlm 55.

25 Ibid, Hlm 59.

(13)

50 e) Pembantuan (medeplicthge)

Pembantuan dilihat dari perbuatannya bersifat accesoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan atau harus ada orang yang dibantu. Tetapi apabila dilihat dari sisi pertanggungjawabannya tidak accesoir artinya, dapat dipidana pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya

pelaku dituntut atau dituntut pidana. Kemudian jenis-jenis pembantuan yang di rumuskan didalam KUHP ialah sebagai berikut;26

a) Jenis menurut Pasal 56 KUHP yakni jenis pertama waktunya: pada saat kejahatan dilakukan Caranya: tidak ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang

b) Jenis ke dua waktunya: sebelum kejahatan dilakukan Caranya: ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang yaitu dengan cara memberi kesempatan, sarana atau kesempatan.

C. Perdagangan Orang (Human Trafficking)

a. Defenisi Perdagangan Orang (Human Trafficking)

Perdagangan manusia atau Human Trafficking adalah, salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak dan juga perempuan, yang menyangkut kekerasan fisik, mental dan atau seksual. Trafficking merupakan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi

26Ibid, Hlm 68.

(14)

51

seksual, perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilanorgan tubuh.27 Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa proses perdagangan orang/human trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan,

penyekapan, penerimaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia.

Pengertian perdagangan orang telah tercantum dalam Undang-undang No.

21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Perdagangan orang ialah sebagai berikut; “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara

27Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2011.Tentang Pencegahan Dan Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

(15)

52

maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian perdagangan orang di dalam ketentuan UU. No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, meliputi; 1) Tindakan (perbuatan), Locus (tempat) terjadi perdagangan orang, 3) Tujuan perdagangan orang28

Berkaitan dengan unsur tersebut akan dijabarkan lebih lanjut. Yakni sebagai berikut;

a) Tindakan dikonsepkan sebagai perbuatan. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku perdagangan orang terdiri dari; perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang. Cara melakukan tindakan tersebut, degan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.

b) Locus (tempat) terjadi perdagangan orang

Lokus atau tempat perdagangan orang, yatu; di dalam negara maupun di luar negara. Di dalam negara artinya bahwa tindakan perdagangan orang dilakukan antara negara yang satu dengan negara lain.

c) Tujuan perdagangan orang, yaitu

eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi dikonsepkan sebagai perbuatan untuk memperdagangkan orang untuk

28Hj. Rodiyah Dan H. Salim Hs, Hukum Pidana Khusus (Unsur Dan Sanksi Pidananya), (Pt. Raja Grafindo Persada, Cetakan Ke 1. Depok), 2017 Hlm 257-260.

(16)

53

mendapatkan keuntungan diri sendiri. Terdapat 3 (tiga) bentuk eksploitasi dalam perdagangan orang. Yakni meliputi; kerja paksa atau pelayan paksa, perbudakan dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayan paksa. Kerja paksa atau pelayan paksa adalah, kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana atau pola yang dimaksudkan agar seorang yakin jika ia tidak melaukan pekerjaan tertentu, maka dia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita secara fisik maupun phisikis.

Pengertian tindak pidana perdagangan orang tercantum di dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU. No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Yakni sebagai berikut; setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang di tentukan dalam undang-undang. Ada 3 (tiga) unsur yang tercantum di dalam defenisi ini ialah;

setiap tindakan atau beberapa tindakan, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Defenisi yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan diatas, tidak tampak subyek pidana, perbuatan pidana dan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Sehingga defenisi di atas, perlu disempurnakan. Tindak pidana perdagangan orang adalah; “Perbuatan pidana yang dilakukan oleh subyek pidana untuk memperdagangkan atau memperjualbelikan orang dengan tujuan eksploitasi”. Ada 3 (tiga) unsur yang dicantumkan dalam defenisi yang terakhir ini ialah; adanya perbuatan, adanya subyek pidana, jenis pidana dan tujuan perbuatan.29

29 Ibid, Hlm 260.

(17)

54

b. Subyek Hukum Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

Subyek hukum yang dapat dipidana dalam tindak pidana perdagangan orang adalah, 1) Setiap orang, 2) Korporasi, 3) Kelompok-kelompok terorganisir dan; 4) Penyelenggara Negara yang menyalagunakan kekuasaan. Subyek hukum dalm tindak pidana perdagangan orang tersebut, dapat dijabarkan secara lebih jelas dibawah ini. Yakni sebagai berikut;30

1. Setiap Orang

Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Konsep orang dalam defenisi ini sangat luas karena todak hanya; orang perseorangan tetapi juga korporasi. Orang perseorang dalam konsep ini adalah orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

2. Korporasi/Perusahaan

Korporasi adalah; “kumpulan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Terdapat 2 (dua) karateristik korporasi dalam defenisi ini yakni; 1) kumpulan orang, 2) kekayaan yang terorganisiasi. Kumpulan orang adalah himpunan dari orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu. Kumpulan atau kekayaan yang terorganisiasi dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu, 1) berbadan hukum dan 2) tidak berbadan hukum.

3. Kelompok-Kelpompk Terorganisir/Kelompok Terorganisasi

Kelompok-kelompok terorganisir/kelompk-kelompom terorganisasi adalah, kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang

30Ibid, Hlm 264.

(18)

55

eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan memperoleh keuntungan materil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung. Ada 4 (empat) karakteristik kelompok terorganisir yaitu; 1) terdiri dari 3 (tiga) orang atau lenih, 2) keberadaanya untuk waktu tertentu; 3) bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana dan; 4) tujuannya memperoleh keuntungan materil dan finansial.

4. Penyelenggara Negara

Penyelenggara negara adalah, pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia, apparat keamanan, penegak hukum atau pejabat public yang menyalagunakan kekuasaannya untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang. Menyalagunakan kekuasaan adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya tidak sesuai dengan tujuan pemberiaan kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana Perdagangan Orang

Secara normatif, dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang telah ditentukan jenis-jenis tindak pidana perdagangan orang. Namun, untuk mengetahui hal itu, maka harus dilakukan kajian mendalam terhadap ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam undang-undang tersebut. Hasil kajian tersebut, maka tindak pidana

(19)

56

perdagangan orang dapat digolongkan menjadi 16 (enam belas) jenis. Ke 16 (enam belas) jenis tindak pidana perdagangan orang tersebut, meliputi;31

1) tindak pidana kekerasan 2) tindak pidana impor orang 3) tindak pidana ekspor orang

4) tindak pidana pengangkatan anak dengan tujuan eksploitasi

5) tindak pidana pengiriman anak ke dalam negeri atau ke luar negeri dengan tujuan eksploitasi

6) tindak pidana penyalagunaan kekuasaan 7) tindak pidana menggerakan orang lain 8) tindak pidana pembantuan ata percobaan

9) tindak perencanaan atau melakukan pemufakatan jahat 10) tindak pidana pemanfaatan dan penggunaan korban

11) tindak pidana memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain

12) tindak pidana memberikan kesaksian palsu

13) tindak pidana penyerangan fisik kepada terhadap saksi atau petugas

14) tindak pidana sengaja merintangi, mencegah atau meggagalkan secar langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutuan dan pemeriksaan di siding pengadilan

15) tindak pidana pembantuan pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang.

31Ibid, Hlm 266-267.

(20)

57 d. Bentuk-bentuk perdagangan manusia

Ada beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak. Dan ini seringkali menjadi alasan utama trafficking.32

1) Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.

2) Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.

PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya 3) Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.

Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari

32Ibid.

(21)

58

buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.

4) Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya, terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

5) Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks33. 6) Beberapa Bentuk Buruh atau Pekerja Anak, terutama di Indonesia. Beberapa

(tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.

7) Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia.

Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga

33Uu. No. 21 Tahun 2007. Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

(22)

59

Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap

e. Upaya-upaya penanganan perdagangan orang

Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional.34 Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum. Dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tersebut, pemerintah juga dituntut untuk berperan aktif agar praktek perdagangan manusia bisa dihapuskan dan mampu mengangkat harga diri manusia yang seharusnya tidak untuk diperjual belikan.

Berikut merupakan upaya pemerintah dalam upaya pencegahan dan mengatasi human trafficking:35

34Ibid. Uu. No. 21 Tahun 2007.

35Ibid. Uu. No. 21 Tahun 2007.

(23)

60

1) Berpedoman pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

2) Memperluas sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2003).

3) Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban TPPO).

4) Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No. 88/2002).

5) Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO).

6) Penyusunan draft Perda Trafficking.Memberikan penyuluhan kepada warga- warga yang rentan dengan human trafficking.

7) Memberantas kemiskinan dan memajukan ekonomi masyarakat dipedesaan dengan memberikan pinjaman-pinjaman keuangan kepada masyarakat pedesaan sebagai modal usaha.

f. Pencegahan perdagangan orang

Penyebab utama dari adanya perdagangan anak dan perempuan ini adalah tingkat pendidikan yang rendah. Di Indonesia, pendidikan yang cenderung rendah membuat anak susah untuk mengatakan "tidak". Orang tua yang berpendidikan rendah, ditambah dengan desakan ekonomi, membuat mereka bersedia melakukan apa saja untuk meningkatkan taraf hidupnya termasuk, "menjual" anak mereka sendiri. Untuk menanggulangi masalah perdagangan anak dan perempuan ini, ada

(24)

61

beberapa hal yang bisa kita lakukan:36 Memberi pengetahuan; Untuk dapat mencegah masalah ini, perlu diadakan penyuluhan dan sosialisasi masalah kepada masyarakat dengan sosialisasi secara terus-menerus, masyarakat akan mengetahui bahayanya masalah ini, dan bagaimana solusinya. Pendidikan tentu saja tidak hanya diberikan kepada masyarakat menengah atas. Karena perdagangan manusia banyak terjadi pada masyarakat dengan kelas pendidikan yang cukup rendah.

Pendidikan harus diberikan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.37 Memberitahu orang lain; Ketika kita telah mengetahui masalah ini dan bagaimana solusinya, tetapi tidak memberitahu orang lain, permasalahan ini tidak akan selesai sebagai orang yang telah mengetahuinya, maka menjadi kewajiban Anda untuk menyampaikan apa yang terjadi pada orang lain, khususnya yang Anda anggap berpotensi mengalami perdagangan manusia.

Sebab, orang yang tidak mengetahui adanya permasalahan ini tidak menyadari bahwa hal ini mungkin telah terjadi pada orang-orang di sekitar kita.

g. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan manusia atau (Human Trafficking) secara umum didefinisikan sebagai semua tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual manusia baik di dalam negeri ataupun antar negara melalui mekanisme paksaaan, ancaman, penculikan, penipuan dan memperdaya, atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti prostitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik, belitan utang atau praktek- praktek perbudakan lainnya. Selain definisi ini pada kasus menyangkut anak

36Luhulima, Achie Sudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya. (Jakarta: Pt. Alumni, 2000), Hlm 87.

37Ibid.Hlm. 88.

(25)

62

diterapkan juga definisi bahwa Human Trafficking anak juga berlaku baik secara paksaan maupun dengan sukarela.38

Menelaah Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, secara sepintas sudah bersifat komperhensif dalam pencegahan dan penanggulangannya. Pengenaan sanksi bagi pelaku (trafficker) sudah sangat berat dibandingkan dengan pengenaan sanksi di dalam KUHP. Namun dalam pelaksanaannya, proses penegakan hukum masih belum berjalan sesuai dengan semangat dan amanat Undang-undang No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tersebut. Kendala yang utama adalah belum dipahami oleh masyarakat terhadap bahaya dan dampak dari perdagangan orang, disamping dari segi ekonomi, usaha atau bisnis ini dianggap mendapatkan keuntungan secara finansial sangat besar. Demikian juga dari perspektif korban adanya faktor-faktor sistemik yang menjadi penyebabnya yakni, kemiskinan/faktor ekonomi, tingkat Pendidikan yang rendah, budaya atau pola hidup masyarakat yang konsumtif, tingkat pengangguran yang tinggi, penyerapan tenaga kerja local yang relative terbatas, factor lingkungan dan masih banyak factor lainnya.39

Tindak pidana perdagangan orang memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan denga kesejatraan umum. Praktik tindak pidana perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindakan ancaman kekerasan sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi korban pada masa

38Ketentuan Umum, Uu. No. 21 Tahun 2007. Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720);

39Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana Dan Pencegahannya, (Penerbit; Sinar Grafika), 2013, Hlm 82.

(26)

63

depannya apalagi korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya adalah pihak yang dalam kondisi tidak berdaya baik secara fisik (perempuan dan anak- anak), phisiskis maupun ekonomi. Pengaturan tindak pidana perdagangan orang di anggap masih kurang lengkap dan universal karena masih ada beberapa perbuatan yang melanggar HAM belum diatur, sehingga memerlukan regulasi dengan cara merubah dan menambah peraturan yang melanggar HAM, tetapi juga berhubungan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan ekonomi, social, budaya dan politik.

Pemerintah Indonesia selain meratifikasi peraturan-peraturan/Konvensi- konvensi internasional juga mengaturnya didalam hukum dasar negara yakni, UUD 1945 dan Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) dan mengatur secara rinci di dalam UU. No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan beberapa peraturan hukum lainnya. Meskipun sebelum keluarnya undang-undang khusus yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang yakni, Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantsan tindak pidana perdagangan orang, perdagangan orang sudah diatur di dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yakni, didalam ketentuan Pasal 297 yang ancaman hukumannya 6 tahun tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak laki-aki di bawah umur. Pasal di dalam KUHP dianggap tidak efektif untuk menjerat pelaku perdagangan orang yang dalam konteks perkembangannya sudah banyak mengalami perkembangan seperti trafficking terorganisasi atau perdagangan orang yang sudah terorganisir dan kelompok-kelompok terorganisir. Urgensi dilahirkannya Undang-undang No. 21

(27)

64

tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini yakni sebagai akibat dari meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik yang bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karenanya pemerintah berkeinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagngan orang yang di dasarkan pada komitmen nasional dan imternasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama. Selain itu, peraturan-peraturan terkait perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.40

Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang juga merumuskan mengenai ruang linkup tindak pidana perdagangan orang yakni; Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang di tentukan di dalam undang-undang ini selain itu undang-undang ini juga melarang setiap orang yang memasukan orang ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk di eksploitasi; Membawa warga negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan eksploitasi; Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberi sesuatu dengan maksud di eksploitasi; Mengirimkan anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun; dan setiap orang yang memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan

40 Ibid, Hlm 96-99.

(28)

65

korban untuk tujuan eksploitasi atau mengambil keuntungan; Setiap orang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO; Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, memyampaika bukti palsu atau barang bukti palsu mempengaruhi saksi secara melawan hukum; Setiap orang yang menyerang fisik terhadap saksi atau petugas dipersidang perkara TPPO; Setiap orang yang mencegah, merintangi atau menggagalakan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan persidangan di siding pengadilan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang membantu pelarian pelaku TPPO; Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya dirahasiakan.

h. Modus Operandi Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

Faktor-faktor yang paling mendukung adanya perdagangan orang diantaranya karena adanya permintaan (demand) terhadap pekerjaan di sektor informal yang tidak memerlukan keahlian khusus, mau dibayar dengan upah yang relatif rendah serta tidak memerlukan perjanjian kerja yang rumit sehingga menyebabkan para trafficker terdorong untuk melakukan bisnis perdagangan orang serta adanya celah hukum yang menguntungkan para trafficker yakni kurangnya penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam mengadili pelaku perdagangan orang, termasuk pemilik/pengelola/perusahaan pengerah tenaga kerja, sehingga mereka dapat memanfaatkan korban dan calon korban perdagangan orang.41

41Ibid, Hlm 110-112.

(29)

66

Pelaku perdagangan orang bekerja sangat rapih dan terorganisir, umumnya mereka melakukan pencarian korban dengan berbagi cara, seperti mengiming- imingi calon korban denga berbagai daya upaya. Pelaku-pelaku tersebut ada yang langsung menghubungi calon korban atau menggunakan cara lain dengan modus pengiriman tenaga kerja baik antar daerah, antar negara, pemindah tanganan atau transfer, pemberangkatan, penerimaan, penampungan yang dilakukan sangat rapih dan tidak terdeteksi oleh sistem hukum yang berlaku bahkan ada di antaranya dilindungi oleh aparat (Pemerintah dan Penegak Hukum). Cara kerja pelaku ada yang bekerja sendirian ada yang secara terorganisasi yang bekerja dengan jaringan yang menggunakan berbagai cara dari yang sederhana dengan mencari dan menjebak korban ke daerah-daerah mulai dari membujuk, menipu dan memanfaatkan kerentanan calon korban dan orang tuanya, bahkan sampai pada kekerasan, menggunakan teknologi canggih dengan cara memasang iklan, menghubungi dengan telepon genggam yang dapat diakses dimana saja, sampai dengan menggunakan internet. Selain peneyebab dari perdagangan orang adalah, adanya diskriminasi gender, praktik budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia, pernikahan dini, kawin siri, konflik dan bencana alam, putus sekolah, pengaruh globalisasi sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, rendahnya nilai-nilai moral agama dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu karena ada factor eksternal yang secara terorganisasi dan sistemik memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka inilah adalah para pengusaha hiburan, lelaki hidung belang, penganut seks bebas, manusia berkelainan jiwa, perubahan perilaku manusia modern dan sebagainya.

(30)

67 D. Eksploitasi

1. Pengertian Eksploitasi

Eksploitasi adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mengambil keuntungan atau memanfaatkan sesuatu secara berlebihan dan sewenang-wenang.

Tindakan eksploitasi ini umumnya mengakibatkan kerugian pada pihak lain, baik pada manusia maupun lingkungan. Secara etimologi, kata “Eksploitasi” berasal dari bahasa Inggris “Exploitation” yang artinya politik untuk memanfaatkan subjek tertentu dengan sewenang-wenang. Penggunaan kata eksploitasi sering digunakan dalam berbagai bidang, baik politik, sosial, lingkungan, dan lain-lain.

Singkatnya, pengertian eksploitasi cenderung bersifat negatif karena menimbulkan kerugian bagi orang lain.42 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) eksploitasi adalah pengusahaan, pendayagunaan, atau pemanfaatan untuk keuntungan sendiri. atau pemerasan tenaga atas diri orang lain merupakan tindakan yg tidak terpuji.

2. Bentuk-Bentuk Eksploitasi a) Eksploitasi Fisik

Eksploitasi fisik adalah penyalahgunaan tenaga anak untuk dipekerjakan demi keuntungan orangtuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja dan menjuruskan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum pantas untuk dijalaninya.43 Dalam hal ini, anak- anak dipaksa untuk bekerja dengan segenap tenaganya dan juga mengancam jiwanya, dengan adanya tekanan fisik

42Https://Www.Maxmanroe.Com/Vid/Umum/Pengertian-Eksploitasi.Html.

43Meivy R. Tumengkol, Eksploitasi Anak Pada Keluarga Miskin Di Kelurahan Tona I Kecamatan Tahuna Timur Kabupaten Kepulauan Sangihe, Jurnal Holistik, Tahun Ix No. 17/

Januari Juni 2016. Hlm 4-6.

(31)

68

yang berat dapat menghambat pertumbuhan fisik anak-anak sehingga mencapai 30% dikarenakan mereka mengeluarkan tenaga ekstra besar yang merupakan cadangan stamina yang hunts dipertahankan hingga dewasa. Oleh sebab itu, anak- anak pada umumnya mengalami cedera fisik yang diakibatkan oleh pukulan, cambukan, luka lecet dan goresan ataupun memar yang membutuhkan waktu bagi upaya penyembuhannya untuk setiap cedera fisik.

b) Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual tersebut dalam bentuk perlakuan tidak senonoh dari orang lain yang menjurus pada sifat pomografi, perkataan-perkataan porno, sehingga membuat anak menjadi malu, menelanjangi anak-anak, menjerumuskan anak-anak pada prostitusi, memanfaatkan anak-anak untuk produk porno-grafi. Akibat dari eksploitasi seksual akan menularkan penyakit kelamin ataupun HIV/AIDS ataupun penyakit seksual lainnya kepada anak-anak, karena anak-anak biasanya "dijual" pada saat masih perawan. Bukan hanya itu, menyebutkan dampak secara umum yaitu merusak fisik dan psikososial. Orang tua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu (merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah) yang membentuk sebuah keluarga.

Orang tua berkewajiban untuk bertanggung jawab pada pendidikan anak, mengasuh, dan membimbing anak-anaknya dalam mencapai tahap yang tertentu untuk menghantarkan anak-anaknya dalam kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat, jika orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak maka anak tersebut dapat diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dan UU No. 23 Tahun

(32)

69

2002 tentang perlindungan anak. Pada umumnya alasan para orang tua yang memaksa anaknya bekerja untuk memperoleh penghasilan lebih untuk memenuhi kebutuhan ekonomi-nya sehari-hari, hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman yang semakin maju serta kebutuhan hidup yang terus meningkat. Fenomena eksploitasi anak-anak sering dijumpai pada masyarakat perkotaan yang masuk kategori miskin, Akibat persaingan dalam memperoleh pekerjaan sehingga banyak penduduk perkotaan tidak mendapatkan pekerjaan yang layak karena tidak mempunyai keterampilan dan keahlian sehingga mereka hidup dalam kemiskinan, sehingga potensi terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak menjadi semakin besar. Anak-anak yang mengalami eksploitasi oleh pihak keluarganya cenderung mengalami pendewasaan mental lebih dini oleh karena pada usia yang seharusnya mereka pergunakan untuk bermain dan bersenang-senang dengan Leman sebayanya, justru mereka harus gunakan untuk bekerja. Akibat dari eksploitasi anak dapat berdampak panjang dalam kehidupan anak, seperti sulitnya membaur dengan masyarakat dan sulit membedakan antara yang benar dan yang salah44 c) Eksploitasi Perempuan

Eksploitasi Perempuan adalah suatu tindakan memanfaatkan kaum perempuan untuk mendapatkan keuntungan bagi suatu kelompok. Saat ini kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sudah dicanangkan. Namun, pada pelaksanaannya kaum perempuan kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi dan eksploitasi. Berikut ini adalah beberapa contoh eksploitasi yang dialami oleh perempuan; Menjadi pekerja seks komersial. Walaupun sebagian perempuan

44Ibid. Hlm 6.

(33)

70

menganggap profesi ini sebagai pekerjaan, kenyataannya sebagian besar dari mereka tidak suka pekerjaan tersebut. Eksploitasi perempuan di media massa (tv, koran cetak, internet, iklan, dan lain-lain) yang bertujuan untuk meningkatkan perhatian masyarakat terhadap suatu produk atau media walaupun banyak yang tidak menyadarinya dengan bentuk eksploitas seperti itu.45

45Https://Www.Maxmanroe.Com/Vid/Umum/Pengertian-Eksploitasi.Html.

Referensi

Dokumen terkait

Usaha atap daun nipah masih ada peluang pemasaran namun harus mempunyai strategi walaupun ada peluang tersebut pengrajin harus tetap mengutamakan manajemen dan

Arminius dengan jelas menekankan bahwa mustahil bagi Calvinisme untuk menyela- matkan diri dari konsep kedaulatan Allah yang deterministik yang menjadikan Allah sebagai

Menurut beliau dengan anak 5 orang yang diberikan kepada mereka, nampanya menjad PNS tidak bisa menjamin masa depan anak-anak kami, sehinga dengan peluang ada

Pada hasil pengujian hipotesis (t-test) ditemukan bahwa pada variabel teori dan teknik intelektual, relevansi, periode pelatihan, motivasi, kemandirian dan kode

Luaran yang kami harapkan dari program kreativitas mahasiswa kewirausahaan (PKM-K) yang kami jalankan adalah terciptanya inovasi produk berupa Mukenah-In-Rok yaitu

Sampai tahun 1980 masyarakat Desa Sabungan Nihuta 1 masih melakukan sistem pertanian yang sebelumnya yaitu sistem tanaman muda, hingga akhirnya pada tahun 1980 salah

DESA SIGODUNG KECAMATAN SIRANDORUNG SELUAS 80 Ha Pengadaan Barang/ Jasa 1 Paket