www.epidemiolog.id 1 DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD): DETERMINAN, EPIDEMIOLOGI DAN
PROGRAM PENANGGULANGANNYA DI INDONESIA (LITERATUR RIVIEW) Edikin Muli Endang Pekenasa Tarigan, Rini Zulaiha, Rosmaladewi K, Andika Abstrak: Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit diakibatkan karena adanya virus dengue yang dibawa oleh perantara vektor nyamuk Aedes aegepty. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran DBD di daerah yaitu faktor manusia (host), vektor (nyamuk), virus dengue (agent), dan faktor lingkungan (environment). Kasus DBD di Indonesia masih terjadi setiap tahun. Data dari Kementrian Kesehatan RI, Tahun 2019 sebanyak 13.683 kasus dengan 133 kematian (Kemenkes RI, 2019). Literature riview ini bertujuan untuk mengetahui determinan, epidemiologi dan program penanggulangan DBD di Indonesia. Metode yang digunakan merupakan studi literature dengan mencari, menggabungkan intisari serta menganalisis fakta dari beberapa sumber ilmiah yang akurat dan valid. Hasil diperoleh berdasarkan determinan DBD terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan, agent (keberadaan jentik), suhu, kelembapan dan keberadaan tempat penampungan air dengan kejadian DBD sedangkan pekerjaan dan kebiasaan menggantung pakaian tidak memilki hubungan dengan kejadian DBD. Berdasarkan epidemiologi menurut kasus DBD di Indonesia masih menujukan tren yang meningkat dimana Tahun 2015 terjadi 129.650 kasus dengan 1.071 kematian. Tahun 2016 kasus DBD meningkat menjadi 202.314 kasus dengan 1.593 kematian, tahun 2017 sebanyak 68.407 kasus dan 493 kematian serta di tahun 2018 sebanyak 53.075. Menurut laporan SKDR sebanyak 21.177, dengan kasus tertinggi berada pada kelompok umur 15-44 tahun (KEMENKES RI, 2022). Berdasarkan penanggulangan DBD di Indonesia, program Kementerian Kesehatan yang paling efektif dilakukan adalah PSN dengan cara 3M (menguras, menutup, dan menggunakan kembali). Untuk mengendalikan DBD di Indoensia maka perlu mengetahui tren penyakit dan program intervensi yang tepat dalam penanganan DBD serta dibutuhkan peran pemerintah melakukan edukasi dan komitmen masyarakat untuk meningkatkan pengetahuannya dalam hal faktor risiko, epidemiologi, dan program intervensi DBD agar meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap DBD.
Keyword: Dengue, epidemiologi, determinan, penanggulangan DBD
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di Indonesia. DBD terjadi diakibatkan karena adanya virus dengue yang dibawa oleh perantara vektor yaitu nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopictus. Virus dengue adalah virus RNA dengan untai positif yang ada di genus Flavivirus dari famili Flaviviridae yang memiliki 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Penyakit DBD mewabah lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina yangada di dalam tubuhnya
virus dengue. Ada beberapa jenis nyamuk lain yang dapatmenjadi vektor DBD yaitu nyamuk Aedes Scutellaris, Aedes Albopictus dan AedesPolynesiensis namun jenis ini lebih sedikit ditemukan (Yohan, 2018).
DBD memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran dan peningkatan kasus DBD di suatu daerah atau tempat yaitu antara lain faktor manusia (host), vektor (nyamuk), virus dengue (agent) dan faktor lingkungan (environment). Dari segi epidemiologi, penularan DBD membutuhkan manusia
www.epidemiolog.id 2 sebagai perantara dan nyamuk sebagai
vektornya. Perkembangbiakan virus dengue melalui keduanya disebut sebagai masa inkubasi ekstinsik dan intrinsik.
Ekstrinsi berkembang di dalam tubuh nyamuk dan bereplikasi selama 4-10 hari dimana virus ini masuk ke kelenjar ludah nyamuk sehingga saat nyamuk menghisap darah manusia di sinilah virus dengue masuk ke tubuh manusia dan akan bereplikasi di tubuh manusia selama 5-7 hari yang disebut sebagai inkubasi intrinsik dan biasanya akan timbul gejala klinis walaupun ada juga yang tidak mengalami gejala klinis (WHO,2018).
Jumlah kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2010 di negara- negara kawasan Asia Tenggara diperoleh bahwa Bangladesh terdapat 76 kasus dengan CFR 0,00%, Bhutan terdapat 16 kasus dengan CFR = 12,50%, India terdapat 9.357 kasus dengan CFR 0,31%, Maldives terdapat 550 kasus dengan CFR
= 0,00%, Myanmar terdapat 11.704 kasus (IR = 21,92 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,82%); Nepal terjadi 2 kasus dengan CFR = 0,00%, Sri Lanka terdapat 27.142 kasus dengan CFR = 0,77%, Thailand terdapat 57.948 kasus dengan CFR = 0,12%, dan Timor Leste terdapat 473 kasus dengan CFR = 0,21% (WHO, 2011). DBD telah menyebar ke seluruh belahan dunia. Data terakhir memperlihatkan 390 juta jiwa di 128 negara ada pada risiko terinfeksi DBD per tahun. Mulai tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia menjadi negara dengan kasus DBD tertinggi se-Asia Tenggara.
Di Indonesia, pertama kali DBD terjadi di kota Surabaya di tahun 1968 dengan kasus sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang meninggal dunia. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di Indonesia terjadi pada tahun 2003 dengan jumlah kasus 50.131 dan 743 kematian (WHO, 2015). Kasus DBD di Indonesia masih
terjadi setiap tahun. Data dari Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2014 terjadi 100.347 kasus DBD dimana 907 orang meninggal. Tahun 2015 kasus DBD meningkat menjadi 129.650 kasus dengan 1.071 orang meninggal. Tahun 2016 kasus DBD kembali meningkat menjadi 202.314 kasus dengan 1.593 kematian. Pada tahun 2017 sebanyak 68.407 penderita dan 493 kematian. Pada tahun 2018 sebanyak 53.075 dan 344 kematian. Tahun 2019 per 29 Januari 2019 dilaporkan sebanyak 13.683 kasus dengan 133 kematian (Kemenkes RI, 2019).
Hingga saat ini masih terjadi kasus DBD dan masih belum ada spesifikasi yang nyata mengenai penanganan untuk penyakit DBD maka sangat dibutuhkan upaya untuk pengendalian faktor risiko penyebab terjadinya kejadian demam berdarah dengue untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas. Metode pemberantasan sarang nyamuk(PSN) yang dianjurkan pemerintah dan perlu selalu dilaksanakan sepanjang tahun, terutama saat musim penghujan.Bentuk pencegahan tambahan lain yaitu Program 3M Plus (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan hal-hal diatas menunjukkan bahwa pentingnya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai apa saja yang menjadi determinan penyakit DBD, epidemiologi DBD, dan program penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang merangkum hasil- hasil penelitian primer untuk menyajikan fakta yang lebih komprehensif dan berimbang yaitu literature riview. Proses penelusuran literatur dilakukan pada beberapa database baik nasional maupun internasional seperti Google Scholar dan PubMed serta jurnal – jurnal nasional dengan kombinasi kata kunci sebagai berikut yaitu, DBD, demam berdarah
www.epidemiolog.id 3 dengue, determinan, faktor risiko,
epidemiologi, program penanggulangan.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu merupakan jurnal yang terbit dari tahun 2010 hingga 2021, jurnal dapat di download secara fulltext dengan metode penelitian yang digunakan memakai metode observasional dengan desain case control dan crossecsional.
HASIL DAN PEMBAHASAN DETERMINAN PENYAKIT DBD
Determinan penyakit DBD merupakan faktor risiko yang mempengaruhi atau berhubungan dengan terjadinya DBD. Setelah melalui tahap seleksi studi, didapatkan beberapa literatur yang dapat mendukung riset ini.
Berdasarkan teori segitiga epidemiologi yang dikemukakan John Gordon dan La Richt terjadinya suatu penyakit diakibatkan karena 3 faktor yaitu host (pejamu), agent (penyebab penyakit), dan environment (lingkungan). (John Gordon dan La Richt,1950).
Gambar Teori segitiga (Triangle
Sejalan dengan teori ini riset yang dilakukan Ambia Nurdin dkk (2018) memperoleh hasil penelitian dimana terdapat pengaruh antara environment (P value= 0,000 dengan RP = 2,9) agent (P value= 0,005 dengan RP = 1,7), host (P value= 0,007 dengan RP = 1,6), dan kejadian DBD. Berdasakan penelitian Ambia Nurdin dkk ini ketiga faktor di dalam teori segitiga epidemiologi telah
dibuktikan bahwa ada pengaruh antara faktor host, agent dan environment terhadap terjadinya penyakit demam berdarah dengue.
Faktor host atau pejamu di dalam teori segitiga epidemiologi dapat mencakup beberapa hal yaitu diantaranya umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan menurut T. Azizah (2010). Dari segi faktor agent dapat mencakup penyebab demam berdarah dengue itu sendiri yaitu nyamuk aedes aegepty dan aedes albopictus disini dapat dilihat dalam hal keberadaan jentik nyamuk. Sementara itu untuk faktor environment dapat mencakup beberapa hal seperti suhu, kelembapan, tempat penampungan air, dan kebiasaan menggantung pakaian.
Faktor host yang pertama yaitu berdasarkan umur. Berdasarkan penelitian Bella Rosita Fitriana dkk (2018) juga mengatakan bahwa setiap golongan umur memiliki tingkat risiko masing-masing dan dapat memengaruhi terjadinya penularan penyakit dan didapatkan hasil bahwa golongan umur kurang dari 15 tahun memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena DBD karena faktor imun.
Golongan umur akan memengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit.
Lebih banyak golongan umur <15 tahun berarti kelompok yang rentan untuk sakit DBD akan lebih besar. Berdasarkan penelitian Bibah Novrita (2017) value memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara umur dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,001 dan OR=0,9. Hal ini juga didukung penelitian dari Susmaneli H (2011) yang mendapatkan hasil terdapat hubungan antara umur dengan kejadian DBD dengan p value 0,001 dan OR=2,824 (95%
CI:1,877-4,251). Hal ini juga diperkuat hasil penelitian Rizza Umaya (2013) yang juga mendapatkan hasil terdapat hubungan antara umur dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,002 dengan RP 4,3 yang artinya individu dengan muda berisiko 4,3 Host (Pejamu)
Environment (Lingkungan) Agent
(Penyebab Penyakit)
Theory)
www.epidemiolog.id 4 kali terkena DBD dibandingkan dengan
yang berumur tua.
Umur adalah faktor yang selalu mendapat perhatian di dalam penyelidikan epidemiologi. Angka kesakitan ataupun angka kematian, hampir semua memperlihatkan ada hubungan dengan umur. Walaupun DBD mampu dan terbukti menginfeksi tubuh manusia dewasa, tetapi lebih banyak ditemukan kasus pasien anak-anak yang memiliki usia kurang dari 15 tahun. Hal ini diakibatkan sistem kekebalan tubuh anak-anak cenderung kurang sehingga berisiko terhadap penyakit dan aktivitas anak-anak lebih banyak di luar rumah pada siang hari, sedangkan nyamuk aedes aegypty menggigit pada siang hari (Susmaneli H, 2011).
Faktor risiko host kedua yaitu jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian Devi Yanuar Permatasari dkk (2015) memperoleh hasil bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian demam berdarah dengue (p=0,026). Hal yang sama juga diperoleh Bibah Novrita dkk (2017) yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD dengan p value 0,002 dengan OR=5,6. Diperkuat oleh Susmaneli H (2011) yang juga memperoleh bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,043. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Herawati (2017) yang mendapatkan bahwa kasus DBD berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dikarenakan perempuan lebih sering di dalam rumah dibandingkan laki-laki dan rumah merupakan tempat potensial nyamuk, dimana terdapat benda yang tergantung di dalam rumah. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin dapat mempengaruhi terjadinya penyakit DBD dikarenakan beberapa keadaan atau kondisi tertentu seperti lingkungan rumah yg berisiko dimana
perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibandingkan dengan laki- laki yang lebih sering di luar rumah.
Faktor risiko host ketiga yaitu pekerjaan. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rizza Umaya dkk (2012) yang memperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kejadian DBD dimana diperoleh p value sebesar 0,216. Hal ini diperkuat oleh penelitian Saputri (2020) yang juga memperoleh hasil tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian DBD dengan p value 0,730.
Berdasarkan hasil-hasil ini peneliti memiliki asumsi bahwa ketidak bermaknaan ini terjadi dikarenakan penyebaran vektor DBD ini hampir merata ada di setiap tempat baik yang bekerja ataupun tidak bekerja memiliki kemungkinan sama terhadap penularan DBD namun kejadian DBD dapat dipengaruhi oleh perilaku keseharian yang dilakukan masayarakat dan Pengetahuan terhadap Penyakit ini.
Faktor risiko host keempat yaitu pendidikan. Pendidikan adalah salah satu elemen terpenting karena melalui pendidikan individu dapat menerima lebih banyak informasi, memperluas cara berpikir yang dapat mempengaruhi pola pikir dan daya cerna seseorang terhadap informasi yang diterima. Semakin baik pendidikan individu maka semakin baik pula informasi yang dapat didapatkan, sehingga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan hasil penelitian Saputri (2020) memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian penyakit demam berdarah dengue dengan nilai p value 0,011 yang mana diperoleh juga OR sebesar 7,0 yang artinya responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah memiliki risiko 7 kali lebih besar terkena DBD dibandingkan dengan individu yang memiliki pendidikan tinggi. Diperkuat juga oleh penelitian Bibah Novrita (2017) yang juga
www.epidemiolog.id 5 memperoleh terdapat hubungan antara
pendidikan dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,001. Hal ini diperkuat lagi oleh Tuti Sandra (2019) yang memperoleh ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian DBD dengan p value 0,007 dan OR 2,54 yang menunjukkan bahwa pendidikan rendah lebih berisiko 2,54 kali terkena DBD dibandingkan pendidikan tinggi.
Berdasarkan hasil ini peneliti berasumsi bahwa hubungan pendidikan dengan kejadian DBD dapat diakibatkan karena Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang dimana pengetahuan kesehatan juga akan memberi pengaruh pada perilaku perilaku individu dalam melakukan pencegahan terkait DBD dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kepedulian terhadap kesehatan.
Selanjutnya faktor agent dapat dilihat dari keberadaan vektor nyamuk di rumah. Berbicara mengenai penyakit demam berdarah dengue sendiri pasti tidak lepas dengan yang namanya virus dengue itu sendiri sebagai sebagai penyebab DBD.
Agent penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue adalah virus dengue yang termasuk kelompok B arthropoda born virus (arvoviroses). Anggota dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan juga nyamuk Aedes albopictus yang merupakan vektor infeksi DBD.
Berdasarkan penelitian Ambia Nurdin (2011) diperoleh hasil uji chi square didapat nilai P value 0.005 dan ini lebih kecil sehingga diuraikan terdapat pengaruh antara faktor agent dengan kejadian DBD di Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Berdasarkan hasil RP 1,7 dapat disimpulkan bahwa agent memiliki resiko sebesar 1,7 kali dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Evi Sulistyorini dkk (2016) mendapatkan hasil bahwa tidak dikurasnya air p value 0,000 dan OR=116,44 yang artinya lebih
berisiko 116,44 kali dengan keberadaan jentik nyamuk.
Kemudian berdasarkan faktor environment dapat dilihat dari 6 hal yaitu yang pertama adalah suhu. Suhu adalah parameter lingkungan yang penting di
dalam meningkatkan
perkembangbiakan vektor nyamuk, siklus gonotropik nyamuk, tingkat gigitan, memperpendek periode inkubasi patogen dan dapat memperlama umur nyamuk dewasa. Kemudian, suhu yang lebih tinggi juga meningkatkan tingkat perkembangan larva. Pada nyamuk dewasa, suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan biting rate (tingkat gigitan nyamuk) dan mempersingkat waktu virus untuk bereplikasi dalam tubuh nyamuk, yang dikenal sebagai masa inkubasi ekstrinsik virus dengue. Masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh nyamuk yang lebih cepat diimbangi dengan tingkat gigitan nyamuk menjadi lebih sering akan mengakibatkan risiko penularan DBD semakin meningkat pula (Gama, et al.,2013). Berdasarkan penelitian Fitriana (2018) memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,019 dengan OR 0,319. Hal yang sama juga didukung oleh penlitian Bone (2021) yang juga mengatakan terdapat hubungan antara suhu dengan kejadian DBD dengan nilai P value 0,000.
Suhu optimum untuk nyamuk berada pada rentang 25ºC-27ºC. Selain itu pada rentang suhu 20ºC-30ºC merupakan suhu ideal untuk kelangsungan hidup nyamuk pada semua tahapan siklusnya.
Masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh nyamuk berkurang dari 9 hari pada suhu 26ºC dan 28 ºC menjadi 5 hari pada suhu 30ºC. Siklus resproduksi nyamuk betina juga dipegaruhi oleh suhu lingkungan yang mana pada suhu kurang dari 20ºC fertilisasi nyamuk betina berkurang. Aktivitas menggigit nyamuk betina juga dipengaruhi oleh suhu
www.epidemiolog.id 6 lingkungan. Aktivitas menggigit nyamuk
betina yang tinggi akan meningkatkan penyebaran penyakit DBD (Morin, et al., 2013).
Kedua yaitu kelembapan.
Berdasarkan penelitian Bone (2021) memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara kelembapan dengan kejadian DBD dengan nilai p value sebesar 0,000. Hal yang sama juga diperoleh oleh Alizkan (2017) yang memperoleh hubungan antara kelembapan dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,007.
Kemudian hal yang sama juga ditemukan oleh penelitian Rianasari (2016) yang memperoleh bahwa terdapat hubungan antara kelembapan dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,037 dengan PR sebesar 3,22. Kemudian diperkuat oleh Sulistyarini (2016) yang memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara kelembapan dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,011.
Namun berbeda dengan penelitian putri (2020) yang memperoleh tidak terdapat hubungan antara kelembapan dengan kejadian DBD yaitu dengan p value 0,201. Namun kelembapan dapat memengaruhi transmisi vector borne disease. Vektor nyamuk bersifat sensitif dengan kelembapan. Kelembapan berpengaruh terhadap keberadaan nyamuk karena berhubungan dengan sistem pernafasan nyamuk. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa udara (trachea) dengan lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle.
Spiracle nyamuk berada dalam kondisi terbuka tanpa ada mekanisme untuk mengatur sehingga sensitif terhadap kelembapan di lingkungan. Apabila kelembapan lingkungan rendah maka penguapan air dari dalam tubuh nyamuk akan membuat nyamuk kekurangan cairan tubuh (Dinata, et al., 2012).
Ketiga yaitu tempat penampungan air (TPA). Kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang berkembangbiak di Tempat
Penampungan Air (TPA) yang berisi air bersih, bersifat tetap dan terlindung dari sinar matahari langsung. Berdasarkan kenyataan itu diperlukan ketersediaan tutup pada TPA untuk menekan jumlah nyamuk yang hinggap dan berkembangbiak pada TPA tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Putri (2020) yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara keberadaan tempat penampungan air dengan kejadian DBD dengan nilai p value 0,001 dengan OR sebesar 3,76 yang artinya tempat penampungan air tang tidak baik lebih berisiko terkena DBD dibanding dengan yang memiliki tempat penampungan air yang sudah baik. Hal yang sama juga diperoleh oleh penelitian Octaviani (2018) yang juga mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara tempat penampungan air dengan kejadian DBD dengan p value 0,003 dan OR 2,88 yang artinya tempat penampungan air yang buruk (terbuka) 2,88 kali lebih berisiko terkena DBD dibandingkan dengan yang memiliki tempat penampungan air yang baik (tertutup).
Keempat yaitu kebiasaan menggantung pakaian. Perilaku manusia dapat menjadi faktor risiko untuk kemunculan beberpa penyakit salah satunya yaitu DBD. Salah satu perilaku yang dapat mempengaruhi munculnya penyakit DBD adalah kebiasaan untuk menggantung pakaian. Berdasarkan penelitian Susmaneli (2011) memperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan menggantung baju dengan kejadian DBD dengan p value 0,825 dengan OR 0.929. Hal ini didukung juga oleh penelitian Tuti Sandra (2019) yang memperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara perilaku menggantung baju dengan kejadian DBD dengan p value 0,128 dengan OR 1,677.
Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Bibah Novrita (2017) yang juga mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat
www.epidemiolog.id 7 hubungan antara perilaku menggantung
pakaian dengan kejadian DBD dengan p value 0,189 dan OR 1,76. Berdasarkan penelitian penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku menggantung pakaian dengan kejadian DBD. Hal ini dapat dipengaruhi beberapa hal seperti penggunaan obat anti nyamuk dan penggunaan lemari sebagai tempat menggantung pakaian.
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DBD Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang bersifat endemik, dimana dalam periode tertentu mampu menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) (WHO, 2022). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.WHO sejak tahun 1968 hingga tahun 2009 mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Demam berdarah pertama kali ditemukan di Indonesia yaitu di kota Surabaya pada tahun 1968, di mana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia dengan Angka Kematian (AK): 41,3% (Masriadi, 2017).
Prevalensi DBD di Indonesia selalu menjadi masalah kesehatan masyarakat (KEMENKES RI, 2022), berdasarkan letak astronominya Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Demam berdarah ditemukan di iklim tropis dan sub-tropis di seluruh dunia, sebagian besar di daerah perkotaan dan semi perkotaan (WHO, 2022). Peningkatan suhu mengakibatkan naik sehingga penyebaran penyakit DBD semakin mudah mewabah dan semakin besar nilai rata-rata gigitan nyamuk juga menyebabkan penyebaran penyakit DBD
mewabah (Zakaria, Kusnanto, & Ardana, 2017).
Penyebarannya terjadi dari infeksi virus yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Vektor utama yang menularkan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti (didaerah perkotaan) dan Aedes albopictus (didaerah pedesaan) (WHO, 2022). Nyamuk Aedes aegypti hidup dihabitat perkotaan dan berkembang biak sebagian besar dalam wadah buatan manusia, yang mana tidak seperti nyamuk aedes lainnya, aegypty adalah pengumpan siang hari; periode menggigit puncaknya adalah pagi-pagi dan di malam sebelum senja (Sinaga &
Hartono, 2019).
Pada tahun 2022 musim penghujan terjadi pada bulan Januari hingga April (BMKG, 2022) kasus Dengue selama tahun 2021 hingga Februari 2022 sebanyak 71.044 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 690 kematian (KEMENKES RI, 2022). Adapun puncak musim penghujan di Indonesia terjadi pada bulan Januari dan Februari (BMKG, 2022), memasuki minggu ke 7 pada tahun 2022, kasus Dengue dilaporkan sebanyak 13.776 kasus yang tersebar di 246 Kab/Kota pada 19 Provinsi di Indonesia, sedangkan untuk jumlah kematian akibat Dengue sebanyak 145 yang tersebar di 80 Kab/Kota di 16 Provinsi. Jumlah suspek Dengue dari laporan SKDR sebanyak 21.177 kasus, dengan kasus tertinggi berada pada kelompok umur 15-44 tahun (KEMENKES RI, 2022).
PROGRAM PENANGGULANGAN DBD DI INDONESIA
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis dimana Indonesia merupakan salah satu negara
www.epidemiolog.id 8 tropis yang merupakan tempat yang baik
untuk nyamuk aedes berkembang biak.
Epidemi demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1779 hingga tahun 1780 di Asia, Afrika, dan Amerika utara. Terjadinya wabah secara simultan di 3 benua tersebut menunjukkan bahwa virus ditularkan melalui vektor nyamuk yang mempengaruhi distribusi penyakit demam dengue di seluruh dunia yang beriklim tropis dalam kurun waktu 200 tahun (Arsin, 2013).
Demam berdarah dengue umumnya meningkat pada musim penghujan di mana banyak terdapat genangan air bersih yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypty. Di daerah perkotaan, umumnya wabah demam berdarah kembali meningkat menjelang awal musim kemarau (Sinaga, 2015).
Penyakit DBD dapat dikendalikan melalui pengendalian vektor dengan cara memutus rantai penularan melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dilakukan secara periodik.
Keberhasilan PSN dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Program penanggulangan
lainnya ialah dengan
mengimplementasikan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1), mengimplementasikan gerakan 3M plus dan melakukan koordinasi antara masyarakat dengan pemerintah setempat, dimulai dari lingkungan Rukun Tetangga (RT) hingga ke dinas kesehatan daerah setempat. Perlu diketahui pula bahwa pengendalian DBD membutuhkan kerja sama lintas sektoral, bukan hanya peran tenaga kesehatan, karena kebersihan lingkungan dan kepadatan penduduk dapat mempengaruhi penularan penyakit DBD (Depkes RI, 2010).
Menurut Surat Edaran Menteri
Kesehatan RI nomor
PV.02.01/Menkes/721/2018 tanggal 22
November 2018 perihal Kesiapsiagaan Peningkatan Kasus DBD, berikut adalah himbauan Menteri Kesehatan kepada pemerintah daerah (1) Meningkatkan upaya penggerakan masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui kegiatan menguras, menutup dan memanfaatkan kembali barang bekas, plus mencegah gigitan nyamuk (3M plus), dengan cara mengimplementasikan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J), (2) Memeningkatkan surveilans kasus dan surveilans faktor risiko terhadap kejadian demam berdarah dengue, diantaranya melalui kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB), mengaktifkan Juru Pemantau Jentik (Jumantik). (3) Mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional penanggulangan DBD (Pokjanal DBD) pada berbagai tingkatan RT/RW, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi, (4) Meningkatkan kapasitas sumber daya pencegahan dan pengendalian DBD, meliputi peningkatan kapasitas SDM, biaya serta bahan dan peralatan dan (5) Menerbitkan Surat Edaran Gubernur kepada Bupati/Walikota dalam rangka kesiapsiagaan peningkatan kasus DBD.
Disamping itu, Kementerian Kesehatan juga telah melakukan upaya: (1) Melalui surat edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor PV.02.01/4/87/2019 tanggal 11 Januari 2019 kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi seluruh Indonesia untuk ikut mendukung dan menggerakan pelaksanaan upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus di wilayahnya serta mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada untuk upaya antisipasi dan penanggulangan KLB DBD, (2) Sosialisasi kepada masyarakat untuk melaksanakan kegiatan PSN 3M Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik, (3) Dukungan Tim Terpadu kementerian Kesehatan dalam asistensi upaya penanggulangan KLB di beberapa daerah, (4) Mendistribusikan
www.epidemiolog.id 9 dukungan bahan dan alat pengendalian
vektor ke seluruh provinsi berupa insektisida, larvasida, Jumantik Kit, Mesin fogging, dan media KIE.
Pencegahan demam berdarah yang paling efektif dan efisien sampai saat ini adalah kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus, yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti: bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain- lain 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti:
drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah.
Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan lainnya seperti:
1. Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan, misalnya water toren, gentong/tempayan penampung air hujan, dll.
2. Menggunakan kelambu saat tidur, 3. Memelihara ikan pemangsa jentik
nyamuk
4. Menanam tanaman pengusir nyamuk, 5. Menghindari kebiasaan menggantung
pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain.
6. Menggunakan anti nyamuk semprot maupun oles bila diperlukan.
Kementerian Kesehatan menghimbau seluruh lapisan masyarakat untuk turut peduli dalam upaya mencegah penyebaran DBD antara lain dengan menjaga kebersihan lingkungan, melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) minimal di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing, tempat kerja, sekolah dan tempat ibadah
(Kesiapsiagaan Menghadapi Peningkatan Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2019, n.d.).
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas diperlukan komitmen dan upaya yang luar biasa dari pemerintah daerah, sektor swasta dan peran serta aktif masyarakat untuk bersama-sama dalam melakukan langkah-langkah pencegahan penularan penyakit DBD, melalui kegiatan pemantauan jentik secara berkala dan PSN 3M Plus. Masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan DBD dengan cara menggiatkan gerakan PSN 3M Plus serentak.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Berdasarkan determinan penyakit DBD diperoleh terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan, suhu, kelembapan, dan dan tempat penampungan air dengan kejadian DBD. Kemudian tidak terdapat hubunganan antara pekerjaan dan kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD.
2. Berdasarkan epidemiologi menurut kasus DBD di Indonesia masih menujukan tren yang meningkat dimana Tahun 2015 terjadi 129.650 kasus dengan 1.071 kematian. Tahun 2016 kasus DBD meningkat menjadi 202.314 kasus dengan 1.593 kematian, tahun 2017 sebanyak 68.407 kasus dan 493 kematian serta di tahun 2018 sebanyak 53.075 dan kasus Dengue selama tahun 2021 hingga Februari 2022 sebanyak 71.044 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 690 kematian serta berdasarkan data laporan SKDR sebanyak 21.177 kasus, dengan kasus tertinggi berada pada kelompok umur 15-44 tahun.
3. Berdasarkan penanggulangan DBD di Indonesia berdasarkan program
www.epidemiolog.id 10 Kementerian Kesehatan yang paling
efektif dilakukan adalah PSN dengan cara 3M (menguras, menutup dan menggunakan kembali).
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh diatas maka dapat disusun beberapa saran yaitu sebagai berikut:
1. Penting unruk memberi edukasi kepada masyarakat mengenai determinan apa saja yang berhubungan dengan kejadian DBD agar keluarga dapat terhindar dari penyakit DBD dan mengurangi angka kejadian DBD.
2. Diperlukan data faktor risiko dan angka kejadian penyakit DBD di Indonesia untuk mengetahui tren kejadian kasus yang ada di indonesia agar dapat menentukan intervensi yang tepat dilakukan pada masyarakat untuk menurunkan angka kejadian DBD.
3. Diperlukan komitmen dan upaya yang luar biasa dari pemerintah daerah, sektor swasta dan peran serta aktif masyarakat untuk bersama-sama dalam melakukan langkah-langkah pencegahan penularan penyakit DBD, melalui kegiatan pemantauan jentik secara berkala dan PSN 3M Plus.
Masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan DBD dengan cara menggiatkan gerakan PSN 3M Plus serentak.
DAFTAR PUSTAKA
Arsin A.A. (2013). Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
Makassar: Masagena Press.
BMKG. (2022, Februari 21). Prakiraan Iklim. (Buletin Hujan Bulanan - Updated Februari 2022) Retrieved Februari 25, 2022, from https://www.bmkg.go.id/iklim/bule tin-iklim.bmkg
Departemen Kesehatan. (2010).
Kepmenkes No. 581 tahun 1992.
pkes RI. (2010). Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, 2.
Fitriana BR, Yudhastuti R (2018).
Hubungan Faktor Suhu dengan Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Sawahan Surabaya. The Indonesian Journal of Public Health. 13(1):85–96 Herawati. (2017). Berdarah dengue di
Kota Banjarmasin tahun 2012- 2016. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. (2016).
Kendalikan Demam Berdarah Dengue Dengan PSN 3M Plus.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.1:1-2
Kemenkes RI. (2019). InfoDatin Situasi Demam Berdarah Dengue Tahun 2019
Kesiapsiagaan Menghadapi Peningkatan Kejadian Demam Berdarah Dengue
Tahun 2019.
(n.d.).http://p2p.kemkes.go.id/kesia psiagaan-menghadapi-peningkatan- kejadian-demam-berdarah-dengue- tahun-2019/
KEMENKES RI. (2022, Februari 21).
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik. (Situasi Dengue (DBD) di Indonesia pada minggu ke 7 Tahun 2022) Retrieved Februari 25, 2022, from https://ptvz.kemkes.go.id/berita/sit uasi-dengue-dbd-di-indonesia- pada-minggu-ke-7-tahun-2022 Kurane, I. (2007). Dengue hemorrhagic
fever with special emphasis on immunopathogenesis.
ScienceDirect, 30, 329-340.
Masriadi. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT RajaGrafindo.
Novitasari A, Permatasari D, Ramaningrum, D(2015). Hubungan Status Gizi, Umur, dan Jenis Kelamin dengan Derajat Infeksi
www.epidemiolog.id 11 Dengue pada Anak. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah.
2(1):24-28.
Novrita B, Mutahar R, Purnamasari I (2017). The Analytics of Incidence of Dengue Hemorrhagic Fever in Public Health Center of Celikah Ogan Komering Ilir Regency.
Jurnal Ilmu Masyarakat Universitas Sriwijaya. 8(1):19–27.
Nurdin A. (2018). Studi Epidemiologi yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan Johan Pahlawan.
Jurnal Aceh Medika. 2(1): 77–85.
Rizza Umaya, A. Fickry Faisya, Elvi Sunarsih. (2012). Hubungan Karakteristik Pejamu, Lingkungan Fisik dan Pelayanan Kesehatan dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Talang Ubi Pendopo. Jurnal Kesmas
Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue Dengue Haemoohagic fever. Jakarta: Sugeng Seto
Sinaga, S. N. (2015). Kebijakan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah di Indonesia. Jurnal Research Sains, 1(1), 1–7.
Sinaga, P., & Hartono. (2019). Determinan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor. Jurnal Kesehatan Global, 110-121.
T., Azizah; Betty, F. R., (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali.
Eksplanasi, Vol 5: 2.
Tuti Sandra. (2017). Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue pada Anak Usia 6-12 Tahun Di Kecamatan Tembalang
World Health Organization. (2018).
Dengue control : Epidemiology.
Diakses pada 1 Maret 2022 dari http://www.who.int/denguecontrol/
epidemiology/en/.
WHO. (2022, Januari 10). Dengue and severe dengue. (Key facts) Retrieved Februari 25, 2022, from https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/dengue- and-severe-dengue
Yohan B. (2018). Demam Berdarah Dengue Problematika Interasi Virus, Pejamu, Vektor. Ejikman Institute for molecular biology.;1:1-2.
Zakaria, O., Kusnanto, A., & Ardana, N.
(2017, Mei 31). Scientific Respository. (Analisis Kestabilan Model Penyebaran Penyakit Demam Berdarah dengan Pengaruh Suhu) Retrieved Februari 25, 2022, from
https://repository.ipb.ac.id/handle/1 23456789/85854.