• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar Epidemiologi Demam Berdarah II. TINJAUAN PUSTAKA Dengue (DBD) 2.1. Keadaan Cuaca dan Iklim Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar Epidemiologi Demam Berdarah II. TINJAUAN PUSTAKA Dengue (DBD) 2.1. Keadaan Cuaca dan Iklim Indonesia"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pemetaan wilayah rawan DBD merupakan salah satu bentuk pendekatan strategis dalam antisipasi peningkatan kasus DBD. Peta ini memperlihatkan tingkat-tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap kasus DBD. Wilayah yang sangat rawan umumnya besifat endemik, yaitu wilayah yang selalu terkena kasus DBD setiap tahunnya ( Minimal selama 3 tahun berturut-turut).

1.2. Tujuan

Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:

• Menyusun indeks kerawanan

Incidence Rate (IR) DBD tingkat

kabupaten di Indonesia.

• Menyusun peta sebaran wilayah rawan DBD tingkat kabupaten di Indonesia.

• Menganalisis pengaruh pola hujan terhadap Incidence Rate (IR) DBD di kabupaten Indramayu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan Cuaca dan Iklim Indonesia Menurut Oldeman & Frere (1982), iklim Indonesia ditentukan oleh posisi geografisnya pada kedua sisi equator yang diapit oleh benua Eurasian di bagian utara dan Australia di bagian selatan. Selain itu juga dibatasi oleh samudra yang luas dibagian timur (samudra Pasifik) dan dibagian barat (samudra Hindia), maka proses internal memegang peranan penting dalam menentukan variabilitas iklimnya.

Indonesia yang terletak didaerah tropik, secara klimatologis memiliki tiga pola iklim yaitu Equatorial, Monsun dan Lokal. Ciri tipe Equatorial dapat diketahui dari pola hujan yang memiliki dua puncak (bimodal) setiap tahunnya. Sedangkan tipe Monsun dan Lokal memiliki ciri yang sama, yaitu satu puncak hujan (unimodal), tetapi dengan bentuk yang saling berlawanan.

Keragaman curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah satu diantaranya adalah fenomena ENSO. Menurut Tjasjono (1997) dalam Boer (1998), menerangkan bahwa pengaruh ENSO di Indonesia kuat pada daerah yang dipengaruhi tipe Monsun, lemah pada daerah tipe Equatorial, dan tidak jelas pada daerah yang mempunyai tipe lokal.

Menurut Koesmaryono (1999), iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik

secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyebaran, pemencaran, kelimpahan dan perilaku serangga. Aedes

aegypty termasuk kedalam jenis serangga.

sehingga iklim dan cuaca juga berpengaruh terhadap penyebaran/distribusi DBD.

Gambar 2. Penyebaran DBD di dunia

2.2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit ini banyak terdapat didaerah tropis, terutama di negara Asean dan Pasifik Barat. Di Indonesia penyakit ini sudah mulai ditemukan sejak tahun 1968, yang gejalanya menyerupai Dengue Hemarhagic Fever yang terjadi di Fhiliphina (1953) dan Thailand (1958). Namun baru tahun 1968 dibuktikan dengan pemeriksaan serologis untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, tampak jelas kecenderungan peningkatan jumlah penderita dan semakin meluasnya penyakit tersebut keseluruh wilayah Indonesia dalam waktu yang relatif singkat.

2.2.1. Pengertian

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes dan ditandai dengan demam mendadak 2 – 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, seringkali disertai pendarahan di kulit berupa bintik pendarahan. Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, dan kesadaran menurun (Depkes RI, 1998b). 2.2.2. Penyebab

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini termasuk dalam group B Arthropod Borne

Viruses ( Arbovirusis) kelompok flavivirus

(2)

serotipe yaitu Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan Dengue 4. Ke-empat jenis virus ini masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Dengue 3 merupakan serotipe virus yang

dominan yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal (Wuryadi, 1990).

2.2.3. Diagnosa

Diagnosa penderita DBD menurut WHO (1997) memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selam 2-7 hari.

b. Kecenderungan pendarahan, yang dibuktikan dengan satu hal berikut: tes tourniket, petekie, ekimosis atau purpura; pendarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi lain, hematenesis atau melena.

c. Thrombositopeni (trombosit 100.000/mm3 atau kurang).

d. Adanya rembesan plasma karena peningkatan permeabilitas vascular dengan manifestasi sekurang-kurangnya hematokrit meningkat 20% atau lebih.

Berdasarkan patokan tersebut, 87 % penderita DBD dapat didiagnosa dengan tepat setelah dilakukan uji silang dengan pemeriksaan serologis di laboratorium (Depkes RI, 1992).

2.3. Vektor Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.3.1. Jenis Vektor

Vektor penular penyakit DBD adalah nyamuk Aedes. Di Indonesia, dikenal dua jenis nyamuk Aedes yaitu Aedes aegypti dan

Aedes albopictus ( Rampengan dan

Laurentz, 1990).

Klasifikasi nyamuk Aedes (Brown, 1986 dalam Sebayang, 1993) adalah sebagai berikut:

Kingkom : Animal Filum : Invertebrata Kelas : Insekta Sub Kelas : Pterygota Ordo : Diptera Sub Ordo : Nematocera Famili : Culicidae Sub Famili : Aedes

Species : Aedes aegypti

Gambar 3. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti 2.3.2. Morfologi.

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya. Aedes aegypti mengalami metamorfosis yang sempurna melalui empat stadium yaitu telur, larva/jentik, pupa dan dewasa (Gambar 3). Tiga stadium mulai dari telur, larva/jentik dan pupa dalam air, sedangkan nyamuk dewasa adalah serangga terbang yang aktif mencari darah.

Gambar 4. Siklus hidup Aedes aegypti Stadium Telur

Telur Aedes aegypti berwarna hitam dan gelap dengan ukuran ± 0.80 mm, bentuknya oval yang mengapung satu per satu dalam permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampungan air. Telur sangat sensitif pada suhu rendah, biasanya tidak dapat hidup pada suhu 10° C, tetapi dapat tahan terhadap kekeringan. Telur dapat bertahan lebih dari satu tahun pada suhu 21° C. Telur sering menetas secara bersamaan menjadi jentik pada suhu optimum 25-30 ° C didalam air (Mallis, 1997). Telur berubah menjadi larva kira-kira empat hari setelah diletakkan oleh induknya ditempat perindukan (Bennet, 1997 dalam Fikri, 2005).

(3)

Stadium Jentik/ Larva

Perkembangan jentik dipengaruhi oleh suhu air, kepadatan populasi dan tersedianya makanan. Jentik akan menjadi pupa atau kepompong dalam waktu 4-8 hari pada temperatur 20 – 30 ° C, dan akan mati pada suhu 10 ° C dan suhu 36 ° C, serta dapat bertahan pada tanah yang lembab selama 13 hari (Bennet, 1997 dalam Fikri, 2005). Secara mikroskopis jentik Aedes

aegypti dapat dikenal dari gerakannya yang

cepat dan membengkok-bengkokkan tubuh, bergerak menghindari cahaya bila disoroti cahaya atau senter dan sangat tahan lama dibawah permukaan air ditempat perindukannya (Mallis, 1997 dalam Fikri, 2005).

Stadium Pupa/Kepompong

Larva/ jentik menjadi kepompong memerlukan waktu sekitar 1,5 – 2,5 hari. Beberapa pupa atau kepompong dapat hidup pada temperatur air 47 ° C selama 5 menit dan 82 – 100% dapat hidup pada temperatur 4,5 ° C selama 24 jam (Bennet, 1997 dalam Fikri, 2005).

Stadium Dewasa

Siklus hidup pupa/kepompong untuk berubah menjadi dewasa berlangsung 1-5 hari dan dapat hidup lebih kurang 50 hari (Bennet, 1997). Perkawinan dilakukan 24-28 jam setelah nyamuk menjadi dewasa. Nyamuk betina dapat memproduksi telur 50-500 butir pada pertama kali bertelur. Nyamuk dewasa akan bertelur setelah menghisap darah. Nyamuk dewasa akan mati pada suhu 6 ° C jika terpapar selama 24 jam, atau pada suhu 36 ° C jika terpapar terus-menerus. Suhu yang baik untuk nyamuk dewasa adalah 26 ° C. Variasi lamanya umur nyamuk dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, makanan dan aktivitas reproduksi. Pada suhu 10 ° C dan kelembaban relatif 100%, nyamuk dewasa dapat hidup selama 30 hari tanpa makan dan minum. Umur lebih pendek pada temperatur yang lebih rendah. Nyamuk betina mulai menghisap darah pada hari kedua atau ketiga setelah jadi pupa/kepompong. Umur nyamuk betina dewasa dapat bertahan hidup selama 102 hari (Mallis, 1997 dalam Fikri, 2005).

2.3.3. Kebiasaan

Tempat yang disenangi Aedes aegypti untuk hinggap dan beristirahat adalah pada tempat-tempat yang gelap, lembab dan

sedikit angin, seperti pada pakaian yang tergantung atau benda-benda di dalam rumah. Nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktifitas menggigit biasanya mulai dari pagi hari (jam 08.00 – jam 11.00) dan sore hari (jam 15.00-jam 17.00). Nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulangkali dalam satu siklus gonotropik untuk memenuhi lambungnya (Depkes RI, 1998a). 2.4. Faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian DBD

Menurut teori Segitiga John Gordon penyakit disebabkan oleh lebih dari satu faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain hubungan antara penyebab (agent), penjamu

(host) dan lingkungan (enviroment). Pada

kondisi sehat terjadi keseimbangan antara ketiga faktor tersebut (gambar 5). Akan tetapi apabila terjadi perubahan satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut, baik penyebab, penjamu maupun lingkungan, maka keseimbangan akan berubah sehingga akan mengakibatkan sakit (Sudardjat, 1990). Keseimbangan yang dinamis antara agent, host, dan enviroment berhubungan dengan teori ekosistem (Vanleeuwen, 1999). Jadi, dapat dikatakan bahwa terjadinya penyakit DBD disebabkan oleh faktor penyebab, penjamu dan lingkungan.

Gambar 5. Garis keseimbangan antara penyebab, lingkungan, vektor dan penjamu (Sudardjat, 1990)

2.4.1 Faktor Agent (Penyebab)

Agent (penyebab penyakit) yaitu semua unsur atau elemen hidup dan mati yang kehadiran atau ketidakhadirannya, apabila dikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimulus untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran DBD adalah virus

Dengue.

Penyebab

Lingkungan Penjamu

(4)

2.4.2 Faktor Host (Penjamu)

Host (penjamu) yang dimaksud adalah manusia yang kemungkinan terpapar terhadap penyakit DBD. Faktor Host (penjamu) antara lain umur, ras, sosial ekonomi, cara hidup, status perkawinan, hereditas, nutrisi dan imunitas. Dalam penularan DBD faktor manusia erat kaitannya dengan perilaku seperti peranserta dalam kegiatan pemberantasan vektor di masyarakat dan mobilitas penduduk.

a) Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak diserang DBD adalah kelompok < 15 tahun (Depkes RI, 1992), yang sebagian besar merupakan usia sekolah.

b) Kondisi sosial ekonomi akan mempengaruhi perilaku manusia dalam mempercepat penularan penyakit DBD, seperti kurangnya pendingin ruangan (AC) di daerah tropis membuat masyarakat duduk-duduk diluar rumah pada pagi dan sore hari. Waktu pagi dan sore tersebut merupakan saat nyamuk

Aedes aegypti mencari mangsanya

(Gubler, 1988).

c) Tingkat kepadatan penduduk. Penduduk yang padat akan memudahkan penularan DBD karena berkaitan dengan jarak terbang nyamuk sebagai vektornya. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan, kejadian epidemi DBD banyak terjadi pada daerah yang berpenduduk padat.

d) Imunitas adalah daya tahan tubuh terhadap benda asing atau sistem kekebalan. Jika sistem kekebalan tubuh rendah atau menurun, maka dengan mudah tubuh akan terkena penyakit. e) Status gizi diperoleh dari nutrien yang

diberikan. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap daya tahan dan respons imunologis terhadap penyakit.

2.4.3. Faktor Lingkungan

Faktor Lingkungan diklasifikasikan atas empat komponen yaitu lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologi dan lingkungan sosial ekonomi.

Lingkungan Fisik. Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim yang terdiri dari curah hujan, suhu udara, kelembaban udara,

kecepatan angin dan ketinggian tempat. Lingkungan fisik berpengaruh langsung terhadap komposisi spesies vektor, habitat perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor, populasi, longivitas dan penularannya. • Curah Hujan

Curah hujan mempunyai kontribusi dalam tersedianya habitat vektor. Curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk. Suhu dan kelembaban udara selama musim hujan sangat kondusif bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dan tidak menutup kemungkinan hidupnya nyamuk dewasa yang telah terinfeksi.

Pengaruh curah hujan terhadap vektor bervariasi, tergantung pada jumlah curah hujan, frekuensi hari hujan, keadaan geografi dan sifat fisik lahan atau jenis habitat sebagai penampung air yang merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk.

Di Asia Tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan insidens dengue. Biasanya puncak transmisi diketahui pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi dan temperatur tinggi karena pada pinsipnya habitat larva Aedes

aegypti adalah tersedianya water storage container. Pada beberapa tempat penyakit Dengue datang sebelum tiba musim hujan

dan meningkat saat peralihan musim (Gubler, 2001).

• Temperatur Udara

Temperatur udara merupakan salah satu pembatas antara penyebaran hewan. Suhu berpengaruh pada daur hidup, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya. Adaptasi suatu species terhadap keadaan suhu udara yang tinggi dan rendah akan mempngaruhi sebaran geografik spesies tersebut (Krebs dalam Koesmaryono, 1999).

Siklus gonotropik atau perkembangan telur, umur dan proses pencernaan nyamuk dipengaruhi oleh temperatur. Kondisi ligkungan dengan temperatur 27°C - 30°C dalam kurun waktu yang lama akan mengurangi populasi vektor (Sukowati, 2004).

• Kelembaban Udara

Kelembaban nisbi merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan, penyebaran dan umur nyamuk. Hal ini erat kaitannya dengan sistem pernafasan trakea ,

(5)

sehingga nyamuk sangat rentan terhadap kelembaban rendah. Species nyamuk yang mempunyai habitat hutan lebih rentan terhadap perubahan kelembaban dari pada spesies yang mempunyai habitat iklim kering (Sukowati, 2004).

• Sinar Matahari

Pada umumnya sinar matahari berpengaruh terhadap aktivitas nyamuk dalam mencari makan dan beristirahat. Species nyamuk mempunyai variasi dalam pilihan intensitas cahaya untuk aktivitas terbang, aktivitas menggigit dan pilihan tempat istirahat (Sukowati, 2004).

• Angin

Kecepatan angin secara tidak langsung mempengaruhi suhu udara dan kelembaban udara. Sedangkan pengaruh langsung dari kecepatan angin yaitu kemampuan terbang. Apabila kecepatan angin 11-14 m/detik akan menghambat aktivitas terbang nyamuk (Vanleeuwen, 1999). Nyamuk Aedes aegypti mempunyai jarak terbang yang paling efektif 50 – 100 mil atau 81- 161 km (Brown, 1983).

Lingkungan kimia

Air adalah materi yang sangat penting dalam kehidupan. Tidak ada satu pun mahkluk yang dapat hidup tanpa air. Air merupakan habitat nyamuk pradewasa. Air berperanan penting terhadap perkembangbiakan nyamuk.

Penyakit dapat dipengaruhi oleh perubahan penyediaan air. Salah satu diantaranya adalah infeksi yang ditularkan oleh serangga yang bergantung pada air (water related insect vector) seperti Aedes

aegypti dapat berkembangbiak pada air

dengan pH normal 6,5 – 9 (Sudardjat, 1990). Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi berpengaruh terhadap resiko penularan penyakit menular . Hal yang berpengaruh antara lain jenis parasit, status kekebalan tubuh penduduk, jenis dan populasi serta potensi vektor dan adanya predator dan populasi hewan yang ada (Sukowati, 2004).

Lingkungan Sosial Ekonomi

Secara umum faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial ekonomi adalah:

a. Kepadatan penduduk, akan mempengaruhi terhadap ketersediaan makanan dan

kemudahan dalam penyebaran penyakit.

b. Kehidupan sosial seperti perkumpulan olahraga, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas ibadah dan lain sebagainya.

c. Stratifikasi sosial berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, etnis dan sebagainya.

d. Kemiskinan, biasanya berkaitan dengan malnutrisi, fasilitas sanitasi yang tidak memadai yang secara tidak langsung merupakan faktor penunjang dalam proses penyebaran penyakit menular.

e. Keberadaan dan ketersediaan fasilitas kesehatan.

2.5. Fenomena ENSO (El Nińo and Southern Osillation Osillation)

Indonesia merupakan daerah yang dilewati oleh garis khatulistiwa, diapit oleh dua benua dan dua samudra. Posisi unik ini akan mempengaruhi keragaman iklim, terutama kondisi curah hujan di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia antaralain: sirkulasi meridional (Hadley), sirkulasi zonal (Walker), aktivitas monsoon, siklon tropis dan pengaruh lokal (topografi). Semua faktor ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun. Pada kondisi tertentu salah satu faktor dapat saja menjadi lebih dominan dibanding yang lainnya.

Fenomena ENSO merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada sirkulasi zonal (Walker). Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan akan terjadinya gejala alan EL-Nino adalah meningkatnya anomali suhu muka laut di kawasan pasifik atau terjadinya perbedaan tekanan udara di Darwin dan Tahiti melebihi dari normal.

Fenomena El-Nino menyebabkan

curah hujan di sebagian besar wilayah indonesia akan berkurang dari keadaan normal , tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat bergantung dari intensitas El-Nino tersebut. Sebaliknya, fenomena La-Nina menyebabkan curah hujan di Indonesia akan bertambah dari normal. Namun tidak seluruh wilayah Indonesia yang dipengaruhi oleh fenomena ENSO.

Berdasarkan intensitasnya El-Nino

dikategorikan sebagai berikut (www. bmg.co.id):

(6)

a. El-Nino Lemah, ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik Equator positif (+0,5°C s/d +1,0°C) berlangsung selama 3 bulan berturut-turut.

b. El –Nino Sedang, ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik Equator positif (+1,1°C s/d +1,5°C) berlangsung selama 3 bulan berturut-turut.

c. El –Nino kuat, ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik Equator positif >1,5°C berlangsung selama 3 bulan berturut-turut.

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan bulan Juni 2006 hingga bulan Januari 2007, yang mencakup survey literatur, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan laporan. Kegiatan dilaksanakan di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Data yang dibutuhkan dalam studi ini antara lain :

• Data jumlah kasus DBD per bulan di Indonesia tahun 1992 – 2005 (Sumber: Sub Direktorat Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PPM-PL Depkes, RI)

• Data curah hujan wilayah Kabupaten Indramayu tahun 1992 – 2002

(Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu )

• Data Jumlah Penduduk tiap kabupaten di Indonesia

(Sumber: Sub Direktorat Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PPM-PL Depkes, RI dan BPS, Jakarta)

• Peta Wilayah Kajian

(Sumber: Labklim- IPB, 2006 ) Alat yang digunakan dalam studi ini adalah Seperangkat Komputer dengan aplikasi Microsoft Office dan Arc View 3.3 untuk pengolah data dan pemetaan tingkat kerawanan DBD.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian terdiri dari dua tahap. Tahap pertama penyusunan peta sebaran tingkat kerawanan IR DBD tingkat Kabupaten. Tahap kedua analisis pengaruh pola hujan terhadap jumlah IR DBD di Kabupaten Indramayu.

3.3.1 Penyusunan Peta Sebaran Tingkat Kerawanan

Penyusunan peta sebaran tingkat kerawanan melalui tiga tahap yaitu:

Incidence Rate (IR) rata-rata, menentukan

frekuensi tahun kejadian dan menentukan deret tahun kejadian demam berdarah. 3.3.1.1. Menentukan Incidence Rate (IR)

Rata-rata

Tahap pertama Berdasarkan data kasus

DBD perbulan tiap kabupaten ditentukan nilai IR per tahun tiap kabupaten dengan menggunakan persamaan: IR = Penduduk uduk JumlahPend erita JumlahPend 000 . 100 ×

Tahap kedua. Mengklasifikasikan nilai IR menurut Sasaran Indonesia Sehat 2010

(www. depkes.co.id) dengan klasifikasi

sebagai berikut: Ringan : IR < 5 Sedang : 5 ≤ IR < 20 Berat : IR ≥ 20 Dimana:

IR Ringan: Jika jumlah kasus DBD < 5 kasus per tahun

IR Sedang: Jika jumlah kasus DBD antara 5 – 10 kasus per tahun

IR Berat : Jika jumlah kasus DBD ≥ 20 kasus per tahun

Tahap Ketiga. Menentukan nilai IR rata-rata dengan persamaan sebagai berikut: IR R = a* IRr + b*IRs + c*IRb Dimana: RR : IR rata-rata IRr : Jumlah IR ringan IRs : Jumlah IR sedang IRb : Jumlah IR berat

a, b dan c adalah nilai pembobotan yang didapatkan dari pola sebaran data.

3.3.1.2. Menentukan Frekuensi Tahun Kejadian DDB

Tahun kejadian DBD adalah tahun ditemukan adanya kasus DBD. Frekuensi Kejadian (FK) ditentukan berdasarkan data

Gambar

Gambar 3. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Gambar 5. Garis keseimbangan antara penyebab,  lingkungan, vektor dan penjamu  (Sudardjat, 1990)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan yang kurangnya persaingan bekerja dalam sektor wisata yang mana disebabkan minimnya perhatian pemerintah dalam menganggarkan belanja

Apabila surat peringatan ini tidak diindahkan dalam 3 (tiga) kali berturut-turut masing-masing selama 7 (tujuh) hari kerja, maka akan dikenakan sanksi penertiban berupa

Konsep gitar akustik rotan ini adalah dengan mengaplikasikan papan rotan laminasi yang merupakan produk hasil riset Pak Dodi Mulyadi di PIRNAS (Pusat Inovasi

Penelitian ini menggunakan model persamaan regresi linier berganda untuk mengetahui hubungan antara ukuran dewan komisaris (DK), komisaris independen (KI), opini

Dan untuk aplikasi ‘binary encoding’ parsing akan melakukan parsing terhadap dokumen text-based RSS yang sama dengan yang digunakan oleh aplikasi pertama yang

Sebelum melaksanakan suatu perkawinan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah pelamaran ( madduta) pada saat inilah pihak perempuan mengajukan jumlah Uang Panaik

Kemampuan dasar keilmuan dan humanitas berdasar keimanan tentunya merupakan landasan bagi setiap kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berwujud sensitifitas dan

BBNI memiliki indikator MACD dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, BBNI belum berhasil menembus Resistance di level harga 5550 sehingga terbuka peluang untuk kembali menguji