• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Instrumen Penilaian Aspek Afektif dan Psikomotor Peserta Didik pada Model Pembelajaran Kooperatif Metode Team Games Tournament (TGT) dalam Mata Pelajaran Fisika SMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Instrumen Penilaian Aspek Afektif dan Psikomotor Peserta Didik pada Model Pembelajaran Kooperatif Metode Team Games Tournament (TGT) dalam Mata Pelajaran Fisika SMA."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

vii

Pengembangan Instrumen Penilaian Aspek Afektif dan Psikomotor Peserta Didik pada Model Pembelajaran Kooperatif Metode Team Games

Tournament (TGT) dalam Mata Pelajaran Fisika SMA

Allivna

Prodi Pendidikan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui kelayakan instrumen penilaian afektif pada pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA, (2) mengetahui kelayakan instrumen penilaian psikomotor pada pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA, (3) mengetahui tingkat kemampuan afektif peserta didik pada pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan penerapannya di kelas X SMA, (4) mengetahui tingkat kemampuan psikomotor peserta didik pada pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA.

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (R&D) dengan model 4-D menurut Thiagarajan. Tahap define merupakan tahap awal untuk mendefinisikan permasalahan. Tahap design dilakukan dengan mengembangkan rancangan instrumen penelitian. Tahap develope dilakukan untuk menghasilkan instrumen penelitian yang sudah divalidasi dan direvisi berdasarkan komentar dan saran oleh validator ahli dan praktisi serta pelaksanaan uji terbatas. Produk dikembangkan diuji coba terbatas pada kelas X MIA 3 SMA N 1 Prambanan Sleman. Uji lapangan dilakukan pada kelas X MIA 1 dan X MIA 2 SMA N 1 Prambanan Sleman. Tahap disseminate dilakukan dengan menyebarkan instrumen penelitian di SMA N 1 Prambanan Sleman dan pada e-journal jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY. Validitas instrumen diukur menggunakan analisis Content Validity Ratio (CVR), sedangkan reliabilitasnya menggunakan Interclass Correlation Coefficient (ICC). Hasil penilaian kemampuan afektif dan psikomotor dikelompokkan dalam deskriptif kategori interval nilai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) instrumen penilaian afektif layak digunakan ditinjau validitasnya memperoleh nilai CVR sebesar 1,00 dengan kategori sangat esensial dan ditinjau reliabilitas melalui nilai ICC 0,99 dengan kategori sangat reliabel, (2) instrumen penilaian psikomotor layak digunakan ditinjau validitasnya memperoleh nilai CVR sebesar 1,00 dengan kategori sangat esensial dan ditinjau reliabilitas melalui nilai ICC 0,99 dengan kategori sangat reliabel, (3) hasil penilaian tingkat kemampuan afektif menunjukkan 20,34% peserta didik dalam kategori sangat tinggi, 50,85% kategori tinggi, 25,42% sedang, 3,39% rendah dan 0 % sangat rendah, (4) hasil penilaian tingkat kemampuan psikomotor menunjukkan 7,94% peserta didik dalam kategori sangat tinggi, 44,44 % kategori tinggi, 17,46% sedang, 22,22% rendah dan 7,94% sangat rendah.

(2)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan menjadi salah satu indikator perkembangan suatu bangsa. Perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan dan tuntunan masyarakat dunia yang semakin tinggi. Melalui pendidikan, masyarakat dapat mengembangkan potensi dirinya baik yang sudah terlihat maupun yang belum terlihat.

Menurut Panagan (2015), saat ini ada beberapa hal yang membuat pendidikan di Indonesia dirasa semakin melenceng dari cita-cita bangsa. Pertama, kecenderungan pendidikan Indonesia yang cukup elitis dan belum terjangkau oleh rakyat miskin dan terpencil. Kedua, lahirnya sistem pendidikan yang kurang memberdayakan. Ketiga, kurangnya orientasi pendidikan terhadap pembangunan moral. Ketiga hal tersebut memang bukan hal yang langka dijumpai di dalam kehidupan sekitar. Penelitian ini menyoroti tentang penyebab kedua dan ketiga yakni sistem pendidikan yang kurang memberdayakan dan kurangnya orientasi pendidikan terhadap pembangunan moral. Faktanya, pembelajaran teacher centered dan pendidikan berlangsung semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan.

(3)

2

Pada kenyataannya, perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini masih cukup tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan pendidikan dunia. Menurut Panagan (2015), berikut fakta peringkat tentang mutu pendidikan Indonesia dimata dunia :

Menurut Lembaga Pemeringkatan Pendidikan dunia, The Learning Curve Pearson 2014 bulan Mei 2014 merilis data mengenai peringkat mutu pendidikan di seluruh dunia, dan Indonesia menduduki posisi terakhir dari 40 negara yang terdata. Indonesia menempati posisi ke-40 dengan indeks rangking dan penilaian secara keseluruhan minus 1.84. Untuk nilai pencapaian pendidikan, Indonesia mendapatkan nilai minus 2.11, yang menjadikan Indonesia sebagai negara terburuk dalam hal kualitas pendidikan”

(4)

3

pendidikan di Indonesia saat ini akan semakin tertinggal di kancah dunia. Disisi lain, kita juga tidak dapat menghentikan tuntutan dunia yang selalu berkembang.

Kualitas output pendidikan Indonesia yang dinilai rendah ini sebagai salah satu wujud hasil sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan yang ada belum menitikberatkan pada karakter peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari sistem penilaian non kognitif yang hanya dilakukan beberapa kali saja dalam satu tahun pelajaran. Seperti yang dilakukan oleh beberapa SMA di Yogyakarta, seperti penilaian afektif dan psikomotor di SMA N 1 Prambanan Sleman kelas X MIA mata pelajaran fisika dilakukan tiga kali penilaian dalam satu tahun pelajaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, dalam setiap semester pun tidak selalu dilakukan kegiatan praktikum untuk menilai keterampilan atau kemampuan psikomotorik peserta didik. Berbeda jika dibandingkan intensitas penilaian kognitif yang dilakukan hampir setiap materi pembelajaran. Berdasarkan fakta tersebut, penilaian non kognitif yakni penilaian afektif maupun psikomotor terkesan menjadi dinomorduakan.

(5)

4

Dalam Permendikbud nomor 104 tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar diperlukan untuk memantau kemajuan belajar, hasil belajar dan mendekteksi perbaikan hasil belajar secara berkesinambungan. Lingkup penilaian hasil belajar ini mencakup kompetensi sikap, pengetahuan juga keterampilan dan dilaksanakan dengan menggunakan instrumen penilaian. Oleh karena itu, tidak hanya instrumen penilaiaan kemampuan kognitif saja yang perlu mendapatkan perhatian. Penyediaan instrumen penilaian afektif dan psikomotor juga perlu mendapatkan perhatian intensif. Hal ini dimaksudkan agar penilaian yang dilakukan memperoleh hasil yang mampu memberikan prediksi penilaian yang lebih tepat dan akurat terhadap proses maupun hasil belajar setiap peserta didik.

Selain faktor di atas, melalui penilaian tentunya diharapkan sistem pendidikan Indonesia menciptakan output yang berkualitas baik dari berbagai segi baik kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotor. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen penilaian yang penyusunannya perlu mendapat perhatian khusus untuk mengukur kemampuan afektif dan psikomotor tersebut.

(6)

5

sekolah yang menerapkan pembelajaran dengan paradigma tersebut, khususnya pembelajaran fisika untuk jenjang SMA di wilayah Sleman, Bantul dan Kulonprogo. Akibatnya, dijumpai beberapa peserta didik yang lebih memilih berbisik bertanya kepada teman sebangkunya tentang materi yang belum dipahami daripada bertanya kepada guru di hadapan teman sekelasnya. Dalam pembelajaran satu arah ini, peserta didik merasa canggung bertanya langsung kepada guru. Dari fakta tersebut menunjukkan bahwa mental dan rasa percaya diri peserta didik belum terbangun dengan baik.

Guru belum terbiasa menggunakan variasi model pembelajaran. Kecenderungan penggunaan model ceramah yang terlalu sering ini membuat pengetahuan peserta didik terbatas hanya bersumber pada penjelasan guru. Peserta didik cenderung terbiasa pasif menunggu guru menjelaskan materi. Hal ini belum sesuai dengan pembelajaran dalam Kurikulum 2013 yang menekankan pada keaktifan peseta didik. Selain itu, pembelajaran akan terkesan monoton dan mengakibatkan semakin tertanamnya nilai-nilai sikap pasif pada peserta didik. Dengan demikian membuat semakin banyaknya peserta didik menganggap bahwa fisika merupakan mata pelajaran yang diidentikkan dengan hafalan dan rumus saja.

(7)

6

menggunakan metode ceramah secara terus menerus maka peserta didik akan mengalami kejenuhan dan akan bersikap semakin pasif. Hal tersebut mengakibatkan karakter dan mental peserta didik belum terbangun dengan baik. Hendaknya guru tidak mengandalkan salah satu metode pembelajaran saja karena tidak ada metode yang paling baik yang dapat diterapkan untuk semua materi dan situasi.

Peserta didik dituntut aktif secara mental dalam membangun pengetahuannya. Keaktifan peserta didik dalam pembelajaran mempengaruhi hasil akhir pembelajaran dan menunjang keberhasilan proses belajar. Rendahnya keaktifan peserta didik membuat pembelajaran berlangsung kurang efektif, sehingga kemauan peserta didik untuk memecahkan masalah dan mengemukakan pendapatnya pun masih rendah. Akibatnya, kesulitan belajar peserta didik tidak dapat dipahami dengan baik. Hal tersebut dikarenakan komunikasi terjalin hanya satu arah yakni dari guru kepada peserta didik dan tidak sebaliknya.

(8)

7

Salah satu model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan peserta didik yaitu pembelajaran kooperatif (cooperative learning).

“Model pembelajaran kooperatif merupakan contoh model pembelajaran yang banyak melibatkan interaksi antar peserta didik. Peserta didik melakukan proses belajar dalam kelompok, saling menguatkan, memahami dan bekerja sama untuk semakin menguasai materi.” (Sanjaya,2006:242)

Semakin banyak hal yang dilakukan maka peserta didik tentunya semakin terbiasa berinteraksi. Diharapkan dari sini mulailah tergesernya sikap pasif peserta didik menjadi sikap aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran kooperatif yang dikombinasikan dengan metode TGT, didasarkan atas kerjasama kelompok diskusi. Masing-masing individu bebas mengemukaan pendapat dalam kelompok maupun dalam kelas besar. Dalam metode TGT ini, masing-masing peserta didik terbagi menjadi beberapa kelompok diskusi yang nantinya masing-masing anggota kelompok mewakili kelompok diskusi dalam games tournament.

(9)

8

Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah satu dengan lainnya. Sewaktu peserta didik melakukan games tournament, teman tim diskusi tidak boleh membantu untuk memastikan telah terjadi tanggung jawab individual. Dengan adanya permainan dan pemberian hadiah bagi tim paling baik diharapkan dapat menggunggah motivasi peserta didik untuk mempelajari dan memahami materi dengan sungguh-sungguh. Setiap peserta didik dituntut aktif mengemukakan pendapatnya demi mencapai tujuan individu maupun kelompok.

Peneliti tertarik menerapkan model TGT dalam pembelajaran fisika karena teknik ini dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menumbuhkan rasa memiliki oleh peserta didik terhadap pembelajaran, meningkatkan interaksi dan kerja sama diantara peserta didik secara bersama-sama, menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif sehingga akan mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang aktif dan yang paling utama adalah metode ini memastikan bahwa setiap peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kelompok diskusinya sehingga tumbuh sikap tanggung jawab kepada masing-masing peserta didik.

(10)

9

Penelitian dilakukan dalam pembelajaran dengan materi yang lebih menekankan pada pemahaman. Secara umum, peserta didik akan lebih memahami materi dengan mempraktikan secara langsung dan melalui diskusi dengan peserta didik lainnya. Mengingat materi Hukum Newton dan Penerapannya merupakan materi yang menekankan konsep dasar dinamika maka peserta didik dituntut untuk benar-benar memahaminya. Pada materi Hukum Newton ini, terdapat beberapa hal yang dipahamkan salah satunya hanya dengan peserta didik menjumpai secara langsung fenomena-fenomena terkait. Dengan demikian, diharapkan peserta didik tidak harus menghafal banyak rumus terkait materi ini. Selain itu, belum adanya instrumen penilaian yang mengukur kemampuan afektif dan psikomotor materi Hukum Newton dan Penerapannya di SMA N 1 Prambanan Sleman membuat penelitian ini perlu dilakukan. Materi ini sesuai dengan pelaksanaan waktu penelitian dan silabus pembelajaran SMA N 1 Prambanan Sleman. Melalui materi ini pula, memungkinkan dilakukan penilaian kemampuan afektif serta penilaian keterampilan peserta didik sekaligus.

(11)

10 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka peneliti dapat mengidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Perkembangan pendidikan Indonesia belum bisa mengimbangi tuntutan dunia, dalam hal ini output pendidikan Indonesia tertinggal dari Negara-negara lain.

2. Pembelajaran di sekolah-sekolah belum sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yang lebih menekankan pada keaktifan peserta didik.

3. Metode ceramah terlalu sering digunakan dalam pembelajaran sehingga peserta didik cenderung merasa bosan dan semakin pasif.

4. Penilaian kognitif jauh lebih sering dilakukan jika dibandingkan dengan penilaian afektif dan penilaian psikomotor peserta didik.

5. Penilaian afektif dan penilaian psikomotor peserta didik yang sangat jarang dilakukan menyebabkan penyusunan instrumen penilaian afektif dan psikomotor kurang mendapatkan perhatian.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, untuk memfokuskan penelitian agar tujuan dapat tercapai, maka perlu adanya pembatasan masalah. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

(12)

11

2. Instrumen penilaian psikomotor yang disusun lebih menekankan keaktifan dan kinerja peserta didik selama proses pembelajaran menggunakan acuan Krathwol meliputi aspek persepsi, persiapan, reaksi yang diarahkan, reaksi natural, reaksi kompleks, adaptasi dan kreativitas.

3. Intrumen penilaian afektif dan psikomotor disusun disesuaikan dengan metode TGT (Team Games Tournament) materi Hukum Newton dan Penerapannya.

4. Intrumen penilaian afektif dan psikomotor disusun disesuaikan dengan materi Hukum Newton dan Penerapannya.

5. Kelayakan instrumen akan dilihat berdasarkan uji validitas dan reliabilitasnya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat kelayakan instrumen penilaian afektif pada model pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA yang dikembangkan dalam penelitian ini?

(13)

12

3. Seberapa tinggi kemampuan afektif peserta didik pada model pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA yang dikembangkan dalam penelitian ini? 4. Seberapa tinggi kemampuan psikomotor peserta didik pada model

pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA yang dikembangkan dalam penelitian ini?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kelayakan instrumen penilaian afektif pada pembelajaran

kooperatif TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA yang dikembangkan dalam penelitian ini. 2. Untuk mengetahui kelayakan instrumen penilaian psikomotor pada

pembelajaran kooperatif TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA yang dikembangkan dalam penelitian ini.

3. Dapat mengetahui tingkat kemampuan afektif peserta didik pada pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA yang dikembangkan dalam penelitian ini.

(14)

13

materi Hukum Newton dan penerapannya di kelas X SMA yang dikembangkan dalam penelitian ini.

F. Manfaat Penelitian

Berikut manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagi Guru

Guru akan mengetahui sejauh mana kemampuan afektif dan keterampilan peserta didik guna mendampingi setiap perkembangan peserta didik.

2. Bagi sekolah

Informasi dari guru tentang tepat tidaknya suatu metode pembelajaran pada sekolah dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk perencanaan pembelajaran sekolah di masa yang akan datang.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan untuk mengembangkan intrumen penilaian afektif dan psikomotor pada model pembelajaran yang lain sehingga kemampuan afektif dan psikomotor peserta didik lebih diperhatikan. G. Definisi Operasional

1. Instrumen penilaian adalah alat yang dipilih dan digunakan oleh evaluator untuk melakukan pengumpulan data dapat berupa butir-butir angket, pedoman observasi, skala penilaian maupun butir-butir soal.

(15)

14

3. Kemampuan psikomotor adalah kemampuan berorientasi pada gerakan dan reaksi fisik yang menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu.

4. Pembelajaran kooperatif adalah bentuk pembelajaran dengan cara peserta didik belajar dalam kelompok kecil yang memiliki kemampuan heterogen agar setiap anggota kelompok dapat berkolaborasi secara positif.

(16)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Fisika

Menurut Sudjana (1996:5), belajar merupakan suatu proses yang dilandasi dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil suatu proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada inividu yang belajar.

Menurut Sardiman (2003:21), belajar merupakan usaha mengubah tingkah laku, belajar membawa perubahan pada individu yang belajar. Perubahan tersebut tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan tetapi juga kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, watak dan penyesuaian diri. Dengan kata lain, belajar dapat diartikan sebagai proses berubahnya diri individu, baik berupa penambahan, perubahan maupun pemahaman terhadap ilmu, sikap maupun keterampilan individu yang bersangkutan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada inividu yang telah dipelajari.

(17)

16

menerapkan konsep maupun teori fisika untuk dapat menghasilkan teknologi. Menurut Mundilarto (2002:3), pengetahuan fisika memiliki banyak konsep dan prinsip yang abstrak. Sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam menginterpretasi konsep dan prinsip fisika tersebut. Padahal peserta didik dituntut untuk mampu menginterpretasi secara tepat, baik secara lisan maupun tertulis.

Pembelajaran fisika di sekolah hanya menekankan pada kemampuan kognitif saja. Seharusnya pembelajaran fisika menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi peserta didik agar mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah. Selain itu dengan melibatkan peserta didik untuk ikut aktif dalam pembelajaran, keterampilan proses peserta didik akan meningkat.

2. Penilaian Hasil Belajar

(18)

17

dari hasil evaluasi. Hasil evaluasi ini juga dapat membantu peserta didik untuk mengetahui kemampuan apa saja yang telah dikuasai dan yang belum dikuasai.

Menurut Arikunto (2009:24), prinsip umum dan penting dalam kegiatan evaluasi yaitu adanya triangulasi atau hubungan erat tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Komponen tersebut yaitu antara lain tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran atau KBM serta evaluasi. Pelaksanaan evaluasi yang selama ini dilakukan cenderung memprioritaskan pada aspek kognitif peserta didik. Padahal dalam kurikulum 2013, evaluasi meliputi aspek kognitif, afektif dan aspek psikomotor. Pelaksanaan evaluasi hanya dilakukan melalui tes tertulis di akhir proses pembelajaran. Hasil tes inilah yang digunakan oleh guru sebagai bahan acuan untuk mengukur keberhasilan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.

Penilaian dipandang sebagai salah satu factor penting yang menentukan keberhasilan proses dan hasil belajar. Kegiatan penilaian harus dapat memberikan informasi kepada guru agar guru meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu peserta didik mencapai perkembangan belajarnya secara optimal. 3. Teknik Penilaian Hasil Belajar

(19)

18

Tes acuan norma berasumsi bahwa tingkat kemampuan peserta didik berbeda-beda. Hal ini dapat digambarkan menurut distribusi normal. Dimana perbedaan ini dapat ditujukan oleh hasil pengukuran. Sedangkan tes acuan kriteria berasumsi bahwa hampir semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar apa saja dengan hasil tes dikategorikan berdasarkan ketentuan yang ditentukan sebelumnya dan waktu yang dipergunakan dapat berbeda-beda.

Menurut Sukiman (2012:56), teknik penilaian hasil belajar merupakan metode atau cara yang digunakan evaluator untuk mengumpulkan data. Terdaftar sebagai teknik evaluasi antara lain :

1. Tes

Tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau hal lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu. Tes juga dapat dikatakan sebagai alat pengumpul informasi. Jika dibanding dengan teknik evaluasi lain, teknis tes bersifat lebih resmi karena penuh dengan batasan-batasan.

2. Angket

Angket merupakan instrumen pengumpul data penelitian berupa sejumlah pertanyaan yang diberikan secara tertulis dan diberikan kepada subjek penelitian. 3. Wawancara

(20)

19 4. Pengamatan/ Observasi

Pengamatan atau observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. Dalam teknik ini biasanya peneliti menggunakan alat berupa lembar observasi. Lembar observasi digunakan untuk melihat sikap siswa saat berinteraksi sosial dengan orang lain.

Secara umum, teknik evaluasi dibedakan menjadi dua bentuk yakni bentuk tes dan bentuk non tes.

a. Teknik Tes

Teknik tes merupakan semua teknik penilaian yang hasilnya dapat dikategorikan menjadi benar dan salah, misalnya teknik penilaian yang digunakan untuk mengungkapkan aspek kognitif . Tes sebagai alat evaluasi dapat dibedakan ke dalam tes non verbal (perbuatan) dan tes verbal. Tes non verbal adalah tes yang responnya berupa perbuatan, bukan ungkapan atau kalimat. Tes non verbal lazim digunakan untuk mengukur psikomotor dan afektif. Sedangkan tes verbal adalah tes yang responsya berupa ungkapan kata-kata atau kalimat. Tes verbal ini dapat berupa tes tertulis dan tes lisan. Tes tertulis dapat dikategorikan menjadi dua yakni tes objektif dan tes uraian.

b. Teknik Non Tes

(21)

20

dan minat peserta didik terhadap mata pelajaran serta kemauan untuk menerima dan mengamalkan suatu nilai-nilai tertentu.

Teknik nontes digunakan untuk menilai karakteristik yang mencakup ranah afektif, misalnya sikap dan minat terhadap fisika serta kepribadian lainnya. Menurut Asmawi (2005:102), instrumen untuk memperoleh informasi hasil belajar non-tes terutama digunakan untuk mengukur hasil belajar yang berkenaan dengan softskill dan vocational skills, terutama yang berhubungan dengan apa yang dapat dibuat atau dikerjakan oleh peserta didik daripada apa yang diketahui atau dipahaminya. Ada beberapa bentuk penilaian non tes yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar afektif dan keterampilan. Bentuk penilaian non tes antara lain teknik proyektif, skala minat, skala sikap, obeservasi, laporan diri, wawancara, kuesioner/ angket, biografi dan anecdotal record.

Dalam penelitian ini digunakan teknik evaluasi non tes skala minat untuk mengukur kemampuan afektif dan kemampuan psikomotor. Bentuk yang digunakan adalah skala penilaian (rating scale). Masing-masing penilaian kemampuan afektif dan psikomotor dalam penelitian ini melalui bantuan daftar cek (ceklist) yang berisi indikator-indikator penilaian dalam skala minat pada penilaian afektif maupun psikomotor. Daftar cek (cek list) digunakan untuk merekam hasil penilaian.

1. Skala Minat

(22)

21

tertentu yang menyenangkan dan memberi kepuasan kepadanya (satisfiers). Dengan minat dapat menimbulkan sikap yang merupakan suatu kesiapan berbuat bila ada stimulasi khusus sesuai dengan keadaan tersebut.

Aspek minat peserta didik perlu diukur terhadap materi tertentu. Salah satu instrumen untuk mengukur aspek minat adalah menggunakan skala minat. Menurut Sukiman (2012:122), langkah-langkah penyusunan skala minat oleh Tim Puskur Balitbang Depdiknas 2004 adalah :

a. Menentukan indikator minat yang akan dinilai. Indikator yang dimaksud adalah bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menilai apakah seseorang itu berminat atau tidak terhadap mata pelajaran atau topic bahasan tertentu. b. Memilih tipe skala yang akan digunakan, misalnya skala Likert dengan lima

skala yakni sangat berminat, berminat, kurang berminat dan tidak berminat. c. Menuliskan instrumen

d. Mendiskusikan instrumen dengan teman sejawat. e. Merevisi instrumen hasil diskusi tersebut.

2. Skala Penilaian (Rating Scale)

(23)

22

“Dalam pelaksanaannya, skala penilaian dapat digunakan oleh dua orang penilai atau lebih dalam menilai subjek yang sama. Maksudnya agar diperoleh hasil penilaian yang objektif mengenai subjek yang dinilai” (Sukiman,2012:124). Dengan kata lain, skala penilaian ini digunakan oleh beberapa penilai agar hasil penilaian yang didapat bersifat objektif. Caranya adalah dengan membandingkan hasil penilaian satu orang penilai dengan penilai lainnya.

Ada beberapa jenis skala yang biasa digunakan untuk mengukur sikap seseorang diantaranya adalah skala sikap Likert dan semantic differensial.

Skala Sikap Likert.

Pada prinsipnya menurut Sudjana (1996: 81), skala likert merupakan teknik pengukuran yang sederhana yang paling sering dijumpai dalam pengukuran ranah afektif, khususnya sikap. Dengan teknik ini, akan dapat disimpulkan bagaimana sikap seseorang terhadap objek atau perilaku bersikap positif atau negatif. Skala likert menyajikan pernyataan yang harus ditanggapi dengan memilih satu diantara lima alternatif: sangat setuju, setuju, ragu-ragu (netral), tidak setuju dan sangat tidak setuju. Melalui skala likert ini aspek afektif dikelompokkan dalam kategori-kategori tertentu.

(24)

23

kemampuannya hampir sama. Sebaliknya, jumlah altenative yang terlalu banyak juga akan membuat penilai berfikir terlalu detail dalam menentukan nilai suatu objek.

Semantik Diferensial

Teknik pengukuran ini menampilkan pernyataan yang mengandung suatu objek berupa konsep ataupun perilaku. Teknik pengukuran ini bisa menunjukkan dua hal. Pertama, posisi sikap seseorang terhadap objek atau perilaku tertentu. Kedua, dengan teknik ini bisa diperoleh gambaran atau profil sikap terhadap objek tertentu.

3. Daftar Cek (Ceklist)

(25)

24 4. Instrumen Penilaian

Instrumen penilaian adalah alat yang dipilih dan digunakan oleh evaluator untuk melakukan teknik pengumpulan data, Instrumen penilaian harus memenuhi beberapa syarat diantaranya:

a. Subtansi yang mempresentasikan kompetensi yang dinilai.

b. Konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk intrumen yang digunakan.

c. Penggunaan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.

Instrumen evaluasi dapat berupa sarana yang dapat diwujudkan dalam bentuk benda seperti (1) Butir-butir angket, (2) Pedoman wawancara, (3) Pedoman pengamatan, (4) Butir-butir soal, (5) Skala penilaian.

5. Ruang Lingkup Aspek Penilaian

Penilaian hasil belajar sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Pada umumnya tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom, yakni kognitif, afektif dan psikomotor.

a. Ranah Kognitif

(26)

25

1. Pengetahuan (knowledge), dalam jenjang ini seseorang dituntut dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau dapat menggunkannya. Kata-kata operasional yang digunakan yaitu mendefinisikan, mendeskripsikan, mengidentifikasi, mendaftarkan, menjodohkan, menyebutkan, menyatakan dan mereproduksi.

2. Pemahaman (comprehension), kemampuan ini menuntut peserta didik memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus menghubungkan dengan hal-hal lain. Kemampuan ini dijabarkan menjadi tiga, yakni menterjemahkan, menginterpretasikan dan mengesktrapolasi. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain memperhitungkan, memperkirakan, menduga, menyimpulkan, membedakan, menentukan, mengisi dan menarik kesimpulan.

3. Penerapan (application), adalah jenjang kognitif yang menuntut kesanggupan menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prisip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, menemukan, memanipulasikan, menghubungkan, menunjukan, memecahkan dan menggunakan.

(27)

26

menjadi tiga kelompok yaitu analisis unsure, analisis hubungan dan analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi. Kata-kata operasional yang umumnya digunakan antara lain memerinci, mengilustrasikan, menyimpulkan, menghubungkan, memilih dan memisahkan.

5. Sintesis (synthesis), jenjang ini menuntut seseorang untuk dapat menghasilkan suatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai factor. Hasil yang diperoleh dapat berupa tulisan, rencana atau mekanisme. Kata-kata operasional yang digunakan terdiri dari mengkategorikan, memodifikasi, merekontruksikan, mengorganisasikan, menyusun, membuat desain, menciptakan, menuliskan dan menceritakan.

6. Evaluasi (evaluation) adalah jenjang yang menuntut seseorang untuk dapat menilai suatu situasi, keadaan, pernyataan atau konsep berdasarkan suatu criteria tertentu. Hal penting dalam evaluasi ialah menciptakan kondisi sedemikian ruapa sehiingga peserta didik mampu mengembangkan criteria, standar atau ukuran untuk mengevaluasi sesuatu. Kata-kata operasional yang dapat digunakan antara lain menafsirkan, menentukan, menduga, mempertimbangjan, membenarkan dan mengkritik.

Menurut Majid (2004:48), Anderson dan Krathwol dalam Penilaian Autentik Proses dan Hasil Belajar membuat revisi tahun 2001 terhadap taksonomi Bloom pada tataran higher order thinking skills sehingga menjadi : 1. Mengingat (Remembering) yakni kemampuan mengingat bahan-bahan yang

(28)

27

2. Memahami (Understanding) yakni kemampuan memahami makna, translasi, interpolasi dan penafsiran bahan ajar serta masalah.

3. Menerapkan (Applying) yakni kemampuan menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dan lain-lain di dalam kondisi pembelajaran. Peserta didik mampu menerapkan apa yang dipelajari dalam kelas ke dalam situasi yang baru.

4. Menganalisis (Analysing) yakni kemampuan peserta didik menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali hubungannya dan mampu mengenali serta membedakan factor penyebab dan akibat dari scenario yang rumit.

5. Menilai (Evaluating) yakni kemampuan memberikan penilaian terhadap soulusi, gagasan, metodologi, prosedur kerja dan lain-lain dengan menggunakan criteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.

6. Menciptakan (Creating) yakni peserta didik menempatkan unsure-unsur bersama-sama untuk membentuk suatu keseluruhan yang koheren dan berfungsi, mengorganisasikan kembali unsure-unsur menjadi pola baru atau struktur baru melalui membangkitkan, merencanakan atau menghasilkan sesuatu.

(29)

28

menjadi kata kerja. Hal ini sesuai pada pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan peserta didik dalam mengerjakan sesuatu.

b. Ranah Afektif

Ranah afektif tentu berbeda dengan ranah kognitif yang lebih mementingkan kemampuan intelektual peserta didik. Menurut Majid (2004: 4), secara umum ranah afektif diartikan sebagai internalisasi sikap yang menunjuk kearah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu. Ranah ini tentunya membuat diri menjadikan diri sadar tentang nilai yang diterima. Nilai ini tentu akan mempengaruhi seseorang dalam menentukan sikap. Sikap-sikap yang dilakukan ini kemudian menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah laku berikutnya.

Hasil belajar afektif ini dikembangkan oleh Krathwohl, dkk., yang kemudian dituangkan dalam bukunya berjudul “Handbook II: The Affective

Domain” tahun 1964. Menurut Sukiman (2012: 67), Krathwohl menyatakan hasil

belajar afektif terdiri dari beberapa tingkat yakni receiving, responding, valuing, organization dan characterization by a value or value complex.

1. Receiving (Penerimaan)

Receiving yaitu kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang

(30)

29

2. Responding

Responding atau menanggapi mengandung arti “adanya partisipasi aktif”.

Kemampuan ini berkaitan dengan partisipasi peserta didik. Pada tingkat ini, peserta didik tidak hanya bersedia memperhatikan penjelasan guru atau bersedia menerima suatu nilai tertentu tetapi sudah memberikan reaksi secara lebih aktif. 3. Valuing ( Nilai Diri )

Valuing artinya memberikan penilaian pada suatu kegiatan atau objek

sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Penilaian ini berkaitan dengan nilai kepercayaan terhadap gejala atau stimulus.

4. Organization

Organization (mengatur atau mengorganisasikan) artinya mempertemukan

perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal yang membawa kepada perbaikan umum. Dalam hal ini terjadi penyatuan nilai-nilai yang berbeda dan lebih ditekankan pada membandingkan, menghubungkan dan mesistesiskan nilai-nilai.

5. Characterization by a value or value complex.

(31)

30

lakunya untuk waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakterisik pola hidup, tingkah lakunya menetap, dan konsisten.

c. Ranah Psikomotor

Menurut Sudjana (1996: 30), ranah psikomotor peserta didik berkaitan dengan keterampilan peserta didik saat proses belajar mengajar berlangsung. Hasil belajar psikomotor adalah hasil belajar yang berkaitan dengan keterampilan motorik dan kemampuan bertindak individu.

Menurut Sukiman (2012:74), Oemar Malik menyatakan hasil belajar psikomotor menunjukkan pada gerakan-gerakan jasmaniah yang dapat berupa pola-pola gerakan atau keterampilan fisik. Belajar keterampilan motorik menuntut kemampuan untuk merangkaikan sejumlah gerak-gerik jasmani hingga menjadi satu keseluruhan. Kemampuan psikomotor ini akan terlihat dengan sendirinya pada peserta didik tertentu, yakni peserta didik yang terbiasa melakukan kegiatan tersebut dan peserta didik yang memang memiliki kemampuan psikomotor yang tinggi sehingga dengan mudah keterampilan dirinya akan teamati atau terlihat.

Terdapat tujuh teori yang menjelaskan penjenjangan hasil belajar psikomotor oleh Elizabeth Shimpson tahun 1966. Menurut Sukiman (2012: 74), Shimpson mengemukakan tujuh jenjang yaitu persepsi, persiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, adaptasi dan kreativitas.

Penjelasan dari masing-masing tingkatan tersebut sebagai berikut: 1. Persepsi (Perception)

(32)

31

(kesadaran terhadap stimulus) melalui pemilihan isyarat (pemilihan tugas yang relevan).

2. Kesiapan (Set)

Kesiapan melakukan tindakan tertentu meliputi kesiapan mental, kesiapan fisik dan kesediaan sebelum maupun saat bertindak.

3. Gerakan terbimbing (Guided Response)

Gerakan terbimbing merupakan tahapan awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks. Hal ini meliputi peniruan atau pengulangan perbuatan yang telah didemonstrasikan dan trail and error atau penggunaan pendekatan ragam respon untuk mengidentifikasika respon yang tepat.

4. Gerakan terbiasa (Mechanism)

Gerakan ini berkenaan dengan kinerja dimana respon telah menjadi terbiasa dan gerakan-gerakan dilakukan dengan penuh keyakinan dan kecakapan. Hasil belajar level ini berkenaan dengan keterampilan berbagai tipe kinerja tetapi tingkat kompleksitas gerakannya lebih rendah dari level berikutnya.

5. Gerakan yang kompleks (Complex Overt Response)

Gerakan kompleks yaitu gerakan sangat terampil dengan pola-pola gerakan yang sangat komples. Keahliannya terindikasi dengan gerakan cepat, lancar, akurat dan menghabiskan energi yang minimum.

6. Gerakan pola penyesuaian (Adaptation)

(33)

32 7. Kreativitas (Origination)

Kreativitas menunjukkan kepada menciptaan pola-pola gerakan baru untuk menyesuaikan situasi tertentu. Hasil belajar untuk level ini menekankan kreativitas yang didasarkan pada keterampilan yang sangat hebat.

6. Pembelajaran Kooperatif (Coorperative Learning)

Pembelajaran kooperatif sering disebut pembelajaran secara berkelompok yang tentunya melibatkan beberapa peserta didik. Menurut Isjoni (2009:17), Johnson & Johnson menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah proses belajar mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok kelompok kecil yang memungkinkan peserta didik untuk bekerja secara bersama-sama. Pembelajaran kooperatif berguna dalam memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan satu sama lain.

(34)

33

didik lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru.

a. Komponen-Komponen Esensial Cooperative Learning

Menurut Johnson & Johnson (2012: 56), komponen komponen essensial yang harus disusun dalam pembelajaran kooperatif adalah interdependensi positif (terhubung antara satu sama lain), interaksi yang mendorong untuk menjelaskan secara lisan, tanggung jawab individual serta skil-skil interpersonal dan kelompok-kecil serta pemrosesan kelompok (group processing)

b. Prosedur Cooperative Learning

Menurut Sanjaya (2009:246), prosedur cooperative learning pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu:

1) Penjelasan Materi

Tahap ini diartikan sebagai penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum peserta didik belajar dalam kelompok oleh guru.

2) Belajar dalam kelompok

Pengelompokan dalam cooperative learning bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya.

3) Penilaian

(35)

34 4) Pengakuan tim

Pengakuan tim (team rocognition) adalah penetapan tim yang paling berprestasi untuk diberikan penghargaan atau hadiah.

7. Model Team Games Tournament (TGT)

Metode cooperative learning model Team Games Tournament atau Pertandingan Permainan Tim dikembangkan secara asli oleh David De Vries dan Keath Edward (1995). Menurut Trianto (2010:83), model TGT ini peserta didik memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka. Dengan kata lain, dalam penerapan model TGT ini seluruh peserta didik dituntut aktif. Peserta didik mewakili kelompoknya dalam sebuah games tournament untuk memperoleh skor atau poin yang kemudian digunakan sebagai wujud kontribusi dalam kelompoknya. Menurut Slavin (2005:163), TGT menggunakan turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, di mana para peserta didik berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka.

(36)

35 a) Presentasi

Meteri awal dalam TGT diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Siklus ini merupakan pengajaran langsung seperti pembelajaran yang dilakukan oleh guru sebagai bekal awal peserta didik. Materi yang disampaikan merupakan materi-materi yang bersifat dasar. Penyampaian materi dasar diharapkan dapat dijadikan bekal peserta didik dalam melakukan belajar tim dengan peserta didik lainnya.

b) Belajar Tim

Selama masa belajar tim, tugas setiap anggota tim adalah menguasai materi yang guru sampaikan di dalam kelas dan membantu teman sekelasnya untuk menguasai materi tersebut melalui lembar kegiatan dan lembar jawaban yang diberikan guru. Dalam siklus ini semua peserta didik dapat menggali informasi antara satu dengan yang lainnya dalam satu kelompok diskusi.

c) Games Tournament

Turnamen adalah sebuah struktur dimana games berlangsung. Biasanya berlangsung setelah tim melakukan kerja kelompok. Pada tahap ini memungkinakan peserta didik berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim jika mereka melakukan yang terbaik. Kontribusi masing-masing peserta didik dalam tahap ini bersifat lebih efisien karena para peserta didik memainkan games akademik ini bersama peserta didik lain yang kemampuannya homogen.

d) Rekognisi Tim

(37)

36

kelompok diskusinya. Tim akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

[image:37.595.116.523.208.461.2]

Berikut alur pembelajaran model TGT yang dikembangkan dalam penelitian ini :

Gambar 1. Alur Pembelajaran TGT

Pembelajaran diawali dengan presentasi oleh guru. Guru membawakan materi pengantar terkait hal-hal dasar pengetahuan bagi peserta didik. Kemudian peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok secara random sehingga terbentuk kelompok diskusi yang anggotanya memiliki kemampuan yang heterogen. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat saling bertukar pengetahuan. Satu kelompok diskusi terdiri dari empat orang peserta didik. Setelah melaksanakan diskusi kelompok, seluruh peserta didik melaksanakan kuis individual. Kuis individual ini dimaksudkan agar kemampuan masing-masing

(38)

37

anggota kelompok diskusi diketahui untuk kemudian hasil yang diperoleh diperingkat. Jadi, dalam setiap kelompok diskusi memiliki peserta didik peringkat I, II, III dan IV. Dilanjutkan dengan membagi kelompok games yakni berdasarkan peringkatnya. Dalam hal ini peringkat I kelompok diskusi 1 membentuk kelompok games dengan peringkat I kelompok diskusi 2 dan seterusnya. Dengan kemampuan yang homogen ini, satu kelompok games memiliki empat anggota yang siap melakukan games tournament. Dalam games ini masing-masing peserta didik akan bertanding melawan satu sama lain sehingga memperoleh masing-masing skor. Usai pertandingan skor yang diperoleh kemudian dikonversikan kedalam nilai kelompok sesuai dengan tabel kemajuan yang ada pada ketentuan games tournament (terlampir). Kegiatan selanjutnya adalah masing-masing peserta didik kembali menuju kelompok diskusi masing-masing untuk melaporkan nilai kemajuan yang diperolehnya dari games. Nilai yang terkumpul kemudian dirata-rata untuk dijadikan sebagai nilai kemajuan kelompok diskusi.

8. Hukum Newton Tentang Gerak

(39)

38

Newton (1642-1727), yang dipublikasikan dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica.

Untuk menganalisis prinsip-prinsip dinamika, diperlukan perpaduan antara konsep jarak, perpindahan, kecepatan, dan percepatan yang dihubungkan dengan gaya dan massa. Konsep ini dikemas dalam Hukum Newton tentang gerak. Gaya berarti tarikan atau dorongan suatu benda. Konsep gaya memberikan gambaran kuantitatif tentang interaksi antara dua benda dengan lingkungannya. Perlu diingat gaya merupakan besaran vektor maka untuk menggambarkan gaya mengikuti aturan penulisan vektor ( ⃗).

Sir Isaac Newton (1642 -1727), seorang ilmuwan Inggris mengemukakan tiga hukum yang berhubungan dengan gerak yang dikenal sebagai hukum I Newton, hukum II Newton dan hukum III Newton.

Hukum I Newton

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari banyak kejadian yang menunjukkan fenomena hukum I Newton tentang kelembaman suatu benda. Sebagai contoh, pengendara sepeda motor akan terdorong ke depan ketika motornya direm secara tiba- tiba. Sebaliknya pengendara sepeda motor akan terdorong ke belakang ketika motornya melaju ke depan secara tiba- tiba. Sifat benda dalam mempetahankan keadaannya disebut lembam atau inert.

(40)

39

“Jika resultan gaya pada suatu benda sama dengan nol, benda yang mula -mula diam akan terus diam. Sedangkan benda yang -mula--mula bergerak lurus beraturan akan terus bergerak dengan lurus beraturan.”

Secara matematis, hukum I Newton dinyatakan

∑ ̅ (benda dalam kesetimbangan) (1) Pada saat sebuah benda tidak dikenai gaya, atau beberapa penjumlahan gayanya sama dengan nol, maka benda tersebut dapat dikatakan dalam keadaaan kesetimbangan. Pada keadaan setimbang, sebuah benda dapat diam atau bergerak lurus beraturan. Untuk sebuah benda dalam keadaan setimbang, gaya total adalah nol (Sears, 2002: 97). Oleh karena itu, benda yang pada mulanya diam akan tetap diam, jika pada awalnya bergerak lurus beraturan akan tetap bergerak dengan arah yang sama dan kecepatan tetap.

Contoh dalam kehidupan sehari-hari antara lain :

1. Orang yang sedang duduk di atas mobil terdorong ke belakang saat mobil mulai berjalan maju.

2. Orang yang sedang duduk di atas bus terdorong ke depan setelah bus secara tiba-tiba direm.

3. Setumpuk buku diletakkkan di atas selembar kertas. Jika kertas tiba-tiba ditarik sambil dihentakkan, buku tersebut tidak ikut terbawa karena kelembamannya.

Hukum II Newton

(41)

40

mengalami percepatan. Suatu gaya total yang diberikan pada sebuah benda mungkin menyebabkan lajunya bertambah. Atau jika gaya total itu mempunyai arah yang berlawan dengan gerak benda, gaya tersebut akan memperkecil laju benda tersebut. Jika arah gaya total yang bekerja berbeda dengan arah gerak sebuah, maka akan menyebabkan arah kecepatan benda berubah. Perubahan kecepatan merupakan percepatan, maka dapat dikatakan bahwa gaya total ini menyebabkan munculnya percepatan benda. Kaitan percepatan dan resultan gaya ini yang diselidiki oleh Newton sehingga muncul hukum keduanya tentang gerak, yang dikenal sebagai Hukum II Newton.

“Percepatan yang dihasilkan oleh resultan gaya yang bekerja pada suatu

benda berbanding lurus dengan resultan gaya, searah dengan resultan gaya dan berbanding terbalik dengan massa benda.”

Secara matematis, hukum II Newton dinyatakan sebagai :

̅ ∑ ̅ (2)

Dimana ∑ ̅ adalah gaya total yang bekerja pada benda, dalam satuan Newton, m adalah massa benda dalam kg dan ̅ adalah percepatan yang dialami benda dalam m/s2. Perlu diingat bahwa massa benda cenderung selalu tetap.

Hukum II Newton menghubungkan antara deskripsi gerak dengan penyebabnya yakni gaya. Dari penjelasan tersebut, maka gaya dapat dikatakan sebagai sebuah aksi yang bisa mempercepat sebuah benda (Giancoli, 2001:95). Hukum III Newton

(42)

41

Newton menyadari bahwa tidak sepenuhnya demikian, dalam kasus martil medorong paku yakni gaya yang diberikan pada paku diberikan oleh martil. Dalam kasus ini paku jelas memberikan gaya pada martil tetapi kecepatan paku diperkecil sampai nol dengan cepat setelah terjadi kontak. Martil memberikan gaya pada paku dan paku memberikan gaya balik kepada martil.

Newton menyatakan bahwa gaya tunggal yang hanya melibatkan satu benda tak mungkin ada. Gaya hanya hadir jika sedikitnya ada dua benda yang berinteraksi. Pada interaksi ini gaya-gaya selalu berpasangan. Jika benda A mengerjakan gaya pada B, maka gaya B akan mengerjakan gaya pada A. Gaya pertama disebut sebagai gaya aksi dan gaya kedua disebut sebagai gaya reaksi.

Secara matematis dapat dituliskan

∑ ̅ ∑ ̅ (3)

Hukum ini kadang-kadang dinyatakan untuk setiap aksi ada rekasi yang sama dan berlawanan arah. Pernyataan ini memang benar, tetapi lebih tepat jika hukum III Newton dinyatakan bahwa gaya aksi dan gaya reaksi bekerja benda yang berbeda (Giancoli, 2001:91)

Contoh dalam kehidupan sehari-hari antara lain:

1. Bentuk telapak tangan berubah sesaat setelah menggeser almari kayu besar. 2. Seseorang yang berada di dalam perahu melempar sebuah benda kedepan,

perahu kemudian perlahan mulai bergerak ke belakang.

(43)

42 a. Mengenal Berbagai Jenis Gaya

Gaya adalah besaran vektor yang dapat dipandang sebagi tarikan atau dorongan. Gaya dapat menyebabkan benda diam menjadi bergerak dan benda yang sedang bergerak mengalami percepatan (perubahan kecepatan) atau perlambatan. Gaya dapat pula mengubah arah gerak dan bentuk suatu benda. Alat yang digunakan untuk mengukur gaya secara langsung adalah neraca pegas atau dynamometer.

Dalam hal ini akan membahas gaya yang menimbulkan gaya sentripetal, yakni gaya yang menyebabkan suatu benda dapat mengalami gerak melingkar. 1. Gaya berat

Gaya berat sering disebut berat. Berat (diberi lambang w dari kata weight) adalah gaya gravitasi bumi yang bekerja pada suatu benda yang memiliki massa. Menurut Sears (2002:105), berat sebuah benda dinyatakan sebagai sebuah gaya, sebuah besaran vektor. Gaya berat memiliki aerah menuju ke pusat bumi.

Dengan menggunakan hukum II Newton pada benda jatuh bebas, diperoleh hubungan antara berat dan massa, w = m g . Berat adalah gaya yang muncul akibat adanya percepatan gravitasi bumi (sering disebut gaya tarik bumi). Oleh karena itu, vektor berat selalu berarah tegak lurus pada permukaan bumi menuju pusat bumi.

2. Gaya normal

(44)

43

[image:44.595.238.409.181.342.2]

dua permukaan yang bersentuhan, yang arahnya selalu tegak lurus pada bidang sentuh.

Gambar 2. Arah gaya normal dalam berbagai posisi benda 3. Gaya gesek

Gaya gesek merupakan gaya yang terjadi karena bersentuhannya dua permukaan benda. Gaya gesek akan terjadi apabila dua buah benda saling bersentuhan dan bergerak berlawanan arah, relatif satu dengan yang lain. Gaya gesek yang melawan atau menahan gaya tarik atau dorong berbeda-beda besarnya. Besar gaya gesek tergantung pada keadaan permukaan benda yang saling bersentuhan. Pada permukaan yang licin besar gaya gesekan lebih kecil daripada gaya gesek yang terjadi pada permukaan yang kasar.

(45)

44

Gaya gesek statis bekerja ketika benda diam sampai sesaat sebelum benda akan bergerak. Besar gaya gesekan statis (tepat akan bergerak) dapat dinyatakan:

(4)

Sedangkan besar gaya gesekan kinetis adalah gaya gesek yang timbul antara kedua benda saat benda bergerak yang besarnya adalah

(5)

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa besar gaya gesek statis lebih besar daripada besar gaya gesek dinamis.

Dimana

: gaya gesek statis (N) : gaya gesek kinetis (N) : koefisien gesek statis benda : koefisien gesek kinetis benda

: gaya normal benda (N)

4. Gaya tegang tali

[image:45.595.230.422.659.734.2]

Tegangan tali adalah gaya tegang yang bekerja pada ujung-ujung tali karena tali tersebut tegang.

(46)

45 B. Penelitian yang Relevan

Sebelum penelitian ini dilaksanakan, ada beberapa penelitian tentang pengembangan instrumen penilaian dan penerapan metode Team Games Tournament (TGT) yang sudah penah dilaksanakan, antara lain :

1. Era Matha Risa Utama (2009), dengan judul penelitian “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas VIII SMP 2 Ngadirojo pada Materi Alat-Alat Optik”. Salah satu hasil penelitian menunjukan hasil belajar siswa ranah afektif dan psikomotor menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan hasil belajar siswa antara siswa yang mengikuti model pembelajaran Direct Instruction (DI) dan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif Team Games Tournament (TGT). Dengan data hasil belajar ranah psikomotor peserta didik menunjukkan nilai yang didapat siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif Team Games Tournament (TGT) memiliki rata-rata 80,57, sedikit lebih tinggi

dibandingkan dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran Direct Instruction (DI) yakni 78,56. Sedangkan data hasil belajar ranah afektif

peserta didik menunjukkan nilai yang didapat siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif Team Games Tournament (TGT) memiliki rata-rata 84,42, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran Direct Instruction (DI) yakni 82,82.

(47)

46

SMA/MA Kelas X Menggunakan Model Cooperative Learning Tipe Jigzaw.” Hasil penelitian ini adalah dihasilkan instrumen penilaian afektif melalui peer assessment dalam pembelajaran fisika menggunakan model cooperative tipe

jigsaw dengan nilai validitas instrumen memiliki rerata 3,60 dengan kategori interpretasi sangan baik dan nilai reliabilitas instrumen sebesar 88,76 % untuk kelompok ahli dan 86,64% untuk kelompok asal. Sedangkan untuk ketercapaian aspek afektif siswa melalui peer assessment sebesar 3,17 dengan interpretasi mendekati baik untuk kelompok ahli dan 3,49 dengan interpretasi mendekati baik untuk kelompok asal.

C. Kerangka Berpikir

Keberhasilan pembelajaran ditandai dengan adanya penilaian. Prinsip penilaian yang digunakan peneliti antara lain sahih, objektif, terbuka, menyeluruh, sistematis dan beracuan pada kriteria. Cara yang difokuskan oleh peneliti adalah kegiatan berdiskusi yang diikuti dengan tournamen pendidikan yang masing-masing kegiatan dievaluasi. Melalui penilaian, guru dapat mengetahui bagaimana dan sampai mana kemampuan afektif terhadap materi dan kemampuan psikomotor atau keterampilan mengenai materi yang disampaikan. Perlu ditekankan bahwa penilaian hasil belajar tidak hanya menyangkut kemampuan kognitif peserta didik.

(48)

47

selama peseta didik melakukan kegiatan diskusi dan games. Instrumen penilaian kemampuan afektif didasarkan pada aspek afektif dan psikomotor yang dikemukakan oleh Krathwohl yang akan disusun dalam bentuk rating scale dengan bantuan sistem ceklist indikator penilaian. Penyusunan instrumen didasarkan pada penjenjangan kemampuan psikomotor yaitu persepsi, persiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, adaptasi dan kreativitas

(49)

103 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitin dan analisis terhadap temuan-temuan selama penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Telah dihasilkan instrumen penilaian afektif yang layak digunakan pada pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA. Ditinjau dari nilai validitas, instrumen penilaian ini memiliki nilai CVR = 1,00 (kategori sangat esensial) karenanya instrumen penilaian afektif ini dikatakan valid. Sedangkan ditinjau dari nilai reliabilitas instrumen ini melalui perhitungan nilai koefisien alfa menggunakan ICC diperoleh sebesar 0,99 (kategori sangat reliabel).

2. Telah dihasilkan instrumen penilaian psikomotor yang layak digunakan pada pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya di kelas X SMA. Ditinjau dari nilai validitas, instrumen penilaian ini memiliki nilai CVR = 1,00 (kategori sangat esensial) karenanya instrumen penilaian psikomotor ini dikatakan valid. Sedangkan ditinjau dari nilai reliabilitas instrumen ini melalui perhitungan nilai koefisien alfa menggunakan ICC diperoleh sebesar 0,99 (kategori sangat reliabel).

(50)

104

20,34% peserta didik memiliki tingkat kemampuan afektif dalam kategori sangat tinggi, 50,85% peserta didik memiliki tingkat kemampuan afektif dalam kategori tinggi, 25,42% peserta didik memiliki tingkat kemampuan afektif yang sedang, 3,39% peserta didik memiliki tingkat kemampuan afektif dalam kategori rendah dan 0 % peserta didik memiliki tingkat kemampuan afektif dalam kategori sangat rendah.

4. Didapat hasil penilaian tingkat kemampuan psikomotor peserta didik dalam pembelajaran kooperatif metode TGT dalam mata pelajaran fisika materi Hukum Newton dan Penerapannya dengan kategori sebagai berikut 7,94% peserta didik memiliki tingkat kemampuan psikomotor dalam kategori sangat tinggi, 44,44 % peserta didik memiliki tingkat kemampuan psikomotor dalam kategori tinggi, 17,46% peserta didik memiliki tingkat kemampuan psikomotor yang sedang, 22,22% peserta didik memiliki tingkat kemampuan psikomotor dalam kategori rendah dan 7,94% peserta memiliki tingkat kemampuan psikomotor dalam kategori sangat rendah.

B.Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa saran untuk perbaikan penelitian pengembangan pada tahap lebih lanjut sebagai berikut.

(51)

105

kemampuan proses peserta didik sehingga perlu adanya waktu pembiasaan untuk memperoleh hasil yang optimal.

2. Agar pembelajaran yang dilaksanakan lebih efektif, guru sebaiknya menekankan peran masing masing peserta didik dalam kelompoknya sehingga peserta didik bersungguh-sungguh dalam mengikuti setiap rangkapan kegiatan pembelajaran.

(52)

106

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Asmawi, Zainul. (2005). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Azwar, Syaifuddin. (2007). Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______________. (2015). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fatahilah, Nurdin. (2013). Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Melalui Peer Assesment dalam Pembelajaran Fisika Siswa SMA/MA Kelas X menggunakan Model Cooperative Learning Tipe Jigzaw. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Giancoli, Douglas. (2001). Fisika (Edisi Kelima Jilid 1). Jakarta: Erlangga. Gliem, Joseph A & Rosemary Gliem. (2003). Calculating, Interpreting, and

Reporting Cronbach’s Alpha Reliability, Coefficient for Likert Type

Scales. Jurnal. Midwest Research to Practice Conference in Adult, Continuing, and Community Education.

Isjoni. (2009). Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.

Joesmani. (1988). Pengukuran dan Evaluasi dalam Pengajaran. Jakarta: P2LPTK.

Johnson, R Johnson & E Holubec.(2012). Colaborative Learning (Alih bahasa: Nurulita Yusron). Bandung: Nusa Penerbit

Majid, Abdul. (2004). Penilaian Autentik Proses dan Hasil Belajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Maulana, Puri. (2013). Hukum Newton, Berat, Gaya Normal, Tegangan Tali, Gaya Gesekan, Dinamika Gerak. Diakses gambar pada tanggal

7 Oktober 2015 pukul 09.05 WIB dari

https://www.google.com/search?q=tegangan+tali&new %3A.

Mulyadi. (2015). Peringkat Indonesia di Dunia. Diakses pada tanggal 30

September 2015 pukul 12.21 WIB dari

(53)

107

Mundilarto. (2010). Penilaian Hasil Belajar Fisika. Yogyakarta : P2IS UNY

Panagan, Mas’udi. (2015). Kondisi Pendidikan Bangsa Indonesia. Diakses tanggal 1 Oktober 2015 pukul 12.04 WIB dari http://www.kompasiana.com/www.masudi.panagan.com/kondisi-pendidikan-bangsa-indonesia_5530117b6ea834b9198b4651.

Purnomo, Sidik. (2008). Massa, Berat , Gaya Normal. Diakses pada tanggal

7 Oktober 2015 pukul 09.20 WIB dari

http://sidikpurnomo.net/massa-berat-gaya-normal.html.

Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Bandung: Rajawali Press.

Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sardiman. (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Gratindo Persada.

Slavin, Robert E. (2005). Cooperative Learning : Teori, Riset dan Praktik. (Alih bahasa : Nurulita Yusron). Bandung : Nusa Media.

Sudjiono, Anas. (2001). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudjana, Nana. (1996). Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sugiharto, dkk. (2013). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Sukiman. (2012). Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogyakarta: Insan

Madiri.

Thiagarajan, S; Semmel, D.S & Semmel, M.I. (1974). Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children: A Sourcebook. Indiana: Indiana University.

Trianto, (2010). Model Pembelajaran Terpadu : Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.

Tim Penyusun Panduan Pengajaran Mikro. (2015). Panduan Pengajaran Mikro. Yogyakarta: UPPL UNY.

(54)

108

Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas VIII SMP 2 Ngadirojo pada Materi Alat-alat Optik. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Widyoko, Eko Putro. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gambar

Gambar 1. Alur Pembelajaran TGT
Gambar 2. Arah gaya normal dalam berbagai posisi benda
Gambar 3. Arah gaya tegang tali dalam sistem

Referensi

Dokumen terkait

1) Motivasi berkelompok (potensi sosial) sudah baik yang ditunjukkan dengan minimal 2/3 kehadiran anggota pada setiap pertemuan yang diadakan. 2) Kerja sama kelompok

Pembahasan tentang proses pembangunan tidak dapat dan tidak boleh jauh dari besar dan mendesaknya berbagai masalah yang mengancam masyarakat

Pada umumnya hampir semua logam transisi dapat digunakan sebagai situs aktif katalis untuk hidrogenasi karena mempunyai elektron tak berpasangan sehingga mudah berikatan

Visi Poros Maritim Dunia yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2014 membutuhkan dukungan pemangku kepentingan terkait, termasuk Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana

KONTEN-KONTEN TERTENTU. SEHINGGA GURU AKAN TERUS BERUSAHA AGAR TATARAN BELAJAR TEPAT, PEMIKIRAN DAN TINDAKAN PEMBELAJARAN AKAN TETAP FOKUS DALAM KETERAMPILAN BERPIKIR DAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Penerapan Levels of Inquiry dalam Meningkatkan Domain Kompetensi Literasi Saintifik Siswa SMA pada

Laporan ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik Mesin di Departemen Teknik Mesin Fakultas

Peneliti hanya menggunakan objek penelitian pada perusahaan perbankan serta terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014 dengan menggunakan data tahunan dari