• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Keuangan Negara di Tinjau dari Tindak Pemerintahan di Lapangan Keperdataan T2 322014021 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Keuangan Negara di Tinjau dari Tindak Pemerintahan di Lapangan Keperdataan T2 322014021 BAB IV"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

88

BAB IV

KONSEP TENTANG KEUANGAN

NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK

PEMERINTAHAN

A. Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Sistem Peraturan

Perundang-Undangan Di Indonesia

Dalam sub bab ini penulis hendak menyampaikan kenyataan yang

terjadi bahwa konsep keuangan negara dalam berbagai peraturan

perundang-undangan saling bertentangan antara satu dengan yang lain (antinomi).

Dengan memahami Konsep Tindak Pemerintah (dalam hukum publik dan

privat) akan dengan mudah mangetahui bahwa se yogyanya undang-undang

yang mengatur tentang keuangan negara haruslah sejalan dengan prinsip

yang terkandung di dalam Tindak Pemerintah tersebut, sehingga adanya

antinomi antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang

(2)

89

seharusnya menjadi dasar dari pengaturan terhadap keuangan negara

terkhususnya kekayaan negara yang dipisahkan.

Berikut dibawah ini akan dijabarkan berbagai konsep tentang keuangan

negara dan/atau kekayaan negara yang dipisahkan dalam berbagai peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Salah satu perubahan penting dari amandemen ketiga UUD NRI 1945

yaitu pada Bab VIII Pasal 23 tentang Keuangan Negara yaitu :

1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

Pasal 23C

Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.

Pada Pasal 23 UUD NRI 1945 inilah yang menjadi dasar hadirnya

(3)

90

dengan jelas menyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara” (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara...” Namun terhadap Pasal 23 ini, terdapat berbagai interpretasi dari berbagai

ahli hukum, bahkan pembentuk undang-undang sendiri yang

berbeda-beda. Arifin Soeria Atmadja, menyatakan bahwa rumusan definisi dan

penjelasan keuangan negara yang bergulir sejak 1945 berdasarkan Pasal

23 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 (naskah asli) sampai dengan

perubahan ketiga UUD 1945, khususnya Pasal 23, Pasal 23C, Bab VIIIA

Pasal 23E, tetap tidak jelas dan masih menyisahkan masalah yang cukup

serius, baik dari segi hukum maupun dari segi akuntansi. Afirin

mengatakan bahwa ketidakjelasan dari Pasal 23 tersebut membawa

berbagai macam interpretasi dari berbagai pihak terhadap konsep

keuangan negara.97 Arifin sendiri dalam disertasinya, menggambarkan

dualism pengertian keuangan negara, yakni pengertian keuangan negara

dalam arti yang luas dan pengertian dalam arti yang sempit. Pengertian

keuangan negara dalam arti luas yang dimaksud ialah keuangan yang

berasal dari APBN, APBD, dan keuangan yang berasal dari Unit Usaha

Negara atau Perusahaan-perusahaan milik negara. Sedangkan pengertian

97

(4)

91

keuangan negara dalam arti yang sempit adalah keuangan yang berasal

dari APBN saja.98

Interpretasi terhadap Pasal 23 UUD NRI 1945 membuat beragamnya

konsep keuangan negara. Menggunakan metode interpretasi adalah salah

satu cara dari para ahli untuk melihat konsep keuangan negara, selain

konsep keuangan negara itu sendiri yang dapat dilihat dari segi

pengelolaan dan pertanggungjawabannya. Arifin Soeria Atmadja

menyatakan bahwa konsep keuangan negara dapat dipahami atas tiga

interpretasi atau penafsiran terhadap Pasal 23 UUD 1945 yang

merupakan landasan konstitusional keuangan negara. Penafsiran

pertama, keuangan negara diartikan secara sempit yang hanya meliputi

keuangan negara yang bersumber dari APBN. Penafsiran kedua,

keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang

berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya

seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara.

penafsiran ketiga, dilakukan melalui pendekatan sistematik dan

sosiologis, maksudnya apabila tujuan menafsirkan keuangan negara

tersebut dimaksudkan didasarkan pada sistem pengurusan dan

98

(5)

92

pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut

adalah sempit.99

Berdasarkan pasal 23 tersebut maka hadirlah paket undang-undang

yang mengatur tentang keuangan negara. Namun hadirnya paket

udang-undang keuangan negara tersebut justru me nimbulkan masalah baru.

Berbagai ketentuan norma di dalam undang- undang tersebut saling

bertentangan dengan undang-undang lainnya, seperti undang-undang

tentang BUMN dan undang- undang tentang keuangan negara.

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

Dalam Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini menyatakan:

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kemudian pada Pasal 2 menyatakan :

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

99

(6)

93

c) Penerimaan Negara; d) Pengeluaran Negara; e) Penerimaan Daerah; f) Pengeluaran Daerah;

g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 huruf (g) ini secara tegas menyatakan

bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan tetaplah

berstatus kekayaan negara. Dengan pasal ini, maka Badan Pemeriksa

Keuangan memiliki wewenang untuk mengaudit keuangan Badan Usaha

Milik Negara (Persero). Pasal tersebut menunjukan bahwa penyusun

undang-undang tidak membedakan secara yuridis prinsipil dan

konsekuen antara hukum publik dan hukum privat. Selain itu ketentuan

di dalam undang-undang ini menunjukan bahwa dalam menyusun

norma-norma di dalam peraturan perundangan ini, penyusunan

undang-undang ini juga tidak berdasarkan pada konsep tindak pemerintahan.

Padahal justru dengan mengacu pada konsep inilah yang akan menjadi

(7)

94

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembe rantasan

Tindak Pidana Korupsi

Di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi pada penjelasan undang- undang tersebut dikatakan bahwa:

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Hal ini meunjukan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara, bukanlah satu-satunya yang memuat konsep

keuangan negara. Konsep keuangan negara juga terdapat di dalam

(8)

95

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan

Negara

Di dalam undang- undang ini pada Pasal 1 angka (6) menyatakan bahwa :

Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

Hal yang menarik berkaitan dengan pasal tersebut terdapat dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia

Urusan Piutang Negara (PUPN) khususnya pendapat Mahkamah pada

paragraf (3.17) dan (3.19) menyatakan bahwa :

Paragraf (3.17) ;

(9)

96

Dan paragraf (3.19) yang menyatakan bahwa :

Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam paragraph [3.15] sampai dengan paragraf [3.18] di atas, menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN Piutang Bank -Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN.

Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah 73 Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT;

Putusan Mahkamah Konstitusi ini ingin menyatakan secara tegas

bahwa Keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, BUMN merupakan

badan usaha yang memiliki kekayaan sendiri dan terpisah dari kekayaan

negara. Oleh karena keuangan BUMN bukan lagi keuangan negara, maka

piutang BUMN bukan lagi menjadi piutang negara, piutang negara hanya

(10)

97

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan

Undang-undang ini dalam ketentuannya juga menyinggung tentang

keuangan negara. Dalam Pasal 46 ayat (1) dikatakan bahwa:

Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dan di dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “keuangan negara”

adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada saat kebijakan

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dan/atau

dilaksanakan. Ini menunjukan bahwa undang-undang tentang otoritas

jasa keuangan memaknai keuangan negara hanya sebatas Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Berbagai antinomi yang terjadi diantara peraturan perundang-undangan

membuat tidak adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan dan pengelolaan

hal- hal yang berkaitan dengan keuangan negara terkhususnya kekayaan

negara yang dipisahkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini

tentu menjadi dilema tersendiri bagi pimpinan Badan Usaha Milik Negara.

Dalam menjalankan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara pada direksi

(11)

98

menjankan usahanya. Padahal sebagai entitas hukum bisnis, dalam

menjalankan usahanya kentungan dan kerugian bagaikan dua sisi koin yang

tak terpisahkan. Sehingga ketika BUMN merugi adalah sesuatu yang wajar

dalam menjalankan usaha.

Sebagai sebuah sistem, ketika dalam peraturan perundang-undangan

terjadi antinomi, maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik atau asas

preverensi. Dalam sistem tidak dikehendaki adanya saling pertentangan

antara pelbagai peraturan perundang-undangan. Pertentangan hanya akan

meruntuhkan otoritas dari sistem peraturan perundang- undangan itu sendiri

yaitu timbulnya ketidakpastian hukum. Hal ini menunjukan bahwa di dalam

suatu sistem terhadap suatu permasalahan telah tersedia solusi untuk setiap

persoalan yang muncul. Menjadi fokus penulis adalah pertentangan antara

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan UU No. 19 Tahun

2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam UU No. 17 Tahun 2003

Pasal 1 ayat (1) menyatakan:

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kemudian pada Pasal 2 menyatakan :

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman;

b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

(12)

99

d) Pengeluaran Negara; e) Penerimaan Daerah; f) Pengeluaran Daerah;

g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.

Melihat norma yang termuat dalam pasal 1 dan pasal 2 tersebut,

menunjukan bahwa UU tentang Keuangan Negara memposisikan kekayaan

negara yang berada di dalam BUMN sebagai keuangan negara. Padahal jika

melihat dalam UU tentang BUMN sendiri dalam Pasal 4 ayat (1)

menyatakan bahwa “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan

negara yang dipisahkan”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut

dikatakan bahwa

“Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Menjadi permasalahan ketika dua peraturan perundang-undangan

menyatakan hal yang bertentangan satu dengan lain. Untuk menyelesaikan

ini penulis menggunakan asas lex specialis derogate legi generalis, yang

(13)

100

akan mengesampingkan aturan hukum yang umum (Keuangan Negara).

Aturan yang bersifat khusus mengatur sesuatu dalam hal ini tentang Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN

itu sendiri dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 4 ayat (1) UU BUMN.

Sedangkan aturan yang bersifat umum yaitu UU tentang Keuangan Negara,

dimana hanya dalam pasal 2 huruf (g) yang menyatakan kekayaan yang

sudah dipisahkan di dalam BUMN masih berstatus uang negara, padahal jika

dilihat aturan khusus yang mengatur BUMN itu sendiri menyatakan bahwa

pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara

untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya

pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran

pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya

didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Oleh karena itu sebagaimana yang sudah tersurat di dalam UU BUMN

itu sendiri, maka antinomi ini dapat diatasi dengan menggunakan asas lex

specialis derogate legi generalis, dimana UU No. 19 Tahun 2003 tentang

BUMN dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

mengesampingkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Terdapat hal menarik lainnya terhadap berbagai antinomi yang terjadi,

(14)

101

negara. Berbagai permasalahan yang terjadi tersebut membuat

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2 Huruf G

dan Huruf I tersebut diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap Pasal-pasal

yang diujikan tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

48/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan

para Pemohon untuk seluruhnya. Salah satu pendapat Mahkamah ialah pada

paragraf (3.16) yang menyatakan :

“... Rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif denga tujuan untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh dari melalui pajak, retribusi maupun penerimaan negara bukan pajak. Pengertian ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/komprehensif tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya celah dalam regulasi yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian negara. Mahkamah juga telah mempertimbangkan bahwa BHMN PT atau BUMN/BUMD merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT atau BUMN/BUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan negara, meskipun harus dipahami dengan mempergunakan paradigm yang berbeda-beda.

(15)

102

di dalam UUD 1945, yaitu pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, hingga ke pasal-pasal yang terdapat di dalamnya, mencita-citakan pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Besarnya peran dan fungsi BHMN PT atau BUMN/BUMD dalam mengelola keuangan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, harus diiringi pula dengan penegasan bahwa pengelolaan terhadap sarana dan prasarana milik negara yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan paradigma yang berlaku. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.”

Pertimbangan dan Putusan Mahkamah ini akan sangat berbeda jauh terhadap Putusan Mahkamah Nomor 77/PUU-IX/2011. Dalam kasus ini Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dengan salah satu pertimbangan yang menarik yaitu pada paragraf (3.17)

(16)

103

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT);

Terlihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013

dan Putusan Nomor 77/PUU-IX/2011 saling bertentangan. Pada putusan

yang pertama Mahkamah menyatakan dengan tegas bahwa “...BUMN/BUMD

merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan

fungsi pemerintahan dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT

atau BUMN/BUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan negara

sedangkan dilain sisi, Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang

memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan

pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN

tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dengan demikian, tergambarkan dengan jelas berbagai antinomi yang

terjadi terhadap keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan.

Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 merupakan salah satu

(17)

104 B. Implikasi Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Tataran

Praktis

Konsep keuangan negara yang tidak bangun berdasarkan pemahaman

tentang asas/prinsip yang melandasi tindak pemerintahan mengakibatkan

adanya pertentangan yang terjadi (antinomi) antara norma-norma yang

berkaitan dengan keuangan negara. Pemahaman tentang keuangan negara

yang tidak dibangun berdasarkan konsep Tindak Pemerintahan tersebut

bukan hanya berimplikasi pada tataran normatif dengan adanya antinomi

antar norma-norma yang berkaitan dengan keuangan negara, namun juga

berdampak pada tataran praktis. Implikasi yang terjadi dalam tataran praktis

antara lain :

1) Tidak Ada Kepastian Hukum

Tidak adanya kepastian hukum disini, akibat Pasal 2 huruf (g) dan huruf

(i) dari UU Keuangan Negara. Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara

menyatakan bahwa:

“keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1,

meliputi: ...

(18)

105

Norma di dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara mengartikan bahwa kekayaan negara yang telah

dipisahkan sebagai penyertaan di dalam BUMN masih berstatus sebagai

keuangan negara. Dengan demikian implikasi yuridis dari status uang

negara tersebut yaitu keberlakuan asas-asas maupun peraturan

perundang-undangan di dalam hukum publik seperti UU No. 15 Tahun

2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan UU No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap uang tersebut.

Sedangkan di dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dalam pasal

11 ditegaskan bahwa terhadap persero (BUMN) berlaku segala ketentuan

dan prinsip-prinsip bagi perseroan terbatas sebagaimana yang diatur

dalam UU Perseroan Terbatas dan ketentuan Pasar Modal bagi BUMN

yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public).

Hal inilah yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dimana

disatu sisi uang yang berada di dalam BUMN masih diposisikan sebagai

uang negara yang mengakibatkan pengaturan tentang uang tersebut

tunduk dalam UU tentang Keuangan Negara, UU tentang BPK dan UU

tentang Tipikor, sedangkan disisi yang lain uang yang telah berada di

dalam BUMN tersebut terhadapnya tunduk dan mengikuti norma-norma

yang berada di dalam UU tentang Perseroan Terbatas dan UU tentang

(19)

106

2) BUMN Menjadi Objek Pe meriksaan Auditor Negara

Hal ini menjadi sangat tidak logis ketika BUMN menjadi objek

Pemeriksaan Auditor Negara100 dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK). Padahal uang negara yang telah dijadikan penyertaan modal dalam

BUMN telah berstransformasi menjadi uang privat dimana seluruh

aktivitasnya tunduk dalam hukum privat. Hal ini merupakan konsekuensi

yuridis dari Tindak Pemerintahan dalam Hukum Publik dan Tindak

Pemerintahan Dalam Hukum Privat.

Hal ini juga selaras dengan pasal 11 UU tersebut menyatakan :

Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Oleh karenanya tidaklah tepat ketika BUMN menjadi objek pemeriksaan

oleh Badan Pemeriksa Keuangan, melainkan seharusnya oleh auditor

eksternal (akuntan publik) yang ditetapkan oleh RUPS sebagaimana yang

diatur di dalam UU No. 40 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun

2003 tentang BUMN.

100

(20)

107

3) Ketakutan Direksi BUMN Dalam Mengambil Keputusan Bisnis

Kasus E.C.W Neloe adalah salah satu kasus fenomenal yang

membuktikan bahwa keputusan bisnis (Business Judgment) yang dipandang

bermasalah dari segi penegak hukum dapat dibawah kedalam ranah

pengadilan.

Ketakutan direksi BUMN ini tidak terlepas dari tidak adanya kepastian

hukum dalam aktivitas BUMN, dimana masih terdapat perbedaan

pemaknaan konsep keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan

di BUMN. Perbedaan pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut

akhirnya membuat para Direksi BUMN (Persero) tersebut menjadi takut

mengambil keputusan bisnis karena selalu diperhadapkan kepada ancaman

resiko kerugian keuangan negara yang bermuara pada tindak pidana korupsi.

4) Fatwa Hukum MA No. WKMA.Yud/20/VIII/2006

Fatwa ini dikeluarkan karena Menteri Keuangan Sri Mulyani

memohon fatwa soal kekayaan negara di BUMN yang berkaitan dengan

adanya antinomi antara UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan antara lain :

1) Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi :

“Badan usaha milik negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah

badan usaha negara yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal

(21)

108

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyatakan bahwa “Modal BUMN dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

2) Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan Undang-Undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berdasarkan dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistim APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

3) Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan,

“Piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada

pemerintah pusat dan atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang

sah”.

Bahwa oleh karena itu, piutang BUMN bukanlah piutang negara.

(22)

109

piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasinya sebagaimana mestinya kepada panitia urusan piutang negara. Namun ketentuan tentang Piutang BUMN dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialist) dan lebih baru dari Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun 1960.

5) Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi:

Keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1 meliputi: g) Kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain

berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak -hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah.

Yang dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai

kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan

daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Timbulnya Fatwa Mahkamah Agung tersebut di atas menunjukan

secara tegas telah terjadi antinomi peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan keuangan negara. Walaupun Fatwa Mahkamah Agung

hanya sebuah pendapat hukum (Legal Opinion) Mahkamah Agung yang

tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, keberlakuannya tentunya

dapat atau tidak dapat digunakan oleh Hakim di dalam memberikan

pertimbangan dalam putusannya. Hal ini secara langsung atau tidak langsung

(23)

110

hukum terutama yang berkaitan dengan kedudukan hukum keuangan negara

dalam Badan Usaha Milik Negara baik dari sisi negatif atau sisi positifnya.101

C. Konsep Pengaturan Tentang Keuangan Negara Yang Ideal

Berdasarkan Tindak Pemerintah

Berkaitan dengan judul dari pembahasan ini menunjukan bahwasanya

konsep pengaturan tentang keuangan negara pada saat ini yang termuat di

dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara belumlah ideal.

Konsep dari keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan

merupakan salah satu contoh dari berbagai hal yang dipandang bermasalah di

dalam UU No. 17 Tahun 2003 tersebut. Akibatnya, konsep keuangan negara

menjadi tidak rasional karena peraturan perundang- undangan dan kebijakan

yang mengatur keuangan negara tidak sejalan dengan konsep tindak

pemerintahan.

Penulis bergerak pada pendirian bahwa pengaturan tentang keuangan

negara yang ideal haruslah dibangun berdasarkan konsep tindak

pemerintahan. Konsep Tindak Pemerintah dalam hukum publik dan tindak

101

(24)

111

Pemerintahan dalam hukum privat, haruslah menjadi dasar dari konsep

keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan memahami

dan membedakan konsep Tindak Pemerintahan dalam lapangan hukum

publik maupun dalam lapangan keperdataan, maka pembentuk peraturan

perundang-undangan dapat mengetahui bahwa terhadap pembedaan tindak

pemerintahan tersebut membawa implikasi tersendiri terhadap status uang

tersebut yaitu status uang negara dan uang privat (BUMN). Dengan status

uang yang berbeda tersebut menentukan rezim hukum mana yang berlaku.

Jika status hukum uang tersebut ialah uang negara maka rezim hukum publik

yang berlaku dan sebaliknya jika status hukum uang tersebut ialah uang

privat maka rezim hukum perdata yang berlaku.

Oleh karenanya, pengaturan tentang keuangan negara yang ideal

harusnya mencerminkan pembedaan terhadap status hukum uang sebagai

implikasi dari Konsep Tindak Pemerintahan tersebut. Intervensi hukum

publik dalam ranah hukum privat, dimana status hukum uang privat tercakup

dalam uang negara hanya akan menambah masalah baru, karena hukum

privat memiliki pengaturannya sendiri beserta dengan asas-asas yang berlaku

di dalamnya. Sehingga status hukum uang privat di dalam BUMN

sepenuhnya tunduk dalam pengaturan hukum perdata.

Dengan mengacu pada Tindak Pemerintahan, maka status hukum uang

(25)

112

uang negara. Status hukum uang tersebut merupakan salah satu contoh dari

Tindak Pemerintah Dalam Hukum Privat (jure gestionis) dimana aturan

dalam lapangan keperdataan yang berlaku. Oleh karenanya Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah berlaku bagi

BUMN tersebut. Selain itu juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

tentang Badan Usaha Milik Negara dengan pengecualian terhadap

Undang-Undang ini berkaitan dengan Pasal 71 ayat (2) yang menyatakan :

“Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan

pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal tersebut jika dicermati tidaklah sesuai dengan konsep tindak

pemerintah dalam lapangan keperdataan. Karena status hukum uang yang

berada di dalam BUMN tidaklah berstatus uang negara.

Sedangkan teruntuk tindak pemerintahan dalam ranah hukum publik

dimana status hukum uang tersebut adalah uang negara maka paket

Undang-Undang Bidang Keuangan Negara yang berlaku yaitu UU No. 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara serta UU terkait

lainnya.

Namun terkadang ada hal- hal yang perlu di pahami bahwa tindak

(26)

113

tidaklah sama dengan tindak keperdataan yang dilakukan oleh warga pada

umumnya, bahkan terkadang tindak pemerintah tersebut baik publik maupun

privat saling berjalan bersama-sama. Menurut Indroharto, dalam kenyataan

bahwa posisi pemerintah adalah serba khusus sekalipun dalam hubungan

perdata, disebabkan karena Pemerintah tidak dapat melepaskan dirinya

sebagai penjaga dan pemelihara kepentingan umum, dengan kewajiban

memperhatikan ketentuan hukum publik pada umumnya dan kekuatan

mengikat perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat apalagi tentang

wewenang pemerintah tidak dapat sama atau seperti perjanjian antar

warga.102 Dalam lapangan keperdataan meskipun kedudukan pemerintah

sama dengan swasta tetapi ada keleluasaan yang diberikan kepada

pemerintah yang melakukan hubungan keperdataan. Misalnya jika

perorangan pada umumnya untuk mengakhiri perjanjian harus ada

kesepakatan diantara kedua belah pihak, namun pemerintah demi

kepentingan umum dapat mengakhiri secara sepihak.

Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara privatnya negara

dengan privatnya orang perorangan pad a biasanya, dimana masih ada unsur

kekuasaan publik disana selain prinsip umum dalam lapangan keperdataan

102

(27)

114

bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak (pacta sunt

servanda). Hal demikian terlihat bahwa sulit untuk menampik nuansa hukum

publik dalam perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat. Sebagai

contoh ialah kontrak kerja pemerintah dengan pihak swasta dalam hal

pengadaan barang dan jasa. Dalam kontrak kerja tersebut terdapat berbagai

rezim hukum (publik dan privat) yang berlaku dan mengatur berbagai

tindakan pemerintah dan pihak swasta. Rezim hukum publik karena proses

pengadaan barang dan jasa bersumber dari Peraturan Presiden Nomor 54

Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta

perubahannya103 namun hubungan yang dibangun bersifat keperdataan

karena didasarkan pada kontrak antara para pihak. Disini terlihat bahwa

nuansa publik dan privat dalam kontrak kerja pemerintah ini. Oleh karena itu

menjadi penting dalam menentukan garis batas (scheidingslijn) tindak

pemerintahan apakah bersifat publik atau privat. Penulis berpendapat ketika

pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan, terdapat hal- hal terntentu

yang bersifat privat karena memang sifatnya privat dan terdapat hal- hal

tertentu yang bersifat publik. Namun terkhususnya untuk rezim publik

batasan terhadap hal tersebut ialah sepanjang menyangkut penggunaan uang

103

(28)

115

negara dalam transaksi. Hal ini penting untuk mencegah masuknya Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelaksanaan kontrak tersebut, jika

pada akhirnya terdapat hal- hal yang dianggap merugikan keuangan negara.

oleh karenanya penyelesaian terhadap hal tersebut biarlah diselesaikan

dengan ketentuan hukum privat dan berdasarkan kesepakatan para pihak

Referensi

Dokumen terkait

to prepare students for a career as a Market Researcher or Database Designer who be able to analyze any kind of. data that emerge in databases to extract information, it also

University to provide students with knowledge and skills to develop and create a variety of applied technology in the.. field of

Tidak sedang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah atau sedang dalam proses pengangkatan sebagai Kepala Sekolah atau sedang dalam transisi alih tugas

Dilihat dari faktor daya tahan, roti yang berkualitas mampu bertahan hingga 2 haritanpa bahan pengawet, hal ini karena roti yang bagus memiliki kelembaban yang baik.Kualitas

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh tingkat hunian kamar terhadap biaya pembelian bahan makanan di Indriya Cafe Trizara Resorts Lembang periode

Media yang digunakan dalam bimbingan dan konseling tidak hanya satu atau dua media, melainkan banyak media yang digunakan untuk menunjang materi yang diberikan oleh guru

Sumber : Hasil Data Kuesioner Pertanyaan Ke Duapuluh Satu Penelitian Tanggal 1 – 6 Februari 2017.. Dari data tersebut tentunya bisa menggambarkan bahwa masyarakat tidak

[r]