• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Mengenai Gambaran Lima Dimensi Religiusitas pada Dewasa Awal Pelaku Pre-Marital Sexual Intercourse di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Mengenai Gambaran Lima Dimensi Religiusitas pada Dewasa Awal Pelaku Pre-Marital Sexual Intercourse di Kota Bandung."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

vii

Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui gambaran dinamika lima dimensi religiusitas pada dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse di kota Bandung. Pemilihan subjek menggunakan teknik purposive sampling. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang dan memenuhi karakteristik telah melakukan tindakan pre-marital sexual intercourse dan berada dalam rentang usia dewasa awal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara rinci mengenai gambaran lima dimensi religiusitas pada dua subjek dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse di kota Bandung beserta faktor-faktor lain yang berkaitan.

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Alat ukur yang digunakan berupa Semi-Structured Interviewed Guide yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori religiusitas Glock & Stark (1965). Data dari hasil wawancara yang diperoleh diolah menggunakan coding analysis.

Berdasarkan pengolahan data menggunakan coding analysis diperoleh hasil bahwa dari gambaran dimensi religiusitas pada kedua subjek terdapat perbedaan kualitas di setiap dimensinya. Selain itu, terdapat perbedaan pengaruh faktor eksternal pada penentuan kualitas kelima dimensi religiusitas pada setiap subjek.

Kesimpulan yang diperoleh adalah gambaran lima dimensi religiusitas pada kedua subjek dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse memiliki perbedaan yang signifikan dan menunjukkan adanya pengaruh faktor eksternal. Selain itu, terlihat juga adanya keterkaitan antar dimensi pada penggambaran lima dimensi religiusitas kedua subjek dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse.

(2)

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

The research is applied to know the dynamic of five dimensions religiosity of people who perform pre-marital sexual intercourse in early adulthood at Bandung. In this research, the subject is chosen using purposive sampling method. The subject of this research is two people and have fulfilled the characteristics criteria that the subject has perform pre-marital sexual intercourse in their early adulthood. The purpose of this research is to explain how five dimensions religiosity and all the related factors in pre-marital sexual intercourse at Bandung The model of the research is case study. The method used in this research is Semi-Structured Interviewed Guide based on the theory of religiosity by Glock & Stark (1965). The data from interviews is processed using coding analysis.

Based on the result of data processed, there is quality difference in every dimensions from two subjects. Furthermore, there are difference of external antecendant factors in determining the quality of five dimensions in each subject.

The conclusion obtained from this research that there is a significant difference and external factors from the two subjects of pre-marital sexual intercourse. Moreover, is obtained that there is also relation among the dimensions of five dimensions religiosity of people who perform pre-marital sexual intercourse in early adulthood.

(3)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR ORISINALITAS LAPORAN

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 9

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1. Maksud Penelitian ... 9

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 9

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 9

1.5. Kerangka Pemikiran ... 10

(4)

Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1. Religiusitas, Spiritualitas, dan Agama ... 18

2.2. Lima Dimensi Religiusitas ... 20

2.2.1. Dimensi Ideologis ... 22

2.2.2. Dimensi Praktik ... 26

2.2.3. Dimensi Pengalaman dan Penghayatan ... 28

2.2.4. Dimensi Pengetahuan ... 31

2.2.5. Dimensi Pengamalan dan Konsekuensi ... 33

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas ... 36

2.4. Seksualitas dalam Pandangan Kristiani ... 38

2.5. Tahap Perkembangan Dewasa Awal ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 46

3.2. Bagan Rancangan Penelitian ... 47

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 47

3.3.1. Variabel Penelitian ... 47

3.3.2. Definisi Operasional ... 47

3.4. Alat Ukur ... 48

3.5. Validitas Penelitian ... 49

3.6. Reliabilitas Penelitian ... 49

3.7. Subjek Penelitian ... 50

(5)

xi

Universitas Kristen Maranatha

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1.Hasil Penelitian ... 52

4.1.1. Hasil Subjek A ... 52

4.1.2. Hasil Subjek B ... 59

4.1.3. Perbandingan Hasil ... 65

4.2.Pembahasan Kasus ... 71

4.2.1. Subjek A ... 71

4.2.2. Subjek B ... 78

4.2.3. Perbandingan Kasus ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

5.1. Simpulan ... 88

5.2. Saran ... 89

5.2.1. Saran Teoritis ... 89

5.2.2. Saran Praktis ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

DAFTAR RUJUKAN ... 93

(6)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

(7)

xiii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran...16

(8)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Kerangka Wawancara Lima Dimensi Religiusitas

LAMPIRAN 2 Hasil Wawancara Subjek A LAMPIRAN 3 Hasil Wawancara Subjek B LAMPIRAN 4 Transkrip Koding Subjek A

LAMPIRAN 5 Transkrip Koding Subjek B LAMPIRAN 6 Open Coding

LAMPIRAN 7 Axial Coding Subjek A LAMPIRAN 8 Axial Coding Subjek B LAMPIRAN 9 Surat Persetujuan Subjek A

(9)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan manusia di dunia ini tidak dapat terlepas dari fenomena keberagamaan. Pengertian agama menurut Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2008) adalah sistem

simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi

(ultimate meaning). Selain sebagai sebuah lembaga sosial, agama hadir di tengah-tengah kehidupan manusia sebagai pengalaman personal. Pada tingkat yang personal, agama berisi tentang keimanan individu secara pribadi, fungsinya dalam kehidupan sehari-hari, serta

pengaruhnya pada apa yang individu pikirkan, rasakan, atau lakukan (Rakhmat, 2005). Nilai-nilai agama yang dipegang individu sebagai pengalaman personal inilah yang kemudian

merujuk kepada pengertian religiusitas.

Religiusitas dapat diartikan sebagai sikap penyerahan diri kepada suatu kekuatan yang ditemukan di luar individu , yang bersifat ilahi, dan terwujud melalui aktivitas keseharian dan

terungkap lewat berbagai aspek. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa religiusitas merupakan realitas tatkala setiap percakapan manusia diimbuhi oleh tafsiran tentang amanat agama bagi kehidupan (Saptodewo dan Kuhnt, 2007). Religiusitas manusia terdiri dari lima

dimensi yang saling terkait dan dapat dilihat dari pemahaman individu tentang gagasan-gagasan keagamaan maupun aktivitas keagamaan masing-masing (Ancok dan Suroso, 2008). Kelima

dimensi yang dimaksud yaitu dimensi ideologis; dimensi praktik; dimensi pengalaman atau penghayatan; dimensi pengetahuan; serta dimensi pengamalan dan konsekuensi.

Sejalan dengan pengertian agama dan religiusitas tersebut, Indonesia sebagai bangsa

(10)

Universitas Kristen Maranatha kehidupan bermasyarakatnya. Indonesia memiliki falsafah Pancasila dan Undang-Undang yang

mengatur kehidupan beragama warganya, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2, yang fungsinya menjelaskan bahwa negara ini berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha

Esa dan menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Situasi tersebut kemudian yang menggiring masyarakat Indonesia memegang teguh nilai-nilai agama dan menjadikannya pedoman norma berperilaku sehingga masyarakat Indonesia dikenal

sebagai masyarakat yang religius.

Sebagai masyarakat yang religius, agama hampir menyentuh semua aspek kehidupan

masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali mengenai perilaku seksualitas. Sesuai dengan ajaran setiap agama di Indonesia, masyarakat menabukan dan mengecam terjadinya perilaku seks bebas sebelum menikah atau yang dimaksud dengan pre-marital sexual intercourse.

Pemahaman seksual akhirnya tergantung pada kehendak dan kepentingan sosial (masyarakat) dan tidak mungkin lagi menjadi otoritas pribadi. Pendapat ini dapat dilihat kebenarannya pada

kekuatan the social membangun suatu prinsip doktriner bahwa seks adalah ‘sakral’ dan mempunyai sinyal mistis dalam keberadaannya pada tubuh manusia (Eliade, 1998).

Perkembangan zaman, yang kini memasuki era globalisasi, tampaknya semakin

melunturkan kesakralan seks tersebut dalam bentuk perilaku seks bebas, secara khusus di kalangan anak dan remaja hingga dewasa awal yang belum menikah. Kemajuan teknologi dan gencarnya pengaruh budaya asing yang masuk turut memberikan andil yang cukup besar. Gaya

berpakaian terbuka, tontonan film asing yang mengandung unsur romantisme, gaya berpacaran yang serba boleh versi Barat, hingga kemudahan mengakses 4.000.000 situs porno di Indonesia

merupakan contoh-contoh konkret dari pengaruh tersebut yang mengiringi terus meningkatnya perilaku seks bebas (Muslimin, 2011). Peningkatan perilaku seks bebas ini, khususnya di kalangan remaja, terus terjadi dari tahun ke tahun yang ditunjukkan oleh hasil-hasil survei yang

(11)

3

Universitas Kristen Maranatha Data dari BKKBN tahun 2010 menunjukkan bahwa di Jakarta, Bogor, Depok,

Tangerang, dan Bekasi, remaja yang telah hilang keperawanannya mencapai 51%, sedangkan di kota lain seperti, Surabaya dengan 54%, Medan 52%, Bandung 47%, dan Yogyakarta 37%.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mendapatkan hasil yang mencengangkan setelah melakukan penelitian di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2007 bahwa 92% pelajar pernah melakukan kissing, petting, dan oral seks, 62 % pernah melakukan hubungan intim, dan

22,7% siswi SMA pernah melakukan aborsi. Belum lagi setiap tahun penjualan kondom saat tahun baru dan hari valentine melonjak tajam yaitu sekitar 40-80%. (Siauw, 2013, dalam

helloislam.wordpress.com, 2014)

Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan salah satu media massa terkemuka di ibukota edisi 3 Juli 2011 menyebutkan 57% remaja lulusan Sekolah Menengah Atas tahun 2011

di lima wilayah DKI Jakarta mengaku telah melakukan hubungan seks senggama atau coitus. Artinya, kaum muda perkotaan itu telah melakukan pre-marital sexual intercourse pada usia

sekolah. Penelitian yang dilakukan LSM bidang kesehatan yang bekerjasama dengan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya itu dapat disebut sebagai penelitian sistematis paling mutakhir tentang topik yang sama. Hasil penelitian tersebut tidak mengejutkan, karena

kesimpulan yang diperoleh seperti hanya mengulangi hasil penelitian sebelumnya (Warta Kota, 3 Juli 2011: 5).

Pada hasil survei tahun 2014, kota Bandung menempati urutan tertinggi, 54 persen

remaja di kota Bandung mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual. Di Jakarta, angkanya lebih rendah satu persen, 51 persen. Di Surabaya, 47 persen remaja yang disurvei

(12)

Universitas Kristen Maranatha dibuat untuk menyadarkan dan meredam kegemaran remaja muslim ikut merayakan Hari

Valentine, 14 Februari 2014. (www.jpnn.com, 2014)

Selain survei yang berisi persentase pelaku seks bebas, artikel dalam Madiunpos.com,

Senin, 9 Maret 2015, yang berisi mengenai wawancara dengan seorang siswi yang ketagihan melakukan seks bebas berikut ini akan memperjelas fenomena pre-marital sexual intercourse. Mawar, demikian nama samarannya, mengaku melakukan hubungan layaknya suami istri

ketika masih berseragam biru putih. Mula-mula ia hanya setia kepada kekasihnya. Namun, setelah hubungan asmaranya kandas, siswi berusia 17 tahun ini pun rela menyerahkan

kegadisannya kepada setiap lelaki yang mau menjadi pacarnya. “Pertama, saya melakukan hubungan badan itu, saya dipaksa oleh kekasih ketika di rumahnya,” kisah dia kepada Madiunpos.com secara blak-blakan. Sejak kali pertama itulah, siswi itu mulai ketagihan

melakukan hubungan badan dengan kekasihnya. Tak ada lagi paksaan. Semua dilakukan di rumah kekasihnya saat situasi sepi. Ia mengaku sudah tak lagi bisa menghitung seberapa banyak

melakukan hal tak senonoh itu di kamar kekasihnya. Kini, setelah duduk di bangku SLTA kelas III, ia tetap melakukan aktivitas terlarang itu dengan pacar barunya yang kali kesekian. Aktivitas itu, baginya adalah candu. Tak ada lagi yang ia khawatirkan, toh ia merasa sudah tak

lagi perawan sejak SMP. (Susanto, 2015)

Meninjau catatan yang dikeluarkan laboratorium Antropologi (perkotaan) FISIP Universitas Indonesia, penelitian mengenai perilaku pre-marital sexual intercourse kaum muda

perkotaan di Indonesia pertama kali dilakukan tahun 1974 dan hingga tahun 2011, lembaga yang sama telah melakukan tidak kurang dari 45 kali penelitian mengenai topik tersebut.

Kesimpulan yang diperoleh dari setiap penelitian itu rata-rata menyebutkan terdapat sikap serba boleh dalam pergaulan remaja dan dewasa awal. Pada dekade 1980-an, isu pre-marital sexual intercourse ditandai oleh meningkatnya fenomena kehamilan dan aborsi. Pada dekade

(13)

5

Universitas Kristen Maranatha pada saat itu seperti Penyakit Menular Seksual (PMS), HIV dan AIDS. Pada dekade 2000-an,

penelitian banyak menyinggung pengetahuan tentang kesehatan kelamin dan alat reproduksi, dampak psikologis-sosiologis kehamilan pra-nikah dan kebutuhan informasi yang tepat tentang

reproduksi manusia. (A.M., komunikasi personal, 7 Oktober 2011)

Melalui hasil-hasil penelitian di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat secara umum sebetulnya telah menengarai maraknya pre-marital sexual intercourse pada kalangan kaum

muda perkotaan. Dengan kata lain, asumsi bahwa pre-marital sexual intercourse kalangan kaum muda perkotaan makin intensif, sebenarnya telah diterima sebagai fenomena dan persepsi

yang terbuka (Sarwono, 2016). Fakta ini semakin mempertegas pernyataan bahwa perilaku pre-marital sexual intercourse memengaruhi pemahaman kaum muda perkotaan terhadap agama.

Agama yang seharusnya menjadi pedoman dalam bertingkah laku, termasuk dalam hal

seksual, ternyata tidak dapat mencegah tetap terjadinya pre-marital sexual intercourse. Pada tahun 1985, Prof. Sarlito W. Sarwono (2016) melakukan penelitian untuk mengungkap

keterkaitan faktor agama di dalam diri sejumlah remaja berusia 15-20 pelaku pre-marital sexual intercourse. Hasil yang didapat yaitu 100% responden percaya akan Tuhan, 100% responden

takut dosa, dan 64,7% responden melakukan ibadah teratur. Hasil penelitian yang diperoleh

kurang mendukung adanya hubungan antara praktik tingkah laku seksual dengan keyakinan beragama individual (Sarwono, 2016).

Menindaklanjuti hasil-hasil temuan dari penelitian terdahulu mengenai pre-marital

sexual intercourse, peneliti melakukan survei awal melalui wawancara terhadap empat orang

dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse di kota Bandung. Peneliti memperoleh

(14)

Universitas Kristen Maranatha untuk memperoleh informasi umum apakah kedua subjek yang melakukan pre-marital sexual

intercourse masih menjalani hidupnya dalam lingkaran dimensi-dimensi religius.

A, pria 26 tahun beragama Kristen, seorang sarjana Ekonomi yang sedang mencari

pekerjaan. A pertama kali melakukan pre-marital sexual intercourse dengan seorang wanita tuna susila pada masa awal kuliahnya di Bandung. Setelah kesekian kali mendapat ajakan dari temannya, akhirnya A terbujuk rayuan temannya tersebut dengan alasan rasa penasaran dan

ingin membuktikan bahwa dirinya bukan gay. A merasa tidak mendapatkan kepuasan seksual yang selama ini selalu dibicarakan teman-temannya. Selanjutnya, A mencoba merambah ke

dunia pijat plus-plus.

A meyakini bahwa ajaran Kristen itu baik adanya. A mengetahui bahwa perbuatan pre-marital sexual intercourse dilarang oleh ajaran Kristen namun A mengaku merasa biasa-biasa

saja melakukannya, tidak ada perasaan berdosa karena telah melanggar ajaran agama. A menjelaskan bahwa larangan melakukan pre-marital sexual intercourse terdapat dalam Sepuluh

Perintah Allah karena termasuk perbuatan zinah. Saat ini, A hampir tidak pernah lagi melakukan praktik atau ritual agamanya. A menganggap bahwa melakukan ritual agama bukan merupakan suatu keharusan. A merasa bahwa melakukan ritual keagamaan adalah hal yang

tidak berguna bagi dirinya. A mengaku tidak mengaitkan tindakan dan aktivitas keseharian dengan ajaran agama. A mengatakan bahwa dirinya selalu merasa datar ketika melakukan kegiatan keagamaan.

B, wanita 26 tahun beragama Kristen, seorang mahasiswi tingkat akhir. B melepas keperawanannya kepada pacar barunya di awal masa kuliahnya di Bandung. Setelah menolak

(15)

7

Universitas Kristen Maranatha B meyakini bahwa ajaran Kristen adalah yang terbaik dan tepat untuk dirinya. B masih

rutin menjalankan praktik atau ritual agamanya. B juga masif aktif memberikan pelayanan di gereja. B mengklaim dirinya memahami dan mempraktikan isi kitab suci. Di samping itu, B

merasa sangat memahami tentang pelarangan pre-marital sexual intercourse di dalam agamanya. Menurut B, perbuatan tersebut melanggar isi Alkitab dan tidak sesuai dengan moralitas Kristen. B mengaku mengaitkan tindakan dan aktivitas keseharian dengan ajaran

agamanya. B mengatakan bahwa dirinya bergantung kepada Tuhan sebagai sumber kekuatan menghadapi masalah di hidupnya.

C, wanita 24 tahun beragama Islam, seorang sarjana Ekonomi yang berwirausaha. C menjelaskan bahwa teman-temannya sering mengatakan hubungan seks itu indah, enak dan tidak berbahaya. Pengakuan itu membuat C ingin mencobanya. C melakukan pre-marital

sexual intercourse pertama kali dengan pacarnya saat berkuliah di Bandung dengan alasan

penasaran dengan cerita temannya dan sering menonton video porno. Saat ini, C sangat

menikmati melakukan intercourse dan melakukannya tidak hanya dengan pacarnya.

C meyakini bahwa ajaran Islam sangat baik dan patut untuk dijadikan pedoman bagi hidupnya. C menganggap bahwa melakukan ritual agama bukan merupakan suatu keharusan

bagi dirinya dan tergantung mood. C tidak pernah menjalankan sholat 5 waktu dan hanya sesekali pergi ke Masjid jika ada perayaan besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. C mengetahui terdapat ajaran agamanya yang melarang untuk melakukan pre-marital sexual intercourse yang

terdapat dalam ayat al-Israa yang berisi perintah untuk menjauhi zinah. Ketika awal melakukan pre-marital sexual intercourse, C merasa sangat berdosa namun kini C mengaku perasaan

berdosa itu telah hilang karena C telah terbiasa melakukannya. C mengaku masih mengaitkan tindakan dan aktivitas keseharian dengan ajaran agama.

D, pria 25 tahun beragama Katolik, seorang sarjana Desain Komunikasi Visual yang

(16)

Universitas Kristen Maranatha dengan alasan rasa sayang dan sebagai tanda pengikat hubungan mereka. Setelah putus dengan

pacarnya, D melakukan intercourse dengan wanita tuna susila atau wanita yang baru dikenalnya saat pergi ke klub malam.

D meragukan kebenaran ajaran Katolik, khususnya mengenai tafsiran Alkitab. D menganggap tidak mungkin seorang pun manusia yang benar-benar mampu memahami dan menerapkan isi kitab suci. Di samping itu, D merasa tidak yakin memahami tentang pelarangan

pre-marital sexual intercourse di dalam agamanya karena dirinya tidak terbiasa membaca

Alkitab. Menurut D, setiap penafsiran dari ajaran agama dapat bermakna beda oleh orang yang

berbeda pula. D masih berdoa dan pergi ke gereja namun hanya sesekali, sesuai dengan suasana hatinya. D tidak merasa berdosa ketika melakukan pre-marital sexual intercourse. D mengaku tidak mengaitkan tindakan dan aktivitas keseharian dengan ajaran agama.

Hasil dari wawancara survei awal pada keempat dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse menunjukkan gambaran kondisi religiusitas diri yang bervariasi. Dari survei awal

tersebut terungkap bahwa tiga subjek mengetahui bahwa pre-marital sexual intercourse merupakan perbuatan yang dilarang di dalam ajaran agama mereka, tiga subjek masih yakin terhadap ajaran agama mereka, tiga subjek telah lalai dalam menjalankan praktik

keagamaannya, tiga subjek tidak merasa berdosa karena telah melakukan pre-marital sexual intercourse, dan tiga subjek tidak mengaitkan nilai-nilai dalam ajaran agama di dalam perilaku

keseharian mereka. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dari hasil-hasil penelitian

terdahulu dan keberagaman kondisi religiusitas yang terungkap dari survei awal, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sudut pandang

(17)

9

Universitas Kristen Maranatha 1.2. Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran dinamika lima dimensi religiusitas pada dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse di kota Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran dinamika lima dimensi religiusitas pada subjek dewasa awal yang telah melakukan pre-marital sexual intercourse.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Untuk menjelaskan secara rinci mengenai gambaran dinamika lima dimensi religiusitas pada dua subjek dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse di kota Bandung beserta

kaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoretis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi wawasan mengenai gambaran dinamika lima dimensi religiusitas, secara khusus kontribusi terhadap

studi psikologi agama di Indonesia.

2) Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan bagi peneliti lain yang hendak melakukan penelitian tentang religiusitas.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1) Untuk pelaku pre-marital sexual intercourse, penelitian ini memberikan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan refleksi diri untuk lebih memahami kondisi religiusitas diri sendiri dan meningkatkan pengendalian diri, khususnya dalam hal

(18)

Universitas Kristen Maranatha 2) Penelitian ini bermanfaat bagi para orangtua dalam memberikan informasi

mengenai gambaran dimensi religiusitas pada diri dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse sehingga dapat digunakan untuk menentukan perilaku intervensi

atau preventif yang tepat bagi anak.

3) Penelitian ini memberikan sumbangan informasi bagi para pelaksana pendampingan kegiatan kerohanian, semisal bagi para pendeta, guru atau dosen

agama, atau ketua dan pengurus organisasi keagamaan sebagai informasi yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan kegiatan kerohanian atau pemilihan

materi pembelajaran yang tepat dan efektif.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pelaku pre-marital sexual intercourse yang menjadi subjek penelitian ini berada pada usia 26 tahun. Dalam tahapan perkembangan, usia ini termasuk ke dalam masa dewasa awal.

Periode masa dewasa awal biasa dimulai pada usia akhir belasan atau permulaan usia 20-an dan berlangsung sampai usia 40. Dewasa awal adalah waktu untuk bekerja dan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis, kadang-kadang meninggalkan sedikit waktu untuk hal lain

(Santrock, 2002).

Sesuai masa perkembangannya, subjek pelaku pre-marital sexual intercourse telah memenuhi kondisi tertentu, baik fisik maupun psikologis. Secara fisik, subjek pelaku

pre-marital sexual intercourse berada pada puncak perfoma fisiknya, yang seringkali dialami di

saat antara usia 19 hingga 26 tahun (Santrock, 2002). Baik pria maupun wanita telah melewati

masa pubertasnya dan telah siap untuk melakukan pembuahan atau memasuki usia reproduktif. Pada masa ini pula, perubahan-perubahan hormonal yang terjadi meningkatkan hasrat seksual yang tentunya mendatangkan kebutuhan penyaluran. Hal tersebut diiringi oleh penundaan usia

(19)

11

Universitas Kristen Maranatha Dalam hal psikologis, subjek pelaku pre-marital sexual intercourse ini mengalami lebih

sedikit perubahan suasana hati dibandingkan ketika remaja dan telah memiliki tanggung jawab yang lebih dalam menjalani pilihan-pilihan dalam hidupnya, serta telah meminimalisir perilaku

yang mengandung resiko (Caspi, 1998, dalam Santrock, 2011). Kemandirian juga sudah terbentuk, baik dalam bentuk kemandirian ekonomi karena telah bekerja ataupun kemandirian dalam kehidupan sehari-hari karena tinggal jauh dari orangtua, misalnya karena kepentingan

menempuh studi di perguruan tinggi. Kebutuhan afeksi untuk menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis menjadi penanda yang penting pada masa ini sebagai penunjang untuk

memasuki jenjang selanjutnya, yaitu kehidupan pernikahan.

Dalam hal beragama, subjek pelaku pre-marital sexual intercourse ini sudah mampu memahami ajaran yang bersifat abstrak, merefleksikan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan

kritis mengenai keyakinan atau kepercayaannya, dan mampu melakukan analisis terhadap agama yang dianut sejak kecil bersama orang tua ataupun mulai meyakini ajaran agama

berdasarkan pemahaman sendiri (Suparno, 2001). Peacock (dalam Hurlock, 2012) menamakan periode usia duapuluhan ini sebagai periode dalam kehidupan yang paling tidak religius yang dapat tampak pada jarangnya pergi ke gereja atau sikap acuh terhadap ibadat. Penurunan minat

terhadap masalah agama yang terjadi pada masa dewasa awal umumnya akan membaik ketika memasuki kehidupan berkeluarga karena munculnya tanggungjawab moral sebagai orangtua untuk memberi teladan dan mengajarkan dasa-dasar agama yang dianut kepada anak-anak.

Dalam masyarakat di mana agama masih dijadikan sebagai norma masyarakat, seperti di Indonesia ini, ada semacam mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan

seseorang melakukan tindakan seksual di luar batas ketentuan agama (Sarlito, 2016). Dalam hal ini, agama berfungsi sebagai pedoman dan pengendali tingkah laku individu di masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki, seperti

(20)

Universitas Kristen Maranatha pada penerapannya di diri subjek pelaku pre-marital sexual intercourse, agama tetap dihayati

pada tingkat personal dalam bentuk keimanan dan penafsiran nilai yang bersifat pribadi, yang akhirnya menampilkan perilaku yang melanggar ajaran agama. Nilai-nilai agama yang dihayati

sebagai pengalaman personal inilah yang kemudian merujuk kepada pengertian religiusitas. Agama menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2008) merupakan sebuah lambang dari sistem institusi, keyakinan, nilai dan tingkah laku yang berpusat pada persoalan

yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) adalah seberapa kaya pengetahuan, seberapa teguh keyakinan, seberapa tekun

pelaksanaan ibadah, dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut oleh seseorang. Religiusitas juga dapat berarti sikap penyerahan diri kepada suatu kekuatan yang telah ditemukan di luar individu, yang terwujud melalui aktivitas sehari-hari, yang terungkap melalui

dimensi-dimensinya. Untuk memahami religiusitas subjek pelaku pre-marital sexual intercourse secara menyeluruh, perlu memahami dimensi-dimensi religiusitas. Menurut Glock

dan Stark (dalam Ancok-Suroso, 2008), terdapat lima dimensi religiusitas, yakni dimensi ideologis (religious belief), dimensi praktik (religious practice), dimensi pengalaman dan penghayatan (religious feeling), dimensi pengetahuan (religious knowledge), dan dimensi

pengamalan dan konsekuensi (religious effect).

Dimensi pengetahuan, yaitu merujuk pada seberapa banyak pengetahuan (knowledge) ataupun dalamnya pemahaman subjek pelaku pre-marital sexual intercourse tentang ajaran

pokok agamanya, seperti kandungan kitab suci, ritus-ritus, tradisi-tradisi dan moralitas agama. Subjek dengan pengetahuan yang kaya lebih mampu menjelaskan ajaran pokok agama kendati

penjelasan yang dimaksud tidak selalu persis sama dengan perspektif teologis yang diajarkan ahli atau pemimpin agama. Dalam konteks pre-marital sexual intercourse, subjek dengan pengetahuan yang kaya akan mengetahui bahwa pre-marital sexual intercourse merupakan

(21)

13

Universitas Kristen Maranatha di dalam agamanya, seperti di dalam ayat-ayat Alkitab, mengenai ketentuan perilaku seksual

yang dikehendaki. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya (Ancok-Suroso, 2008).

Dimensi ideologis merupakan keteguhan keyakinan (belief) subjek pelaku pre-marital sexual intercourse terhadap pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran

doktrin-doktrin agamanya. Subjek yang teguh dengan keyakinannya yang teguh akan mempercayai

kebenaran doktrin agamanya tanpa meragukannya sedikitpun, terutama eksistensi Tuhan, seperti mempercayai Yesus Kristus pada agama Kristen dan memiliki komitmen yang kuat

terhadap sejumlah nilai yang berasal dari agamanya. Dalam konteks pre-marital sexual intercourse, subjek dengan keyakinan yang teguh akan meyakini secara utuh bahwa pre-marital

sexual intercourse merupakan perbuatan yang dilarang oleh ajaran agamanya, mempercayai

konsep dosa dan neraka, atau adanya kehidupan dan penghakiman setelah kematian.

Dimensi praktik merupakan perilaku yang dapat dilihat pada kepatuhan dan ketekunan

subjek pelaku pre-marital sexual intercourse dalam menjalankan praktik-praktik agama, termasuk frekuensi keterlibatan subjek dalam ritual keagamaan. Subjek yang patuh menjalankan praktik agamanya akan melakukan ibadah (ritual) agama secara rutin dan tekun

serta memungkinkan untuk terlibat aktif di dalam pelayanan ibadat atau kegiatan keagamaan. Sebaliknya, subjek yang lalai menjalankan praktik agamanya tidak secara rutin menjalankan ibadah, atau bahkan mengabaikannya. Dalam konteks pre-marital sexual intercourse, praktik

keagamaan yang dapat terjadi, misalnya berdoa memohon pengampunan dosa, mengikuti ibadat tobat di gereja, atau terlibat aktif dalam pelayanan ibadat sebagai salah satu bentuk

pertobatan.

Dimensi pengalaman dan penghayatan berisi mengenai sensasi, persepsi, perasaan-perasaan dan pengalaman religius yang dialami oleh subjek pelaku pre-marital sexual

(22)

Universitas Kristen Maranatha mendalam pada saat melakukan ritual agama, ataupun merasa hidupnya selalu dalam

penyertaan Allah. Beberapa hal dapat dilihat sebagai petunjuk, yaitu selalu bersyukur, tidak putus asa menghadapi persoalan demi persoalan, optimis dan berdedikasi dalam percakapan

iman. Dalam konteks pre-marital sexual intercourse, perasaan yang dapat muncul terkait dengan agamanya, yaitu perasaan berdosa, takut, atau bersalah karena telah melakukan pre-marital sexual intercourse karena subjek menyadari telah melanggar ajaran agamanya.

Perasaan takut merujuk kepada ketakutan subjek mengalami penghakiman atau keterbuangan di neraka setelah kematian.

Dimensi pengamalan dan konsekuensi merupakan tampilan perilaku keseharian yang ditampilkan oleh subjek pre-marital sexual intercourse yang sebagai bentuk konsekuensi dari komitmen agama pada keempat dimensi religiusitas lainnya. Subjek yang menerapkan

pengamalan ajaran agamanya dalam perilaku keseharian cenderung selalu dimotivasi oleh ajaran ataupun moralitas agamanya seperti suka menolong, rendah hati, bersahabat, peka

terhadap keadaan sekitar dan optimis terhadap masa depannya. Dalam konteks pre-marital sexual intercourse, perilaku keseharian yang ditampilkan subjek dapat terlihat dari

pengendalian diri dalam melakukan pre-marital sexual intercourse, apakah subjek memutuskan

untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi perilaku tersebut, atau tetap melakukan, atau bahkan meningkat frekuensi melakukannya.

Selain kelima dimensi tersebut, dalam hal membangun dan mempertahankan kualitas

keimanannya, subjek juga dipengaruhi beberapa faktor eksternal (Jalaluddin, 2002). Faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, institusi tempatnya bernaung (seperti kampus,

(23)

15

Universitas Kristen Maranatha Pada faktor eksternal, Jalaluddin (2002) menjelaskan bahwa keluarga menjadi wadah

paling dominan yang meletakkan dasar pemahaman keagamaan. Dimulai dari pengetahuan, praktik, pengalaman, penghayatan hingga pada penerapan nilai-nilai keagamaan. Pada

mulanya, usaha yang dilakukan orangtua diimbuhi oleh penguatan berdasarkan reward and punishment. Pada tingkat selanjutnya, internalisasi penguatan itu berlangsung secara personal

seiring perkembangan usia dan kemampuan kognitif pada diri subjek pelaku pre-marital sexual

intercourse. Orangtua juga berperan sebagai pengawas atau kontrol terhadap tingkah laku

anak-anaknya. Subjek pelaku pre-marital sexual intercourse yang masih tinggal serumah atau

berdekatan dengan orangtuanya akan mendapatkan pengawasan yang lebih ketat dibandingkan dengan subjek yang tinggal berjauhan dari orangtuanya.

Institusi-institusi sosial, seperti institusi pendidikan, institusi keagamaan, organisasi

kemasyarakatan, atau tempat kerja juga mempengaruhi perkembangan serta penguatan iman subjek pelaku pre-marital sexual intercourse. Subjek yang terlibat dan bernaung dalam satu

atau beberapa institusi sosial sekaligus akan menerima berbagai pengetahuan, pengalaman, penghayatan dan praktik keagamaan yang beraneka ragam. Keanekaragaman tersebut akhirnya akan mengalami internalisasi terhadap diri subjek. Lembaga sekolah berperan memberikan

pengetahuan atau praktik keagamaan seperti pemberian materi pelajaran pendidikan agama dan kegiatan ibadat sekolah. Institusi keagamaan seperti gereja sudah tentu memusatkan pemberian bekal pemahaman agama secara menyeluruh, misalnya melalui pengadaan ibadat rutin

mingguan, persekutuan pemuda gereja, memfasilitasi pemberian materi pendewasaan iman, atau pengadaan kegiatan sosial di masyakarat.

Terakhir, sistem sosial ataupun world view masyarakat. Indonesia sebagai sebuah sistem sosial dengan tradisi keagamaan yang kuat tentunya sangat berpengaruh terhadap cara pandang subjek pelaku pre-marital sexual intercourse terhadap agama. Di Indonesia, agama merupakan

(24)

Universitas Kristen Maranatha norma-norma sosial sebagai rambu-rambu kehidupan yang perlu dipelihara dan

diimplementasikan secara serius, misalnya masyarakat Indonesia misalnya masih menabukan perilaku seks bebas. Masyarakat Indonesia juga masih menganut kolektivisme atau paham

kebersamaan yang kuat, yang merupakan tradisi bangsa, yang tertuangkan dalam bentuk perilaku gotong-royong dan peduli satu sama lain. Hal tersebut tentu membuat kontrol sosial berperan lebih kuat dalam mengawasi perilaku individu, termasuk dalam perilaku pre-marital

sexual intercourse yang ditabukan tersebut. Tentu hal tersebut akan bertolak belakang jika

melihat masyarakat penganut individualisme yang dianut oleh bangsa Barat, di mana perilaku

seks bebas akan cenderung lebih mudah terjadi karena kebebasan yang diterapkan dan minimnya kontrol dari masyarakat.

Apabila diuraikan ke dalam bentuk model bagan, uraian kerangka pemikiran ini dapat

(25)

17

Universitas Kristen Maranatha

1.6. Asumsi

1) Religiusitas dewasa awal pelaku Pre-Marital Sexual Intercourse terdiri dari lima dimensi, yaitu dimensi ideologis, dimensi praktik, dimensi pengalaman dan

penghayatan, dimensi pengetahuan dan dimensi pengamalan dan konsekuensi. 2) Religiusitas dewasa awal pelaku Pre-Marital Sexual Intercourse dipengaruhi oleh

faktor internal, yaitu usia, dan faktor eksternal, yaitu lingkungan keluarga,

lingkungan institusional, serta lingkungan sosial.

(26)

88

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari kedua kasus, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Gambaran lima dimensi religiusitas pada kedua subjek dewasa awal pelaku pre-marital sexual intercourse memiliki persamaan, yaitu pada dimensi pengetahuan, dimensi

praktik dan dimensi penghayatan. Pada dimensi pengetahuan, kedua subjek mengetahui bahwa perbuatan pre-marital sexual intercourse dilarang di dalam ajaran Kristen. Pada dimensi praktik, kedua subjek mengalami penurunan kualitas pada saat merantau ke luar

kota yang dipengaruhi oleh menurunnya kontrol dari orangtua serta pengaruh sosial budaya di daerah yang baru. Pada dimensi pengalaman dan penghayatan, rasa bersalah

dan takut muncul pada diri kedua subjek karena melakukan sexual intercourse walau berasal dari sumber yang berbeda.

2. Gambaran lima dimensi religiusitas pada kedua subjek dewasa awal pelaku pre-marital

sexual intercourse memiliki perbedaan, yaitu pada kelima dimensi religiusitas kedua

subjek memiliki kualitas yang cenderung bertolak belakang. Pada dimensi pengetahuan, A memiliki kualitas yang terbatas sedangkan B memiliki kualitas yang mendalam. Pada

dimensi keyakinan, A memiliki kualitas yang cenderung lemah sedangkan B memiliki kualitas yang teguh. Pada dimensi praktik, A memiliki kualitas yang sangat lemah

sedangkan B memiliki kualitas yang cukup intens. Pada dimensi pengalaman dan penghayatan, A memiliki kualitas yang lemah sedangkan B memiliki kualitas yang kuat. Pada dimensi pengalaman dan konsekuensi, A memiliki kualitas yang lemah sedangkan

(27)

89

Universitas Kristen Maranatha 3. Gambaran lima dimensi religiusitas pada kedua subjek dewasa awal pelaku pre-marital

sexual intercourse memiliki perbedaan khusus yang melibatkan dimensi pengetahuan,

dimensi keyakinan, dimensi pengalaman dan penghayatan, serta dimensi pengamalan

dan konsekuensi. Sumber pengetahuan tentang agama, A dominan berasal dari lingkungan sekolah sedangkan B dominan berasal dari lingkungan keluarga yang diperkuat dari institusi keagamaan. A meyakini konsep hukum karma dan

menjadikannya pedoman dalam menampilkan perilaku kesehariannya sedangkan B meyakini ajaran dan moralitas Kristen dan menjadikannya pedoman dalam

menampilkan perilaku kesehariannya. B mengalami peristiwa khusus yang tidak dialami oleh A, yaitu meninggalnya sang ayah yang berdampak pada menguatnya dimensi keyakinan serta dimensi pengalaman dan penghayatan.

5.2. Saran

Berdasarkan simpulan dan dengan menyadari adanya keterbatasan pada hasil penelitian, maka peneliti merasa perlu untuk mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

5.2.1. Saran Teoretis

1. Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai religiusitas dengan melibatkan subjek yang memiliki keunikan karakteristik yang berbeda dengan

penelitian ini.

5.2.2. Saran Praktis

1. Bagi kedua subjek pelaku pre-marital sexual intercourse, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refleksi diri untuk lebih mampu memahami serta mengolah

(28)

Universitas Kristen Maranatha 2. Untuk para orangtua, disarankan untuk memberikan pengawasan dan pendampingan

kepada anaknya dalam mengolah kondisi religiusitasnya, khususnya ketika anak sudah tidak tinggal bersama orangtua.

(29)

STUDI KASUS MENGENAI GAMBARAN LIMA DIMENSI

RELIGIUSITAS PADA DEWASA AWAL PELAKU PRE-MARITAL

SEXUAL INTERCOURSE DI KOTA BANDUNG

SKRIPSI

Oleh:

HANGGI NAGASAPUTRA

NRP: 0730211

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(30)
(31)
(32)
(33)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan bagi Sang Pencipta, Yesus, dan Bunda Maria atas berkat dan kasih-Nya yang besar, peneliti mampu menyelesaikan mata kuliah Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Adapun judul dari Skripsi ini adalah “Studi

Kasus mengenai Gambaran Lima Dimensi Religiusitas pada Dewasa Awal Pelaku Pre-Marital

Sexual Intercourse di Kota Bandung”.

Peneliti menyadari bahwa skripsi yang telah disusun ini belum sempurna. Oleh karena itu, besar harapan peneliti kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan penulisan skripsi ini.

Dalam melakukan penyusunan skripsi ini, peneliti menerima bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranatha.

2. Robert O. Rajagukguk, Ph. D, selaku dosen pembimbing utama yang selalu meluangkan waktu dan memberikan keleluasaan berpikir sekaligus arahan kepada

peneliti agar skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik mungkin.

3. Drs. Paulus H. Prasetya, M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu meluangkan waktu, memeriksa, dan memberi masukan kepada peneliti agar

(34)

setiap anak walinya, serta secara khusus telah berjuang memberikan semangat agar peneliti melanjutkan dan menyelesaikan penelitian ini.

4. Mama dan Papa yang telah sangat bersabar menunggu peneliti menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada A dan B yang telah bersedia menjadi subjek penelitan dalam skripsi ini. 6. Samson Ganda Silitonga sebagai kakak, sahabat, dan mentor peneliti selama kuliah

yang menjadi teman bertukar pikiran dan selalu mendukung studi peneliti dari awal

kuliah hingga terselesaikan penelitian ini.

7. Teman-teman Psikologi 2007, Joy, Timoty, Polin, Wantus, Ferdian, Rere yang telah

berjuang bersama selama masa kuliah.

8. Teman-teman SMA Santa Ursula BSD 2004, Benny, Rendy, Bela, Lodi, Lenny, Sanny, Agnes, Vania, yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Guru-guru SMA Santa Ursula BSD, Ibu Vero dan (almarhum) Bapak Rolly yang masih

tetap memperhatikan peneliti dari awal masa kuliah hingga terselesaikannya skripsi ini. 10.Teman-teman The Pool, Agus dan Albert, yang selalu menasehati peneliti agar

menyelesaikan penelitian ini.

11.Bang Anton dan Kang Rudi, yang atas seijin-Nya kita dapat bertemu pada saat akhir-akhir penelitian ini dan memberikan pandangan serta semangat untuk peneliti agar

menyelesaikan penelitian ini dan kelak menjadi ilmuwan Psikologi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Akhir kata peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.

(35)

91

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaludin dan Fuat Nashori S. (2008). Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Armstrong, Karl. (2010). Masa Depan Agama. Bandung: MIZAN. Audifax. (2008). Research. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Comte-Sponville. (2007). Spiritualitas Tanpa Tuhan-trj. Tangerang: Pustaka Alvabet

Cremers, Agus. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius.

Creswell, John W. (1994). Research Design. California: Sage Publications. Eliade, Mircea. (2002). Sakral dan Profal – trj. Yogyakarta: Pustaka Baru.

Giddens, Anthony. (2004). Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta dan Erotisme Dalam Masyarakat Modern – trj. Jakarta: Fresh Book.

Glock, Charles Y. dan Rodney Stark. (1965). Religion and Society in Tension. Berkeley: Rand Mc Nally & Company.

Jalaluddin. (2002). Psikologi Agama. Jakarta: Grasindo.

Nasution, R.A. (1988). Metode Penelitian Psikologi. Jakarta: UGM Press.

Padgett, Deborah K. (1998). Qualitative Methods in Social Work Research. California: Sage Publications.

Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.

Rakhmat, Jalaluddin. (2005). Psikologi Agama: Suatu Pengantar. Bandung: MIZAN.

Santrock, John W. (2012). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, edisi ketigabelas, jilid II– trj. Jakarta: Erlangga

Saptodewo dan Sri Kuhnt. (2007). Passing Over: Modernitas versus Agama Modern. Yogyakarta: Bentang.

Sarwono, Sarlito W. (1997). Psikologi Remaja. Jakarta: Grafindo Persada.

(36)

Universitas Kristen Maranatha Suseno, Franz Magnis. (1993). Beriman Dalam Masyarakat: Butir-Butir Teologi Kontektual.

Yogyakarta: Kanisius.

Tan, Mely G. (1992). Metode-metode Penelitian Sosial. Jakarta: Gramedia.

(37)

93

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Ginzel, Pandu Azaria. (2011). Studi Kasus Mengenai Gambaran Spritual Development Pada Mahasiswa Ketua Organisasi Keagamaan Yang Ada di Universitas “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Haryanto, Rocky. (2011). Studi Deskriptif Mengenai Profil Dimensi-Dimensi Religiusitas Pada Mahasiswa Yang Mengikuti Kelompok Kecil di Persekutuan Mahasiswa Kristen

(PMK) Universitas “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Koran Warta Kota edisi 3 Juli 2011: 5.

Muslimin. (2011). Jika Tak Ada Harga Dirimu, Pinjamlah!. (Online).

(http://www.kompasiana.com/saefuddinmuslimin/jika-tak-ada-harga-dirimu-pinjamlah_55007e24813311c161fa7b26, diakses pada 23 Juli 2016).

Siauw dalam Perilaku Seks Bebas Dalam Pandangan Kognitif Sosial. (2013). (Online). (https://helloislam.wordpress.com/2014/10/11/perilaku-seks-bebas-dalam-pandangan-kognitif-sosial/, diakses pada 6 Mei 2016).

Susanto. (2015). Astaga, Siswi Ini Mengaku Ketagihan Setelah Bercinta Saat Masih Di SMP. (Online). (http://www.madiunpos.com/2015/03/09/pergaulan-bebas-astaga-siswi-ini-mengaku-ketagihan-setelah-bercinta-di-saat-masih-smp-583108, diakses pada 23 Juli 2016).

Wiguna, Reynard. (2015). Studi Deskriptif Mengenai Derajat Dimensi Religiusitas Pada Majelis Jemaat Gereja “X” Di Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Referensi

Dokumen terkait

Apalagi untuk orangtua yang tidak tinggal bersama dengan anak remajanya dalam mengawasi kesehariannya pasti memiliki tingkat masalah yang lebih karena

Telah dilakukan analisa untuk menentukan kadar Asam Lemak Bebas (ALB) pada Coconut Fatty Acid Destillate (CFAD) dan Palm Fatty Acid Destillate (PFAD) di PT. Sampel yang

Penelitian yang dilakukan oleh Jaka Yulana Sani Putra ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup pada pekerja seks komersial pada rentang usia dewasa awal tanpa

Studi pendahuluan yang dilakukan di desa Semingkir Kecamatan Randudongkal berbagai faktor dan latar belakang yang mempengaruhi pemberian MP-ASI yang salah, dari 52

Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Gambaran Umum Penggunaan Alat Kontrasepsi Suntik di Puskesmas Plus Bara-Baraya Makassar Tahun 2011 ” yang disusun oleh Nur Rahmadani, Nim :

dengan itu, dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak yang dilahirkan di luar perkawinan serta mewajibkan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung

Batasan dalam pengembangan ini adalah terbatas pada pengembangan materi keterampilan menulis karangan narasi dengan media gambar karikatur untuk siswa kelas X semester

Komodifikasi terbagi atas tiga kategori, yakni: komodifikasi konten (ketika media mengubah pesan melalui teknologi menuju sistem interpretasi yang penuh makna