• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN SPATIAL SENSE DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMA MELALUI PENDEKATAN BERBASIS MASALAH BERBANTUAN KOMPUTER.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENINGKATKAN KEMAMPUAN SPATIAL SENSE DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMA MELALUI PENDEKATAN BERBASIS MASALAH BERBANTUAN KOMPUTER."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PERNYATAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PERSEMBAHAN ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH ... viii

MOTTO ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ...10

C. Tujuan Penelitian ...11

D. Hipotesis Penelitian ...12

E. Definisi Operasional ...12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Geometri ...14

B. Kemampuan Pemecahan Masalah ...16

C. Spatial Sense ...18

D. Pembelajaran Berbasis Masalah ...21

E. Pembelajaran Berbantuan Komputer ...26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ...32

(2)

D. Prosedur Penelitian ...48 F. Uji Analisis Data ...49

BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A. Temuan Hasil Penelitian ...58 B. Analisis Kemampuan Spatial Sense ...60 C Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik ...69 D Analisis Asosiasi Kemampuan Sptaial Sense dan Pemecahan

Masalah Matematik

81

E Pembahasan Hasil Penelitian 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...90 B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA 93

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika sebagai bagian dari kurikulum, memegang peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan yang mampu bertindak atas dasar pemikiran matematik yaitu secara logis, rasional, kritis, sistematis dalam menyelesaikan persoalan kehidupan sehari-hari atau dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang lain. Oleh karena itu, upaya peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya dan pembelajaran matematika khususnya menjadi prioritas utama bagi para peneliti pendidikan. Kemampuan berpikir matematik merupakan salah satu faktor yang harus menjadi bahan penelitian, terutama kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi. Karena dengan kemampuan tersebut siswa akan lebih mudah memahami matematika dan akan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

(4)

Geometri merupakan salah satu materi yang dapat digunakan untuk mencapai kecakapan matematika tersebut. Walle (1994) mengungkap lima alasan mengapa geometri sangat penting untuk dipelajari. Pertama, geometri membantu manusia memiliki apresiasi yang utuh tentang dunianya, geometri dapat dijumpai dalam sistem tata surya, formasi geologi, kristal, tumbuhan dan tanaman, binatang sampai pada karya seni arsitektur dan hasil kerja mesin. Kedua, eksplorasi geometrik dapat membantu mengembangkan keterampilan pemecahan masalah. Ketiga, geometri memainkan peranan utama dalam bidang matematika lainnya. Keempat, geometri digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kelima, geometri penuh dengan tantangan dan menarik.

NCTM (2000) menjabarkan empat kemampuan geometri yang harus dimiliki siswa dalam mempelajari geometri, yaitu: (1) Mampu menganalisis karakter dan sifat dari bentuk geometri baik dua dimensi maupun tiga dimensi, dan mampu membangun argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang lainnya; (2) Mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran hubungan spasial dengan menggunakan koordinat geometri serta menghubungkannya dengan sistem yang lain; (3) Aplikasi transformasi dan menggunakannya secara simetris untuk menganalisis situasi matematika; (4) Menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan masalah.

(5)

dikarenakan bentuk-bentuk geometri sudah dikenal dan diketahui oleh siswa sebelum mereka belajar matematika, sehingga diharapkan geometri menjadi cabang matematika yang paling mudah dipahami.

Namun pada kenyataannya, masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami geometri. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan. Bahkan diantara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan. Masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami geometri. Ini dapat dilihat pada hasil ujian nasional siswa dalam memecahkan masalah berkaitan dengan konsep geometri. Untuk yang menjawab benar pada konsep menghitung jarak dan sudut antara dua objek (titik, garis dan bidang) di tingkat kabupaten Tasikmalaya 71,86%, tingkat provinsi Jawa Barat 69,09% dan untuk tingkat nasional 64,78% (Puspendik, 2011).

(6)

Piaget & Inhelder (1971) menyebutkan bahwa kemampuan spasial sebagai konsep abstrak di dalamnya meliputi hubungan spasial, kerangka acuan, hubungan proyektif, konversi jarak, representasi spasial dan rotasi mental. Secara tidak langsung, tidak disebutkan bahwa kemampuan spasial ini mengarah pada tujuan pencapaian hasil belajar geometri ruang. Kemampuan spasial tersebut dapat diperoleh siswa melalui alur perkembangan berdasarkan hubungan spasial topologi (meniru gambar, persepsi posisi spasial), proyektif (mengukur kemampuan mengkoordinasikan sejumlah sudut pandang yang berbeda) dan euclidis (kemampuan mengkoordinasikan salib sumbu pasangan titik, rotasi gambar geometri dua dimensi). Oleh karena itu, untuk mencapai kemampuan spasial, siswa dituntut memiliki kemampuan berpikir abstrak yang baik.

(7)

Analisis hasil studi PISA, ternyata masih banyak siswa Indonesia yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut. Hanya 33,4% siswa peserta Indonesia yang mampu menjawab benar dan sisanya menjawab salah (Wardhani dan Rumiati, 2011). Hal ini menggambarkan bahwa tingkat kemampuan spasial siswa Indonesia masih rendah.

Kemampuan pemecahan masalah pun menjadi salah satu kemampuan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran geometri. Kemampuan masalah merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. NCTM (2000) menyatakan bahwa pemecahan masalah bukanlah sekedar tujuan dari belajar matematika tetapi juga merupakan alat utama untuk melakukan atau bekerja dalam matematika.

NCTM (2000) merinci gambaran kemampuan pemecahan masalah yang harus dibangun siswa meliputi: (1) membangun pengetahuan matematika baru sampai dapat memecahkan masalah, (2) memecahkan masalah-masalah yang muncul pada matematika dan konteks lainnya, (3) menggunakan dan mengadaptasi variasi dari strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, (4) mengawasi dan merefleksi proses dari pemecahan masalah.

(8)

Hasil tes PISA (2006) tentang matematika, siswa Indonesia berada pada peringkat 52 dari 57 negara, dimana aspek yang dinilai adalah kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, dan kemampuan komunikasi. Hasil ini dapat dijadikan sebagai informasi bahwa masih banyak siswa yang tidak bisa menjawab materi ujian matematika yang berstandar internasional dimana materi tes yang diberikan merupakan soal-soal tidak rutin (pemecahan masalah). Soal seperti ini belum dibiasakan pada siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah. Selama ini penekanan pembelajaran matematika adalah pemberian rumus, contoh soal, dan latihan soal rutin. Siswa hanya mengerjakan soal latihan yang langsung diselesaikan dengan menggunakan rumus dan algoritma yang sudah diberikan sehingga siswa hanya dilatih mengingat dan seperti mekanik. Konsekuensinya adalah ketika mereka diberikan soal tidak rutin mereka melakukan banyak kesalahan.

(9)

bahwa masih banyak siswa memahami konsep keliru, lemah dalam tilikan ruang, tidak tuntas menyelesaikan soal dan geometri formalnya lemah.

Geometri sebagai salah satu bagian dari matematika harus dijadikan sebagai salah satu materi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan spatial sense. Menurut Sabandar (2002) pengajaran geometri di sekolah diharapkan akan memberikan sikap dan kebiasaan sistematik bagi siswa untuk bisa memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan diantara bangun-bangun tersebut. Karena itu perlu disediakan kesempatan serta peralatan yang memadai agar siswa bisa mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba serta menemukan prinsip-prinsip geometri lewat aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan formal dan menerapkan apa yang mereka pelajari.

Penentuan model dan pendekatan pembelajaran matematika merupakan kunci awal sebagai usaha pendidik meningkatkan daya matematika peserta didik. Model atau pendekatan pembelajaran yang variatif dan menyediakan banyak pilihan belajar memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik. Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan berkembang sesuai dengan kapasitas, gaya belajar, maupun pengalaman belajarnya.

(10)

pendidik menentukan desain pembelajaran yang akan dipilih dalam usaha meningkatkan daya matematika peserta didik benar-benar termotivasi untuk berpikir dan berkreasi. Namun dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, karena siswa tidak sekedar mengingat konsep-konsep atau materi dasar, melainkan dituntut untuk mampu menganalisis dan sekaligus memecahkan masalah.

Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa usaha perbaikan proses pembelajaran melalui upaya pemilihan model pembelajaran yang tepat dan inovatif dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar adalah model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM).

(11)

Dalam pembelajaran berbasis masalah, peranan komputer sebagai alat bantu belajar mengajar matematika menjadi sangat penting dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan spatial sense. Seperti dikemukakan Collen dan Steven (Krismiati, 2008) yang menyebutkan bahwa ribuan siswa menggunakan komputer setiap hari untuk memperbaiki keterampilan dasar matematika, untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah secara efektif, atau untuk mempelajari konsep-konsep yang lebih kompleks.

Teknologi komputer juga memungkinkan siswa belajar matematika dengan lebih mudah dan lebih berkembang, khususnya pada materi-materi yang tidak mudah diajarkan oleh pengajaran atau alat bantu biasa, karena komputer dapat menghadirkan banyak media diantaranya teks, gambar, grafik, tutorial, video, animasi, simulasi dan game (Kusumah, 2004). Kusumah (2007) juga menekankan bahwa, konsep-konsep dan keterampilan tingkat tinggi yang memiliki keterkaitan antara satu unsur dan satu unsur lainnya sulit diajarkan melalui buku semata, karena buku mempunyai keterbatasan yang dihadirkan.

(12)

Pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer ini menghadapkan siswa pada berbagai masalah yang menantang yang dapat menghadirkan kegiatan berpikir siswa dalam menyelesaikan. Masalah yang disajikan dengan bantuan komputer ini, diharapkan dapat lebih memotivasi siswa dalam mempelajari masalah matematika yang diberikan.

Dari uraian diatas, maka diduga pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan spatial sense siswa, yang melibatkan cara berpikir dan bernalar melalui kegiatan konstruksi, eksplorasi, dan penemuan; serta melibatkan cara menyampaikan informasi akan tetapi harus didukung dengan fasilitas sekolah yaitu adanya laboratorium komputer.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik dan spatial sense siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam materi geometri.

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengembangan aspek kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik siswa melalui pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer adalah sebagai berikut: 1. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan spatial sense antara

(13)

2. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional?

3. Adakah asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematika dengan kemampuan spatial sense siswa?

4. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pencapaian dan peningkatan kemampuan spatial sense siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer.

2. Untuk mengetahui pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik dalam geometri siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer.

3. Untuk mengetahui asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematika dengan kemampuan spatial sense siswa.

(14)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pencapaian dan peningkatan kemampuan spatial sense antara siswa yang

menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. 2. Pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik

antara siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Terdapat asosiasi antara kemampuan pemecahan masalah matematika dengan kemampuan spatial sense siswa dalam geometri siswa.

E. Definisi Operasional

1. Kemampuan pemecahan masalah matematik adalah kemampuan dalam menyelesaikan masalah tidak rutin berdasarkan tahapan-tahapan penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan solusi, menyelesaikan masalah dan memeriksa kembali hasil.

(15)

posisi tertentu dari sederetan obyek bangun geometri ruang, 5) Mampu mengkonstruksi model yang berkaitan dengan suatu obyek geometri ruang, 6) Mampu merepresentasikan model-model bangun geometri yang digambarkan pada bidang datar.

3. Pembelajaran Berbasis Masalah berbantuan komputer adalah pembelajaran yang disajikan dalam bentuk pemberian masalah kepada siswa yang berkaitan dengan masalah sehari-hari dan siswa dibantu dengan komputer menggunakan cabry 3D untuk menemukan konsep yang diajarkan, guru hanya sebagai fasilitator untuk membimbing siswa dalam menyelesaikan permasalahan dan menemukan konsep.

(16)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan desain yang digunakan berbentuk pretest-posttestt control group design. Dalam penelitian ini akan dilakukan pada dua kelas yang diambil secara acak, satu kelas dijadikan kelas eksperimen dan kelas yang lain dijadikan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen dilakukan pembelajaran dengan menggunakan berbasis komputer dan pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Terhadap kedua kelas diberikan pretest sebelum perlakuan dan posttest setelah perlakuan. Berdasarkan uraian di atas, maka desain penelitian yang digunakan digambarkan sebagai berikut:

O X O O O Keterangan:

O = pretest dan posttest

X = Pembelajaran matematika berbasis masalah berbantuan komputer

B. Populasi dan sampel

(17)

SMA yang akan dijadikan tempat penelitian merupakan sekolah yang mempunyai fasilitas yang memenuhi berbantuan komputer. Selain mempunyai laboratorium yang memadai, sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian adalah sekolah yang sudah berstandar nasional karena sekolah itu sudah memenuhi standar minimum dari delapan standar nasional pendidikan.

C. Instrumen penelitian

Sebagai upaya untuk mendapatkan data dan informasi yang lengkap mengenai hal-hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini, maka dibuatlah seperangkat instrumen berupa tes.

Tes yang digunakan adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan spatial sense yang terdiri dari tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Tes yang diberikan pada setiap kelas eksperimen dan kelas kontrol

(18)

Instrumen penelitian perlu dilakukan uji coba terlebih dahulu. Uji coba dilakukan pada siswa yang telah mendapatkan materi yang akan disampaikan. Uji coba dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda instrumen tersebut.

1. Validitas

Suatu instrumen dikatakan valid (absah atau shahih) apabila instrumen tersebut mampu untuk mengevaluasi/mengukur apa yang seharusnya dievaluasi. Oleh karena itu untuk menentukan validitas suatu alat evaluasi hendaknya dilihat dari berbagai aspek diantaranya validitas isi dan validitas muka.

a. Validitas Isi

Validitas isi suatu alat evaluasi artinya ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi materi yang dievaluasikan yaitu materi (bahan ajar) yang dipakai sebagai alat evaluasi tersebut yang merupakan sampel representatif dari penguasaan yang dikuasai. Arikunto (2007) menyatakan bahwa validitas isi (content validity), artinya tes yang digunakan merupakan sampel yang mewakili kemampuan yang akan diukur.

(19)

isi suatu instrumen dalam hal yang berkaitan dengan konsep-konsep matematika.

b. Validitas Muka

Validitas muka atau sering disebut pula validitas tampilan suatu alat evaluasi yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan multi tafsir. Validitas muka adalah derajat kesesuaian tes dengan jenjang sekolah/ pendidikan siswa. Soal tes disesuaikan dengan tingkat pendidikan subyek penelitian.

c. Validitas Butir Soal

Validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir soal (yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes sebagai suatu totalitas), dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir soal tersebut. Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Untuk menentukan perhitungan validitas butir soal digunakan rumus korelasi produk moment pearson (Suherman dan Sukjaya, 1990: 154), yaitu :

(20)

n = Jumlah peserta tes

Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat validitas digunakan kriteria menurut Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990).

Tabel 3.1

Instrumen memiliki reliabilitas yang baik apabila alat ukur itu memiliki konsistensi yang handal pada tingkatan yang sama, walaupun dikerjakan oleh siapapun, di manapun dan kapanpun berada. Suatu alat ukur memiliki daya keajegan mengukur atau reliabilitas yang baik, bila alat ukur itu memiliki konsistensi yang handal. Untuk mengukur reliabilitas soal menggunakan Rumus Alpha-cronbach yaitu:

(21)

Hasil perhitungan koefisien reliabilitas, kemudian ditafsirkan dan diinterpretasikan mengikuti interpretasi menurut J.P. Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990), yaitu:

Tabel 3.2 Klasifikasi Reliabilitas

Besarnya r11 Interprestasi

0,90 < r11≤ 1,00 Sangat Tinggi 0,70 < r11≤ 0,90 Tinggi 0,40 < r11≤ 0,70 Sedang 0,20 < r11≤ 0,40 Rendah

r11≤ 0,20 Sangat rendah

3. Tingkat kesukaran

Arikunto (2007) mengungkapkan bahwa soal tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir soal yang baik, apabila butir-butir soal tersebut tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk berusaha memecahkannya, dan soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa putus asa dan tidak bersemangat untuk mencoba lagi karena di luar jangkauannya.

(22)

Tingkat kesukaran pada masing-masing butir soal dihitung dengan

Kriteria penafsiran harga Indeks Kesukaran suatu butir soal menurut Suherman dan Sukjaya (1990) adalah sebagai berikut :

Tabel 3.3

Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan kemampuan siswa. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi (DP) yang berkisar antara 0,00 – 1,00. Discriminatory power (daya pembeda) dihitung dengan membagi siswa

(23)

kelompok siswa yang tergolong pandai dan kelompok bawah (the lower group) – kelompok siswa yang tergolong rendah.

Untuk menentukan daya pembeda digunakan rumus:

A

B A

J S S

DP  

keterangan:

DP = indeks daya pembeda suatu butir soal

A

S = jumlah skor kelompok atas

B

S = jumlah skor kelompok bawah

A

J = jumlah skor ideal kelompok atas

Kriteria penafsiran Daya Pembeda suatu butir soal menurut Suherman dan Sukjaya (1990) adalah sebagai berikut :

Tabel 3.4

Klasifikasi Nilai Daya Pembeda

Nilai DP Klasifikasi

DP ≤ 0,00 Sangat jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek 0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat baik

(24)

Tabel 3.5

Kriteria Skor Pemecahan Masalah Matematik

Skor Memahami

Skor maksimal 2 Skor maksimal 4 Skor maksimal 2

(25)

Sedangkan untuk penskoran spatial sense, mengikuti kriteria penskoran yang dimodifikasi dari Facione (1994) seperti pada tabel berikut:

Tabel 3.6

Kriteria Skor Spatial Sense

No Indikator Spatial Sense Kriteria Penskoran Skor

Maksimum

1. Dapat membayangkan posisi suatu obyek geometri sesudah obyek geometri itu mengalami rotasi, refleksi atau dilatasi. 2. Dapat membandingkan kaitan

hubungan logis dari unsur-unsur suatu bangun ruang.

bentuk suatu obyek dipandang dari sudut pandang tertentu

Tidak menggambar sama sekali atau gambar salah semua

0

Menggambar satu lukisan dan benar

1 Menggambar dua lukisan

dan benar

2 Menggambar tiga lukisan

(26)

Menuliskan hasil akhir model-model bangun geometri yang digambarkan pada bidang datar.

Tidak meggambar sama sekali, atau gambarnya salah

0

Menggambar satu lukisan dan benar

1 Menggambar dua lukisan

dan benar

2 7 Mampu menemukan obyek

sederhana yang dilekatkan dalam gambar yang lebih hanya satu Gambar dan Benar

D. Hasil Uji Coba Instrumen

Instrumen yang diujicobakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, (1) instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, (2) instrumen tes spatial sense siswa, dan (3) instrumen sikap siswa terhadap matematika. Berikut akan dijabarkan hasil uji coba dan analisis instrumen penelitian ini.

1. Analisis Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematik Siswa

(27)

mendapatkan materi yang akan diajarkan dalam penelitian ini. Uji coba instrumen ini bertujuan untuk melihat validitas soal, reliabilitas soal, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal. Berikut adalah hasil uji coba instrumen tes kemampuan Pemecahan Masalah Matematik siswa.

a. Validitas Butir Tes

Validitas butir tes kemampuan Pemecahan Masalah Matematik siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut:

Tabel 3.7

Hasil Uji Validitas Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa

Nomor Soal Nilai r Interpretasi Signifikansi

1 0,668 Signifikan Tinggi

2 0,369 Signifikan sedang

3 0,751 Signifikan sedang

4 0,341 Signifikan Tinggi

b. Reliabilitas

Koefisien reliabilitas instrumen tes kemampuan Pemecahan Masalah Matematik siswa dalam penelitian ini sebesar 0,72 dan tergolong kategori tinggi.

c. Daya Pembeda

(28)

Tabel 3.8

Hasil Uji Daya Pembeda

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa

Nomor Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,42 Baik

2 0,52 Baik

3 0,48 Baik

4 0,44 Baik

d. Tingkat Kesukaran

Indeks kesukaran instrumen tes kemampuan Pemecahan Masalah Matematik siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut:

Tabel 3.9

Hasil Uji Tingkat Kesukaran

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Nomor Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

1 0.79 Mudah

2 0.28 Sukar

3 0.24 Sukar

4 0.11 Sukar

5 0.34 Sedang

2. Analisis Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Spatial Sense Siswa

(29)

untuk melihat validitas soal, reliabilitas soal, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal. Berikut adalah hasil uji coba instrumen tes kemampuan Spatial Sense siswa.

a. Validitas Butir Tes

Validitas butir tes kemampuan Spatial Sense siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.10 berikut:

Tabel 3.10

Hasil Uji Validitas Kemampuan Spatial Sense Siswa

Nomor Soal Nilai r Interpretasi Signifikansi

1 0,550 Signifikan Cukup

2 0,762 Signifikan Tinggi

3 0.613 Signifikan Tinggi

4 0.527 Sangat Signifikan Tinggi

5 0,740 Signifikan Tinggi

6 0,737 Signifikan Tinggi

7 0,595 Signifikan Rendah

8 0,530 Signifikan Cukup

9 0,579 Signifikan Cukup

10 0,664 Signifikan Cukup

b. Reliabilitas

(30)

c. Daya Pembeda

Indeks Daya Pembeda instrumen tes kemampuan Spatial Sense siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.11 berikut:

Tabel 3.11

Hasil Uji Daya Pembeda Kemampuan Spatial Sense Siswa

Nomor Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0.33 Cukup

Indeks kesukaran instrumen tes kemampuan Spatial Sense siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.12 berikut:

Tabel 3.12

Hasil Uji Tingkat Kesukaran Kemampuan Spatial Sense Siswa

Nomor Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

(31)

3. Analisis Hasil Uji Coba Skala Sikap Siswa

Uji coba angket diujikan kepada 35 siswa yang telah mendapatkan materi yang akan diajarkan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas diperoleh hasil bahwa dari 24 item semuanya valid. Uji validitas angket sikap siswa terhadap matematika tersaji dalam Tabel 3.13 berikut:

Tabel 3.13

Hasil Uji Validitas Skala Sikap Siswa

(32)

Setelah itu dilakukan uji reliabiltas Koefisien reliabilitas skala sikap siswa dalam penelitian ini sebesar 0,88 dan tergolong dalam kategori tinggi.

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Pendahuluan

Tahap ini diawali dengan dokumentasi teoritis berupa studi kepustakaan terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan berbasis masalah berbantuan komputer, kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik siswa. Hasil kegiatan ini berupa proposal penelitian, dengan proses bimbingan dengan dosen pembimbing akademik.

Setelah proposal selesai dilanjutkan dengan pembuatan instrumen penelitian dan pembuatan bahan ajar dan rancangan pembelajaran untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Instrumen penelitian terdiri dari soal tes kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik siswa, serta skala sikap siswa.

2. Tahap Pelaksanaan

Dalam tahap pelaksanaan langkah pertama adalah pemberian pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan tes kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik siswa.

(33)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui tes dan skala sikap. Tes terdiri dari tes kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik siswa. Kedua jenis tes ini diberikan setelah pembelajaran pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sudah selesai.

Skala sikap siswa diberikan untuk menentukan sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Skala sikap ini diberikan pada masing-masing siswa di kelompok eksperimen setelah pembelajaran selesai.

F. Uji Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes dianalisis secara statistik. Sedangkan hasil pengamatan dan skala sikap dianalisis secara deskriptif.

1. Data Hasil Tes Kemampuan Spatial Sense dan Pemecahan Masalah

Matematik

Analisis data hasil tes kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Prosedur analisis tiap tahap yang akan dilakukan dijelaskan sebagai berikut:

a. Data Pretest dan Posttest Kemampuan Spatial Sense dan Pemecahan Masalah Matematik

(34)

mengukur pencapaian kemampuan yang akan diukur. Untuk mengetahui apa yang digunakan dalam menguji rata-ratanya, dilakukan uji normalitas dan homogenitas dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows pada taraf signifikansi 5%.

1) Uji Normalitas

Tujuan dilakukan uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah data pretes dan postes kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematik berdistribusi normal atau tidak. Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : Sampel berdistribusi normal

H1: Sampel tidak berdistribusi normal

Dalam penelitian ini, untuk analisis statistik peneliti menggunakan program SPSS versi 17 for windows. Uji normalitas digunakan uji Shapiro-Wilk. Kriteria pengujian jika nilai probabilitas (sig) lebih besar dari α = 0,05, maka sebaran data berdistribusi normal.

(35)

2) Uji Homogenitas

Uji homogenitas variansi dengan maksud untuk mengetahui apakah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki variansi yang homogen. Adapun hipotesis yang diajukan adalah :

H0 : e k

(Populasi data skor pretest atau posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians yang homogen)

H1: e k

(Populasi data skor pretest atau posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians yang tidak homogen)

Untuk menguji homogenitas digunakan uji Levene dengan taraf signifikansi 5%. Dengan kriteria pengujian adalah tolak H0 jika nilai Sig.

> α. Dengan menggunakan data skor pretest atau posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki varians yang homogen.

3) Uji Kesamaan Dua Rata-rata

Menguji perbedaan dua rata-rata pada data skor pretest dan posttest kedua kelompok siswa yang memperoleh pendekatan berbasis

(36)

H0 : xexk

(Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor pretest atau posttest antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol)

H1 : xexk

(Terdapat perbedaan rata-rata skor pretest atau posttest antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol)

Kriteria pengujian adalah tolak H0 jika nilai Sig.< α.

Adapun hipotesis untuk data skor postes yang diajukan adalah: H0 : xexk

(Pencapaian kemampuan spatial sense atau pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer tidak berbeda dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional).

H1 : xexk

Pencapaian kemampuan spatial sense atau pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

b. Gain Ternormalisasi Kemampuan Spatial Sense dan Pemecahan Masalah Matematik

Untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas eksperimen dan

(37)

gain. Selanjutnya, rumus gain ternormalisasi rata-rata (average normalized gain) oleh Hake (1999) sebagai berikut:

pre dengan menggunakan kategori menurut Hake (1999) yaitu:

Tabel 3.14 Klasifikasi Gain (g)

Besarnya Gain (g) Interpretasi

7

Data yang diperoleh dari gain ternormalisasi, dihitung perbedaan rata-ratanya dengan tujuan untuk mengetahui gain kedua kelas eksperimen dan kelas kontrol apakah sama atau berbeda. Untuk mengetahui uji apa yang digunakan dalam menguji rata-ratanya, dilakukan uji normalitas dan homogenitas dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows pada taraf signifikansi 5%.

1) Uji Normalitas

Tujuan dilakukan uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah gain ternormalisasi kemampuan spatial sense dan pemecahan masalah matematik berdistribusi normal atau tidak. Hipotesis yang digunakan adalah :

(38)

Dalam penelitian ini, untuk analisis statistik peneliti menggunakan program SPSS versi 17 for windows. Uji normalitas digunakan uji Shapiro-Wilk. Kriteria pengujian jika nilai probabilitas (sig) lebih besar dari α = 0,05, maka sebaran data berdistribusi normal.

Dari hasil perhitungan jika hasilnya berdistribusi normal maka statistik yang digunakan adalah statistik parametrik, namun jika hasilnya tidak berdistribusi normal maka tidak dilakukan uji homogenitas melainkan dilanjutkan dengan uji statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney.

2) Uji Homogenitas

Uji homogenitas variansi dengan maksud untuk mengetahui apakah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki variansi gain yang homogen. Adapun hipotesis yang diajukan adalah :

H0 : e k

(Populasi data skor gain ternormalisasi kemampuan spatial sense atau kemampuan pemecahan masalah matematik

memiliki varians yang homogen) H1 : e k

(Populasi data skor gain ternormalisasi kemampuan spatial sense matematik atau kemampuan pemecahan masalah

matematik memiliki varians yang tidak homogen)

(39)

nilai Sig. > α. Dengan menggunakan data skor pretest atau posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki varians yang homogen. 3) Uji Perbedaan Dua Rata-rata

Menguji kesamaan dua rata-rata pada data skor gain ternormalisasi yang memperoleh pendekatan berbasis masalah berbantuan komputer dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hipotesis yang diajukan adalah:

H0 : xexk

(Peningkatan kemampuan spatial sense atau pemecahan masalah matematik siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer tidak berbeda dengan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional).

H1 : xexk

(Peningkatan kemampuan spatial sense atau pemecahan masalah matematik siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional).

(40)

jika sig(1-tailed) < α. Menurut Widiarso (2007) hubungan nilai signifikansi uji satu arah dan dua arah dari output adalah sig(1-tailed) = ½ sig(2-tailed). Uji-t dilakukan setelah uji normalitas dan uji homogenitas.

c. Menguji Asosiasi Antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Spatial Sense

Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau keterkaitan antara kemampuan pemecahan masalah matematik dengan spatial sense digunakan uji independen antara dua faktor dengan rumus chi kuadrat untuk menguji hipotesis penelitian: yaitu ”Terdapat hubungan antara kemampuan pemecahan masalah dan spatial sense dalam geometri dengan rumusan hipotesis:

H0: kedua faktor bebas statistik (tidak ada keterakaitan)

H1 : kedua faktor tidak bebas statistik ( ada keterkaitan)

Apabila sebaran data berdistribusi normal, maka uji asumsi dilakukan dengan uji korelasi Product Moment Pearson, sedangkan uji statistiknya digunakan uji  = 0. Untuk perhitungannya menurut Ruseffendi (1998: 376) digunakan rumus sebagai berikut:

2 1

2 r n r t

  ,

dengan:

r : Koefisien korelasi

(41)

Setelah dilakukan perhitungan, nilai thitung dibandingkan dengan

ttabel pada taraf signifikansi  = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = n – 2, dengan daerah penerimaannya adalah –t(1 - 12 ) < t < t(1 - 21 ).

Untuk menentukan tingkat asosiasi, digunakan rumus koefisian kontingensi yaitu sebagai berikut:

n C

  2

2



Tingkat assosiasi berdasarkan koefisien kontingensi adalah sebagai berikut:

Tabel 3.15

Tingkat Koefisien Kontigensi

Koefisien Kontigensi Keterangan C = 0 Tidak mempunyai asosiasi 0 < C < 0,20 Cmaks Asosiasi sangat rendah

0,20 Cmaks C < 0,40 Cmaks Asosiasi rendah

0,40 Cmaks C < 0,70 Cmaks Asosiasi cukup

0,70 Cmaks C < 0,90 Cmaks Asosiasi tinggi

0,90 Cmaks C < 1,00 Cmaks Asosiasi sangat tinggi

C = Cmaks Asosiasi sempurna

(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian dan hasil analisis data diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan hipotesis-hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Pencapaian dan peningkatan kemampuan spatial sense siswa yang

menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer lebih baik dari siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Namun pencapaian dan peningkatan kemampuan spatial sense pada kedua kelas termasuk dalam kategori sedang.

2. Pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan komputer lebih baik dari siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik termasuk dalam kategori sedang, namun untuk pencapaian

3. Terdapat asosiasi tinggi antara kemampuan pemecahan masalah matematika dengan kemampuan spatial sense siswa pada kelas berbasis masalah berbantuan komputer.

(43)

sudut pandang serta menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah matematik

B. Saran

Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Dalam pembelajaran geometri sebaiknya siswa dihadapkan pada latihan-latihan mengkonstruksi bangun-bangun geometri, kemudian berlatih mengamati dan menganalisis hubungan yang terjadi dari beragam sudut pandang dan kemudian berlatih menyelesaikan masalah geometri. Latihan mengkonstruksi bangun geometri, menganalisis hubungan konsep, serta mengeksplorasi beragam kemungkinan hubungan hingga akhirnya siswa dapat menemukan atau menggeneralisasi.

2. Penelitian ini baru mengungkap peran pembelajaran berbasis masalah komputer berbantuan komputer dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik dan spatial sense siswa. Untuk mengkaji lebih jauh lagi tentang peran pembelajaran ini dalam tingkat pencapaian dan peningkatan pada kelompok tinggi, sedang dan rendah.

(44)

4. Permasalahan yang ditampilkan pada pembelajaran berbasis masalah komputer berbantuan komputer tidak dapat langsung diselesaikan siswa meskipun siswa memiliki pengetahuan awal untuk menyelesaikan masalahnya. Maka diperlukan bantuan dari guru dalam proses menghubungkan pengetahuan awal tersebut dalam penyelesaian masalah mereka. Selain tiu diperlukan pembiasaan pembelajaran yang serupa agar siswa terbiasa dalam menyelesaikan permasalahan.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussakir. (2009). Pembelajaran Geometri dan Teori Van Hiele. [Online]. Tersedia : http://abdusakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan-teori-van-hiele/.

Abdussakir. (2010). “Pembelajaran Geometri Sesuai Teori Van Hielle”.

El-Hikmah: Jurnal Kependidikan dan Keagamaan. Vol.8 No.2.

Adholpus, T. (2011). “Problems of Teaching and Learning of Geometry in

Secondary School in Rivers State, Nigeria”. International Journal of Emerging Science. 1 (2), 143-152.

Adjie, N. (2006). Pemecahan Masalah Matematika. Bandung: Upi Press

Amir, M.T. (2009). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based learning. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Arikunto, S. (2007). Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta: Rineka Cipta

Balitbang. (2011). Survei Internasional PISA. [Online]. Tersedia: http://litbangkemdiknas.net. [10 Januari 2012].

Black, A. A. (2005). Spatial Ability and Earth Science Conceptual Understanding. Springfield: Missoury State University tersedia: aab208f@smsu.edu [10 Januari 2012].

Branca, N.A. (1980). Problem Solving as a goal, process and basic skills. In.S.Krulik and R.E. Reys (Eds). Problem solving in school mathematics. Washinting DC:NCTM

BSNP, (2006). Panduan Penyusunan KTSP. Jakarta: BSNP

Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning: A Case Study of Institutional Change in Undergraduate Education. Dalam B.J. Duch, S.E. Groh, dan D.E. Allen (Eds): The Power of Problem-Based Learning. Virginia: Stylus Publishing.

(46)

Fryer. (2001). Strategy for effective Elementary Technology Integration.[online]. Tersedia:http//www.wtvi.com/teks/intregrate/tcea2001/powerpointoutline .pdf.

Gutierrez, A. (1997). Visualization in 3-dimensional geometry. Proceeding of the 20th Conference of the international Group for the psychology of Mathematics Education I, 3 -20

Kariadinata, R. (2006). Aplikasi Berbasis Komputer dalam Pembelajaran Matematika. Disertasi PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan

Kariadinata, R. (2010). “Kemampuan Visualisasi Geometri Spasial Siswa

Madrasah Aliyah Negeri (Man) Kelas X Melalui Software Pembelajaran Mandiri”. Jurnal EDUMAT. 1(2)

Karlimah. (2010). Pengembangan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah serta Disposisi Matematis Mahasiswa PGSD melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan

Krismiati, A. (2008). Pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabry II dalam meningkatkan kemampuan pemecahan dan berpikir kritis siswa. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Kusumah, Y.S (2004). Peran Algoritma dan computer dalam pembelajaran matematika di sekolah menengah. Bandung: Makalah tidak dipublikasikan

Kusumah, Y.S (2007). Peningkatan kualitas pembelajaran dengan courseware interaktif. Makalah pada seminar DUE-like, Semarang.

Lin, M. and Petersen, A.L. (1985). Emergence and Characterization of Sex Defferences in Spatial Ability. A-metal Analysis, Child Development, V. 56.p. 1479-1498.

Maccoby and Jacklin. (1974). Mathematically Gifted Student’ Spatial Visualization Ability of Solid Figures. Gyongin National University of education

Maier. (1996). Spatial Geometry and Spatial Ability-How to Make Solid Geometry Solid. Praxis Schule 5-10,22-27

Mariotti, M.A. (2000). “Introduction to Proff: The Mediation of Dynamic

(47)

Marliah, S M. (2006). Hubungan Kemampuan Spatial Sense dengan Prestasi Belajar Matematika. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10. No. 1 Juni 2006: 27-32 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Meltzer, DE. (2002). The relationship between mathematics preparation and conceptual leraning gains in physics: aposibble”hidden variable” in

diagnostic pretest score. [online] tersedia:

http://www.physics.iastate.edu/per/docs/AJP-Des-2002-Vol. 70 -1259-1268.pdf.

Mohler, J.L. (2008). “A Review of Spatial Ability Research”. Enginering Design

Graphics Journal. 72 (3), 19-30.

Munir. (2010). Kurikulum Berbasis teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta.

Nasution,S.(2005). Berbagai Pendekatan dalam Proses dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara

NCTM, (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Association drive. Reston. Virginia 22091

NCTM, (2000). Principle and Standards for School Mathematics. Virginia: NCTM (VA 20191-9988).

Nemeth, B. (2007). Measurement of the Development of Spatial Ability by Mental Cutting Test. Annales Mathematicae et Informaticae 34 pp. 123-128 tersedia: http://www.ektf.hu/tanszek/matematika/ami. [10 Januari 2012] Olkun, S. (2003). “Making Connections: Improving Spatial Abilities with

Engineering Drawing Activities”. International Journal of Mathematicsn Teaching and Learning.

Paramata, Y. (1996). Computer Aided Instruction (CAI) dalam Pembelajaran IPA Fisika (Studi Eksperimen pada Pokok bahasan Listrik Dinamik di SLTP Negeri 2 Gorontalo). Tesis PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Piaget, J. dan Inhelder, B. 1971. Mental Imagery in Child. New York: Basic Books. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 27-32

(48)

Purniati, T. (2004). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-tahap Awal Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. [online]. Tersedia: http://www.ppsupi/abstrakmat2004.html.

Puspendik. (2011). Software Analisis Jawaban Ujian Nasional, Bandung: Tidak diterbitkan

Rusefffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sabandar, J. (2002). Pembelajaran geometry dengan menggunakan cabry geometry II. Kumpulan makalah, pelatihan. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta

Santoso, S. (2000). SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Sadiman. (2002). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Setiawan, A. (2008). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Komunikasi Dengan Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Sugianto. (2010). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Keterampilan

Higher Order Thinking.[online] tersedia:

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujmer/article/view/37 Sugiyono. (2007). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suharta, I. Gusti Putu (2001). Pembelajaran pecahan dalam matematika realistic. [online] Tersedia: http://www.belajarmatematika.edu/per/docs/.pdf. Suherman, E dan Sukjaya. (1990). Petunjuk Praktis Untuk Melaksanakan

Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah

Sumarmo, U.(1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Hasil Penelitian. Bandung:tidak diterbitkan.

(49)

Tambunan, S.M. (2006). “Hubungan antara Kemampuan Spasial dengan

Kecerdasan Prestasi Belajar Matematika”. Makara, Sosial Humaniora,

Vol. 10, No. 1, 27-32

Tan, Oon-Seng. (2003). Problem Based Learning Innovation: using problem to power learning in 21 Century, Thompson Learning

Tartre, L.A. (1990). Spatial orientation skill and mathematical problem solving. Journal for Research in Mathematics Education, 21 (3), 216-229

Thurstone, L.L. (1950). Some primary abilities in visual thinking. Psychometric Laboratory Research Report No. 59, Universitas of Chicago Press, Chicago

Van de Walle, John A. 1994. Elementary School Mathematics . New York: Longman. (Cakrawala Pendidikan, Februari 2006, Th. XXV, No. 1)

Wardhani, S. dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Kemendiknas. PPPPTK.

Wee. (2002). Authentic Problem Based Learning; Rewriting Business Education, Practise Hall, Singapore.

Gambar

Tabel 3.1 Klasifikasi Koefisien Korelasi
Tabel 3.2 Klasifikasi Reliabilitas
Tabel 3.3 Klasifikasi Tingkat Kesukaran Soal
Tabel 3.4 Klasifikasi Nilai Daya Pembeda
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

[r]

terhadap intensi menggunakan jasa klinik kecantikan; (2) sikap berperan positif yang signifikan terhadap intensi menggunakan jasa klinik kecantikan; (3) norma subjektif

Dokumen data isian kualifikasi (asli dan copy/rekaman) seperti yang sudah diisikan dalam isian kualifikasi pada aplikasi SPSE (copy/rekaman diserahkan kepada Pokja

Penelitian tahap pertama yang berjudul Pengembangan Model E-learning Adaptif Terhadap Keragaman Gaya Belajar Mahasiswa untuk Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran ini

Selain itu agar karyawan nyaman dalam bekerja dan lebih optimal dalam bekerja lingkungan kerjanyapun harus sesuai, maka Restoran Sindang Reret juga harus sangat

Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Materi Tanah di Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas V SDN

Selain itu, dengan adanya sistem informasi pendaftaran pelatihan secara online, setiap orang yang ingin bergabung menjadi Member dan menjadi peserta pada