• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Kewarisan Islam dalam Perspektif Muhammad Syahrur Studi Kritis Terhadap Bagian Ahli Waris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum Kewarisan Islam dalam Perspektif Muhammad Syahrur Studi Kritis Terhadap Bagian Ahli Waris"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Hukum Keluarga Islam

Oleh

M. ANWAR NAWAWI NPM: 1423010006

PROGRAM ILMU SYARI’AH

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)

(2)

TESIS

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Hukum Keluarga Islam

Oleh

M. ANWAR NAWAWI NPM: 1423010006

PROGRAM ILMU SYARIAH

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM

PEMBIMBING I: Dr. Alamsyah, MA PEMBIMBING II: Dr .Bunyana Solihin, MA

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)

(3)

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan mengenai praktik pembagian harta warisan yang berlaku di sejumlah daerah. Adanya unsur pembagian yang dianggap tidak mengedepankan nilai keadilan memicu perselisihan dalam keluarga. Sehingga perlu adanya solusi yang dapat meredamkan perselisihan tersebut. Di dalam al-Qur’an sebenarnya telah dijelaskan tentang mekanisme pembagian harta waris, setidaknya terdapat tiga ayat yang menyinggung tentang pembagian warisan. Akan tetapi banyak sekali kasus dalam pembagian harta waris yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam al-Qur’an.

Berdasarkan fakta tersebut, ada kebutuhan untuk menggali penafsiran yang berbeda dari yang ditawarkan oleh ahli fiqih. Dalam hal ini pembahasan dalam penelitian difokuskan pada pemikiran Muh}ammad Syah{ru>r. Salah satu pemikir Islam kontemporer yang sangat kontroversial, yang biasa dikenal dengan teori limitnya.

Fokus dan pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana metode penafsiran Muhammad Syahrur tentang ayat-ayat Waris?2) Bagaimana hukum kewarisan islam dalam perspektif Muhammad Syahrur dan relevansinya?. Penelitian ini bertujuan

pertama: mendeskripsikan metode penafsiran ayat-ayat waris Syahrur., kedua:

mendeskripsikan implikasi penafsiran Syah{ru>r terhadap ayat-ayat waris dalam al-Qur’an terhadap pempentukan hukum waris islam. Jenis penelitian Tesis ini menggunakan library research.

Temuan dari penelitian ini yaitu: Pertama, dalam menafsirkan ayat-ayat waris

Syah{ru>r menggunakan metode analisis linguistik semantik dan metaforik saintifik yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta modern. Metode ini menjelaskan bagaimana Syah{ru>r menguraikan penafsiran ayat-ayat waris yang sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua,

(4)

Judul Tesis : HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF

MUHAMMAD SYAHRUR (STUDI KRITIS TERHADAP

BAGIAN AHLI WARIS)

Nama Mahasiswa : M. ANWAR NAWAWI

NPM : 1423010006

Program Studi : Ilmu Syari’ah

Konsentrasi : Hukum Keluarga Islam

Telah diujikan dalam ujian tertutup dan disetujui untuk diujikan dalam ujian terbuka pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung.

Bandar Lampung, 30 Juli 2016 MENYETUJUI, Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Dr. Alamsyah, MA

NIP. 197009011997032002

Pembimbing II

Dr .Bunyana Solihin, MA NIP. 1957070519890310011

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Syari’ah

(5)

Tesis yang berjudul HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR (STUDI KRITIS TERHADAP BAGIAN AHLI WARIS),

ditulis oleh M. ANWAR NAWAWI, NPM: 1423010006, telah diujikan dalam Ujian

Tertutup dan disetujui untuk diujiikan dalam Ujian Terbuka pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung.

TIM PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Idham Khalid, M.Ag

...

Sekretaris : Dr. Jayusman, M.Ag

...

Penguji I : Prof. Dr. H.M. Damrah Khair, M.A

...

Penguji II : Dr. Alamsyah, M.Ag

...

(6)

Tesis yang berjudul HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR (STUDI KRITIS TERHADAP BAGIAN AHLI WARIS),

ditulis oleh M. ANWAR NAWAWI, NPM: 1423010006, telah diujikan dalam Ujian

Terbuka pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung.

TIM PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Idham Khalid, M.Ag

...

Sekretaris : Dr. Jayusman, M.Ag

...

Penguji I : Prof. Dr. H.M. Damrah Khair, M.A

...

Penguji II : Dr. Alamsyah, M.Ag

...

Direktur Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung

Prof. Dr. Idham Khalid, M.Ag NIP: 196010201988031005

(7)

JUDUL... ... i

PERNYATAAN ORISINILITAS ……….... ... iii

ABSTRAK ……….. ... iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...… ... v

HALAMAN PENGESAHAN... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ……….... ... .vii

KATA PENGANTAR ………... ... ix

DAFTAR ISI ………... ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Pikir ... 8

E. Metode Penelitian ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Kewarisan Islam ... 18

1. Sumber Hukum Waris Islam ... 18

2. Asas-asas Hukum Warisan Islam ... 25

3. Unsur-unsur Hukum Kewarisan Islam ... 28

4. Penyelesain Pembagian Harta Warisan ... 47

5. Pembagian Harta Kewarisan ... 47

(8)

3. Sistem Hukum Adat Kewarisan Parental atau Bilatertal ... 74

BAB III MUHAMMAD SYAHRUR ... 79

A. Biografi Muhammad Syahrur ... 79

B. Karya Intelektual Muhammad Syahrur ... 81

C. Prinsip Metodologis Penafsiran Muhammad Syahrur ... 84

BAB I VWARIS DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR ... 108

A. Pewarisan ... 108

B. Metode Penafsiran Ayat-Ayat Waris ... 111

C. Ayat-ayat Waris dan Penafsirannya ... 114

D. Aplikasi Pembagian Warisanoleh Muhammad Syahrur ... 143

E. Implikasi Penafsiran Muhammad Syahrur Terhadap Ayat-Ayat Waris .. 161

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 167

B. Rekomendasi ... 168

DAFTAR PUSTAKA... ... 169

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ketika ada seseorang meninggal dunia, maka perhatian orang-orang (ahli waris)

akan tertuju kepada harta warisan yang ditinggalkan. Masalah harta pusaka biasanya

menjadi sumber sengketa dalam keluarga, terutama apabila menentukan siapa yang berhak

dan siapa yang tidak berhak. Setelah itu, apabila berhak, seberapa banyak hak itu. Hal ini

menimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin

berlaku seadil-adilnya, oleh yang lain dianggap tidak adil.1

Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi

perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Di

dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun

perempuan. Agama Islam menghendaki prinsip keadilan sebagai salah satu sendi

pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.2

Hukum Kewarisan dalam Islam (fiqh mawaris)3mendapat perhatian yang besar

karena dalam pembagian warisan sering menimbulkan akibatakibat yang tidak

menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah manusia yang

menyukai harta benda sebagaimana firman Alloh QS. Ali Imron, 3: 14:

1Zakiah Daradjat, et al.,

Ilmu Fiqih, Jilid 3, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),hlm. 4.

2Ahmad Rofiq,

Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 4.

3

(10)







































Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron, 3: 14)

Tidak jarang Naluriah manusia yang menyukai harta benda memotivasi seseorang

menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta tersebut, termasuk di dalamnya

terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam

sejarah umat manusia hingga sekarang ini.4

Al-Qur‟an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan

dengan hak kewarisan, tanpa mengabaikan hak seorangpun. Bagian yang harus diterima

semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah ia sebagai anak,

ayah, ibu, istri, suami, kakek, nenek, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah, seibu

ataupun sekandung. Oleh karena itu, al-Qur‟an merupakan acuan pertama hukum dan

penentuan pembagian waris. Hanya sedikit saja dari hukum-hukum waris yang ditetapkan

oleh Sunnah Nabi atau dengan ijtihad para ulama. Bahkan tidak ada dalam al-Qur‟an

seperti hukum waris. Ini adalah karena pewarisan merupakan suatu wasilah yang besar

pengaruhnya dalam pemilikan harta dan memindahkannya dari seseorang kepada orang

lain.5

4Ahmad Rofiq,

Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),Cet Ke-3,

hlm. 356.

5Muhammad Hasbi Asy-Syidiqie,

(11)

Syari‟at Islam telah menjelaskan hak-hak yang berhubungan dengan harta

peninggalan, tertib hak-hak, rukun-rukun, syarat dan sebab-sebab perpindahan harta waris,

hal-hal yang menjadi penghalang mewarisi, bagian masing-masing ahli waris dan

hukum-hukum yang berpautan dengan harta warisan.6

Terkait dengan ketentuan bagian masing-masing ahli waris telah diatur dalam

al-Qur‟an Surat an-Nisa‟ ayat 11, 12 dan 176. Di mana al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 11 Allah

telah menggambarkan pembagian warisan untuk anak-anak, baik anak laki-laki, anak

perempuan, maupun cucu, baik cucu lakilaki maupun cucu perempuan dan bagi orang tua

(abawaini), baik bapak/ibu maupun kakek/nenek. Pada ayat 12 surat an-Nisa‟, Allah

menggambarkan pembagian warisan untuk suami maupun isteri. Pada ayat itu juga

(an-Nisa‟; 12), Allah menggambarkan pembagian warisan saudara-saudara (kasus kalalah) dan

ayat 176 juga menjelaskan tentang kasus kalalah.

Di dalam Islam telah ada syari‟at yang jelas dan nyata tentang masalah warisan.

Namun ada saja manusia yang membaginya sesuai dengan kehendak nafsu yang melekat

pada dirinya. Hal demikian bukanlah permasalahan yang langka dalam lingkungan sekitar

kita, tetapi merupakan permasalahan yang sudah menjamur dan sulit untuk dipecahkan.

Dengan berbagai alasan dan kedok yang dusta, orang-orang yang seharusnya dapat bagian

akhirnya tidak dapat bagian sama sekali. Mereka beranggapan bahwa hokum Allah tidaklah

adil sehingga menyalahkan aturan-aturan yang telah disyari‟atkan oleh Islam.

Konsekuensinya adalah rusaknya hubungan kekeluargaan dan persaudaraan diantara

mereka.7

6

Ibid, hlm. 8.

7Ali bin Ahmad bin Al-Wahidi>,

As bab Nuzul al-Qur’an, al-Maktabahal-Sya>milah

(12)

Tidak jarang harta warisan menjadi pemicu terjadinya pertengkaran, perpecahan,

terputusnya tali silaturrahmi, bahkan pertumpahan darah dalam sebuah keluarga. Hal ini

dikarenakan kezhaliman dan ketidak adilan di dalam pembagiannya. Terkadang seseorang

berwasiat bahwa sepeninggalannya seluruh hartanya diwariskan kepada salah

seorang anaknya saja, atau seluruh anaknya, namun dengan porsi yang diatentukan

semaunya. Atau dikuasai secara paksa oleh sebagian keluarganya sehingga sebagian

keluarganya yang lain tidak mendapat bagian. Olehkarena itu perkara yang satu ini

mendapat perhatian lebih di dalamIslam.

Hukum waris disyari‟atkan di dalam al-Qur‟an dengan tujuan adanya keterikatan

kasih sayang, member manfaat pada sanak keluarga sehingga terhindar dari kesenjangan

keluarga yang dapat menyebabkan perselisihan di antara mereka. Dalam al-Qur‟an surat

al-Nisa>‟ayat 11 Allah berfirman:

















Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan

Dari uraian ayat di atas memberikan arti bahwa bagian laki-laki dua kali bagian

perempuan dengan alasan kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban

membayar mas kawin dan member nafkah.8 Anak laki-laki juga bertanggungjawab atas segala pengaturan baik masalah yang khusus ataupun yang umum.

Sebab lain mengapa seorang laki-laki lebih besar bagianya daripada perempuan

adalah laki-laki dibebani masalah hidup yang tidak mampu dijalankan oleh wanita.

Laki-lakilah yang dapat membajak tanah dan dengan kerja keras untuk mendapatkan hasil.

(13)

Mereka juga yang mampu menjelajahi daratan untuk membiayai kehidupan keluarganya,

serta menyebrangi lautan untuk perdagangan dan sebagainya.

Berbeda dengan anak perempuan yang selalu terikat dengan beberapa penghalang.

Tidak ada aktifitas yang lain kecuali mengatur rumahtangga dan anak, walaupun sebagian

perempuan dapat bekerja secara mandiri yang dapat membantu laki-laki dalam membantu

urusan kebutuhan rumah tangga. Akan tetapi yang bertanggung jawab penuh member iuang

belanja untuk urusan rumah tangga adalah suaminya, sebagai suatu ketentuan yang sesuai

dengan ketentuan agama.9

Namun dalam realita kehidupan di sekitar kita pembagian harta warisan

tersebuttidak sesuai denganapayang telah disyari‟atkan dalamal- Qur‟an. Misalnya dalam

al-Qur‟an disebutkan bahwa anak laki-laki mendapatkan harta warisan sama dengan bagian

dua orang anak perempuan.10 Akan tetapi dalam masyarakat di sekitar kita melakukan pembagian harta warisan baik anak laki-laki ataupun perempuan memiliki porsi yang sama.

Pembagian yang sama tersebut terjadi karena dengan alasan menghindari adanya pemicu

kesenjangan sosial, pertikaian, dan perpecahan antar keluarga.

Berangakat dariproblema di atas penulis ingin mengkaji lebih jauh bagaimana

konsep utuh atau komprehensif mengenai “waris” dalam perspektif al-Qur‟an. Melalui

penelitian akademis ini penulis ingin mendialokkan al-Qur‟an sebagai teks yang terbatas,

dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas. Hal ini mengingat

betapapun al-Qur‟an turun di masa lalu dengan konteks dan lokalitas social budaya

tertentu, tetapi ia mengadung nilai-nilai universal yang salih} likulli zama>n wa maka>n.

9i bid.

(14)

Diera kontemporer al-Qur‟an perlu ditafsirkan sesuai dengan era kontemporer yang

dihadapi umat manusia.11 Pemahaman al-Qur‟an bisa saja beda jika ditangkap oleh generasi yang berbeda, dengan kata lain ajaran dan semangat al-Qur‟an bersifat universal,

rasional dan sesuai dengan kebutuhan. Namun respon historis dimana tantangan zaman

yang mereka hadapi sangat berbeda dan variasi, sehingga secara otomatis menimbulkan

corak dan pemahamanyangberbeda.

Berangkat dari uraian yang telah dipaparkan di atas penulis tertarik untuk mengkaji

lebih jauh penafsiran “waris” dalam pandangan Muhammad Syah{u>r dalam kitab

tafsirnya Nah{wa Us}u>l Jadi>dah Li Fiqih Isla>mi> dan Kita>b wa

al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah. Halinisudahmenjadikeharusan untuk melihat kembali

teks al-Qur‟an tentang apa sesungguhnya pesan moralyang dikandungnya, dalam konteks

apa al-Qur‟an diturunkan, bagaimana ayat-ayat tersebut dihadapkan dan

dikontekstualisasikan dengan realitas sosial kekinian.

Adapun alasan penulis memilih Muh}ammadS yah}ru>r sebagai objek kajian

lebihd isebabkan karena pendapatnya dalam masalah ini cukup dinamis dan kontroversial.

Penafsiran Syah}ru>r sangatlah kotroversial jika dibanding dengan para penafsir pada

umumnya. Dan tidak jarang para ulama tafsir yang menentang pemikirannya, bahkan yang

lebih ekstrem menganggap penafsiranya adalah sesat. Akan tetapi dianggap dinamis

dengan permasalahan kontemporer sehingga pada akhirnya akan menghasilkan suatu

penafsiran yang relevan dengan kajian “waris”yang selalu menuntut keadilan sosial.

1111Muhammad Syah}ru>r,

(15)

Dalam kitabnya Nah{wa Us}u>l Jadi>dah Li al-Fiqihal-Isla>mi>dan al- Kita>b

wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah Muh}ammadS yah{ru>r memberikan warna yang

khas dan berani berbeda dalam kajian“waris” sehingga penafsiranya dapat memperkaya

khazanah penafsiran al-Qur‟an khususnya yang bercorak fiqih. Berangkat dari hal tersebut

penulis ingin mencoba mengupas lebih dalam terhadap pemikiran Muhammad Syah{ru>r

terkait masalah “waris”dalamal-Qur‟an.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana metode penafsiran Muhammad Syahrur tentang ayat-ayat

Waris?

2. Bagaimana hukum kewarisan islam dalam perspektif Muhammad syahrur

dan relevansinya dalam pengembangan hukum waris di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian a. Tijuan Pnelitian

Tujuan penelitian terhadap hukum kewarisan menurut pemikiran Muhammad

Syahrur tentang pembagian waris adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam metode istinbath hukum Muhammad Syahrur tentang Tentang Pembagian Waris?

2. Untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam hukum kewarisan islam dalam perspektif Muhammad syahrur dan relevansinya dalampengembangan hukum waris di Indonesia.

(16)

1. Memperbanyak khazanah pemikiran berupa pendapat-pendapat, pemahaman

atau teori dalam khazanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum kewarisan

Islam khususnya, terutama aspek-aspek hukum yang timbul dari masalah

kewarisan akibat kematian pewaris yang secara normatif yang sumbernya telah

ada dalam Al-Qur`an, hadits dan ijtihad para ahli yang kemudian dikaji dalam

bingkai hukum kewarisan menurut pemikiran Muhammad Syahrur tentang

Pembagian Waris.

2. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dalam rangka menjadikan

Hukum Kewarisan Muhammad Syahrur sebagai rujukan, bagi para hakim,

pengacara di lingkungan peradilan agama dan masyarakat muslim secara

umum yang memerlukannya dengan harapan dapat mendatangkan manfa'at

dan menjadi masukan dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah

kewarisan sehingga setiap orang selaku ahli waris dapat memperoleh haknya

secara benar dan adil.

D. Kerangka Pikir

Istilah waris dalam Islam, disebut juga dengan fara‟id yaitu bentuk jama‟ dari

faridah yang secara harfiyah berarti bagian yang telah ditentukan. Pengertian ini erat

kaitannya dengan fardu yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Artinya hukum

kewarisan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap

muslim. Ia dianggap sebagai hukum yang berlaku secara mutlak (compulsory law). Dan

hukum kewarisan Islam secara mendasar memang merupakan ekspresi langsung dari

teks-teks suci yang berasal dari dalil qath’i> baik dari segi wurudnya maupun

(17)

Pelaksanaan hukum kewarisan Islam di Indonesia umumnya masih merujuk

pada kitab-kitab fikih mazhab Syafi‟i. Namun dalam bagian-bagian tertentu mengenai

praktek hukum kewarisan Islam di Indonesia, ditemukan kontradiksi pemikiran Sunni

dengan pembaharuan hukum kewarisan Islam Indonesia yang termuat dalam KHI

(Kompilasi Hukum Islam). Hal ini tentunya sangat terkait dengan corak budaya dan

kesukuan hukum kewarisan Islam di Indonesia yang lebih bersifat bilateral, parental

dan patrilinial, bukan hanya bercorak patrilinial sebagaimana doktrin yang dipakai fikih

Syafi‟i.

Konsep kewarisan Islam secara global menurut Syahrur, patut diketahui

sebelum membahas pemikiran Syahrur tentang kalalah. Hal ini dikarenakan, konsep

Syahrur ini mempunyai ciri khas tersendiri dalam pembagian harta waris.

Pewarisan menurut Syahrur adalah proses pemindahan harta yang dimiliki

seseorang yang sudah meninggal kepada pihak penerima (waratsah) yang jumlah dan

ukuran bagian (nasib) yang diterimanya dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada

wasiat, maka penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya (hazz) ditentukan

dalam mekanisme pembagian warisan.12

Syahrur berpendapat bahwa ayat-ayat tentang waris diturunkan dan

diberlakukan bagi seluruh manusia secara kolektif yang hidup di muka bumi, bukan

untuk pribadi atau keluarga tertentu. Ayat-ayat waris menggambarkan aturan universal

yang ditetapkan berdasarkan aturan matematis (teori himpunan/ teknik analisis/ analisis

matematis) dan empat operasional ilmu hitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian,

dan pembagian).

12Muhammad Syahrur,

(18)

Pembagian warisan menurut Syahrur, termasuk dalam batas-batas hukum yang

telah ditentukan oleh Allah di mana dalam firman-Nya: tilka hudud Allah yang berada di

wal ayat 13 surat an-Nisa‟ setelah Allah menetapkan dan menjelaskan batasan-batasan

hukum waris pada ayat 11 dan 12. Adapun batas-batas hukum Allah dalam pembagian

warisan, Syahrur mengelompokkan menjadi tiga batas-batas hukum:

a. Batas Pertama hukum waris; li adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni Batasan ini

adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagian (huzuz) bagi

anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan dua anak

perempuan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang dapat

diterapkan pada segala kasus, di mana jumlah perempuan dua kali lipat jumlah

laki-laki.

b. Batas Kedua hukum waris: fa in kunna nisa’an fawqa ithnatayni Batas hukum ini

membatasi jatah warisan anak-anak jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan

tiga perempuan dan selebihnya (3, 4,5…dst).

c. Batas Ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu Batas hukum

ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi ketika jumlah pihak

laki-laki sama dengan jumlah pihak perempuan.13

Keberadaan walad dalam kalâlah menempati posisi yang pasti sebagai orang

yang berhak menerima harta warisan dan mempengaruhi hak orang lain dalam

pembagian harta warisan. Lafaz walad dalam ayat waris lebih banyak digunakan

berkaitan dengan masalah hijab-menghijab, baik dalam hijab hirmân maupun nuqshân,

sehingga keberadaan walad adalah kalâlah atau menyebabkan saudara tidak mendapat

13

(19)

warisan. Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami lafaz walad muncul

ketika menafsirkan surat al-Nisâ‟[4]: 176:

Adanya perbedaan pendapat tentang makna walad ini disebabkan oleh dua hal,

yaitu: (1) Lafaz walad dihubungkan dengan kalâlah. Allah secara tegas menyatakan

bahwa kalâlah adalah seseorang yang meninggal dalam keadaan tidak meninggalkan

walad.

Apabila dihubungkan dengan peristiwa sabab nuzûl ayat tersebut yaitu ketika

„Umar meminta penjelasan kepada Nabi tentang kalâlah yang terdapat dalam Q.s.

al-Nisâ‟[4]: 12 maka hal ini menunjukkan bahwa orang sama sekali tidak mengetahui

makna kalâlah, atau mereka sudah mengetahui kalâlah tetapi apa yang telah mereka

ketahui itu salah sehingga turun ayat Alquran yang menjelaskannya. (2) Memahami

Hadis Ibn Mas‟ûd yang menjelaskan bahwa saudara perempuan menjadi asabat ketika

bersama dengan anak perempuan dan juga dalam memahami Hadis Jâbir bahwa

Rasulullah Saw. memberikan hak waris kepada saudara laki-laki ketika bersama dengan

anak perempuan. Mayoritas ulama Suni mengartikan walad dengan anak laki-laki

sehingga makna kalâlah adalah orang yang meninggal dalam keadaan tidak

meninggalkan anak laki-laki dan ayah. Adapun Syiah Imâmiyyah mengartikan kata

walad dengan anak laki-laki dan perempuan sehingga kalâlah diartikan dengan orang

yang meninggal yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan serta

orang tua (ayah dan ibu).

Disamping anak laki-laki, cucu dari keturunan laki-laki juga diakui sebagai

walad.Penarikan keturunan melalui garis laki-laki dapat dilihat dalam beberapa syair

(20)

saudara perempuan atau saudara laki-laki ketika ada anak perempuan. Hadis yang

menjelaskan kasus kewarisan anak perempuan Sa‟ad merupakan hadis yang sangat

populer di kalangan mayoritas ulama dan sering dikutip sebagai dalil bahwa Q.s.

al-Nisâ‟[4]: 11 dan 12 merupakan ayat kewarisan pertama yang turun secara terperinci dan

untuk menunjukkan bahwa saudara laki-laki berhak menjadi asabat ketika bersama

dengan anak perempuan. Begitu pula dengan Hadis Ibn Mas‟ûd yang memberikan hak

waris kepada saudara perempuan ketika bersama dengan anak perempuan. Dalam hadis

ini saudara perempuan berhak menghabiskan sisa harta. Dalam Hadis ini terlihat bahwa

anak perempuan tidak dapat menghijab saudara perempuan atau saudara laki-laki

sehingga walad yang mempengaruhi kewarisan kalâlah itu adalah anak laki-laki saja.

Keberadaan anak perempuan tidak mempengaruhi kalâlah. Pemahaman seperti ini

muncul karena penggunaan kata walad untuk anak laki-laki sudah menjadi „urf di

kalangan orang Arab sehingga kalau dikatakan walad maka maksudnya adalah anak

laki-laki. Mayoritas ulama menjadikan Hadis ini sebagai penjelas dari arti kalâlah yang

terdapat dalam Q.s. al-Nisâ‟[4]: 176.

Kata “kalâlah” adalah bentuk masdar dari kata “kalla” yang secara etimologi

berarti letih atau lemah. Kata kalâlah pada asalnya digunakan untuk menunjuk pada

sesuatu yang melingkarinya serta tidak berujung ke atas dan ke bawah, seperti kata

“iklil” yang berarti mahkota karena ia melingkari kepala. Seseorang dapat disebut

kalâlah manakala ia tidak mempunyai keturunan dan leluhur (anak dan ayah). Kerabat

garis sisi disebut kalâlah karena berada di sekelilingnya, bukan di atas atau di bawah.14

14Ibn Manzhûr,

Lisân al-Arab, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid XV, h. 142; Muhammad Rawwâs

Qal‟ah Jî dan Hâmid Shâdiq Qunaybî,Mu’jâm Lughah al-Fuqahâ’, (Bayrût : Dâr al-Nafs, 1998), h. 50;

(21)

Kemudian kata kalâlah digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai

ayah dan anak.15 Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada

pendapat beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu: (1) Orang yang

tidak mempunyai anak dan orang tua. (2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan

kerabat. (3) Orang yang meninggal. (4)Orang yang tidak mempunyai anak, orang tua

dan saudara.16 Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah.

Saudara seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut dengan kalâlah

ayah.

Selanjutnya ia menuturkan bahwa Umar r.a pada awalnya berpendapat kalâlah

adalah orang yang punah ke bawah (jadi masih mungkin mempunyai ayah), tetapi

pendapatnya ini ditinggalkan setelah dikritik oleh para sahabat lainnya, termasuk Abu

bakar r.a yang mengartikan kalâlah sebagai orang yang tidak meninggalkan

keturunan (anak laki-laki) dan orang tua. Karena arti ini sesuai dengan penggunaan arti

(isti’mal) yang berlaku dikalangan sahabat. Ibn Katsir mengartikan ayat (12) adalah

mengatur hak kewarisan kalâlah bagi saudara seibu karena dalam ayat ini ada

tambahan min al-um (seibu) sesudah kata al-akhi yang kemudian dinasakh

bacaannya. Walaupun bacaan tersebut termasuk dalam qirâ‟ at syazzah. Artinya: Bila

seseorang meninggal dalam keadaan kalâlah, baginya ada saudara laki-laki dan saudara

perempuan (seibu).

Dengan ajaran Islam, tujuan hukum kewarisan itu akan terwujud apabila ahli

waris benar-benar meyakini bahwa ajaran Islam inilah yang bisa mewujudkan

kedamaian bagi mereka, ketenangan dan menghindari konflik di antara ahli waris.

15Al-Âlûsî al-Baghdâdî,

Rûh al-Ma’ânî, (T.tp: Dâr al-Fikr, t.th), h.358.

16bn al-´Arabî,

(22)

Islam dengan tegas mengharamkan perselisihan yang disebabkan harta kecuali

dengan hak; oleh sebab itu Islam memberikan aturan khusus tentang pembagian warisan

agar menjadi pedoman bagi setiap muslim.

Dalam penelitian ini, penulis akan berupaya menyajikan uraian mengenai

hukum kewarisan menurut Muhammad Syahrur, kelebihan dan kekurangannya dengan

landasannya Al-Qur`an, Hadits dan Ijma' para 'Ulama. Dengan demikian diharapkan

akan memperoleh informasi yang utuh dan menyeluruh mengenai persoalan yang akan

diteliti.

Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library

research) yaitu kegiatan penelitian yang mengandalkan data dari bahan pustaka 17.

Dengan menela'ah bahan pustaka tertentu untuk dijadikan sumber data primer, yang

memuat informasi tentang fokus penelitian. Disamping itu dilengkapi sumber data

sekunder yang menunjang sumber data primer atau sumber data sekunder yang

menunjang sumber data primer, pemilihan sumber data primer atau sumber data

sekunder ditentukan oleh peneliti dengan merujuk kepada fokus dan tujuan penelitian

yang berkenaan dengan kewarisan menurut Muhammad Syahrur.

Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat desriptif yaitu penelitian yang

bermaksud untuk membuat deskriptif mengenai situasi atau kejadian-kejadian dengan

pendekatan yuridis normatif dan komparatif.

Untuk lebih jelasnya dalam memahami kerangka pikir dalam penelitian ini

dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

17 Program Pasca Sarjana IAIN Raden Intan,

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Program Pasca

(23)

E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni jenis penelitian yang

temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan

lainnya.18Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.19

Penelitian ini juga mendasarkan pada studi literer atas beberapa karya Muhammad

Syahrur. Karenanya, penelitian ini boleh juga disebut sebagai library research. Studi literer

(library research) atas naskah tertulis tentang pemikiran Muhammad Syahrur, baik

karyanya sendiri (primer) atau hasil kajian peneliti sekarang atas tokoh tersebut.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

18Anselm Strauss dan Juliet Corbin,

Basics Of Qualitative Research; Grounded Theory Procedures and Techniques, Terj. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Tata Langkah dan Teknikteknik Teoritisasi Data oleh Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 4.

19Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Rosdakarya, 2005), Cet. XXI, hlm. 4.

Muhammad Sahrur Al-tentang waris) Qur‟an( ayat

(24)

Sumber data primer yaitu sumber data utama dan paling pokok berupa buku dan

tulisan karya Muhammad Syahrur. Buku karya Muhammad Syahrur yang penulis jadikan

rujukan utama adalah Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami; Fiqh al-Mar’ah,

diterjemahkan Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin "Metodologi Fiqih Islam

Kontemporer", terbitan eLSAQ Press, Yogyakarta, tahun 2004. Rujukan utama kedua yakni

al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashiroh, diterjemahkan Sahiron Syamsuddin, dan Burhanuddin “Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur‟an Kontemporer”, terbitan eLSAQ

Press, Yogyakarta, 2007.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data tentang gagasan ataupun pemikiran

Muhammad Syahrur yang ditulis oleh orang lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan datanya dilakukan melalui penelusuran

terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data. Sumber data tersebut berupa

literatur yang berkaitan dengan substansi penelitian ini. Untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan, peneliti menggunakan metode library research atau studi kepustakaan yaitu

usaha untuk memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan

mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku referensi

atau hasil penelitian lain.20

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola,

kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan ide

20M. Iqbal Hasan,

Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:Ghalia

(25)

yang disarankan oleh data.21Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis

disini menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode analisis deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dimaksud

untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasisituasi atau

kejadian-kejadian.22Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam

konsep tersebut. Metode ini diterapkan pada BAB III yang berupa

konsep-konsep pemikiran Muhammad Syahrur tentang waris

b. Metode content analisis merupakan metode analisis ilmiah dimana

hasilnya harus menyajikan generalisasi, proses analisisnya dilakukan

secara sistematis, mengarah pada pemberian sumbangan teoritiknya.23

c. Analisis ini bertumpu pada metode analisis deskriptif. Metode analisis ini

diterapkan pada BAB IV.

d. Metode Analisis Komparatif adalah metode analisis yang digunakan untuk

memperoleh kesimpulan dengan menilai faktor-faktor tertentu yang

berhubungan dengan situasi yang diselidiki dan membandingkan dengan

faktor-faktor lain. Metode analisis ini juga diterapkan pada BAB IV guna

mengetahui perbedaan antara pemikiran Syahrur dengan para ulama‟

klasik.

21Lexy J. Moleong,

Op.cit, hlm.103 22Sumadi Suryabrata,

Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),hlm.18.

23Noeng Muhajir,

(26)

BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam merupakan nilai-nilai agama Islam yang telah diyakini

umatnya, kemudian dijadikan sistem kehidupan untuk mengatur hubungan sesama

manusia, yang selanjutnya menjadi sistem hukum kewarisan. Agama Islam merupakan

mayoritas agama yang dianut oleh warga negara Indonesia, maka sistem hukum kewarisan

Islam menjadi salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Sistem hukum warisan Islam sebagai bagian dari sistem syari„at merupakan dalam

aspek sistem hukum mu„amalah atau juga dalam lingkungan hukum perdata. Dalam ajaran

Islam hukum warisan ini tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam dan ibadah

Karenanya dalam penyusunan kaidah-kaidah hukum warisan harus berdasarkan

sumber-sumber hukum Islam seperti hukum-hukum Islam yang lainnya.

1. Sumber Hukum Warisan Islam

Sumber-sumber hukum warisan Islam adalah pertama al-Qur„an, kedua Sunnah

Rasulullah SAW, dan yang ketiga ialah ijtihad para ahli hukum Islam. Dasar penggunaan

ketiga sumber hukum warisan Islam itu pertama dalam al-Qur„an:[4] surat An-Nisa„ ayat

59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil

amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka

(27)

beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan

lebih baik akibatnya.1

Dalam ayat tersebut mewajibkan bahwa setiap manusia dalam menetapkan hukum

harus berdasarkan ketetapan-ketetapan Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW2, serta Uil

Amri. Ulil Amri dapat dimaknakan sebagai sumber ijtihad para mujtahid.3

Berdasarkan ayat Al-Qur„an tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sumber hukum

warisan Islam terdiri dari Al-Qur„an, As-sunah dan Ijtihad.

1.1. Al-Qur’an

Al-Qur„an adalah Kalam Allah yang diturunkan yang dturunkan kepada Rasul

-Nya, Nabi Muhammad SAW. sebagai kitab suci bagi umat yang beragama Islam,

Al-Qur„an tertulis dalam mushaf berbahasa Arab, disampaikan kepada umat manusia dengan

jalan mutawatir. Bagi yang membacanya mempunyai nilai ibadah, dimulai dengan surat

Al-Fatikah dan diakhiri surat An-nas.4

Menurut Abdul Wahab Khallaf ayat-ayat Al-Qur„an yang berhubungan dengan

hukum keluarga 70 ayat, hukum-hukum perdata lainnya juga 70 ayat, sedang yang

mengenai hukum pidana 30 ayat, Peradilan dan Hukum Acara 30 ayat, Hukum Tata

Negara 10 ayat, Hubungan Internasional 25 ayat dan Hukum Dagang serta Hukum

Keuangan 10 ayat.5

1H.A. Hafizh, h.69

2Dapat dilihat dalam bukunya Amir Syarifuddin tentang Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam

dalam Lingkungan Adat Minangkabau, dimana beliau telah mengutip ayat-ayat Al-Qur‟an sebagai sumber

hukum warisan Islam sebanyak 11 ayat, Surat An-Nisa‟ 10 ayat . Sedangkan Sunah Raullullah SAW sebanyak 11. hadist,

3 Penafsiran Ulil Amri sebagai mujitahid ini menurut Ar-Razi dalam Mafnatihul Ghaib, seperti telah

dikutip oleh Munawar Chil, Ulil Amri ,(Semarang : Ramadhani, 1984) h, 20

4

Ibid

5Abdul Wahab Khlaf,

(28)

Said Ramadhan berpendapat bahwa Al-Qur„an bukanlah satu referensi yang

mudah bagi suatu studi hukum. Ia pada dasarnya adalah petunjuk agama, oleh sebab itu

lebih merupakan ajakan kepada kepercayaan dan jiwa kemanusiaan dari pada petunjuk

hukum.6 Anwar Hardjono menyetujui pendapat Said Ramadhan dengan pengertian bahwa

Al-Qur„an adalah sumber hukum, tetapi ia bukan kitab hukum atau lebih tepatnya bukan

kitab undang-undang dalam pengertian biasa.7

Al-Qur„an sebagai sumber hukum dalam bidang hukum muamalah tidak

sebagaimana dalam hukum ibadah, tetapi umumnya hanya memberikan dasar umum,

dengan adanya pengaturan yang bersifat umum. Dengan harapkan hukum Al-Qur„an dapat

diterapkan dalam berbagai macam masyarakat, dan bermacam-macam kasus sepanjang

masa, sehingga ia bersifat fleksibel dalam menghadapi perubahan masyarakat. Demikian

pula seperti hukum kewarisan, ayat-ayat Al-Qur„an hanya menentukan ahli waris enam

orang, yaitu suami, istri, anak (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu dan saudara,

sedangkan ahli waris lain tidak diatur didalamnya, seperti kekek, nenek, cucu dan lain

sebagainya.

Dalam hukum muamalahpun ada ayat-ayat yang sudah jelas dan pasti, artinya

bukan bersifat dasar umum, tetapi ada juga yang belum jelas. Contoh ayat Al-Qur„an yang

sudah jelas adalah dalam surat An-Nisa„ (4) ayat 12 yaitu terjemahan dalam bahasa

Indonesia ialah ―Dan bagimu para suami ―seperdua” dari harta yang ditinggalkan

oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Kata nisfu dalam ayat Al-Qur„an

yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seperdua, kata ini sudah jelas, sehingga tidak

diperlukan penafsirkan.

6Said Ramadhon,

Hukum Islam Ruang Lingkup dan Kandungannya,Terjemahan dari Islamic Law its Scope and Equity, oleh Suadi Saad, (Jakarta :Gaya Media, 1986), h. 112.

7Anwar Hardjono,

(29)

Dengan demikian dalam hukum warisan bagian suami adalah seperdua (1/2) dari

harta warisan yang ditinggalkan oleh iterinya. Kemudian contoh ayat Al-Qur„an yang

artinya belum jelas, atau mempunyai arti ganda, akibatnya menimbulkan penafsiran dan

terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli hukum Islam. Ayat Al-Qur„an tersebut

adalah dalam surat Al-Baqarah (1) ayat 228 yaitu yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: ― Dan wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri tiga kali

quru‟ . Kata quru‟ dalam ayat Al-Qur„an mempunyai arti ganda, pertama dapat diartikan ―haid”, dan kedua dapat diartikan ―suci”. Sehinggan kata quru„ kalau diartikan

haid, waktu tunggu wanita apabila diceraikan oleh suaminya tiga kali (3X) berarti 3 kali

masa berjumlah 90 hari. Kemudian kata quru„ apabila ditafsirkan suci berarti tiga kali (3x)

masa suci berjumlah 120 hari. Dalam hukum warisan ayat-ayat Al-Qur„an yang telah rinci

hanya terbatas kepada ahli waris yang hubungan dengan pewaris sangat dekat, senagaimana

telah disebut di atas. Sedangkan untuk kerabat-kerabat yang lain belum diatur secara

jelas. Ayat-ayat Al-Qur„an hanya menerangkan ―kerabat dekat”, lebih berhak dari yang

lainnya.

Sehingga ahli waris ini dalam penafsiran kerabat dekat para ahli hukum warisan

Islam terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan itu secara garis besar ada tiga golongan,

golongan pertama pendapat ahli sunni, golongan kedua pendapat syiah imamiyah dan

ketiga pendapat Hazairin. Dengan adanya kekurangjelasan ayat-ayat Al-Qur„an tersebut

memberikan lapangan yang luas bagi akal manusia untuk memggali hukum berdasarkan

kepada ayat-ayat Al-Qur„an dan Hadist Rasulullah SAW. Selain itu kemungkinan

munculnya faktor lain, seperti pengetahuan masyarakat dalam hal hukum kewarisan,

(30)

Adat-istiadat dalam masyarakat, sebagaimana dalam Adat-Adat-istiadat masyarakat Indonesia, seperti

hibah pada waktu pewaris masih hidup merupakan pembagian harta warisan.

Selain kedua faktor tersebut dimungkinkan masih banyak faktor lain, yang

memerlukan ijtihad para ahli hukum Islam, sehingga dalam pelaksanakan hukum warisan

Islam betul-betul akan menjadikan rasa keadilan kedamaian masyarakat. Kemudian dalam

hubungannya dengan pendapat-pendapat para ahli hukum warisan Islam tentang

pengembangan penafsiran ahli waris dalam ayat-ayat Al-Qur„an tersebut, akan dijelaskan

dalan sub bab selanjutnya.

1.2. Sunnah

Yang dimaksud dengan Sunnah disini adalah berupa perbuatan, (Sunnah fi‟ liyah), perkataan, (Sunnah qauliyah) dan diamnya Nabi Muhammad SAW (Sunnah

Taqririyah), yang bisa jadi dasar hukum.8Sunnah Taqririyah terjadi apabila sahabat berbuat

atau berkata, dan Nabi membiarkan hal tersebut atau diam tidak memberikan komentar

apa-apa.9

Sunnah dan Hadits sering digunakan untuk maksud yang sama, tetapi sebenarnya

kedua istilah itu berbeda. Sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh Nabi

Muhammad SAW, secara terus-menerus, dinukilkan dari masa ke masa secara mutawatir,

Nabi dan sahabatnya melaksanakannya. demikian juga tabi„in dan seterusnya dari generasi

ke generasi berikutnya sehingga menjadi pranata dalam kehidupan Muslim.10

Sedangkan hadits berkonotasi segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi

Muhammad SAW, walaupun hanya sekali saja beliau mengucapkan atau mengerjakannya,

8H.A. Djazuli,

op.cit, h. 68.

9

Ibid.

10Endang Sutari,

(31)

meskipun diriwayatkan hanya satu orang.11 Ketentuan hukum dalam As-Sunnah, dalam hubungannya dengan A-Qur„an ada tiga macam. Pertama As-Sunnah membuat hukum

yang sesuai dengan hukum yang ada dalam Al-Qur„an artinya As-Sunnah memperkuat

hukum yang ada dalam Al-Qur„an. Kedua As-Sunnah mempunyai fungsi menjelaskan

atau merinci hukum dalam Al-Qur„an. Penjelasan ini dapat berupa (1) merinci yang umum

dalam Al-Qur„an, seperti perincian tata cara shalat, (2) Mengkhususkan yang umum,

seperti Sunnah yang menyatakan peninggalan Nabi tidak dapat diwarisi, dan (3)

Membatasi yang mutlak, seperti batasan hukum wasiat.

Ketiga As-Sunnah membuat hukum baru yang belum ada dalam Al-Qur„an,

seperti larangan memakan binatang yang mempunyai taring, binatang yang menjijikan dan

lain sebagainya.

Sunnah Nabi Muhammad SAW menjadi dasar hukum Islam kedua setelah

Al-Qur„an, dalam hukum warisan sebagaimana mempunyai tiga fungsi hubungannya dengan

Al-Qur„an, adalah pertama Sunnah sebagai penguat hukum dalam Al-Qur„an ini seperti

Sunnah Nabi Muhammad SAW dari Ibnu Abas yang diriwayatkan Buchori dan Muslim

yang maksudnya ialah ―Berikan faraa„id bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur„an

kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah kepada keluarga laki-laki

yang terdekat.12

Kedua sebagai penjelasan Al-Qur„an, yaitu Sunnah Rasulullah SAW tentang

batasan wasiat hanya sepertiga dari harta warisan, Sunnah Rasulullah SAW, merupakan

penjelasan ayat 180 dan 240 Surat Al-Baqarah.

11

Ibid

12Al-Buchori

(32)

Dimana dalam kedua ayat tersebut tidak dijelaskan berapa harta warisan diberikan

dalam wasiat tersebut Dan ketiga sebagai membentuk hukum baru, artinya belum ada

hukum warisan di dalam Al-Qur„an, misalnya ketentuan hukum antara orang yang

berlainan agama, salah satunya beragama Islam, tidak saling mewarisi.13

1.3. Ijtihad

Ijtihad dari segi istilah berarti menggunakan seluruh kemampuan dengan

semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum syara„.Orang yang berijtihad disebut

mujtahid.14 Ijtihad dapat dilakukan perorangan disebut ijtihad fardi, dan bila dilakukan

secara kolektif disebut Ijtihad jama„i.15

Dimuka telah disebutkan bahwa ijtihad merupakan sumber hukum setelah

Al-Qur„an dan As-Sunnah, dasar hukum ijtihad sebagai sumber hukum adalah hadist Mu„adz

ibnu Jabal ketikan Rasulullah SAW, mengutus ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.

Raulullah SAW bertanya: ―Dengan apa kamu menghukum? Ia menjawab,

Dengan apa yang ada dalam Kitab Allah, Bertanya Rasulullah: Jika kamu tidak

mendapatkannya dalam kitab Allah, Dia menjawab: Aku memutuskan dengan apa yang

diputuskan Rasulullah, Rasul bertanya lagi. Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan

Rasulullah?Berkata Mu„adz, Aku berijtihad dengan pendapatku.Rasulullah bersabda, aku

bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.16

Ijtihad dalam hukum warisan sejak zaman dulu telah dilakukan oleh umat Islam,

kemudian yang menonjol adalah golongan Ahli Sunnah dan golongan Syi„ah. Kemudian di

13Ali Hasabullah, Ushul At tasrii’il Islami, (Mesir : Dar El Ma‟arif,19964), h . 35-58. 14Ahmad Azhar Basyir,

Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Jogyakarta :Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 1990), h 14.

15

Ibid

16Hadits ini dikutip dari buku

Ilmu Ushul Fiqih Rahmad Syafi‟i, yang diterbitkan Pustaka Setia

(33)

Indonesia ijtihad hukum warisan ini dilakukan oleh Hazairin. Dan hasil dari ijtihad akan

dijelaskan dalam sub bab kemudian seperti yang telah disebutkan di muka.

Perbedaan pokok diantara mereka ialah pada pemhaman terhadap kedudukan

perempuan dalam sistem hukum warisan. Hal ini dikarenakan dasar analisis

pengembangan hukum warisan yang diatur dalam Al-Qur„an berbeda. Menurut Ahlu

sunnah berdasarkan sistem patrilinel yang menjadi budaya Arab sebelum Islam, sedangkan

Syi„ah selain tersebut adanya suatu prinsip atas dasar kepentingan perempuan,17 sehingga

kedudukan laki-laki dengan perempuan saderajat. Sedangkan Hazairin atas dasar sistem

bilateral atau parental yang berprinsip kedudukan antara laki-laki dengan perempuan sama,

sehingga pandangan Syi„ah dan Hazairin hampir tidak jauh berbeda.

Di samping adanya perbedaan pandangan para ahli hukum Islam, terdapat pula

kesamaan dalam usaha menggali dan merumuskan pengembangan hukum warisan Islam,

yang disebut ijmak, baik berlaku secara formal atau ijmak sarih maupun secara tidak

formal atau ijmak sukuti.18 Ijmak sarih menurut pandangan ahlu sunah ditempatkan

kedudukan yang berssifat mengikat,19 sebagaimana Kompilasi Hukum Islam yang merupakan ijmak sarih yang berupa hasil Loka Karya para Ulama seta Cendikiawan

Muslam seluruh Indonesia pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, sebelum

dikeluarkannya Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama

Nomor 154 Tahun 1991.

2. Asas-asas hukum warisan Islam.

17Ahmad Siddik

, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di seluruh DuniaIslam, (Jakarta : Wijaya, 1980), h.7.

18Amir Syarifuddin,

op cit, h. 17.

19

(34)

Asas hukum warisan Islam dalam teks Al-Qur„an dan As-Sunnah tidak dijumpai,

dan asas tersebut merupakan hasil ijtihad para mujtahid.atau ahli hukum Islam. Dengan

demikian kemungkinan asas hukum warisan Islam itu beragam. Menurut Amir Syarifuddin

asas hukum warisan Islam lima macam, yaitu (1) asas ijbari, (2) asas bilateral, (3) asas

individual, (4) asas keadilan berimbang, dan (5) asas warisan semata akibat kematian.20 2.1. Asas Ijbari

Kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan, artinya melakukan sesuatu

diluar kehendaknya sendiri.21hukum warisan Islam berasaskan ijbari, maka pelaksanaan pembagian harta warisan itu mengandung arti paksaan tidak kehendak pewaris

sebagaimana hukum warisan perdata barat.

Kemudian Amir Syarifuddin mengandung beberpa segi;22 pengertian asas ijbari itu Pertama, segi peralihan harta, artinya dengan meninggal dunianya seseorang dengan

sedirinya harta warisannya beralih kepada orang lain dalam hal ini ahli warisnya. Menurut

asas ini, pewaris dan ahli waris tidak diperbolehkan merencanakan peralihan harta warisan

pewaris; Kedua, segi jumlah harta artinya jumlah atau bagian ahli waris dari harta

peninggalan orang yang meninggal dunia (pewaris) itu sudah ditentukan oleh

ketentuan-ketentuan Allah SWT, dan Sunnah Rasulullah SAW. Sehingga pewaris dan ahli waris tidak

diperbolehkan menentukan jumlah bagin-bagiannya.

Ketiga, segi kepada siapa harta itu beralih, artinya orang-orang (ahli waris) yang

menerima peralihan harta peninggalan pewaris itu sudah ditetapkan oleh Al-Qur„an dan As

-Sunnah Rasulullah SAW, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak diperbolehkan

merubahnya. Kecuali ketentuan-ketentuan Al-Qur„an dan As-Sunah Nabi Muhammad

20Amir Syarifuddin,

op. cit, h. 18.

21

Ibid

22

(35)

SAW yang bersifat dhonni, artinya nash-nash Al-Qur„an dan As-Sunah yang belum jelas,

seperti pengembangan ahli waris dari anak berlembang ke cucu terus ke bawah.

2.2. Asas Induvidual

Maksud dari pada asas ini adalah harta warisan dari pewaris yang telah diterima

oleh ahli warisnya, dapat dimiliki secara individu perorangan. Jadi bagian-bagian setiap

ahli waris tidak terikat dengan ahli waris lainnya, tidak seperti dalam hukum Adat ada

bagian yang sifatnya tidak dapat dimiliki secara perorangan, tetapi dimiliki secara

kelompok.

2.3. Asas Bilateral

Asas bilateral artinya ahli waris menerima harta warisan dari garis keturunan atau

kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, demikian sebaliknya peralihan harta

peninggalan dari pihak garis keturunan pewaris laki-laki maupun perempuan.

2.4. Asas Keadilan Berimbang

Dari pihak laki-laki dan pihak perempuan menerima harta warisan secara

berimbang artinya dari garis keturunan pihak laki-laki dan darl garis keturunan pihak

perempuan menerima harta warisan sesuai dengan keseimbangan tanggung jawab dalam

kehidupan rumah tangga. Antara laki-laki dengan perempuan keduanya mempunyai hak

menerima harta warisan dari pewaris, namun tanggung jawab antara laki-laki dengan

perempuan berbeda, laki-laki (public family) sebagai kepala rumah tangga bertanggung

jawab nafkah keluarganya, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga (domistic

family), yang mengatur rumah tangga. Dengan demikian sangat wajar kalau Al-Qur„an

menetapkan laki-laki mendapat dua bagian sedangkan perempuan satu bagian.

(36)

Hukum warisan Islam hanya mengenal satu bentuk warisan karena adanya

kematian, seperti dalam hukum warisan perdata barat (BW), dengan istilah ―ab intestato”,

namun dalam hukum warisan BW, selain ab intestato juga karena adanya” wasiat yang

disebut ―testament termasuk sebagai bagian dari hukum warisan.Lain halnya dangan

hukum Islam wasiat suatu lembaga hukum tersendiri, bukan sebagai bagian hukum

warisan.

Menurut Amir Syarifuddin, asas ini ada hubungannya sangat erat dengan asas

ijbari,23 disebabkan meskipun seorang ada kebebasan atas hartanya, tetapi setelah meninggal dunia kebebasan itu tidak ada lagi. Hal ini juga difahami bahwa harta dalam

Islam mempunyai sifat amanah (titipan), artinya manusia berhak mengatur, tetapi harus

sesuai dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT, sehingga apabila seorang telah meninggal

dunia tidak mempunyai hak lagi untuk mengaturnya, dan kembali kepada-Nya. Selain

kelima asas tersebut “asas taawun” atau “tolong-menolong” juga merupakan asas hukum

warisan Islam.hukum asas ini akan dijelaskan dalam sub bab as-shulh.24 Ta„awun atau

tolong-menolong diantara para ahli waris, sudah menjadikan kewajiban diantara ahli waris,

bagi ahli waris yang mampu berkewajiban meringankan beban atau penderitaan ahli waris

yang tidak mampu, dengan menyerahkan atau menggugurkan.

Dasar hak harta warisannya, dan atau rela menerima harta warisan yang tidak

sesuai dengan hak yang harus diterimanya. Dengan demikian salah satu ahli waris, dapat

meringankan beban penderitaan, kesukaran ahli waris yang lain, apalagi para ahli waris itu

dalam satu kekerabatan (hubungan darah).

3. Unsur-unsur Hukum Warisan Islam

23

Ibid, h. 35.

(37)

Hukum warisan Islam sama dengan hukum warisan Adat terdapat unsur-unsur

yang dalam hukum Islam disebut rukun. Adapun unsur-unsur hukum warisan Islam, antara

lain: Pertama, pewaris (muwaris), yaitu orang yang telah meninggal dunia dan

meninggalkan harta warisan; dan kedua,harta warisan adalah harta, baik berupa harta

bergerak, tidak bergerak, dan harta yang tidak maujud, seperti hak intelektual, hak cipta

dan lain-lain. Harta tersebut dapat dibagikan kepada ahli waris, setelah dikurangi

biaya-biaya perawatan/pengobatan pewaris, pemakaman, pembayaran hutang, dan wasiat.

Sedangkan unsur yang terakhir adalah ahli waris yaitu orang yang berhak menerima

harta warisan. Pendek kata, harta warisan dapat dibagikan jika semua kewajiban muwaris

telah selesai ditunaikan.

3.1. Pewaris

Pewaris ialah seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang

dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.25 Sedangkan apabila seseorang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya

yang masih hidup ia bukan pewaris. Dalam hukum warisan Islam, yang menjadi

factor-faktor warisan adalah karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan dank arena

hubungan wala„ atau budak.

Kemudian dalam hukum Islam Amir Syarifuddin mengatakan bahwa pewaris

dalam kelompok pengertian ―walidani sebagaimana ketentuan Surat An-Nisa„ ayat 7 dan

33 adalah ayah, ibu, kakek nenek, anak dan cucu. Sedangkan pewaris dalam kelompok

(38)

pengertian ―aqrabuna, sebagaimana ditemukan dalam Surat An-Nisa„ ayat 12 dan 176

adalah suami dan istri dan saudara.26

. Kemudian pengertian menurut Al-Qur„an diperluas dengan Hadits Nabi SAW,

dengan memasukan keturunan ayah dan keturunan kakek, sehingga termasuk anak saudara

dan paman serta bibi,27kemudian pewaris karena telah memerdekakan budak (wala„) yang tidak meninggalkan ahli waris.

Pada uraian sebelumnya, penulis telah dijelaskan bahwa atas dasar prinsip

meninggalnya seseorang itu, berlakunya pembagian harta warisan, sehingga pewaris itu

harus nyata meninggal dunia. Kemudian ada dua bentuk meninggal dunia: pertama,

seseorang meninggal dunia, artinya seseorang telah nyata putusnya nyawa dari jasad yang

dibuktikan dengan pancaidera atau melalui medis atau tidak hidup lagi.28

Kedua, dianggap meninggal dunia secara hukum, artinya meninggal dunia

karena putusan pengadilan, artinya seseorang dianggap atau dinyatakan meninggal dunia

dengan putusan hakim, kemungkinkan orang tersebut masih hidup tetapi disebabkan oleh

sesuatu hal tertentu orang itu dianggap meninggal dunia, seperti dalam kasus seorang

pewaris telah hilang bertahun-tahun tidak diketahui tempat tinggalnya.

Hilangnya orang ini disebabkan adanya sesuatu peristiwa, seperti adanya perang,

tsunami dan lain-lain. Kemudian para ahli warisnya mengajukan ke pengadilan agar

pewaris yang hilang itu diputus telah meninggal dunia, sehingga dengan putusan

Pengadilan itu harta warisan pewaris dapat dibagi kepada para ahli warisnya, meskipun

dimungkinkan sebenarnya seorang yang diputus sebagai pewaris itu masih hidup, dan

26Amir Syarifuddin, op cit. h. 52. 27

Ibid

28Hasan Alwi dkk,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Departemen Pendidikan

(39)

berlakunya pelaksanaan pembagian harta warisan itu sejak hari dan tanggal putusan

pengadilan tersebut.

Putusan Pengadilan tentang meninggal dunianya seseorang itu penting, bagi

kepastian hukum warisan, karena salah satu tujuan dari pada hukum adalah untuk

mencari kepastian hukum. Sedangkan apabila tidak ada putusan hakim akan menjadikan

ketidak pastian kedudukan dari pada harta warisan dari pewaris itu. Apalagi dalam

hukum Islam salah satu azas hukum warisan adalah asas ijbari artinya dengan kematian

seseorang dengan sendirinya harta warisan itu berpindah kepada para ahli warisnya.

Kemudian perincian pewaris dalam hukum warisan Islam dapat dilihat dalam

ayat-ayat Al-Qur„an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta dikembangkan dengan ijtihad, maka

dalam hal ini Amir Syarifuddin memberikan perincian pewaris menjadi 4 kelompok,

yaitu :

1) Kelompok ayah dan ibu dan dikembangkan kakek dan nenek terus ke atas;

2) Kelompok anak baik anak laki-laki dan anak perempuan dan

dikembangkan kepada cucu terus ke bawah ;

3) Kelompok suami dan istri ;

4) Kelompok saudara dan paman. Kelompok ini merupakan perluasan

pengertian pewaris menurut Al-Qur„an yang diperluas oleh hadist Nabi

Muhammad SAW, dengan memasukan keturunan ayah dan keturunan

kakek, sehingga dapat difahami bahwa seseorang dapat menjadi pewaris

itu termasuk anak saudara, dan pewaris bagi pamannya.29

3.2. Harta Warisan

29Amir Syarifuddin,

(40)

Harta adalah barang (uang dsb) yang menjadi kekayaan.30sedangkan harta warisan adalah barang atau benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia

yang menjadi hak ahli waris, setelah dikurangi untuk kepentingan biaya perawatan

jenasah, hutang-hutang dan wasiat pengertian ini antara harta peninggalan dengan harta

warisan dapat dibedakan. Harta peninggalan seluruh barang atau benda yang

ditinggalkan oleh seseorang telah meninggal dunia, dalam arti barang tersebut milik

orang pada saat meninggal dunia, sedangkan harta warisan ialah harta yang berupa barang

atau benda yang berhak diterima oleh ahli waris.31

Jenis harta kewarisan ada yang berwujud dan ada yang tak berwujud, yang

berwujud dalam istilah ekonomi disebut ―harta aktiva‖ , harta ini dalam istilah hukum ada dua macam sifat, pertama adalah harta disebut ―”barang tak begerak” artinya

barang tersebut tidak dapat dipindahkan, dan ― harta yang berupa ―barang begerak

artinya harta itu dapat dipindahkan tempatnya, seperti mobil, peralatan rumah tangga dan

lain sebagainya, namun dalam hukum perdata terdapat barang yang sefatnya dapat

dipindahkan tempatnya, tetapi dikelompokan dalam barang tak bergerak, umpamanya

kereta api, pesawat terbang dan kapal laut.

Harta yang berupa barang bergerak tersebut di atas, terdapat beberapa hak atas

barang bergerak seperti: (a) Hak memetik hasil atau hak memakai; (b) Hak atas uang bunga

yang harus dibayar selama hidup seseorang; (c) Saham-saham dari perseroan; (d)

Tanda-tanda pinjaman suatu negara baik negara sendiri maupun negara asing; dan (e) Hak

30Hasan Alwi,

op cit., h.. 390.

31Fatchurahman,

(41)

menuntut ke Pengadilan tentang penyerahan barang bergerak atau pembayaran uang

terhadap barang bergerak.32

Dalam hukum Islam hak kebendaan yang berbentuk hutang tidak menjadi harta

warisan.33 Akan tetapi, harta yang menjadi hak ahli waris itu hanya harta peninggalan

dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan itu setelah dikurangi hak-hak lain, seperti

biaya-biaya penguburan, pajak, zakat termasuh hutang kepada orang lain. Hutang dalam

hukum Islam hutang, selain terhadap orang dan badan hukum juga hutang kepada Allah

SWT. Hutang kepada Allah yaitu kewajiban materi kepada Allah yang harus ditunaikan,

seperti membayar zakat, nadhar dan lain sebagainya.

Mengacu kepada pengertian tersebut di atas, bahwa harta peninggalan berbeda

dengan harta warisan, harta peninggalan ialah semua harta yang ditinggalkan oleh

pewaris,sedangkan harta warisan hanya harta yang berhak diterima oleh ahli waris, dimana

harta harta peninggalan itu setelah dikurangi atau terlepas dari tersangkutnya segala

macam hak-hak oramg lain di dalamnya.

Dengan demikian, harta peninggalan itu sebelum menjadi harta warisan dan dibagi

kepada ahli warisnya harus dilakukan pelbagai tindakan pemurnian agar supaya harta yang

menjadi hak orang lain tidak terpakai oleh ahli waris. Sebelum dilakukan pemurnian harus

dilihat dahulu harta peninggalan tersebut, apakah harta peninggalan itu harta bersama atau

harta bawaan, atau mungkin kedua harta itu menyatu di dalamnya.

Selanjutnya, jika harta bersama dan harta bawaan terpisah cara membaginya

mudah, masing-masing harta itu dikuranmgi hak orang lain yang melekat di dalamnya

setelah itu, dapat dibagi kepada ahli warisnya. Akan tetapi, apabila antara harta bersama

32Wirjono Prodjodikoro

, op. cit, h. 195.

33Wirjono Prodjodikoro,

(42)

dan harta bawaan itu menyatu, pertama harus dipisah dahulu antara harta bersama dengan

harta bawaan, kemudian harta bersama dibagi dua, satu bagian untuk pewaris dan satu

bagian untuk istri atau suaminya, lalu satu bagian dari harta bersama itu dijadikan satu atau

ditambah dengan harta bawaan. Kemudian setelah dijadikan satu antara harta bawaan

dengan bagian dari harta bersama tersebut, kemudian dikurangi hak-hak orang lain melekat

di dalamnya, setelah itu baru bagi kepada ahli warisnya.

3.3. Ahli Waris

Ahli waris adalah oarng yang mempunyai hak harta warisan yang dtinggalkan oleh

seorang yang telah mening dunia. Kemudian orang yang mempunyai hak sebagai ahli

waris dalam hukum Islam ada empat faktor utama,112 yaitu :

(1). Adanya perkawinan, suami ahli waris istri sebaliknya istri ahli waris suami;

(2). Adanya nasab atau hubungan darah;

(3). Wala„ orang yang telah memerdekakan budak, dan tidak meninggalkan ahli

warisnya;

(4). Hubungan secara Islam, orang Islam yang meninggal dunia tidak

meninggalkan ahli waris, dan harta warisannya diserahkan kepada baitul mal untuk

kepentingan umat Islam.34

Di Indonesia umumnya hanya dua faktor, yaitu faktor pertama dan kedua,.untuk

faktor yang ketiga di Indonesia tidak terdapat perbudakan, akibatnya ahli waris ini tidak

dikenal, sedangkan fakto

Gambar

Gambar  2 :1
Gambar 2. 2
Gambar  2.  3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut, untuk mengkaji dasar-dasar hukum tentang pembagian harta warisan terhadap

Hasil temuan menyatakan bahwa ada di antara warga di ketiga wilayah tersebut masih mempertahankan hukum adat dalam pembagian harta warisan yaitu peralihan harta

Di Indonesia sendiri ada hukum waris yang berlaku sebagai acuan untuk melakukan pembagian harta warisan yaitu hukum waris islam dan hukum waris perdata.. Maka penelitian ini

Proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada yang masih hidup dalam hukum kewarisan Islam ada tiga unsur yaitu pewaris, harta warisan dan ahli

Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Alasan terjadinya penundaan pembagian harta warisan: (a) secara tradisi atas saran orang tua, (b) karena hasil musyawarah ahli waris,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penundaan pembagian ahli waris di kota tersebut adalah perilaku masyarakat yang melakukan penundaan pembagian harta warisan yang berselang waktu

Tatacara yang dilaksanakan dalam pembagian harta waris tersebut ada 2 cara, yaitu takharuj keluarnya seorang ahli waris atau lebih dari pihak yang berhak mendapatkan warisan, dengan

Dalam sistem pembagian harta warisan seseorang ahli waris dan juga pewaris harus Islam, sesuai dengan perkataan dari Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhoriy: ُمِلْسُلما