• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Explanatory Style dalam Konteks Pekerjaan pada Siswa Tunanetra yang Menempuh Program Rehabilitasi Sosial Tahap Lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Explanatory Style dalam Konteks Pekerjaan pada Siswa Tunanetra yang Menempuh Program Rehabilitasi Sosial Tahap Lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini ditujukan untuk menggambarkan Explanatory Style pada siswa binaan PSBN Wyata Guna Bandung, yaitu sebanyak 31 orang. Penelitian ini, ditujukan untuk melihat Explanatory Style melalui tiga aspeknya, yaitu Permanence, Pervasiveness, dan Personalization, baik dalam kejadian baik (good situation) maupun kejadian buruk (bad situation) dalam lingkungan yang dialami oleh para siswa binaan di PSBN Wyata Guna Bandung.

Teori yang digunakan adalah teori Seligman (1988), dan menggunakan alat ukur yang dimodifikasi dari teori tersebut. Alat ukur yang digunakan menggunakan kuesioner, dengan rata-rata validitas berkisar antara 0.306 sampai 0.536, dimana alat ukur yang digunakan telah dianggap valid, sementara item-item yang tidak valid sudah tidak digunakan. Reliabilitas penelitian menunjukkan angka 0,543 yang berarti alat ukur sudah cukup reliabel untuk digunakan dalam pengambilan data.

(2)

Universitas Kristen Maranatha iv

Abstract

This research was conducted to gain insight on Explanatory on students in PSBN Wyata Guna Bandung, a special vocational school for blind people. The research was intended to measure the three aspects of Explanatory Style, the Permanence, Pervasiveeness, and Personalization on the students, in both good and bad situation.

The theory that was used was Seligman (1988), and the measurement questionnaire that was derived from the theory. The validity from the accepted items ranged from 0.306 to 0.536, and the reliability was shown 0.604, that means the masurement was accurate and reliable enough for data gathering.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian dan Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

(4)

Universitas Kristen Maranatha vii

1.5 Kerangka Pemikiran ... 11

1.6 Asumsi Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Explanatory Style ... 18

2.1.1 Dimensi-dimensi Explanatory Style ... 19

2.1.2 Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan... 21

2.1.3 Keuntungan Optimistic Explanatory Style ... 21

2.1.4 Belief ... 24

2.2 Tunanetra ... 25

2.2.1 Pengertian Ketunanetraan ... 25

2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan ... 30

2.2.3 Dampak Ketunanetraan bagi Masyarakat ... 28

2.3 Masa Dewasa ... 30

2.3.1 Perkembangan Masa Dewasa ... 30

2.3.2 Perkembangan Fisik ... 32

2.3.3 Perkembangan Kognitif ... 33

2.3.4 Perkembangan Karir... 34

2.3.4.1 Eksplorasi, Perencanaan, dan Pengambilan Keputusan ... 34

(5)

2.3.4.3 Gambaran Nyata tentang Pekerjaan di Masa Dewasa ... 36

2.3.5 Perkembangan Sosio-emosional ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 40

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 40

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 41

3.3.1 Variabel Penelitian ... 41

3.3.2 Definisi Operasional... 41

3.4 Alat Ukur ... 43

3.4.1 Atributional Style Questionaire ... 43

3.4.2 Sistem Penilaian Kuesioner ... 44

3.4.3 Data Penunjang ... 45

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 46

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 47

3.5 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 48

3.5.1 Populasi Sasaran ... 48

(6)

Universitas Kristen Maranatha ix

3.6 Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 50

4.1.1 Hasil Penelitian Berdasarkan Data Responden ... 50

4.1.2 Hasil Penelitian Berdasarkan Pengolahan Data Explanatory Style .... 51

4.2 Pembahasan ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 64

5.2 Saran ... 64

5.2.1 Saran Teoritis ... 64

5.2.2 Saran Guna Laksana ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... xiii

DAFTAR RUJUKAN ... xiv

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Atributional Style Questionaire ... 43

Tabel 4.1 Tabel Frekuensi Jenis Kelamin Responden ... 51

Tabel 4.2 Tabel Frekuensi Bidang Kerja Responden ... 51

Tabel 4.3 Tabel Frekuensi Jenis Kebutaan Responden ... 52

Tabel 4.4 Tabel Frekuensi Rentang Usia Responden ... 52

Tabel 4.5 Tabel Frekuensi Explanatory Style Aspek Permanence Bad ... 52

Tabel 4.6 Tabel Frekuensi Explanatory Style Aspek Permanence Good ... 53

Tabel 4.7 Tabel Frekuensi Explanatory Style Aspek Pervasiveness Bad ... 53

Tabel 4.8 Tabel Frekuensi Explanatory Style Aspek Pervasiveness Good ... 54

Tabel 4.9 Tabel Frekuensi Explanatory Style Aspek Personalization Bad ... 54

Tabel 4.10 Tabel Frekuensi Explanatory Style Aspek Personalization Good ... 66

(8)

Universitas Kristen Maranatha xi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran ... 16

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Profil PSBN Wyata Guna Bandung

Lampiran II Kuesioner Explanatory Style

Lampiran III Rekap Data

Lampiran IV Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran V Tabulasi Silang Explanatory Style Dengan Aspek dan Faktor

(10)

1

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Jumlah penyandang cacat di dunia dewasa ini terhitung sangat banyak.

Jenis cacat berbeda-beda, diantaranya cacat tubuh (tunadaksa), cacat netra (tuna

netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

(tunagrahita), dan lain lain. Jumlah penyandang cacat di Indonesia didasarkan data

Depkes RI menurut Siswadi mencapai 3,11 persen dari populasi penduduk atau

sekitar 6,7 juta jiwa, sementara bila mengacu pada standar yang diterapkan

organisasi kesehatan dunia PBB dengan persyaratan lebih ketat jumlah

penyandang cacat di Indonesia mencapai 10 juta jiwa. (Iwan Apriansyah,2011).

Badan kesehatan dunia WHO merillis data bahwa setidaknya ada 40 – 45 juta penderita kebutaan (cacat netra)/gangguan penglihatan. Pertahunnya tak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan atau permenitnya terdapat satu pentuduk bumi menjadi tunanetra dan ironisnya, lagi-lagi wilayah dan negara miskinlah yang kebanyakan penduduknya mengalami kebutaan dan gangguan penglihatan (Chusniatul, 2013).

Mereka yang memiliki gangguan pengelihatan yang disebut tuna netra.

Pengertian tuna netra tidak saja meliputi mereka yang buta, tetapi mencakup juga

mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan

(11)

2

yang termasuk “setengah melihat”, “low vision”, atau rabun adalah bagian dari

tuna netra. Tuna netra adalah kelompok populasi yang tereksklusi dari kehidupan

sosial. Penyandang tunanetra tereksklusi akibat keterbatasanya dan mereka tidak

memiliki akses ke pasar kerja. Meskipun para penyandang tunanetra mendapat

pekerjaan, penghasilan dari pekerjaan mereka tergolong rendah.

Bagi penyandang tunanetra, dukungan lingkungan dan dukungan sosial

seperti penerimaan di lingkungan pekerjaan merupakan dukungan yang sangat

penting bagi penyandang tunanetra. Terbukanya lapangan pekerjaan bagi

penyandang tunanetra akan sangat membantu mereka untuk mendapatkan

kehidupan pekerjaan yang baik untuk masa depan mereka.

Penyandang tuna netra dapat hidup dengan baik layaknya orang normal.

Mereka bisa beraktifitas seperti biasa dan bahkan dapat menjadi tulang punggung

keluarga. Selain mampu beraktifitas seperti biasa, mereka juga bisa menjadi

pribadi yang mandiri. Bagi penyandang tunanetra yang dapat menjalani kehidupan

dengan mandiri, mereka dapat menerima dan beradaptasi dengan kondisi mereka.

Namun di sisi lain, tidak jarang mereka mengalami kesulitan menerima kondisi

mereka dan hidup terus bergantung pada keluarga mereka. Sempitnya lapangan

pekerjaan bagi penyandang tunanetra merupakan salah satu hambatan bagi

mereka untuk dapat hidup mandiri.

Penyandang tunanetra diharapkan memiliki keahlian untuk menjadi nilai

jual mereka dalam bidang pekerjaan. Penyandang tunanetra diharapkan bisa

(12)

3

Universitas Kristen Maranatha harus belajar untuk mengatasi keterbatasan mereka dan berusaha mencapai

kehidupan pekerjaan yang lebih layak bagi mereka.

Seperti Hendra Jatmika Pristiwa, atau yang lebih dikenal dengan Hendra

J.P., adalah tunanetra yang berprofesi sebagai penata musik digital dan sound

enginer untuk kegiatan rekaman musik. Terlahir sebagai tunanetra tak lantas

membuat Hendra enggan bermimpi. Seperti kebanyakan tunanetra, Hendra juga

menyukai dunia musik sejak masih sangat belia. Bermain musik di kafe-kafe atau

acara pernikahan menjadi awal dari karirnya di dunia musik. Kemempuan

bermusiknya yang semakin baik, membuat pria kelahiran 11 April 1975 ini

bercita-cita lebih tinggi lagi, yaitu menjadi penata musik (Rhamadany, 2012).

Dengan pentingnya keahlian bagi penyandang tunanetra, ada

lembaga-lembaga yang peduli terhadap kebutuhan penyandang tunanetra tersebut. DR.

Westhoff, seorang doktor ahli mata bangsa Belanda mendirikan Panti Sosial Bina

Netra (PSBN) Wyata Guna. PSBN Wyata Guna didirikan dengan visi

mewujudkan kesetaraan dan kemandirian penyandang tunanetra. Misi yang ingin

dicapai PSBN Wyata guna antara lain meningkatkan sumber daya dan

kesejahteraan sosial penyandang tunanetra. PSBN Wyata Guna memberikan

pelayanan gratis yang meliputi asrama, makan dan minum, serta biaya

pendidikan. PSBN Wyata Guna membagi pelayanan yang dilakukannya menjadi

dua, yaitu pelayanan pendidikan formal dan pelayanan rehabilitasi sosial (PSBN,

2009)

Pelayanan pendidikan formal mencakup pendidikan SD, SMP, SMK,

(13)

4

mencakup pembelajaran keterampilan pijat shiatsu dan massage. Sebelum

memasuki program yang akan dipilih, calon siswa menjalani dua tahapan,

diantaranya tahap observasi dan kesetaraan. Tahap observasi dilakukan selama

tiga bulan. Pada tahap ini mereka diajari berbagai macam keterampilan self-help

seperti mandi, makan, memasak, mencuci, dan menyetrika. Tahap ini juga

digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan PSBN Wyata Guna, baik dengan

lingkungan asrama, jadwal kegiatan, guru, pengurus, dan siswa lain yang berada

di PSBN Wyata Guna. Selain itu, pada tahap ini calon siswa di observasi agar

pihak PSBN Wyata Guna dapat menentukan program mana yang sesuai dengan

calon siswa tersebut.

Tahapan selanjutnya adalah tahap kesetaraan. Tahap ini berikan untuk

calon siswa tunanetra yang akan mengikuti pelayanan rehabilitasi sosial yang

belum pernah mengikuti Sekolah Dasar (SD), sedangkan untuk calon siswa yang

sudah tamat SD, mereka dapat langsung mengikuti program yang dipilihkan pihak

PSBN Wyata Guna tanpa harus menjalani tahap kesetaraan. Pada tahap ini calon

siswa diajari membaca dan menulis huruf braille dan diberi pelajaran setaraf SD

selama satu tahun, kemudian diikutkan ujian agar mendapat ijasah SD. Penelitian

ini difokuskan pada siswa yang mengikuti pelayanan rehabilitasi sosial karena

pada pelayanan ini terdapat dua jenis program yang melatih keterampilan siswa

yang dapat dijadikan sebagai profesinya dalam bekerja.

Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial (shiatsu atau

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha yang menempuh program rehabilitasi sosial diberi keahlian berupa massage dan

shiatsu. Siswa tunanetra diajarkan teori-teori mengenai anatomi tubuh, dan

cara-cara memijat yang diselingi sedikit praktek di kelas. Pada tahap lanjutan, siswa

tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial lebih banyak diberikan

kesempatan untuk magang di panti yang telah disediakan oleh PSBN Wyata

Guna. Pada tahap ini, pertemuan di kelas digunakan untuk mendiskusikan

kasus-kasus yang ditangani saat magang. Selama menempuh pendidikan ini, siswa

tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial juga diperbolehkan

mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti mempelajari komputer braille,

olahraga, dan musik.

Setelah siswa tunanetra memiliki modal keahlian yang telah mereka

dapatkan selama menjalani pendidikan di PSBN Wyataguna dan mereka harus

hidup mandiri setelah menyelesaikan pendidikan di PSBN Wyataguna, saat itulah

mereka memasuki tahapan baru dalam kehidupan mereka yaitu kehidupan

pekerjaan namun dengan bekal keahlian memijat dan shiatsu yang telah mereka

dapatkan dari PSBN Wyataguna.

Berdasarkan data yang didapat dari PSBN Wyata Guna, sejak tahun 2008

sampai Maret 2012 sudah 131 siswa yang telah diluluskan oleh PSBN Wyata

Guna. Dari ke 131 orang tersebut, 81 (61,83%) diantaranya disalurkan ke

klinik-klinik pijat, 37 orang (28,24%) kembali ke keluarga, 6 orang (4,58%) menjadi

wiraswasta, 5 orang (3,81%) melanjutkan sekolahnya, dan 2 orang sisanya

(1,52%) menjadi tenaga honorer. Pekerjaan-pekerjaan tersebut didapat dari

(15)

6

lembaga baru yang merekrut lulusan dari PSBN Wyata Guna, dan ada juga siswa

yang mencari pekerjaan sendiri di klinik-klinik pijat yang ada. Sedangkan siswa

yang kembali ke keluarga kebanyakan tidak bekerja.

Menurut pembina di PSBN Wyataguna, lebih banyak siswa tunanetra

wanita yang kembali ke orang tuanya dan hidup bergantung pada keluarganya.

Ada pula mereka yang menikah dan menjadi ibu rumah tangga dan tidak menjadi

pemijat. Ada pula beberapa siswa yang meminta untuk diijinkan tetap tinggal di

asrama, namun hal tersebut tidak dapat dipenuhi karena akan membuat siswa

menjadi tidak mandiri dan tidak mencari pekerjaan sendiri.

Bagaimana siswa tunanetra yang telah menyelesaikan pendidikan dari

PSBN Wyataguna menghayati suatu kondisi dimana mereka memasuki fase

kehidupan baru akan berpengaruh dalam bagaimana mereka mencari pekerjaan.

Menurut Martin E.P Selligman (1990) Explanatory Style adalah bagaimana

individu menghayati atau menjelaskan kepada diri mereka sendiri mengenai suatu

kejadian. Explanatory Style dibagi menjadi dua yaitu Optimistic Explanatory

Style dan Pesimistic Explanatory Style.

Seligman (1990) mengungkapkan “Optimistic Explanatory Style dan

Pesimistic Explanatory Style adalah sikap individu dalam menghadapi keadaan,

baik keadaan yang baik (good situation) maupun keadaan yang buruk (bad

situation)”. Keadaan yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa baik atau buruk

yang terjadi dalam kehidupannya. Individu yang optimis akan melakukan usaha

(16)

7

Universitas Kristen Maranatha memiliki dukungan sosial yang pada akhirnya akan memiliki kesehatan yang

lebih baik. Sedangkan pesimisme adalah mereka yang merasa bahwa kejadian

buruk akan selalu terjadi dalam diri mereka dan akan terus berlanjut serta

menganggap hal buruk terjadi karena kesalahan dirinya. Terdapat 3 dimensi

optimisme yaitu Permanency, Pervasiveness, dan Personalization (Martin E.P.

Seligman, 1990).

Dari hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti di PSBN Wyataguna,

sebanyak 70% dari 10 responden yang diwawancarai, mereka telah siap apabila

pada akhir tahun 2014 ini mereka harus keluar dari PSBN Wyataguna. Mereka

mengatakan bahwa setelah keluar dari PSBN, mereka akan melanjutkan

kehidupan mereka yaitu dengan memulai usaha sebagai pemijat atau akan

berusaha masuk ke panti-panti pijat. Walaupun mereka pernah merasa khawatir

akan kehidupan mereka diluar panti nanti, akan tetapi mereka yakin bahwa

mereka pasti akan mendapatkan pekerjaan dan bisa memiliki penghasilan atas

jerih payah mereka. Mereka beranggapan bahwa tidak ada yang mustahil apabila

mereka berusaha. Disamping itu, mereka merasa tenang karena pihak PSBN

banyak membantu alumni PSBN sehingga tidak menutup kemungkinan bagi

mereka juga akan disalurkan. Hal tersebut menurut Selligman (1990) adalah

merupakan individu yang optimis. Hal ini ditunjukkan dari sikap responden yang

tidak mudah menyerah terhadap hal buruk yang menimpanya dan memiliki rasa

tidak mudah putus asa.

Sedangkan 30% lain merasa takut ketika mereka nanti harus meninggalkan

(17)

8

tidak dapat hidup seperti yang mereka dapatkan dari PSBN. Bahkan ada pula dari

mereka yang merasa bahwa mereka akan kembali ke kehidupan yang tidak

berguna sama seperti ketika mereka belum masuk PSBN. Mereka merasa bahwa

di luar sana banyak pemijat yang lebih baik dari mereka dan mereka merasa tidak

dapat bersaing dengan pemijat-pemijat yang normal (dapat melihat). Hal ini

membuat mereka merasa tidak mampu bersaing dengan dunia kerja diluar PSBN.

Ada juga dari mereka yang merasa bahwa selama di PSBN, mereka tidak

mendapat pelanggan tetap, maka begitupun di luar PSBN, akan sulit bagi mereka

untuk mendapat pekerjaan di luar PSBN nantinya. Menurut Selligman (1990),

dari yang mereka tampilkan tersebut tergolong pesimistic Explanatory Style.

Mereka merasa kejadian buruk akan terus terulang serta mudah putus asa dan

tidak memiliki pengharapan untuk kehidupan yang lebih layak.

Tapi sebaliknya, banyak dari siswa binaan yang merasa optimis dengan

kondisi mereka karena mereka merasa bahwa meskipun kondisi mereka tidak

dapat melihat, namun mereka masih memiliki harapan akan masa depan mereka.

Dengan memiliki rasa optimis ini membuat mereka menjadi memiliki semangat

dan tujuan serta keinginan untuk maju. Dalam konsep Explanatory Style mereka

akan merasa bahwa mereka bisa mencapai masa depan terbaik karena diri mereka

sendiri yang mau berusaha. Mereka merasa bahwa tuna netra yang mereka alami

tidak akan mempengaruhi kegigihan mereka dalam mencari pekerjaan yang

mereka inginkan saat mereka keluar dari PSBN Wyataguna. Mereka pun akan

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha Dari fenomena di atas, Explanatory Style penting bagi siswa tuna netra agar

ketika mereka keluar dari PSBN Wyataguna dan mencari lapangan pekerjan

sendiri, mereka memiliki rasa optimis dan dari energi optimis yang mereka miliki,

akan membuat mereka terus berusaha dan mengerahkan kemampuan mereka

sehingga mereka akan terus mencari jalan keluar dari permasalahan mereka dan

mampu menghadapi dunia pekerjaan sehingga mereka bisa bertahan dalam

keadaan sulit yang akan mereka hadapi. Disamping itu peneliti ingin melihat

Explanatory Style pada siswa tuna netra agar lembaga PSBN Wyataguna

memberikan pelatihan supaya mereka dapat mengembangkan hidup mereka dan

dapat menghilangkan pesimistic Explanatory Style dalam diri mereka sehingga

dapat menghadapi kehidupan di luar PSBN dengan maksimal dan optimis. Dan

berdasarkan hasil dari survei awal yang menunjukkan bahwa derajat optimisme

pada siswa tunanetra ini dapat berbeda-beda, membuat peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai derajat optimisme pada siswa tuna netra di PSBN

(19)

10

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini ingin melihat bagaimana Explanatory Style pada penderita

tunanetra pada masa akhir pelatihan mereka di PSBN Wyataguna.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

Explanatory Style pada siswa binaan yang sebentar lagi harus meninggalkan

PSBN Wyataguna dan melanjutkan kehidupan mereka bersama masyarakat.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui explanatory style siswa

binaan yang akan meninggalkan PSBN Wyataguna dan melanjutkan kehidupan

mereka bersama masyarakat serta dimensi dan faktor apa aja yang berpengaruh.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Kegunaan ilmiah penelitian ini adalah untuk memberi masukan pada

Psikologi Perkembangan mengenai bagaimana tunanetra menghadapi kehidupan

setelah mendapatkan bekal pelatihan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha pada siswa binaan yang menjelang masa pelatihan di PSBN berakhir agar

dapat memberikan dorongan dan gambaran ketika siswa binaan telah lulus.

Serta memberikan masukan bagi mereka yang mengalami kondisi yang

serupa agar dapat lebih mempersiapkan diri ketika lulus dari PSBN Wyataguna.

1.5 Kerangka Pikir

Menurut Somantri (2007), tuna netra tidak saja mereka yang buta, tetapi

mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang

dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.

Pendapat tersebut telah menggambarkan kondisi penglihatan siswa tuna netra

yang menempuh pendidikan non formal di PSBN Wyata Guna Bandung juga

berbeda-beda, ada yang totally blind, partially sight, dan low vision.

Siswa tunanetra yang menempuh pendidikan non formal di PSBN Wyata

Guna Bandung berkisar antara usia <20 sampai >35 tahun. Berdasarkan teori

perkembangan, rentang usia tersebut berada pada kelompok dewasa awal.

Mencari nafkah, memilih pekerjaan, membangun karir, dan berkembang dalam

sebuah karir-semua hal ini adalah tema penting pada masa dewasa awal. Pada

beberapa bagian akhir remaja atau permulaan dewasa awal, sebagian besar

individu memasuki beberapa tipe pekerjaan. Individu sering mendekati eksplorasi

karir dan pengambilan keputusan dalam ambiguitas, ketidak pastian, dan stress

(Lock, 1988, dalam Santrock, 2002). Oleh karena itu, siswa tunanetra menempuh

(21)

12

memfokuskan diri pada keterampilan tertentu untuk mendapatkan pekerjaan

sesuai dengan keterampilan minatnya.

Beberapa penasihat karir (dalam Santrock, 2002) percaya bahwa untuk

memperbesar peluang untuk mendapat pekerjaan yang bagus, strategi yang

bijaksana adalah mengambil pendidikan di bidang khusus secara terus menerus

dan terarah. Siswa tunanetra yang menempuh pendidikan non formal di PSBN

Wyata Guna Bandung mempelajari keterampilan yang terarah itu pada satu

bidang keahlian, yaitu massage atau pijat Shiatsu. Dengan pendidikan yang

terarah tersebut, diharapkan siswa tunanetra yang menempuh pendidikan non

formal di PSBN Wyataguna Bandung mampu memiliki Optimistic Explanatory

Style dalam menghadapi bidang pekerjaan.

Cara penyandang tunanetra dalam menghadapi setiap hambatan fisik

maupun psikis akibat keterbatasan yang dimilikinya berkaitan dengan penilaian

positif dan negatif penyandang. Penilaian positif dan negatif dari seorang

penderita tuna netra dalam menghadapi penyakit yang dideritanya itu sebagai

Explanatory Style. Explanatory Style adalah kebiasaan berpikir individu untuk

menenangkan kepada diri mereka sendiri mengapa suatu peristiwa terjadi

(Seligman, 1990).

Optimistic Explanatory Style merupakan bagian dari Explanatory Style.

Explanatory Style terdiri dari dua bagian yaitu Optimistic Explanatory Style dan

Pesimistic Explanatory Style. Optimistic Explanatory Style merupakan kebiasaan

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi. Bahkan penderita percaya

bahwa kekurangan yang dimilikinya hanyalah sementara dan terus berusaha

mencari jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan, misalnya dengan menjalani

pendidikan dengan baik, mencari link pekerjaan yang sesuai, dan mengeksplorasi

kemampuan yang ada didalam dirinya.

Sebaliknya, pesimistic Explanatory Style merupakan kebiasaan berpikir

seseorang dimana individu mudah putus asa dalam menghadapi peristiwa buruk

yang menimpa dirinya. Dalam hal ini, penderita selalu menyalahkan diri sendiri

atas apa yang terjadi dan memandang penyebab dari peristiwa-peristiwa buruk

yang dialaminya sebagai sesuati yang bersifat permanen dan tidak ada jalan keluar

lagi, misalnya penderita berhenti atau tidak sama sekali melakukan usaha untuk

mencari pekerjaan yang sesuai (Seligman, 1990)

Dalam Explanatory Style tercakup tiga dimensi, yaitu permanence,

pervasiveness, dan personalization. Dimensi pertama adalah permanence (waktu),

yaitu apakah peristiwa yang terjadi bersifat menetap (permanence) atau hanya

sementara (temporer). Orang akan mudah menyerah karena mereka merasa bahwa

kejadian buruk dalam diri mereka adalah permanence. Kejadian buruk akan selalu

muncul dan mempengaruhi hidup mereka. Ketika seseorang berpendapat hal

buruk akan selalu dan tidak akan pernah berubah maka hal tersebut termasuk

dalam Pesimistic Style. Demikian pula sebaliknya akan disesbut sebagai

Optimistic style. Dimensi yang kedua adalah pervasiveness (situasi), yaitu

mengenai ruang lingkup dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya

(23)

14

menganggap suatu kejadian yang terjadi dikarenakan atau berakibat oleh seluruh

kehidupannya. Apabila seseorang memaknakan suatu kejadian buruk hanya pada

situasi spesifik dan tidak menyeluruh serta kejadian baik bersifat universal maka

orang tersebut memiliki optimistic style. Sedangkan apabila sebaliknya termasuk

pessimistic style. Dimensi yang ketiga adalah personalization (diri), yaitu

mengenai pihak mana yang menjadi penyebab peristiwa dalam kehidupan

seseorang, yaitu dari dalam diri (internal) atau luar diri (eksternal). Seorang

optimistic style akan berpikir bahwa kejadian buruk disebabkan karena

lingkungan luar dan kejadian baik karena diri mereka sendiri. Sedangkan

pessimistic style akan berpikir bahwa kejadian baik disebabkan oleh lingkungan

luar dan kejadian buruk dikarenakan diri mereka sendiri.

Pada keadaan baik, tuna netra yang memiliki optimistic Explanatory Style

akan berpikir tentang dimensi permanence good (internal). Sedangkan pada

keadaan buruk, tuna netra yang memiliki optimistic Explanatory Style akan

berpikir tentang dimensi permanence bad (temporeer), pervasiveness bad

(spesifik), dan personalization bad (eksternal).

Pada keadaan baik, tuna netra yang memiliki pessimistic Explanatory Style

akan berpikir tentang dimensi permanence good (temporer), pervasiveness good

(spesifik), dan personalization good (eksternal). Sedangkan pada keadaan buruk,

penderita yang memiliki pessimistic Explanatory Style akan berpikir tentang

dimensi permanence bad (permanen), permasiveness bad (universal), dan

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Explanatory Style seseorang.

Pertama yaitu Explanatory Style ibu dimana faktor ini memiliki arti ibu sebagai

orang tua yang mengasuh dan tempat pertama bagi seorang anak untuk

mempelajari optimisme. Tunenetra memperhatikan seluruh perkataan dan

sifat-sifat tertentu ibunya dengan teliti sejak kecil. Segala sesuatu yang diucapkan

maupun dilakukan ibunya secara berulang akan dipelajari setiap hari sehingga

dapat mempengaruhi Explanatory Style mereka.

Kedua, yaitu kritik dari orang tua atau orang yang lebih dewasa. Individu

mendapatkan banyak kritikan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa ketika

mengalami kegagalan akan mempengaruhi Explanatory Style mereka. Faktor

ketiga adalah masa krisis anak. Faktor ini menjelaskan mengenai penderita yang

pernah mengalami trauma di masa kanak-kanak, misalnya kehilangan orang

terdekat akibat meninggal atau perceraian orang tua. Trauma ini akan

menimbulkan bekas yang mendalam apabila tidak segera ditangani dan dapat

membuat penderita tidak dapat menerima kenyataan dalam jangka waktu yang

lama. Hal ini yang akan mempengaruhi kemungkinan terbentuknya pola pikir

penderita dalam melihat sebab dari kehilangan tersebut.

(25)

16

Faktor yang mempengaruhi : Explanatory Style Ibu, Kritik Orang Lain, dan Kejadian Traumatis.

Siswa Tunanetra yang menempuh pendidikan non formal di PSBN Wyata Guna Bandung

Derajat Optimisme

Tinggi

Rendah

Dimensi Optimisme : 1. Permanence 2. Pervasiveness 3. Personalization

(26)

17

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

a. Pelatihan di PSBN Wyataguna mempengaruhi Explanatory Style siswa.

b. Explanatory Style siswa tunanetra Wyata Guna Bandung memiliki tiga dimensi

yaitu : Permanence, Pervasiveness, dan Personalization.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Explanatory Style pada siswa tunanetra yang

menempuh pendidikan Non Formal di PSBN Wyata Guna Bandung yaitu

(27)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, maka

peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

- Sebagian besar responden siswa binaan PSBN Wyata Guna Bandung yang

diteliti memiliki explanatory style yang cenderung optimis dalam kegiatan

mereka.

- Adanya faktor eksternal seperti penerimaan terhadap kondisi saat ini, dan

kritik yang diterima dari orang lain, dan explanatory style ibu kaitan

dengan explanatory style siswa binaan di PSBN Wyataguna Bandung

5.2. Saran

5.2.1. Saran teoretis

Untuk penelitian selanjutnya, peneliti memberikan saran/rekomendasi sebagai

berikut:

- Para peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat melakukan penelitian

dengan jumlah responden yang lebih banyak, sehingga hasil penelitian

yang didapat dapat di genaralisasikan pada populasi yang lebih banyak dan

(28)

65

Universitas Kristen Maranatha - Peneliti menyarankan untuk peneliti selanjutnya dapat menggali lebih

dalam mengenai data penunjang yaitu bidang keahlian yang dipilih,

faktor-faktor yang berpengaruh seperti trauma, kritik, dan penerimaan terhadap

kondisi serta bidang yang mereka tekuni agar data yang didapatkan dapat

lebih kaya dan lebih menggambarkan explanatory style dari responden.

5.2.2. Saran Guna Laksana

- Peneliti menyarankan agar pembina di PSBN Wyataguna dapat melakukan

pendekatan kepada siswa binaan untuk memberikan mereka pemahaman

mengenai kondisi yang mereka alami serta memberikan gambaran pada

siswa binaan kondisi masyarakat, tantangan dan pekerjaan yang akan

mereka hadapi selanjutnya sehingga diharapkan mereka akan lebih siap

untuk menghadapi kehidupan diluar PSBN Wyataguna Bandung.

- Peneliti menyarankan agar ditambahkan kegiatan-kegiatan lain yang dapat

membantu siswa binaan untuk memperoleh keterampilan yang membekali

mereka disamping memijat sehingga mereka memiliki kesempatan yang

lebih luas dalam pekerjaan mereka.

- Peneliti menyarankan pada siswa binaan angkatan selanjutnya lebih aktif

untuk mencari tahu mengenai pengalaman-pengalaman pendahulunya

ketika sudah lulus dari pembinaan dan mencari tahu kepada pembina dan

sering bertukan pikiran dengan pembina agar mereka memperoleh

pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak yang dapat membekali

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology : a step-by-step guide for beginners.

London : Sage Publications.

Nazir, Moh. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Jilid II (terjemahan). Jakarta :

Erlangga.

Seligman, Martin. P. 1990. Learned Optimism. New York : Pocket Books.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non-Parametik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama.

Singarimbun, Masri.1995. Metode Penelititan Survei. LP3S, Jakarta

Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi anak Luar Biasa. Bandung : PT. Refika

(30)

xiv

DAFTAR RUJUKAN

Panti Sosial Bina Netra. 2009. (online). (http:www.wiyataguna.kemsos.go.id)

Iwan, A. 2011. Tribunnews. (online).

(http:www.tribunnews.com/2011/01/09/ppci-perusahaan-harus-mempekerjakan-1-persen-penyandang-cacat)

Chusniatul, F. 2013. Jurnal Psikologi UINSBY. (online).

(http://jurnalpsikologi.uinsby.ac.id/index.php/jurnalpsikologi/article/view/13/6)

Rhamadany, R. 2012. Kartunet. (online).

(http://www.kartunet.or.id/hendra-tunanetra-taklukan-musik-digital-1088)

Referensi

Dokumen terkait

Viewpoint Problem Description Cause Proposed solution Calculation of required person-hours (development person-hours). Problem/Solution Examination Worksheet (Group:

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi nonpartisipan, peneliti mengamati secara langsung proses belajar mengajar pada mata pelajaran seni budaya bidang

Untuk mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada petani. Pencapaian tersebut dapat terlaksana bila didukung juga

[r]

Penelitian mengenai pengembangan sistem sebelumnya menggunakan perusahaan sebagai objek penelitian [1][2] karena perusahaan merupakan salah satu entitas yang

Catu daya merupakan piranti elektronika yang dirancang untuk memberikan daya pada piranti elektronika lainnya.Saat merakit sebuah catu daya, diperlukan satu cara

Pengujian secara simultan menunjukkan bahwa faktor keuangan (rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage, rasio nilai pasar, rasio pertumbuhan penjualan) dan

Oleh karena itu pada penelitian kali ini dibuat sebuah aplikasi yang menggunakan tahapan pengembangan sistem metode prototype untuk membantu masyarakat untuk