HUBUNGAN ANTARA ETHNOSENTRISME KONSUMEN DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF TERHADAP PRODUK
FASHION IMPOR PADA REMAJA
Katharina Ariezsa Eka Yudharini
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ethnosentrisme dan perilaku pembelian impulsif terhadap produk fashion impor pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif antara ethnosentrisme dengan pembelian impulsif terhadap barang impor. Subyek penelitian ini adalah remaja usia 12 tahun hingga 22 tahun yang berjumlah 212 subyek. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah skala kecenderungan pembelian impulsif dan skala ethnosentrisme dalam model Likert. Valitidas penelitian ini menggunakan validitas isi. Skala ethnosentrisme (M=68,10; SD=14,124; 26aitem; rix=0,252-0,788) memiliki koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,922 dan skala kecenderungan pembelian impulsif (M=47,00; SD=12,256; 22aitem; rix=0,295-0,745) memiliki koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,930. Metode analisis data menggunakan tektik korelasi Spearman’s Rho. Berdasarkan uji korelasi, didapatkan hasil korelasi antara ethnosentrisme dengan kecenderungan pembelian impulsif sebesar -0,576 dengan p = 0,000 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan negatif dan signifikan antara ethnosentrisme dengan kecenderungan pembelian impulsif.
Kata Kunci : ethnosentrisme, kecenderungan pembelian impulsif, impulsive buying,
THE CORRELATION BETWEEN CONSUMER ETHNOCENTRISM AND IMPULSIVE BUYING TENDENCY OF IMPORT FASHION PRODUCT IN
ADOLESCENTS
Katharina Ariezsa Eka Yudharini
ABSTRACT
The purpose of this research was to find out the correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product in adolescents. The hypothesis suggested that there is a negative correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product in adolescents. The subjects of this research were 212 adolescents male and female with age range between 12 until 22 years old. The method used to collect data in this study was Impulsive buying tendency scale and Ethnocentrism Attitude scale in Likert’s model. The Validity of this Research was used the content validity. The coefficient reliability of ethnocentrism scale (M=68,10; SD=14,124; 26 item; rix=0,252-0,788) was 0,922 and the coefficient correlation of impulsive buying tendency scale (M=47,00; SD=12,256; 22 item; rix=0,295-0,745) was 0,930. The data of this research were analysis using Spearman Rho analysis. The coefficient correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product was -0,576 with significant level (p) was 0,000. This means there was a negative correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product in adolescents.
HUBUNGAN ANTARA ETHNOSENTRISME KONSUMEN DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF TERHADAP PRODUK
FASHION IMPOR PADA REMAJA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Katharina Ariezsa Eka Yudharini
NIM : 109114007
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
MOTTO
Akan selalu ada jalan,
Ketika kamu percaya bahwa kamu bisa
Melewati segala kesusahanmu
“the struggle you’re in today is developing the strength you need for tommorow”
WAKTU TIDAK AKAN PERNAH MENUNGGUMU !
Selama Kamu Masih bisa berusaha,
v
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
“Yesusku”
tanpaNya semua tidak akan bisa terlewati dengan baik
Mama, Papa, Bram
“KELUARGA KECILKU”
Untuk dukungan dan semangatnya
Yang selalu memberikan doa agar cepat berkumpul kembali di rumah
dosen pembimbing tercinta “P. Henrietta PDADS, ”
Terima kasih atas segala perhatian selayaknya orang tua yang menyayangi anaknya,
Terimakasih selalu mengingatkan saat aku jauh dan sedikit melupakan skripsiku, Terimakasih sudah mau membimbingku untuk mendapatkan hasil yang baik
Dan proses yang menyulitkan namun penuh pembelajaran
keluarga besar di Bali dan di Bandung, I love you, guys :D
Terimakasih atas bantuan dan dukungan kalian semua
Martinus Agung Priyanto
Yang selalu menemani dan mengingatkan ku untuk cepat selesai Terimakasih untuk semuanya
Saranghae ^^
Terimakasih untuk teman-teman yang telah membantu secara maksimal dalam pengerjaan skripsi
Felicia Anindita, Veriska Claudine, Bayu Setiawan, dek Pipin,
Vivin “jawa” psi’10, Claudia Metha, Ranie Tupen Terimakasih untuk seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2010
Tutut, Maya, Yovidia, Desianty, Gregroriana Anindita, Ajeng Christi Terimakasih untuk dukungan dan semangat yang penuh arti
Bersama kalian aku memahami senangnya “masa perkuliahan”
vii
HUBUNGAN ANTARA ETHNOSENTRISME KONSUMEN DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF TERHADAP PRODUK
FASHION IMPOR PADA REMAJA
Katharina Ariezsa Eka Yudharini
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ethnosentrisme dan perilaku pembelian impulsif terhadap produk fashion impor pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif antara ethnosentrisme dengan pembelian impulsif terhadap barang impor. Subyek penelitian ini adalah remaja usia 12 tahun hingga 22 tahun yang berjumlah 212 subyek. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah skala kecenderungan pembelian impulsif dan skala ethnosentrisme dalam model Likert. Valitidas penelitian ini menggunakan validitas isi. Skala ethnosentrisme (M=68,10; SD=14,124; 26aitem; rix=0,252-0,788) memiliki koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,922 dan skala kecenderungan pembelian impulsif (M=47,00; SD=12,256; 22aitem; rix=0,295-0,745) memiliki koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,930. Metode analisis data menggunakan tektik
korelasi Spearman’s Rho. Berdasarkan uji korelasi, didapatkan hasil korelasi antara
ethnosentrisme dengan kecenderungan pembelian impulsif sebesar -0,576 dengan p = 0,000 (p<0,05) yang berarti terdapat hubungan negatif dan signifikan antara ethnosentrisme dengan kecenderungan pembelian impulsif.
viii
THE CORRELATION BETWEEN CONSUMER ETHNOCENTRISM AND IMPULSIVE BUYING TENDENCY OF IMPORT FASHION PRODUCT
IN ADOLESCENTS
Katharina Ariezsa Eka Yudharini
ABSTRACT
The purpose of this research was to find out the correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product in adolescents. The hypothesis suggested that there is a negative correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product in adolescents. The subjects of this research were 212 adolescents male and female with age range between 12 until 22 years old. The method used to collect data in this study was Impulsive buying tendency scale and Ethnocentrism Attitude scale in Likert’s model. The Validity of this Research was used the content validity. The coefficient reliability of ethnocentrism scale (M=68,10; SD=14,124; 26 item; rix=0,252-0,788) was 0,922 and the coefficient correlation of impulsive buying tendency scale (M=47,00; SD=12,256; 22 item; rix=0,295-0,745) was 0,930. The data of this research were analysis using Spearman Rho analysis. The coefficient correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product was -0,576 with significant level (p) was 0,000. This means there was a negative correlation between ethnocentrism and impulsive buying tendency of import fashion product in adolescents.
x
KATA PENGANTAR
Saya ucapkan rasa puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan
Bunda Maria, karena berkat dan penyertaanNya saya mampu untuk
menyelesaikan skripsi saya ini. Terimakasih Yesus, Engkau memberikanku
berbagai macam cobaan untukku, agar aku menjadi lebih sabar, bijaksana dalam
mengambil keputusan dan juga kuat dalam hal yang terburuk sekalipun, sehingga
saya mampu untuk menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Hubungan Antara
Ethnosentrisme Konsumen dan Kecenderungan Pembelian Impulsif terhadap
Produk Fashion Impor pada Remaja”.
Saya menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu, saya masih mengharapkan saran, masukan dan koreksi yang bersifat
membangun untuk menjadi lebih baik.
Dalam penyususnan skripsi ini banyak pihak yang telah terlibat dalam
memberikan bantuan dan dukungan kepada saya. Maka dari itu, dengan segala
kerendahan hati saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A. selaku dosen Pembimbing Akademik
dan Pembimbing Skripsi atas kepedulian untuk membentuk saya.
xi
keyakinan yang diberikan kepada saya sehingga saya lebih mantap
untuk menjadi lebih baik dan lebih matang untuk melangkah ke depan.
4. Minta Istono, M.Si. selaku dosen penguji yang banyak memberikan
kritik dan saran yang membangun.
5. TM. Raditya Hernawa, M.Si. selaku dosen penguji yang banyak
memberikan kritik dan saran yang membangun.
6. Bapak dan Ibu doesen Program Studi Psikologi Universitas Sanata
Dharma yang telah membimbing dan memberikan ilmu untuk
menambah wawasan yang sangat berguna untuk masa depan saya.
7. Seluruh Karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,
khususnya Ibu Nanik, Mas Gandung, Mas Mudji, Mas Doni yang telah
memberikan pelayanan selama saya menempuh studi, serta Karyawan
Perpustakaan USD yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan
kepada saya dalam memperoleh informasi yang saya butuhkan.
8. Papa dan Mama sudah membesarkan dan mencintai dengan cara kalian
sendiri. Terimakasih sudah membiarkan saya memilih jurusan yang
saya inginkan sehingga saya lebih mengenal lebih dalam siapa saya
dan juga keterbatasan yang saya miliki. Sebisa mungkin saya akan
menjadi lebih baik untuk kalian dan membuat kalian bangga.
Terimakasih sudah mau mendidik, mendukung secara moril dan
materiil, selalu mengingatkan untuk bahwa untuk hasil yang besar
xii
mau menunggu tanpa lelah dan bosan hingga saya pulang nanti ke
rumah.
9. Adekku tercinta, Germanos Bramantia D.Y yang sudah menunjukkan
keinginan yang tulus untuk aku segera berkumpul denganmu lagi di
rumah, setelah 6 tahun merantau.
10.Keluarga besar di Bali dan Bandung atas bantuan kalian semua
sehingga pengambilan data dalam skripsi ini dapat berjalan dengan
cepat dan lancar. Terimakasih juga atas doa dan dukungan kalian yang
tak pernah putus untuk saya.
11.Pacarku saat ini, Martinus Agung Priyanto yang ada disaat saya sedang
merasa putus asa dengan skripsi ini. Terimakasih atas segala
dukungannya. Terimakasih atas pinjaman ragamu dalam menemaniku
begadang ketika mengerjakan skripsi. Terimakasih masih mau cerewet
untuk mengatakan “Jangan banyak mengeluh! Dikerjain sebisamu
dulu” Terima kasih untuk hari-hari yang begitu luar biasa untuk bisa
kita syukuri, Terima kasih sudah memberikan saya cinta dan perhatian
yang begitu besar sehingga menjadi energi disaat saya sudah lelah.
12.Teman dan sahabat tercinta: Dita, Riska, dek Pipin, Vivin, Metha,
Yovidia, Ranie, Tutut, Maya, TBZ (Laras, Vivin, Debi, Putri),
Desianty, Mba Ndudh (Gregroriana Anindita), Ajeng Christi.
Terimakasih atas bantuan dan dukungan yang telah kalian berikan
tanpa henti selama pengerjaan skripsi ini. I will miss you all moment
xiii
13.Teman-teman satu bimbingan yang membantu dan saling berbagi
informasi serta mendukung satu sama lain.
14.Seluruh informan yang bersedia untuk berpartisipasi dalam
pengambilan data skripsi ini.
Saya menyadari bahwa karya penelitian ini tidak lepas dari
ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, saya dengan segala kerendah-hatian
memohon kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ini dapat berguna
bagi masyarakat dan para pembaca.
Yogyakarta, ……….
Penulis,
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Rumusan masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
1. Manfaat Teoritis ... 11
2. Manfaat Praktis ... 12
xv
A. Pembelian Impulsif ... 13
1. Pengertian Pembelian Impulsif ... 13
2. Aspek Pembelian Impulsif ... 15
3. Faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif ... 16
a. Faktor Internal ... 16
b.Faktor Eksternal ... 18
B. Ethnosentrisme Konsumen ... 20
1. Pengertian Ethnosentrisme Konsumen ... 20
2. Aspek Sikap ... 20
3. Dampak Ethnosentrisme Konsumen ... 24
C. Remaja ... 26
1. Pengertian Remaja ... 26
2. Karakteristik Remaja ... 27
a. Segi Kognitif ... 27
b. Segi Sosial ... 29
D. Produk Fashion Impor ... 30
E. Dinamika Hubungan antara Ethnosentrisme Konsumen dan Kecenderungan Pembelian Impulsif terhadap Produk Fashion Impor pada Remaja ... 31
F. Skema Hubungan antara Ethnosentrisme Konsumen dan Kecenderungan Pembelian Impulsif terhadap Produk Fashion Impor pada Remaja ... 36
xvi
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Identitas Variabel Penelitian ... 38
C. Definisi Operasional ... 39
1. Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 39
2. Ethnosentrisme Konsumen ... 40
D. Subjek Penelitian ... 41
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 41
1. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 42
2. Skala Ethnosentrisme Konsumen ... 44
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46
1. Validitas Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif dan Ethnosentrisme ... 46
2. Seleksi Aitem ... 46
a. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 47
b.Skala Ethnosentrisme Konsumen ... 48
3. Reliabilitas ... 50
G. Metode Analisis Data ... 52
1. Uji Asumsi ... 52
a. Uji Normalitas ... 52
b. Uji Linearitas ... 52
2. Uji Hipotesis ... 53
xvii
A. Pelaksanaan Penelitian ... 55
B. Deskripsi Subyek Penelitian ... 55
1. Usia ... 55
2. Jenis Kelamin ... 56
C. Data Deskripsi Penelitian ... 56
D. Hasil Penelitian ... 60
1. Uji Asumsi ... 60
a. Uji Normalitas ... 60
b. Uji Linearitas ... 61
2. Uji Hipotesis ... 62
3. Analisis Tambahan ... 64
E. Pembahasan ... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Keterbatasan ... 71
C. Saran ... 72
1. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 72
2. Bagi Subjek Penelitian ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 73
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian
Impulsif (Sebelum Uji Coba) ... 42
Tabel 2. Blueprint Skala Ethnosentrisme Konsumen (Sebelum Uji Coba) ... 44
Tabel 3. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Setelah Uji Coba) ... 48
Tabel 4. Blueprint Skala Ethnosentrisme Konsumen (Setelah Uji Coba) ... 49
Tabel 5. Deskripsi Usia Subyek Penelitian ... 56
Tabel 6. Deskripsi Jenis Kelamin Subyek Penelitian ... 56
Tabel 7. Data Teoritis dan Empiris ... 57
Tabel 8. Hasil Uji One Sample t-test Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 58
Tabel 9. Hasil Uji One Sample t-test Ethnosentrisme Konsumen …………. 59
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 60
Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 61
Tabel 12. Kriteria Korelasi ... 62
Tabel 13. Hasil Uji Hipotesis ... 63
Tabel 14. Hasil Uji Beda Mean Jenis Kelamin Subyek pada Variabel Ethnosentrisme Konsumen ... 65
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Try Out ... 83
Lampiran 2 Reliabilitas dan Seleksi Aitem Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif terhadap Produk Fashion Impor ……….. . 95
Lampiran 3 Reliabilitas dan Seleksi Aitem Skala Ethnosentrisme Konsumen 97 Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Setelah Seleksi Aitem pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif terhadap Produk Fashion Impor ... 100
Lampiran 5. Hasil Uji Reliabilitas Setelah Seleksi Aitem pada Skala Ethnosentrisme Konsumen ... 102
Lampiran 6. Skala Penelitian (Skala Online) ... 104
Lampiran 7. Uji Normalitas ... 117
Lampiran 8. Uji Linearitas ... 119
1 BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Produk yang beredar di Indonesia, saat ini didominasi dengan
produk impor (Aghnia, 2014). Banyaknya produk impor yang masuk ke
suatu negara dapat mengkhawatirkan produsen lokal (Hasnin, 2011). Hal
ini dikarenakan produk impor mendapat banyak respon positif dari
konsumen di Indonesia. Mereka lebih bangga menggunakan produk impor
dibandingkan dengan produk dalam negeri, termasuk juga dengan
konsumen remaja (Aghnia, 2014).
Banyak orang atau lembaga yang membeli produk dari luar negeri
yang sering disebut dengan impor. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Sugono, 2008), impor berarti pemasukan barang dan
sebagainya dari luar negeri.
Banyaknya merek terkenal yang masuk sebagai produk impor ke
dalam pasar Indonesia menjadi pilihan untuk dikonsumsi oleh remaja. Hal
ini dikarenakan remaja memiliki kesadaran yang tajam akan merek dan
nilai harga suatu produk (Riski, 2012). Merek yang terkenal dan popular di
masyarakat menjadi daya tarik bagi remaja untuk menunjukkan identitas
dirinya. Membeli produk yang sedang popular tersebut akan membuat
remaja menjadi lebih percaya diri dan terlihat kekinian. Dengan begitu,
lingkungan sosialnya (Chen-Yu & Seock dalam Sihotang, 2009; Youn dan
Faber, 2001 dalam Alagoz & Ekici, 2011; Erkmen & Yuksel dalam
Alagoz & Ekici, 2011; Holmberg & Öhnfeldt, 2010; Clamp, Liz &
Bohdanowicz dalam Zeb, Rashid & Javeed, 2011).
Berkaitan dengan produk impor yang disukai remaja, peneliti
menyebarkan 100 kuisioner sederhana, khususnya di kalangan remaja
yang berusia 13 – 21 tahun. Kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui
produk impor yang paling banyak dikonsumsi oleh kebanyakan remaja
pada umumnya. Kuisioner tersebut disebar di beberapa sekolah dan
Universitas di Bali pada hari Selasa, tanggal 5 Agustus 2014. Kuisioner
tersebut berisi pertanyaan produk impor apa yang sering remaja beli
dengan pilihan a) fashion (baju, celana, topi, tas dan sepatu), b) elektronik
(handphone dan laptop) dan c) makanan. Hasil survey tersebut
mengatakan bahwa 62 diantara mereka memilih pilihan pertama, yaitu
fashion sebagai produk impor yang sering mereka beli. Produk fashion yang dimaksud meliputi baju, tas, sepatu, topi dan celana. Sedangkan 38
remaja lainnya memilih pilihan kedua atau ketiga, yaitu elektronik yang
meliputi handphone dan laptop atau makanan.
Hasil survey tersebut didukung dengan hasil wawancara yang
dilakukan pada tanggal 10 & 12 Agustus 2014. Wawancara dengan 4
subyek yang dipilih oleh peneliti secara acak dengan isi wawancara
mengenai kegemaran belanja terhadap produk impor. Subyek I (usia 18
sepatu, sedangkan subyek III (usia 21 tahun) dan subyek IV (usia 21
tahun) memilih produk fashion berupa baju dan celana yang paling sering
mereka konsumsi. Hal ini dikarenakan produk fashion yang subyek pakai
dapat menunjang penampilannya. Alasan lain mengapa subyek memilih
produk impor adalah dikarenakan kualitas produk impor yang lebih baik
daripada produk lokal, dianggap lebih modis dan banyak model yang lebih
menarik.
Fashion sering dianggap sebagai produk hedonistik (Fiske and Taylor; Zimbardo et al. dalam Pentecost & Andrews, 2010). Penelitian
Parks, Kim & Forney (dalam Pentecost & Andrews, 2010) menemukan
bahwa produk hedonistik berkaitan dengan respon emosional yang akan
menentukan sikap konsunen selanjutnya. Sumarwan (dalam Anggasari,
Yuiati & Retnaningsing, 2013) mengungkapkan bahwa sikap konsumen
terhadap produk merupakan suatu gambaran yang mengungkapkan
perasaan dan kepercayaan konsumen terhadap suatu produk.
Pada konsumen generasi muda, mereka cenderung
mengekspresikan perasaan dan keinginan mereka dengan membeli produk
luar negeri untuk mengikuti perkembangan zaman, khususnya fashion
yang dianggap sebagai suatu cerminan dari dirinya (Riswan, 2014;
Holmberg & Öhnfeldt, 2010). Demi mempertahankan eksistensi di
lingkungan sosialnya, remaja tidak dapat menahan dirinya dan mampu
untuk menghabiskan uang sakunya untuk menunjang penampilannya,
Artikel yang ditulis oleh Riski (2012) juga mengatakan bahwa
remaja jaman sekarang cenderung memiliki perilaku mengkonsumsi suatu
produk secara berlebih. Hal ini dikarenakan pada masa ini merupakan
masa penuh gejolak dan ketidakseimbangan emosi yang mudah untuk
dipengaruhi lingkungan luar. Artikel ini juga menyebutkan bahwa remaja
menggunakan produk yang dikonsumsinya secara berlebih tersebut untuk
menunjang eksistensi di lingkungannya, sehingga mereka akan membeli
produk yang sedang populer dikalangannya (Riski, 2012).
Remaja dalam rentang tahap perkembangan merupakan masa
disaat kematangan emosinya belum stabil (Utami & Sumaryono, 2008).
Masa remaja juga disebutkan sebagai masa peralihan yang dimulai dari
usia 12 atau 13 hingga dua puluh tahunan yang melibatkan perubahan
fisik, kognitif serta psikososialnya (Papalia, 2009). Hal ini menyebabkan
remaja mengambil keputusan secara tidak efektif dan efisien serta
melakukan segala tindakan dengan respon emosional yang dimilikinya
(David Elkind dalam Papalia, 2008; Wulfert, Block, Santa Ana,
Rodriguez, & Colsman dalam Lai, 2010; Gunarsa, 2003).
Kurang mampu untuk mengendalikan diri untuk membeli suatu
produk dan tanpa pertimbangan tersebut dapat mengindikasikan adanya
kecenderungan pembelian impulsif. Rawlings dan Bellenger (dalam
Ghani, Imran, & Jan, 2011) menyatakan bahwa orang yang lebih muda
menunjukkan perilaku impulsif yang lebih tinggi jika dibandingkan
masih mementingkan penampilan mereka dengan cara membeli produk
baru yang sedang trend di kalangan masyarakat (Mai dalam Ghani, Imran,
& Jan, 2011). Secara khusus, hasil penelitian Lin & Lin (2005)
menegaskan bahwa remaja memiliki tingkat pembelian impulsif yang
tinggi. Dalam penelitiannya, ia mengatakan bahwa individu pada usia 19
tahun memiliki skor tertinggi pada pembelian impulsif, selanjutnya
individu pada usia 15 tahun, dan individu pada usia 17 tahun.
Selain secara emosional yang belum stabil pada remaja,
keterlibatan Fashion juga memiliki efek yang positif terhadap pembelian
impulsif (Park, Kim & Forney, 2006). Konsumen akan lebih sering
membeli produk-produk pakaian (Fairhurst et al. & Seo et al. dalam Park,
Kim & Forney, 2006). Hal ini dikarenakan selain dipandang sebagai
penunjang penampilan, pakaian juga merupakan simbol status yang
memiliki efek terhadap konsep diri remaja (Hurlock dalam Astasari &
Sahrah, 2009).
Pembelian impulsif beberapa tahun ini sering menjadi topik
penelitian. Hal ini dikarenakan data statistik kecenderungan pembelian
impulsif cukup tinggi. Seperti misalnya pada studi di Amerika Utara yang
menunjukkan bahwa terdapat pembelian secara impulsif sebesar 75%
(Bosnjak, Bandl & Bratko, 2007). Data statistik Amerika Serikat juga
menunjukkan bahwa pembelian secara impulsif menyumbang hampir 60%
melalui transaksi supermarket dan 80% pada pembelian kategori produk
Serikat menemukan bahwa 90% konsumen mendapatkan dorongan untuk
melakukan pembelian impulsif (Ghani & Ali Jan, 2010).
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Nielsen pada bulan
juni 2011 terhadap konsumen Indonesia, menyatakan bahwa konsumen
menjadi lebih impulsif dengan indikasi, sebagai berikut: (1) pada tahun
2003 sampai dengan 2011 terdapat penurunan sebesar 10% (dari 15%
menjadi 5%) diantara pembeli Indonesia yang menyatakan bahwa mereka
melakukan perencanaan dalam berbelanja dan tidak pernah membeli
produk tambahan dan tidak terencana, (2) dari tahun 2003 sampai 2011,
terdapat juga peningkatan sebesar 11% (dari 10% menjadi 21%) diantara
pembeli yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah merencanakan
hal-hal yang ingin mereka beli sebelum belanja, (3) dari tahun 2003 sampai
2011, mengalami peningkatan sebesar 26% (dari 13% menjadi 39%)
diantara pembeli yang mengatakan bahwa mereka membeli produk
tambahan meskipun mereka memiliki daftar belanjaan, (4) dari tahun 2003
sampai 2011, mengalami perubahan pola berbelanja, terdapat pergeseran
sebesar 69% dari para konsumen di tahun 2003 yang mungkin membeli
produk tambahan menjadi 39% dari konsumen di tahun 2011 yang
mengatakan bahwa mereka selalu membeli produk tambahan, juga (5) dari
tahun 2008 sampai 2011, terdapat kenaikan sebesar 16% (dari 5% menjadi
21%) diantara konsumen yang mengaku mengunjungi toko-toko yang
surat kabar dan brosur (Industri Post, dalam Dameyasani & Abraham,
2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Nielsen (dalam Dameyasani &
Abraham, 2013) tersebut ingin menegaskan adanya peningkatan
pembelian impulsif dari tahun 2003 sampai dengan 2011. Hal tersebut
ditunjukkan dengan penurunan perencanaan dalam melakukan pembelian
dan juga peningkatan dalam melakukan pembelian tidak terencana.
Pembelian tidak terencana tersebut ditunjukkan dengan cara konsumen
menambahkan produk yang tidak ada dalam daftar belanjaan mereka,
maupun mengunjungi toko-toko yang memberikan penawaran menarik
dengan kupon promosi yang didapat dari surat kabar dan brosur.
Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa pembelian yang
tidak terencana dan tidak ada dalam daftar belanja sebelumnya, dapat
menimbulkan pembelian impulsif. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
oleh Rook (1987) yang menyebutkan bahwa pembelian impulsif
merupakan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya. Alagoz &
Ekici (2011) menambahkan bahwa pembelian impulsif merupakan suatu
tindakan pembelian suatu produk yang tidak ada dalam daftar belanjaan.
Pembelian impulsif dikatakan suatu kecenderungan merespon dengan
cepat stimulus yang datang, tanpa pertimbangan dan evaluasi terhadap
konsekuensi, juga tidak bisa membedakan mana yang disukai,
menguntungkan, harga, dan lain-lain (Mehta & Chugan, 2013; Gerbing,
Rook (1987) mengatakan bahwa pembelian impulsif cenderung
lebih menggunakan emosional daripada rasional, dan cenderung untuk
dikatakan “buruk” daripada “baik”, sehingga pembelian yang dilakukan
terjadi secara spontan dan tidak hati-hati. Hal yang serupa dikatakan oleh
Weinberg & Gottwald (dalam Park & Choi, 2013) yang berkata bahwa
pembelian impulsif ditandai dengan tingginya aktivitas emosional, dan
rendahnya kontrol kognitif. Hal ini diperkuat oleh sebuah penelitian yang
dilakukan untuk mengidentifikasikan hubungan pembelian secara impulsif
dengan indikator dari Big Five personality membuktikan bahwa impulsif
berkorelasi positif dengan neurotisisme atau dengan kata lain
ketidakstabilan emosional. Hal ini mengakibatkan perilaku pembelian
impulsif berkaitan dengan tidak stabilnya emosional individu (Shahjehan,
Qureshi, Zeb & Saifullah, 2012).
Pembelian impulsif juga timbul dikarenakan adanya faktor
internal yang mempengaruhi, seperti halnya suasana hati dalam diri
individu. Ketika individu merasa stress atau depresi, maka ia akan
cenderung untuk melakukan pembelian impulsif (Youn & Faber dalam
Alagoz & Ekici, 2011). Keinginan untuk menunjukkan identitas diri,
meningkatkan rasa kepercayaan diri serta sebagai bentuk penghargaan
terhadap diri juga menjadi faktor internal penyebab timbulnya pembelian
impulsif (Youn & Faber dalam Alagoz & Ekici, 2011; Beatty & Ferrel
Selain faktor internal yang memiliki peran sebagai penyebab
timbulnya pembelian impulsif, terdapat faktor eksternal yang
mempengaruhi. Atmosfer toko, lokasi rak, bau dan warna dari produk
sebagai faktor lingkungan penyebab terjadinya pembelian impulsif
(Alagoz & Ekici, 2011). Faktor budaya juga menjadi salah satu faktor
yang memiliki pengaruh terhadap pembelian impulsif (Wood; Dittmar,
Beattie, & Friese dalam Lai, 2010; Yang, Huang & Feng, 2011; Lin & Lin,
2005; Kacen & Lee, 2002). Hofstede dan Minkov (dalam Dameyasani &
Abraham, 2013) mendefinisikan budaya sebagai suatu program yang
terdapat dalam pikiran manusia yang digunakan untuk mengevaluasi dan
membedakan kelompok satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan budaya sebagai evaluasi, sikap kebangsaan
dalam studi lintas budaya diukur dan digunakan sebagai salah satu variabel
yang berfungsi dalam mengevaluasi suatu produk, juga menjadi penentu
dalam orientasi budaya (Chen, 2008). Salah satunya adalah ethnosentrisme
konsumen (Alsughayir, 2013; Chen, 2008).
Ethnosentrisme konsumen dianggap memiliki dampak terhadap
evaluasi produk (Hooley, Graham, Shipley & Nathalie dalam Chen 2008).
Ethnosetrisme konsumen juga merupakan faktor penting dalam
pengambilan keputusan membeli pada konsumen terhadap produk tertentu
(Khan & Rahman, 2012; Yaprak, Attila, Baughn & Christopher dalam
Chen, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Chen (2008) juga
membeli, bahkan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian
impulsif (Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987).
Konsumen Ethnosentrisme melakukan pemilihan secara khusus
terhadap suatu produk, khususnya produk impor yang akan dikonsumsi.
Ketika melakukan pembelian terhadap produk impor maka dapat
dikatakan sebagai suatu hal yang salah (Lundstrom, Lee & White dalam
Candan, Aydin & Yamamoto, 2008; Shimp & Sharma dalam Anggasari,
Yuiati & Retnaningsing, 2013; Lantz dan Loeb dalam Watson & Wright,
2000).
Dengan ethnosentrisme yang dimiliki individu, maka individu
akan mampu untuk mengevaluasi produk yang akan dibelinya terlebih
dahulu, sehingga kecenderungan pembelian impulsif semakin berkurang.
Hal ini dikarenakan orang yang dengan ethnosentrisme tinggi akan
membeli produk yang dijual di negaranya, terlebih apabila produk lokal
memiliki kelebihan tersendiri. Hal ini dapat menyebabkan tingkat
ethnosentrisme semakin tinggi (Chen, 2008; Anggasari, Yuiati &
Retnaningsing, 2013). Berbeda dengan individu yang memiliki
ethnosentrisme yang rendah. Mereka akan cenderung untum membeli
produk yang dijual oleh negara lain atau dengan kata lainnya produk impor
(Chen, 2008).
Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara kecenderungan
pembelian impulsif dan ethnosentrisme pernah dilakukan oleh Grety
antara kecenderungan pembelian impulsif dengan ethnosentrisme. Hasil
tersebut dicurigai karena adanya keterbatasan pada variabel
kecenderungan pembelian impulsif, yaitu kurangnya pengkhususan
terhadap produk impor. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian
yang sama dengan menambahkan produk impor pada variabel
kecenderungan pembelian impulsif.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan
diteliti adalah apakah ada hubungan antara ethnosentrisme konsumen
dengan perilaku pembelian impulsif terhadap produk fashion impor pada
remaja ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
ethnosentrisme konsumen dengan perilaku pembelian impulsif terhadap
produk fashion impor pada remaja.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan menambah
pengetahuan di dalam bidang psikologi konsumen dan juga psikologi
perilaku pembelian impulsif terhadap produk fashion impor pada
remaja.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi para remaja
berkaitan dengan ethnosentrisme konsumen dan perilaku pembelian
impulsif, khususnya terhadap produk fashion impor, sehingga remaja
13 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pembelian Impulsif
1. Pengertian Pembelian Impulsif
Pembelian impulsif dikembangkan dan dikatakan sebagai suatu
kecenderungan oleh Beatty dan Ferrell (dalam Park & Lennon, 2006).
Pembelian impulsif didefinisikan sebagai suatu tindakan membeli
secara spontan dan tidak terencana (Rook, 1987; Dameyasani &
Abraham, 2013; Stern dalam Alagoz & Ekici, 2011). Hal ini dilihat
dari tindakan konsumen yang melakukan pembelian produk yang
tidak ada dalam daftar belanjaan yang dikarenakan adanya dorongan
kuat untuk membeli secara tiba-tiba sebuah produk dengan segera
(Rook dalam Verplanken & Herabadi, 2001; Beatty dan Ferrell dalam
Strack & Deutsch, 2006; Baumeister, 2002: Alagoz & Ekici, 2011).
Studi yang dilakukan oleh Rook dan Fisher (dalam George &
Yaoyuneyong, 2010) menunjukkan bahwa pembelian impulsif
dikarenakan oleh dorongan psikologis. Dorongan tersebut
menyebabkan individu akan cepat menanggapi secara langsung suatu
stimulus tanpa adanya pertimbangan secara menyeluruh dan juga
perencanaan sebelumnya (Kroeber-Riel dalam Niu & Wang, 2009;
Pembelian impulsif dinyatakan sebagai suatu tindakan
pembelian berdasarkan respon emosional yang sulit untuk dikontrol
(Dameyasani & Abraham, 2013). Hal yang serupa juga dikatakan oleh
Weinberg & Gottwald (dalam Park & Choi, 2013) yang mengatakan
bahwa pembelian impulsif adalah suatu tindakan yang ditandai dengan
tingginya aktivitas emosional dan rendahnya kontrol kognitif. Hal ini
menyebabkan individu akan segera membuat keputusan dengan cepat
secara emosional untuk membeli produk tersebut tanpa memikirkan
konsekuensi atas pembelian yang telah dilakukan (Kroeber-Riel dalam
Niu & Wang, 2009; Baumeister, 2002; Beatty & Ferrell dalam Alagoz
& Ekici, 2011; Rook, 1987). Akan tetapi, emosional yang paling
menonjol pada saat melalukan pembelian secara impulsif adalah rasa
senang dan gembira (Verplanken & Herabadi, 2001).
Pembelian impulsif juga dapat dikatakan sebagai suatu
tindakan yang reaktif. Hal ini dikarenakan pembelian impulsif
memiliki konsep untuk mencapai kepuasan dengan segera, terutama
sebagai sarana pemuas hedonistik. Dengan begitu, konsumen akan
mendapatkan kesenangan dan gairah tersendiri yang tidak dapat
diberikan oleh pembelian yang direncanakan (Kroeber-Riel dalam Niu
& Wang, 2009; Rook, 1987; Holbrook & Hirschman dalam George &
Yaoyuneyong, 2010; Lee & Yi, dalam George & Yaoyuneyong, 2010;
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif merupakan
pembelian yang dilakukan secara tidak terencana, karena adanya
dorongan yang kuat secara spontan dan tiba-tiba, sehingga konsumen
melakukan pembelian tanpa pertimbangan untuk mendapatkan
kepuasan dengan segera.
2. Aspek Pembelian Impulsif
Verplanken dan Herabadi (2001) mengatakan bahwa terdapat
dua aspek psikologis dalam pembelian impulsif, yaitu aspek kognitif
dan aspek afektif.
1) Aspek kognitif
Aspek ini berfokus pada konflik yang terjadi pada
kognitif individu pada saat melakukan pembelian impulsif,
meliputi: tidak adanya pertimbangan mengenai harga dan
kegunaan produk, tidak melakukan evaluasi terhadap suatu
produk dan tidak melakukan perbandingan produk terlebih
dahulu.
2) Aspek afektif
Aspek ini berfokus pada kondisi emosional individu
saat melakukan pembelian impulsif, meliputi: dorongan
perasaan senang dan puas setelah melakukan pembelian, dan
perasaaan menyesal setelah melakukan pembelian.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa aspek yang terdapat pada pembelian impulsif adalah aspek
kognitif, yaitu tidak melakukan pertimbangan sebelumnya ketika
membeli suatu produk, dan juga aspek afektif, yaitu perasaan senang
dan puas ketika melakukan pembelian.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya
pembelian impulsif pada invididu, antara lain:
a. Faktor Internal
Rook (dalam Park & Lennon, 2006) menyebutkan bahwa
terdapat berbagai dorongan psikologis yang menimbulkan
terjadinya pembelian impulsif. Chen (dalam Yang, Huang & Feng,
2011) menyebutkan bahwa kepribadian merupakan salah satu
faktor dari persepsi intern dalam individu yang mempengaruhi
pembelian impulsif. Akan tetapi, kecenderungan pembelian
impulsif juga dianggap sebagai suatu ciri kepribadian (Dholakia;
Murray dalam Park & Lennon, 2006; Sharma et. al dalam Brici,
Penelitian yang dilakukan oleh Lin & Chuang (2005)
mengatakan bahwa Emotional Intelligence memiliki pengaruh
terhadap pembelian impulsif. Orang yang memiliki Emotional
Intelligence yang tinggi memiliki tingkat pembelian impulsif yang rendah. Akan tetapi, orang yang memiliki Emotional Intelligence
rendah memiliki tingkat pembelian impulsif yang tinggi.
Selain itu, suasana hati dalam diri individu juga menjadi
salah satu faktor penyebab pembelian impulsif (Youn & Faber
dalam Alagoz & Ekici, 2011). Misalnya saja, ketika individu
merasa stres atau depresi, maka ia akan cenderung untuk
melakukan pembelian impulsif yang berguna mengatasi
ketegangan dalam dirinya (Alagoz & Ekici, 2011; Youn & Faber
dalam Alagoz & Ekici, 2011). Keinginan untuk menunjukkan
identitas diri, meningkatkan rasa kepercayaan diri serta sebagai
bentuk penghargaan terhadap diri juga menjadi faktor penyebab
timbulnya pembelian impulsif (Youn & Faber dalam Alagoz &
Ekici, 2011; Beatty & Ferrel dalam Alagoz & Ekici, 2011).
Berdasarkan pernyataan tersebut, faktor-faktor internal
yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif, antara lain:
kepribadian, Emotional Intelligence, suasana hati, serta keinginan
untuk menunjukkan identitas, meningkatkan kepercayaan diri serta
b. Faktor Eksternal
Chen (dalam Yang, Huang & Feng, 2011) dalam
artikelnya menjelaskan bahwa pembelian impulsif terjadi karena
adanya stimulasi eksternal. Salah satu contohnya adalah strategi
promosi yang menyebabkan konsumen berkeinginan untuk
melakukan pembelian dengan segera (Yang, Huang & Feng, 2011;
Chen dalam Yang, Huang & Feng, 2011). Gambar, desain
kemasan produk dan peletakan produk di dekat kasir juga dapat
dikatakan menjadi faktor timbulnya pembelian impulsif (Hoyer &
Maclnnis; Jones et al dalam Niu & Wang, 2009; Torlak & Tiltay
dalam Alagoz & Ekici, 2011). Hal serupa juga dikatakan oleh
Alagoz & Ekici (2011) yang mengatakan bahwa kemasan serta
gambar produk dapat menyebabkan individu melakukan
pembelian impulsif.
Selain itu, pemasaran kontemporer seperti toko 24 jam,
saluran televisi dan belanja menggunakan internet, juga dikatakan
menjadi faktor penyebab meningkatnya jumlah pembelian
impulsif (Hoyer & Maclnnis; Jones et al dalam Niu & Wang,
2009). Alagoz & Ekici (2011) menambahkan atmosfer toko,
lokasi rak, bau dan warna dari produk sebagai faktor lingkungan
penyebab terjadinya pembelian impulsif. Musik yang terdengar
didalam toko juga menjadi faktor timbulnya pembelian impulsif
Faktor lain yang ditemukan adalah demografi, seperti:
usia, jenis kelamin. Ditemukan bahwa pembelian impulsif pada
wanita lebih tinggi daripada pria. Sedangkan, untuk usia ditemukan
bahwa usia 15 – 19 tahun sangat signifikan terhadap pembelian
impulsif. Selain itu, faktor ekonomi, seperti pendapatan, uang saku
dan uang dari hasil kerja paruh waktu. Semakin tinggi uang saku
yang dimiliki, semakin tinggi pula tingkat pembelian impulsifnya
(Yang, Huang & Feng, 2011; Lin & Lin, 2005).
Budaya juga menjadi salah satu faktor yang memiliki
pengaruh terhadap pembelian impulsif (Wood; Dittmar, Beattie, &
Friese dalam Lai, 2010; Yang, Huang & Feng, 2011; Lin & Lin,
2005; Kacen & Lee, 2002). Salah satunya adalah ethnosentrisme
(Alsughayir, 2013; Chen, 2008).
Ethnosentrisme dikatakan memiliki pengaruh terhadap niat
membeli dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
pembelian impulsif (Chen, 2008; Worchel & Cooper, dalam
Shimp & Sharma, 1987). Ethnosentrisme juga disebut sebagai
salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan dalam
pembelian suatu produk (Khan & Rahman, 2012; Yaprak, Attila,
Baughn & Christopher dalam Chen, 2008).
Berdasarkan penjelasan tersebut, faktor-faktor eksternal
yang dapat mempengaruhi munculnya pembelian impulsif antara
kontemporer, faktor lingkungan seperti: atmosfer toko, lokasi rak,
bau dan warna dari produk, faktor demografi, seperti: usia dan
jenis kelamin, faktor ekonomi, seperti: pendapatan, uang saku dan
uang dari hasil kerja paruh waktu, dan faktor budaya, salah
satunya adalah ethnosentrisme.
B. Ethnosentrisme Konsumen
1. Pengertian Ethnosentrisme Konsumen
G. A. Sumner pertama kali memperkenalkan konsep
ethnosentrisme pada tahun 1906 (Alsughayir, 2013; Chen, 2008;
Shimp & Sharma, 1987). Ehtnosentrisme merupakan fenomena
mengenai hubungan antarkelompok (Lewis dalam Sharma, Shimp &
Shin, 1995). Beberapa penulis juga berpendapat bahwa
ethnosentrisme merupakan bagian dari sifat manusia (Lynn; Mihalyi;
Rushton dalam Sharma, Shimp & Shin, 1995).
Definisi ehtnosentrisme dapat dilihat dari beberapa pandangan
ilmu. Menurut sosiologi, ethnosentrisme didefinisikan sebagai suatu
pandangan yang membedakan antara ingrup (individu-individu yang
mengidentifikasi grup yang lain) dan outgrup (individu-individu yang
dianggap memusuhi ingrup) dan menganggap bahwa kelompok
mereka sendiri (ingrup) adalah superior dan pusat dari segala sesuatu
(Alsughayir, 2013; Chen, 2008; Lantz & Loeb, dalam Chen 2008).
kecenderungan dalam menilai diri sendiri adalah benar dan menilai
orang lain menurut kehendak mereka sendiri (Ueltschy, dalam Chen
2008). Pada psikososial, ethnosentrisme juga menjadi konstruk yang
memiliki relevansi dengan kepribadian individu dan analisis kultural
serta sosial secara umum (Levine & Campbell dalam Shimp &
Sharma, 1987).
Konsep umum dari ethnosentrisme adalah sikap individu yang
melihat bahwa kelompok mereka sebagai pusat dari segalanya dan
menilai kelompok lain menurut perseptif kelompok mereka sendiri
dan menolak budaya lainnya (Booth; Worchel & Cooper dalam Shimp
& Sharma, 1987). Secara lebih spesifik, LeVine & Campbell (dalam
Sharma, Shimp & Shin, 1995) menyebutkan kecenderungan
ethnosentrisme merupakan kecenderungan sikap untuk: (1)
membedakan berbagai kelompok, (2) yang hanya tertarik dengan
urusan kelompoknya sendiri, (3) melihat kelompok sendiri sebagai
pusat dari dunia dan menganggap cara hidupnya lebih unggul
dibandingkan dengan yang lain, (4) menjadi curiga dan meremehkan
kelompok lain, (5) melihat kelompok sendiri sebagai superior, kuat
dan jujur, (6) melihat kelompok lain sebagai inferior, lemah dan
pembuat masalah yang tidak jujur.
Pradesta (2014) yang mengatakan bahwa ethnosentrisme
merupakan suatu kecenderungan dalam memandang norma dan nilai
standar untuk mengukur serta mengambil sikap terhadap kebudayaan
lain. Selain itu, ethnosentrisme merujuk pada sikap, kepercayaan,
standar, dan perilaku individu yang berlebih pada sesuatu (Summer
dalam Zhaki, 2014). Dalam dunia konsumen, ethnosentrisme
dikatakan sebagai konstruk yang mampu menjelaskan mengapa
konsumen menilai produk dalam negeri lebih unggul daripada produk
impor. Ethnosentrisme konsumen didefinisikan sebagai suatu
kepercayaan konsumen mengenai kesesuaian dan moralitas dalam
membeli produk impor dan dengan pembelian produk impor itu sendiri
merupakan suatu kesalahan karena menimbulkan kerusakan ekonomi
lokal (Shimp & Sharma, 1987).
Berdasarkan paparan definisi ethnosentrisme dalam
konsumen, sikap dipilih karena merupakan suatu bentuk tindakan akan
kepercayaan konsumen dalam menilai dan membeli suatu produk.
Oleh karena itu, definisi ethnosentrisme konsumen dapat disimpulkan
sebagai suatu sikap yang memandang kelompok sendiri lebih unggul
dari kelompok lain yang berbeda budaya dan akan membeli produk
yang sesuai dengan budayanya.
2. Aspek Sikap
Sikap merupakan suatu keadaan mental yang dipengaruhi oleh
pengalaman yang akan memberikan respon terhadap objek dan situasi
organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional,
perceptual dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia inidividu
(Allport & Krech dan Crutchfield dalam Sears, Freedman & Peplau,
2009).
Pendapat lain, Thurstone (dalam Kurnianto, 2015)
mengemukakan istilah sikap dalam lingkup pemasaran sebagai suatu
konsep mengenai jumlah pengaruh yang dimiliki individu dan
menempatkannya pada suatu kerangka pemikiran mengenai suka atau
tidaknya individu pada sesuatu, mendekati atau menjauhi mereka.
Selain itu, sikap juga dikatakan mampu untuk menggambarkan
kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari
obyek tersebut.
Aspek sikap menurut Sears, Freedman & Peplau (2009),
antara lain:
1) Aspek Kognitif
Aspek ini berkaitan dengan pemikiran, yang terdiri dari
seluruh kognisi yang dimiliki individu mengenai obyek sikap
tertentu (fakta), pengetahuan dan keyakinan mengenai obyek
tersebut.
Indikator ethnosentrisme dalam aspek kognitif berupa
pemikiran yang dimiliki individu mengenai keunggulan yang
dimiliki oleh produk lokal dan membeli produk impor
2) Aspek Afektif
Aspek ini berkaitan dengan perasaan atau emosi
individu terhadap obyek, terutama penilaian.
Indikator ethnosentrisme dalam aspek afektif berupa
kesenangan individu akan produk lokal.
3) Aspek Konatif
Aspek ini berkaitan dengan kesiapan individu untuk
bereaksi atau kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek.
Indikator ethnosentrisme dalam aspek konatif berupa
tindakan membeli produl lokal.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat berarti aspek sikap
adalah aspek kognitif yang berupa pemikiran, aspek afektif yang
berupa perasaan terkesan atau emosi, dan aspek konatif yang berupa
reaksi atau tindakan.
3. Dampak Ethnosentrisme Konsumen
Penelitian yang dilakukan oleh Chen (2008) juga
menunjukkan bahwa ethnosentrisme memiliki pengaruh terhadap niat
membeli. Akan tetapi, konsumen Ethnosentrisme melakukan
Mereka akan lebih berkenan pada produk yang memiliki budaya yang
sama. Ketika melakukan pembelian terhadap produk impor maka dapat
dikatakan sebagai suatu hal yang salah (Lundstrom, Lee & White
dalam Candan, Aydin & Yamamoto, 2008; Shimp & Sharma dalam
Anggasari, Yuiati & Retnaningsing, 2013; Lantz dan Loeb dalam
Watson & Wright, 2000).
Orang yang dengan ethnosentrisme tinggi akan membeli
produk yang dijual di negaranya. Tingkat ethnosentris akan semakin
tinggi apabila produk lokal memiliki kelebihan tersendiri (Chen, 2008;
Anggasari, Yuiati & Retnaningsing, 2013). Sebagai contoh, survey
yang dilakukan oleh Soegiono (dalam Setiawan, 2014). Hasil survey
menemukan bahwa di Indonesia terdapat dua konsumen fanatik. Salah
satunya adalah konsumen yang fanatik terhadap produk lokal
dikarenakan bagi mereka produk lokal cenderung lebih murah, mudah
didapat, dan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia.
Sedangkan, orang yang dengan ethnosentrisme rendah akan membeli
produk yang dijual oleh negara lain (Chen, 2008).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ethnosentrisme memiliki pengaruh terhadap niat beli dan konsumen
ethnosentrisme lebih tertarik dengan produk yang memiliki budaya
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Bagian dari suatu tahapan perkembangan manusia adalah
remaja. Adolecentia yang diartikan dengan “remaja” merupakan suatu
tahapan dalam perkembangan manusia yang menjembatani masa
kanak-kanak ke masa dewasa dan dapat disebut dengan masa
peralihan atau masa transisi (Gunarsa, 2003; Lai, 2010; Sarwono,
2011; Papalia, Olds & Feldman, 2009). Hal ini ditandai dengan
adanya perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif
dan sosial (Sarwono, 2011; Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Perkembangan yang terjadi tersebut menyebabkan remaja mengalami
tahapan kritis dalam membangun kesadaran diri (Steinberg dalam Niu
& Wang, 2009).
Rentang usia pada remaja berkisar antara 12 sampai 21 tahun
(Gunarsa, 2003). Sedangkan rentang usia remaja menurut Steinberg
(dalam Niu & Wang, 2009) adalah 12 hingga 20 tahun. Berbeda
dengan Gunarsa dan Steinberg, menurut Hurlock (dalam Santrock,
2007) masa remaja berlangsung pada usia 10 tahun hingga 22 tahun.
Sedangkan, menurut WHO (dalam Sarwono, 2011) kurun waktu usia
Berdasarkan definisi mengenai remaja tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa
kanak-kanak menuju dewasa dengan rentang usia 12 hingga 22 tahun. Selain
itu, remaja mengalami perkembangan secara biologis, kematangan
secara psikologis dan psikososial.
2. Karakteristik Remaja a. Segi Kognitif
Piaget (Papalia, Olds & Feldman, 2009) mengatakan
bahwa dalam masa remaja, individu memasuki tingkat
perkembangan kognitif tertinggi yang disebut dengan operasional
formal. Perubahan secara kognitif tersebut melibatkan perubahan
pada pemikiran, kemampuan berpikir abstrak, serta kemampuan
berpikir secara lebih luas (Hurlock dalan Santrock, 2007; Papalia,
Olds & Feldman, 2009). Dengan kemampuan berpikir secara
abstrak yang dimilikinya, remaja akan memiliki konsekuensi
emosional berupa hal-hal ideal yang menarik bagi pemikiran dan
perasaan mereka (H. Ginsburg & Opper dalam Papalia, Olds &
Feldman, 2009).
Selain itu, selama masa pubertas, remaja mengalami
emosi yang kuat secara kognitif (Wulfert, Block, Santa Ana,
Rodriguez, & Colsman dalam Lai, 2010). Dalam hal ini, emosi
memiliki gejolak perasaan yang tinggi dan mengalami perubahan
suasana hati (Utami & Sumaryono, 2008; Gunarsa, 2003; Santrock,
2012). Akibatnya, remaja akan cenderung untuk melakukan hal
secara sembarangan dan melakukan segala tindakan berdasarkan
dengan respon emosional yang dimilikinya (Wulfert, Block, Santa
Ana, Rodriguez, & Colsman dalam Lai, 2010; Gunarsa, 2003).
Disisi lain, dalam tahap perkembangan cara berpikirnya,
remaja berusaha untuk memahami apa yang terjadi dalam diri
mereka dan memahani bagaimana mereka harus bersikap
(Pappalia, 2008; H. Ginsburg & Opper dalam Papalia, Olds &
Feldman, 2009). Dalam proses transisi ini, remaja mengalami
ketidakmatangan cara berpikir yang ditunjukkan dengan salah satu
sikapnya adalah kurang mampunya mereka dalam memutuskan
suatu hal secara efektif dan efisien (David Elkind dalam Pappalia,
2008).
Berdasarkan pernyataan tersebut, remaja mengalami
perkembangan pada aspek kognitifnya, seperti perubahan pada
pemikiran, ketidakstabilan emosional dan ketidakmatangan cara
berpikir. Hal ini mampu menyebabkan remaja melakukan hal
secara sembarangan dan beresiko, dikarenakan mereka kurang
b. Segi Sosial
Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan
diterima teman sebaya atau kelompok (Santrock, 2007). Oleh
karena kebutuhannya dan dikarenakan adanya gejolak emosi dan
ketidakseimbangan, remaja mudah untuk terkena pengaruh dari
lingkungan sosialnya, seperti halnya dipengaruhi oleh kelompok
(Stanley Hall dalam Gunarsa, 2003; Niu & Wang, 2009).
Remaja dapat memenuhi kebutuhan pribadi mereka
dengan menghargai, menyediakan informasi, menaikan harga diri,
dan memberi mereka suatu identitas di dalam suatu kelompok.
Remaja yang bergabung dalam keanggotaan suatu kelompok
menganggap kelompok sebagai hal yang menyenangkan dan
menarik serta bisa memenuhi kebutuhan mereka atas hubungan
dekat dan kebersamaan serta menerima penghargaan baik berupa
meteri maupun psikologi. Pengaruh kelompok tersebut
menyebabkan remaja menjadi ikut-ikutan. Perilaku tersebut dapat
terlihat misalnya saja dalam hal memilih pakaian (Santrock, 2007).
Salah satu contoh adalah komformitas (Sihotang, 2009).
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dari segi sosial, remaja memiliki kebutuhan untuk disukai dan
diterima oleh kelompok dan teman sebaya, sehingga remaja
kebutuhannya yang berdampak pada perilaku remaja yang menjadi
ikut-ikutan, contohnya memilih pakaian.
D. Produk Fashion Impor
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono, 2008), impor
berarti pemasukan barang dan sebagainya dari luar negeri. Barang yang
dimasukkan ke dalam daerah pabean disebut sebagai barang impor.
Produk yang diimpor dinilai lebih menarik konsumen jika
dibandingkan dengan produk yang diproduksi oleh dalam negeri
dikarenakan banyak pilihannya serta nilai jual yang juga lebih tinggi dari
produk dalam negeri. Contohnya: bahan tekstil, sepatu. Produk impor juga
memiliki kualitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk
lokal. Hal ini menyebabkan konsumen cenderung untuk memilih produk
impor daripada produk lokal dengan melihat dari segi kualitas. Tidak
hanya dari segi kualitas, konsumen cenderung membeli produk impor
dikarenakan desain yang menarik dan merek yang bergengsi dan sesuai
dengan harga yang dikeluarkan (Setiawan, 2014).
Adanya merek pada setiap produk digunakan untuk membedakan
produk dari satu produsen dengan produsen lainnya (Zeb, Rashid &
Javeed, 2011). Merek disebut sebagai sebuah janji dari atributnya akan
kepuasan si pembeli (Ambler dalam Zeb, Rashid & Javeed, 2011). Hal ini
menyebabkan konsumen sering kali memiliki pilihan merek tersendiri dan
keluarga mereka dengan tujuan untuk menghindari ketidakpastian dan
kualitas yang buruk. Salah satu contohnya dalam industri fashion (Elliot &
Yannopoulou dalam Zeb, Rashid & Javeed, 2011).
Fashion dapat mencerminkan suatu masyarakat dan budaya .
Selain itu, fashion juga dapat mencerminkan bagaimana orang
mendefinisikan dirinya dan memiliki efek yang positif terhadap pembelian
impulsif (Holmberg & Öhnfeldt, 2010; Park, Kim & Forney, 2006).
Clamp, Liz & Bohdanowicz (dalam Zeb, Rashid & Javeed, 2011)
menyebutkan yang termasuk dalam fashion antara lain pakaian, sepatu dan
aksesoris lainnya seperti konsmetik dan bahkan perabotan.
Berdasarkan penjelasan mengenai barang impor tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa barang impor lebih diminati oleh konsumen,
khususnya konsumen Indonesia dikarenakan kualitasnya, terlebih pada
industri fashion yang termasuk didalamnya: pakaian, sepatu dan aksesoris
seperti konsmetik serta perabotan.
E. Dinamika Hubungan antara Ethnosentrisme Konsumen dan Kecenderungan Pembelian Impulsif terhadap Produk Fashion Impor pada Remaja
Ethnosentrisme merupakan suatu sikap individu yang melihat
bahwa kelompok mereka sebagai pusat dari segalanya dan menilai
kelompok lain menurut perseptif kelompok mereka sendiri dan menolak
1987). Ethnosentrisme juga diyakini sebagai sikap konsumen yang
melakukan pemilihan serta pengambilan keputusan secara khusus terhadap
suatu produk. Ketika konsumen akan membeli produk tersebut, mereka
akan melakukan evaluasi terlebih dahulu, khususnya terhadap produk
impor (Lundstrom, Lee & White dalam Candan, Aydin & Yamamoto,
2008; Shimp & Sharma dalam Anggasari, Yuiati & Retnaningsing, 2013;
Khan & Rahman, 2012; Yaprak, Attila, Baughn & Christopher dalam
Chen, 2008).
Konsumen ethnosentris akan lebih berkenan pada produk yang
memiliki budaya yang sama. (Lantz dan Loeb dalam Watson & Wright,
2000). Konsumen dengan ethnosentrisme tinggi akan memilih produk
lokal. Kecenderungan ethnosentrisme akan semakin tinggi, apabila produk
lokal memiliki kelebihan tersendiri (Anggasari, Yuiati & Retnaningsing,
2013; Chen, 2008). Mereka lebih nyaman menggunakan produk lokal
dikarenakan sesuai dengan budaya mereka (Setiawan, 2014).
Konsumen dengan ethnosentrisme rendah akan lebih memilih
produk impor, jika dibandingkan dengan produk lokal. Mereka merasa
lebih bangga menggunakan produk impor jika dibandingkan dengan
produk lokal (Aghnia, 2014). Produk impor juga dikatakan memiliki
kualitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk lokal. Oleh
sebab itu, konsumen Indonesia lebih senang memakai produk impor, tidak
Produk impor yang diinginkan konsumen remaja dengan mudah
didapatkannya. Hal ini dikarenakan pasar Indonesia didominasi oleh
produk impor. Banyaknya merek terkenal yang masuk dalam pasar
Indonesia menjadi pilihan konsumen, tidak terkecuali remaja. Merek yang
terdapat dalam sebuah produk dapat dikatakan sebagai sebuah janji dari
atributnya akan kepuasan si pembeli. Dengan begitu, merek-merek
terkenal akan menarik setiap remaja untuk selalu membeli merek tersebut
sebagai tanda kepercayaan yang diberikan (Ambler dalam Zeb, Rashid &
Javeed, 2011). Hal ini dikarekan remaja memiliki kesadaran yang tajam
akan merek dan nilai harga pada suatu produk (Riski, 2012).
Sebagaian besar remaja tidak dapat menahan dirinya dan mampu
menghabiskan uang sakunya untuk menunjang penampilannya, seperti
pakaian, sepatu, kosmetik dan aksesoris (Riski, 2012). Merek terkenal dan
populer di masyarakat yang dibeli oleh remaja membuat remaja mampu
untuk menunjukkan identitas dirinya. Membeli produk yang sedang
populer juga dikatakan dapat membuat remaja menjadi lebih percaya diri.
Dengan begitu, remaja akan terlihat kekinian. Selain itu, remaja akan
mampu untuk diterima dan dapat mempertahankan eksistensi di
lingkungan sosialnya (Chen-Yu & Seock dalam Sihotang, 2009; Youn dan
Faber, 2001 dalam Alagoz & Ekici, 2011; Erkmen & Yuksel dalam
Alagoz & Ekici, 2011; Holmberg & Öhnfeldt, 2010; Clamp, Liz &
Remaja dalam masanya masih mengalami tahapan krisis yang
penuh gejolak dan ketidakseimbangan emosional. Hal ini dapat
menyebabkan remaja mengambil keputusan secara tidak efektif dan
efisien. Ikut-ikutan dalam suatu kelompok juga menyebabkan remaja ingin
membeli produk yang sesuai dengan lingkungan sosialnya tanpa adanya
pertimbangan. Hal ini berdampak pada konsumsi produk yang secara
berlebih untuk memperkuat identitas remaja dalam lingkungannya (David
Elkind dalam Pappalia, 2008; Riski, 2012; Stanley Hall dalam Gunarsa,
2003; Niu & Wang, 2009).
Kurang mampu untuk mengendalikan diri untuk membeli suatu
produk dan tanpa pertimbangan tersebut dapat mengindikasikan adanya
kecenderungan pembelian impulsif. Rook (1987) menyebutkan bahwa
pembelian impulsif merupakan suatu tindakan pembelian tidak terencana
dan tanpa berpikir bijak ataupun adanya pertimbangan secara keseluruhan.
Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa pembelian impulsif adalah tindakan
membeli yang berdasarkan respon emosional yang sulit untuk dikontrol
(Dameyasani & Abraham, 2013; Weinberg & Gottwald dalam Park &
Choi, 2013).
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa
ethnosentrisme memiliki pengaruh pada sikap konsumen saat akan
membeli suatu produk. Konsumen remaja yang memiliki ethnosentrisme
tinggi akan memilih untuk membeli produk lokal. Hal ini dikarenakan
sesuai dengan budaya mereka, dibandingkan dengan produk impor.
Dengan demikian, tingkat pembelian impulsif terhadap produk impor
menjadi rendah. Akan tetapi, konsumen remaja yang memiliki
ethnosentrisme rendah akan memilih untuk membeli produk impor. Hal ini
dikarenakan produk impor membuat mereka merasa lebih bergengsi dan
kekinian di dalam lingkungannya dengan cara mengikuti sesuatu yang
sedang populer. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja mengkonsumsi
F. Skema Hubungan antara Ethnosentrisme Konsumen dan Kecenderungan Pembelian Impulsif terhadap Produk Fashion Impor
ETHNOSENTRISME
RENDAH
TINGGI
1. Menyukai Produk Fashion Impor
2. Membeli Produk Fashion Impor
3. Merasa bangga memakai Produk Fashion Impor
1. Nyaman terhadap produk lokal
2. Membeli produk lokal 3. Bangga memakai produk
lokal
Pembelian Impulsif
terhadap Produk
Fashion Impor
tinggi
Pembelian Impulsif
terhadap Produk
Fashion Impor
G. HIPOTESIS
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat diajukan adalah terdapat hubungan yang negatif
antara ethnosentrisme dengan pembelian impulsif terhadap barang impor.
Semakin tinggi ethnosentrisme, maka akan semakin rendah rendah
pembelian impulsif terhadap barang impor. Sebaliknya, semakin
rendahnya ethnosentrisme, maka pembelian impulsif terhadap barang