Phallogocentrisme:
Biang Kerok Tragedi Romeo and Juliet Karya William Shakespeare
Rasus Budhyono
”Two households, both alike in dignity, [i]nfair Verona, where we lay our scene, [f]rom ancient grudge break to new mutiny, [w]here civil blood makes civil hands unclean. From forth the fatal loins of these two foes [a] pair of star-cross'd lovers take their life; [w]hose misadventur'd piteous overthrows
[d]oth with their death bury their parents' strife. The fearful passage of their death-mark'd love, [a]nd the continuance of their parents' rage, [w]hich, but their children's end, naught could remove, [i]s now the two hours' traffic of our stage; [t]he which if you with patient ears attend, [w]hat here shall miss, our toil shall strive to mend.” (Shakespeare, 1990:1) 1
Memang begitulah secara singkat kisah yang diangkat dalam tragedi Romeo and Juliet, sepasang kekasih yang cintanya terbentur dinding perseteruan kedua keluarganya. Dan begitulah kurang
lebih pakem lakon tragedi sebagaimana dirumuskan oleh Aristotle dalam Poetics2-nya: bahwa tragedi mengisahkan kejatuhan seorang tokoh tragis dengan tujuan untuk menghasilkan “pity and fear” guna membersihkan dan memperbaiki diri manusia (to purge), dan bahwa kejatuhan tadi: “should come about not as the result of vice, but of some great error or frailty, in a character”, yang kemudian dikenal sebagai tragic flaw.
Banyak sudah penafsiran orang tentang tragic flaw apa yang telah merenggut kebersamaan Romeo dan Juliet. Apapun itu, yang saya tawarkan dalam tulisan ini adalah bahwa biang kerok
tragedi Romeo and Juliet ini adalah falogosentrisme patriarki.
Patriarki menurut Booker3 adalah sebuah ideologi sistem kemasyarakatan yang didasarkan pada
premis kekuasaan maskulin sebagaimana mengejawantah dalam pandangan ayah sebagai kepala
keluarga. Dalam praktiknya, sistem ini juga didominasi oleh gagasan-gagasan dan nilai-nilai
1
Untuk makalah ini, semua kutipan dari drama Romeo and Juliet diambil dari naskah elektronik pada cakram padat World Literary Heritage dari Softbit Inc. Irvine, California, yang kemudian saya konversi ke dalam program pengolah kata Microsoft Word dengan format halaman default, jenis huruf Times New Roman 10 pt, spasi tunggal. Nomor halaman mengacu kepada naskah yang sudah dikonversi ini.
2
Aristotle Poetics (terj. S. H. Butcher), dalam Hazard Adams (ed.) Critical Theory since Plato. 1992. Harcourt Brace Jovanovich College Publishers. Fortworth.
3
maskulin secara umum. Ideologi ini telah sedemikian kuatnya mengakar dalam masyarakat
sehingga sering orang menganggapnya sebagai sesuatu yang terberi (taken for granted) tanpa mempertanyakannya.
Dalam Romeo and Juliet falogosentrisme tampak dalam dua tataran, yakni tataran cerita dan penceritaan. Oleh karena itu, pembahasannya akan dilakukan pada kedua tataran tersebut,
berdasarkan pada metode analisis struktural yang dikemukakan oleh Genette.4
Dalam tataran cerita, falogosentrisme sudah diisyaratkan dalam prolog dari chorus, yang menyatakan bahwa pangkalnya adalah masalah dua keluarga, yakni Capulet dan Montague.
Keluarga ini masing-masing dikepalai oleh figur laki-laki. Meskipun beranggotakan banyak,
setiap orang menggunakan nama keluarga di belakang namanya masing-masing. Yang
menyatukan dan memberi mereka identitas adalah nama keluarga. Dalam drama, berkali-kali
para tokoh dari pihak Capulet maupun Montague bahkan tidak menyebut nama orang, tetapi
nama keluarga, termasuk kepada pelayan kedua keluarga yang sebenarnya tidak ada hubungan
darah, misalnya dengan mengucapkan: “a Capulet/Montague”, “one of the house of Capulet/Montague”, dan lain sebagainya.
Dari pandangan feminisme, nama adalah simbol yang mengukuhkan patriarki. Ia adalah
kepanjangan phallus, yang mencirikan maskulinitas individu. Keluarga sebagai sebuah kolektivitas yang cenderung maskulin memiliki nama sebagai phallic symbol-nya. Untuk kepentingan keluarga, maka segalanya harus berlandaskan pada ideologi yang dipegangnya,
yakni phallocentrism, yang oleh Toril Moi5 dijelaskan sebagai sistem yang memandang phallus
sebagai simbol atau sumber kekuasaan. Phallocentrism ini sering dikaitkan dengan logocentrism, cara pandang strukturalis yang percaya pada suatu pusat tunggal6, sehingga muncullah istilah
phallogocentrism.
4
Genette, Gerard. 1980. Narrative Discourse: An Essay in Method. (terj. Jane E. Lewin). Cornell University Press. Ithaca, New York.
5
Moi, Toril. Feminist, Female, Feminine. Essay dalam Catherine Belsey dan Jane Moore (ed.).1989. The Feminist Reader, Essays in Gender and the Politics of Literary Criticism. Blackwell Publishers, Cambridge. (hal.125).
6
Masalah inilah yang membentur cinta Romeo dan Juliet. Dikisahkan bahwa mereka bertemu
pertama kali dalam pesta dansa saat mereka mengenakan topeng. Topeng ini adalah yang
memungkinkan mereka bertemu karena Romeo tidak bisa hadir di wilayah kekuasaan Capulet
sebagai Romeo Montague. Yang dapat membuat mereka bersatu adalah jika baik Romeo
maupun Juliet sudi menanggalkan nama Montague. Dalam adegan di balkon Juliet berkata:
“O Romeo, Romeo! wherefore art thou Romeo? Deny thy father and refuse thy name!
Or, if thou wilt not, be but sworn my love, And I'll no longer be a Capulet.
…
'Tis but thy name that is my enemy. Thou art thyself, though not a Montague. What's Montague? it is nor hand, nor foot, Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man. O, be some other name! What's in a name? That which we call a rose By my other name would smell as sweet. So Romeo would, were he not Romeo call'd, Retain that dear perfection which he owes Without that title. Romeo, doff thy name; And for that name, which is no part of thee, Take all myself.” (hal. 20).
Dari peristiwa ini tergambar jelas bahwa perseteruan antara keluarga telah menjadi momok bagi
Romeo dan Juliet. Padahal perseteruan ini adalah bukan antara mereka namun ayah mereka.
Falogosentrisme juga dihadirkan lewat sosok Romeo. Ia digambarkan tidak bisa juga melepaskan
diri dari maskulinitasnya. Setelah menikah secara rahasia dengan Juliet melalui pemberkatan
Friar Lawrence, Romeo mencoba melerai Mercutio yang bertengkar dengan Tybalt. Ia mencoba
merendahkan diri di hadapan Tybalt, namun toh akhirnya Mercutio terbunuh juga. Dalam
keadaan ini Romeo berujar:
“In my behalf- my reputation stain'd With Tybalt's slander- Tybalt, that an hour Hath been my kinsman. O sweet Juliet, Thy beauty hath made me effeminate
And in my temper soft'ned valour's steel” (hal. 34).
Romeo memandang dirinya telah bersikap seperti perempuan. Padahal sebagai laki-laki bahasa
karena pedanglah yang bisa membuat Romeo maskulin. Ego laki-lakinya membuat dendam
membara dalam dirinya, yang akhirnya membuatnya jadi pembunuh Tybalt dan Paris.
Akhirnya memang ada rencana bagi Romeo dan Juliet untuk melepaskan diri dari kungkungan
keluarga mereka masing-masing, terutama setelah Romeo diasingkan ke Mantua. Akan tetapi,
saking kuatnya faktor kekuasaan keluarga, rencana ini tidak bisa dilaksanakan oleh mereka
berdua. Perlu ada bantuan dari pihak lain. Romeo dibantu Friar Lawrence, dan Juliet dibantu
oleh pengasuhnya.
Keadaan terparah dialami Juliet. Ia digambarkan sebagai perempuan lemah yang segalanya
diatur oleh keluarga, bahkan Romeo sendiri, tanpa ia sanggup berbuat sesuatu. Juliet adalah
korban dari dua jenis falogosentrisme: dari Romeo sendiri, yang akhirnya lebih menuruti ego
kelaki-lakiannya, seperti digambarkan di atas, dan dari keluarganya yang tidak mungkin
menerima Romeo dan alih-alih itu telah memilih calon suami bagi Juliet, yakni Paris.
Capulet memaksa Juliet menikah dengan Paris. Tentu saja Juliet menolak sehingga akhirnya
Capulet marah dan mengancam akan membuang Juliet ke jalanan bila ia tidak menurut.
“An you be mine, I'll give you to my friend;
An you be not, hang, beg, starve, die in the streets, For, by my soul, I'll ne'er acknowledge thee, Nor what is mine shall never do thee good.
Trust to't. Bethink you. I'll not be forsworn.” (hal. 48)
Penolakan Juliet dianggap sebagai tindakan yang mengancam mengkastrasi kekuasaan Capulet.
Secara keseluruhan memang Juliet digambarkan sebagai perempuan yang sangat lemah,
sehingga ia benar-benar menjadi objek penderita. Beberapa kali7 Juliet disebutkan sebagai pihak
yang tak berdaya: misalnya oleh pengasuh, Friar Lawrence, dan oleh Juliet sendiri.
Pengasuh Juliet mengatakan bahwa Juliet lemah saat ia memperingatkan Romeo untuk tidak
7
Dalam teori Genette, pengulangan ini masuk ke dalam kategori frekuensi penceritaan. Penceritaan hal yang sama beberapa kali (terutama dalam konteks posisi Juliet yang lemah) bisa ditafsirkan sebagai teknik untuk
mempermainkan Juliet:
“if ye should lead her
into a fool's paradise, as they say, it were a very gross kind of behaviour, as they say; for the gentlewoman is young; and therefore, if you should deal double with her, truly it were an
ill thing to be off'red to any gentlewoman, and very weak dealing.” (hal. 28).
Dalam cerita memang digambarkan bahwa pengasuh ini ditugaskan untuk mengurus Juliet, dan
karenanya ia bersifat sangat protektif. Ini semakin memperlemah posisi Juliet. Setiap kali Juliet
harus berurusan dengan pihak luar keluarga ia tidak bisa melakukannya sendiri, namun melalui
perantara pengasuh ini dan Friar Lawrence, termasuk dalam semua rencana kabur dengan
Romeo. Singkatnya, Juliet nyaris tidak pernah hadir dan turut memutuskan dalam
peristiwa-peristiwa yang penting menentukan bagi diri dan hidupnya. Menurut teori Genette, Juliet yang
lebih banyak berada di luar peristiwa termasuk sebagai tokoh yang extradiegetic.
Friar Lawrence juga menganggap Juliet lemah. Saat Lawrence memberikan petunjuk bagi Juliet
untuk meminum racun palsu, Juliet disarankan untuk bersikap berani karena sikap takut adalah
sikap perempuan:
“If no inconstant toy nor womanish fear Abate thy valour in the acting it.” (hal. 52).
Yang menarik adalah bahwa Juliet sendiri mengaku bahwa dirinya adalah lemah dan tak
berdaya di dunia maskulin ini. Juliet harus memohon kepada ayah dan ibunya untuk tidak
dinikahkan dengan Paris. Setelah keduanya menolak, maka tidak ada lagi yang bisa membantu
Juliet kecuali bergantung pada nasib. Saking tak berdayanya Juliet berharap:
“heaven should practise stratagems
Upon so soft a subject as myself!” (hal. 49, cetak tebal milik saya).
Demi menyatukan Romeo dan Juliet sebuah rencana dibuat oleh Friar Lawrence. Menurut
rencana ini, Juliet harus meminum ramuan yang akan membuatnya seperti mati. Namun ini
hanya untuk sementara. Setelah itu ia akan dipertemukan dengan Romeo yang telah diasingkan
ke Mantua. Bila rencana ini berhasil, maka Romeo dan Juliet dapat hidup bersama.
dan tak misa lagi kembali kepada keluarganya. Sementara itu, Juliet akan dianggap telah mati
sehingga tidak akan ada yang mengira bahwa ia sebenarnya hidup dengan Romeo. Mereka
berdua akan hidup bukan sebagai Romeo Montague dan Juliet Capulet, namun hanya sebagai
Romeo dan Juliet saja. Meskipun demikian, ternyata cara yang dipilih untuk mewujudkan cinta
mereka berdua adalah cara yang masih tunduk pada kekuasaan Capulet. Jika berhasil Juliet tidak
akan pernah dianggap sebagai pembelot keluarga karena ia memang dianggap sudah mati.
Padahal sejak awal sebenarnya mereka berdua bisa langsung pergi begitu saja tanpa harus ada
protokol semacam ini. Dan bila ini terjadi, maka mereka benar-benar menanggalkan status
masing-masing sebagai Montague dan Capulet. Toh, ternyata ini tidak dilakukan.
Ada satu hal lagi yang dapat dikemukakan dari segi penceritaan, yakni mengenai sebab-musabab
konflik keluarga. Chorus menyebutkan adanya ancient grudge. Artinya, ia hadir sebagai
peristiwa masa lalu. Namun, tidak ada peristiwa lain yang diceritakan kecuali setelah “break into new mutiny”. Pangkalnya hanya disebutkan, dan tidak diceritakan. Teknik untuk tidak
menceritakan ini disebut Genette sebagai elipsis. Efek yang ditimbulkannya adalah munculnya
kesan seolah-olah penyebab itu tak penting. Yang penting adalah setelah konflik itu ada. Dalam
patriarki pun demikian, tidak pernah jelas kapan semuanya berawal. Akibatnya, patriarki sering
dianggap sudah ada dari sananya dan tak perlu ditanyakan. Yang penting ia sudah ada dan harus
dianggap sebagai satu-satunya kebenaran apapun yang terjadi.
Demikianlah falogosentrisme patriarki ditampilkan dalam cerita dan penceritaan drama Rome and Juliet. Akhir kisah, Romeo bunuh diri karena mengira Juliet benar-benar sudah mati. Juliet pun bunuh diri setelah ia bangun dan melihat Romeo sudah mati. Tiga nyawa melayang: Paris,
Romeo, dan Juliet, di dekat monumen keluarga Capulet, yang juga merupakan phallic symbol. Kematian di dekat monumen keluarga ini adalah simbol betapa falogosentrisme telah membawa
kehancuran. Setelah kematian ini barulah Capulet dan Montague tersadar bahwa ini semua
adalah akibat ego kelaki-lakian mereka. Sesuatu yang selama ini diagung-agungkan namun tak
ayal menjadi biang kerok tragedi bagi Romeo dan Juliet.
Aristotle. 1955. Poetics. (terj. S. H. Butcher). Dalam Adams, Hazard (ed.) Critical Theory since Plato. 1992. Harcourt Brace Jovanovich College Publishers. Fortworth.
Booker, M. Keith.1996. A Practical Introduction to Literary Theory and Criticism. Longman Publishers. New York.
Derrida, Jacques. Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences dalam Adams, Hazard (ed.). 1992. Critical Theory since Plato, Revised Edition. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Fort Worth.
Genette, Gerard. 1980. Narrative Discourse: An Essay in Method. (terj. Jane E. Lewin). Cornell University Press. Ithaca, New York.
Moi, Toril. Feminist, Female, Feminine. Essay dalam Catherine Belsey dan Jane Moore (ed.).1989. The Feminist Reader, Essays in Gender and the Politics of Literary Criticism. Blackwell Publishers, Cambridge.