• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Medikolegal dari Penurunan Pendengaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Aspek Medikolegal dari Penurunan Pendengaran"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Aspek Medikolegal dari Penurunan Pendengaran Dudut Rustyadi

Dept/KSM Ilmu Kedokteran Forensik dan Studi Medikolegal FK Unud/RSUP Sanglah

Abstrak

Dalam praktik kedokteran terdapat beberapa aspek yang terdiri dari aspek etik, aspek medik, aspek hukum, dan aspek medikolegal yang menimbulkan tanggungjawab moral dan hukum bagi dokter. Aspek medikolegal dari praktik kedokteran adalah kegiatan dalam praktik kedokteran yang tidak bertujuan dalam upaya kesehatan, akan tetapi bertujuan dalam upaya penegakan hukum atau membantu didalam proses pradilan pidana maupun perdata, yang merupakan kewajiban hukum dalam kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan oleh pasien, pihak ketiga (Misalnya Asuransi), dan aparat negara (Misalnya Penyidik Polisi) dalam bentuk kegiatan non sertifikasi dan kegiatan sertifikasi medis. Kegiatan non sertifikasi berupa pemeriksaan forensik klinik yang dilakukan terhadap korban hidup, pada peristiwa kecelakaan maupun yang bukan kecelakaan sedangkan kegiatan sertifikasi berupa penerbitan Surat Keterangan Medis (Misalnya Visum Et Repertum). Pada kasus trauma indera pendengaran baik pada peristiwa tidak pidana penganiyaan maupun kecelakaaan yang menimbulkan penurunan fungsi pendengaran, maka derajat luka pada korban adalah berdasarkan sifat dari penurunan pendengaran apakah bersifat sementara atau permanen.

Kata Kunci ; Forensik klinik, derajat luka, sertifikasi medis

Pendahuluan

Dokter didalam melakukan praktik kedokteran memiliki beberapa tanggung jawab yang dapat dilihat dari berbagai aspek, misalnya aspek etik, aspek medik, aspek hukum, dan aspek medikolegal. Aspek-aspek tersebut didalam praktik kedokteran akan menimbulkan tanggungjawab moral dan hukum bagi dokter, sehingga dokter dalam menjalakan praktik kedokteran akan memiliki kewajiban etik kedokteran, medis, hukum, dan medikolegal.1

Aspek etik berarti bahwa dokter dalam menjalani praktik kedokteran mempunyai kewajiban secara moral untuk selalu menjalankan profesinya sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) hasil muktamar IDI tahun 2012. Apek medis berarti dokter didalam menjalankan praktik kedokteran wajib memberikan pelayanan kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur oprasional (SPO). Sedangkan aspek hukum dalam praktek kedokteran menimbulkan tanggungjawab hukum bagi dokter didalam menjalankan praktik kedokteran yang diatur dalam hukum kedokteran (hukum kesehatan) Indonesia. Hal tersebut dikenal dengan “Lex Spesialis” yang berarti peraturan perundang- undangan yang diberlakukan untuk mengatur secara khusus pelayanan kedokteran atau kesehatan di Indonesia. Aspek medikolegal dari praktik kedokteran adalah kegiatan dalam praktik kedokteran yang tidak bertujuan dalam upaya kesehatan, akan tetapi bertujuan dalam upaya penegakan hukum atau membantu didalam proses pradilan pidana maupun perdata yang dikenal dengan istilah “Legal Medicine”.2

(2)

Aspek medikolegal dari praktik kedokteran

Aspek medikolegal dari praktik kedokteran ini merupakan kewajiban hukum bagi para dokter yang berpraktik di Indonesia dan akan mendapat sanksi hukum bila tidak melaksanakan kewajiban tersebut bahkan ada sanksi pidana misalnya menolak untuk menerbitkan Visum et Repertum pada korban tindak pidana.

Kewajiban hukum bagi dokter didalam melaksanakan praktik kedokteran ditinjau dari aspek medikolegal adalah kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan oleh pasien, pihak ketiga (Misalnya Asuransi), dan aparat negara (Misalnya Penyidik Polisi) dalam bentuk kegiatan non sertifikasi dan kegiatan sertifikasi. Kegiatan non sertifikasi dalam praktik kedokteran adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang dokter pada saat pemeriksaan forensik klinik yaitu melakukan pemeriksaan pada korban hidup dan korban meninggal dengan tujuan untuk mengumpulkan dan mencatat bukti-bukti medis berupa perlukaan, menentukan jenis kekerasan yang dialami korban. Pada korban hidup juga akan menentukan juga derajat perlukaan, ada tidaknya tanda persetubuhan (Pada kasus kekerasan seksual), dan pada korban mati menentukan penyebab kematian, mekanisme kematian, dan waktu kematian.3

Sertifikasi medis

Kegiatan sertifikasi medis dalam praktik kedokteran adalah seorang dokter setelah melakukan pemeriksaan medis terhadap pasien, korban hidup maupun meninggal, akan menerbitkan surat keterangan medis misalnya surat keterangan kematian atau Visum et Repertum.

Kegiatan sertifikasi tersebut sejalan dengan pasal 133 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa bilamana penyidik menangani korban kekerasan, maka ia berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran forensik atau dokter lainnya. Pada penjelasan pasal 133 ayat 2 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan yang diberikan dokter spesialis forensik akan menjadi alat bukti berupa keterangan ahli, sedangkan bila diberikan oleh dokter selain dokter spesialis forensik maka akan menjadi keterangan saja.4

Alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP tidak ada yang menyebutkan sebagai keterangan, tetapi terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa, sehingga bila keterangan yang diberikan oleh dokter selain dokter spesialis forensik supaya tetap dapat menjadi alat bukti, maka dapat dikatagorikan sebagai sebagai alat bukti petunjuk.

Adapun alat bukti yang disebutkan 184 KUHAP adalah terdiri dari keterangan sakti, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan terakhir adalah keterangan terdakwa. Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.01.PW.07-03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksaan KUHAP dalam pasal 133 ayat 2 menjelaskan bahwa mengenai keterangan ahli dalam pasal tersebut memiliki pengertian yang khusus yaitu keterangan ahli untuk pemeriksaan luka, pemeriksaan mayat, atau bedah mayat. Sedangkan untuk keterangan ahli lainnya sesuai dengan keterangan ahli lainnya dalam pasal 1 butir 28 KUHAP.4

Kegiatan sertifikasi dan non sertifikasi medis bagi dokter merupakan kewajiban hukum, sehingga bila dokter menolaknya sedangkan telah ada permintaan dari penyidik, maka dokter dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara 4 bulan 2 minggu pada tahap penyidikan yang diatur dalam pasal 216 KUHP, sedangkan dapat dikenakan sanksi pidana 9 bulan pidana bila menolak sebagai saksi atau ahli yang diatur dalam pasal 224 KUHP. 5,6

(3)

Forensik klinik

Forensik klinik adalah merupakan salah satu dari divisi kedokteran forensik. Dalam forensik klinik dilakukan pemeriksaan forensik terhadap korban hidup, pada peristiwa kecelakaan maupun yang bukan kecelakaan. Kecelakaan dalam forensik klinik dapat terjadi karena peristiwa kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja, sedangkan pada peristiwa yang bukan kecelakaan dapat terjadi tindak pidana penganiayaan maupun kekerasan seksual. Pada tatalaksana korban hidup di forensik klinik menganut paham dualisme biomedik yaitu korban mendapatkan tatalaksana sebagai pasien untuk penanganan perlukaannya, sedangkan sebagai korban sekaligus barang bukti akan dilakukan pencatatan dan pelaporan perlukaan/kekerasan dalam bentuk Visum et Repertum.

Pemeriksaan forensik klinik memiliki tujuan umum ; dokter hendaknya memastikan keselamatan dan kesehatan korban terlebih dahulu, dan membantu penyidik dalam mengungkap kejahatan melalui pembuktian ilmiah (sciencetific based efidence). Adapun tujuan khusus pemeriksaan forensik klinik adalah menentukan ada tidaknya dan jenis perlukaan, penyebab kekerasannya, derajat luka, dan tanda persetubuhan pada kasus kekerasan seksual.3

Deskripsi Luka

Deskripsi luka yang baik dan benar sangat dibutuhkan dalam menyusun Visum et repertum, khusunya pada bagian pemberitaan tentang temuan perlukaan. Sistematika deskripsi luka dalam penulisan Visum et Repertum dimulai dengan menyebutkan daerah tempat luka berada pada bagian tubuh korban (regio), kemudian dilanjutkan dengan menentukan koordinat “X”

luka dengan mengukur jarak pusat luka dari garis pertengahan badan, koordinat “Y” luka yang menunjukkan jarak pusat luka di atas atau di bawah dari patokan bagian tubuh tertentu misalnya dari puncak bahu, puting susu atau pusar.

Deskripsi luka selanjutnya setelah menyebutkan koordinat adalah menjelaskan jenis luka yang ditemukan berupa luka memar, luka lecet, luka terbuka, dan luka bakar atau adanya patah tulang. Kemudian luka tersebut diukur luasnya, sedangkan pada luka terbuka, luka memar, dan luka bakar dijelaskan terlebih dahulu gambaran lukanya sebelum dilakukan pengukuran luas luka.

Penjelasan gambaran luka pada luka memar terdiri dari bentuk luka, warna luka, dan ada tidaknya pembengkakan. Pada luka terbuka gmbaran lukanya terdiri dari tepi luka, apakah tepi luka rata atau tidak rata, sudut luka apakah lancip atau tumpul dan terakhir menyebutkan dasar luka terbuka tersebut dan sekitar luka apakah terdapat memar atau lecet atau pengotoran lainnya. Pada luka terbuka bila akan mengukur besar luka tersebut hendaknya dicoba terlebih dahulu dirapatkan untuk mengetahui panjang luka. Bila dapat dirapatkan maka cukup diukur panjang luka saja, sedangkan bila tidak dirapatkan maka harus diukur panjang dan lebar luka tersebut.7

Aspek Medikolegal dari Penurunan Pendengaran

Aspek medikolegal dalam bentuk kegiatan non serfikasi medis pada kasus kekerasan yang menimbulkan penurunan pendengaran adalah melakukan pemeriksaan forensik klinik dengan tujuan penentuan jenis perlukaan atau kecederaan, jenis penyebab kekerasan, derajat luka.

(4)

Sedangkan kegitan sertifikasi medisnya adalah melaporkan hasil pemeriksaan forensik klinik dalam bentuk penerbitan Visum et Repertum.

Perlukaan akibat trauma dapat menimbulkan luka memar, luka lecet, luka terbuka maupun patah tulang yang dapat diakibatkan benda tumpul ataupun tajam yang berdampak terjadinya penurunan pendengaran. Derajat luka yang timbul akibat penurunan pendengaran dalam terminologi hukum memiliki pengertian bahwa trauma atau kekerasan yang dialami korban menimbulkan penyakit atau merusak kesehatan korban. Derajat luka terdiri dari luka derajat 1 (Luka ringan), 2 (Luka sedang), dan 3 (Luka berat) yang merupakan atau diasosiasikan dengan berat ringannya penyakit (rusaknya kesehatan) yang diakibatkan kekerasan dalam tindak pidana baik tindak pidana penganiayaan ringan, penganiayaan, dan penganiayaan berat.

Menurut pasal 90 KUHP kriteria luka berat terdiri dari 6 ; a. Jatuh sakit atau luka yang tidak dapat sembuh selamanya b. Menimbulkan bahaya maut

c. Tidak mampu terus menerus menjalankan tugas jabatan/pekerjaan pencaharian d. Kehilangan salah satu panca indera

e. Mendapat cacat berat f. Menderita sakit lumpuh

g. Terganggunya daya pikir selama lebih dari 4 minggu h. Gugur atau matinya kandungan

i. Bila korban merupakan korban kecelakaan lalu lintas maka termasuk luka berat bila membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 hari.8

Pada kasus trauma indera pendengaran baik pada peristiwa tidak pidana penganiyaan maupun kecelakaaan yang menimbulkan penurunan fungsi pendengaran, maka derajat luka pada korban hidup ini adalah berdasarkan sifat dari penurunan pendengaran tersebut ; apakah ada atau tidak penurunan pendengaran akibat trauma, bila ada apakah bersifat sementara dalam artian pendengaran dapat pulih seperti sediakala sebelum mengalami trauma, atau terjadi penurunan pendengaran untuk selama-lamanya.

Daftar Pustaka

1. Hanafiah MJ & Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 3, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,1999.

2. Suryani B. Panduan yuridis penyelenggaraan praktik kedokteran. Jakarta : Dunia Cerdas, 2013.

3. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI , 1997.

4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

(5)

5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660).

6. Sabuan A, Pettanasse S & Achmad R. Hukum acara pidana. Bandung: Angkasa,1990.

7. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka, Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI, 2013.

8. Undang-Undang RI nomor. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025).

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 31 KHA menegaskan “Negara mengakui hak anak untuk beristirahat dan bersantai, untuk bermain dan turut serta dalam kegiatan rekreasi yang sesuai dengan usia anak, dan

Realisasi sasaran mutu penjualan tahun 2008 tentunya terlihat lebih kecil apabila dibandingkan dengan realisasi sasaran mutu penjualan di tahun 2006 dan 2007. Hal ini

Dari hal tersebut peneliti ingin mengkaji lebih jauh tentang aktivitas polifenol pada ekstra Seledri (Apium graveolens) kemudian menguji secara ilmiah tentang potensi

“Roemahkoe Heritage Hotel”di Surakarta (Kajian Wujud, Konsep dan Gaya). Skripsi : Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas

Setelah terjadi kesepakatan bekerjasama dengan pihak KANINDO, selanjutnya perlu dilakukan penetapan kerjasama dalam bentuk penandatanganan kesediaan kedua belah pihak untuk

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi, Kurs, Produk Domestik Bruto, dan Suku Bunga Simpanan Luar Negeri pada

tertutup dengan software scilab juga dilakukan pada penelitian ini untuk menguji ketangguhan (robustness) konfigurasi pengendalian dan parameter pengendali PID yang

LKS merupakan salah satu sumber belajar yang digunakan guru atau pengajar dalam proses belajar mengajar, sehingga proses belajar mengajar berjalan lancar sesuai dengan