• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas In Vitro Antelmintik Teh Biji Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Trematoda Gastrointestinal Sapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Aktivitas In Vitro Antelmintik Teh Biji Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Trematoda Gastrointestinal Sapi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

* Alamat Korespondensi : solehahkurnia52@gmail.com DOI : http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v33n2.2022.68-75 0215-0824/2527-4414 @ 2017 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

AKTIVITAS IN VITRO ANTELMINTIK TEH BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) TERHADAP TREMATODA GASTROINTESTINAL SAPI

In Vitro Anthelmintic Activity of Papaya (Carica papaya L.) Seed Tea Againts Gastrointestinal Trematodes in Cattle

Kurnia Solehah*, Galuh Tresnani, dan Iman Surya Pratama Program Studi Farmasi, Universitas Mataram

Jl. Majapahit No.62 Mataram, 83115

INFO ARTIKEL ABSTRAK/ABSTRACT

Article history:

Diterima: 15 Desember 2022 Direvisi: 17 Januari 2023 Disetujui: 19 Januari 2023

Angka prevalensi trematodosis pada sapi di daerah Bali dan Nusa Tenggara semakin meningkat sehingga mempengaruhi produktivitas, nilai jual, dan biaya pengobatan.

Salahsatu alternatif untuk pengendalian trematodosis adalah pengunaan biji pepaya (Carica papaya L.) yang mengandung senyawa metabolit, dan potensial sebagai antelmintik pada sapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antelmintik teh biji pepaya terhadap waktu kematian dan persentase mortalitas trematoda gastrointestinal (Paramphistomum spp.) sapi. Cacing yang aktif bergerak dibagi ke dalam 5 kelompok dan diuji dengan beberapa perlakuan, yaitu kontrol negatif (larutan NaCl 0.9% (b/v); kontrol positif (Albendazol 10% (b/v); dan perlakuan konsentrasi teh biji pepaya {2,5; 5; dan 10% (b/v)}. Waktu kematian Paramphistomum spp. 100% untuk kontrol negatif terjadi pada menit ke-300, lebih lama dibandingkan dengan perlakuan teh biji pepaya yang terjadi pada menit ke-180 pada konsentrasi 2,5% (b/v) dan menit ke 210 pada konsentrasi 5% dan 10% (b/v).

Waktu kematian 100% perlakuan kontrol positif Albendazol 10% (b/v) adalah yang tercepat pada menit ke-30. Teh biji pepaya pada ketiga konsentrasi memiliki perbedaan waktu kematian yang bermakna terhadap Albendazol 10% (b/v) (p<0,05).

Oleh karena itu, teh biji pepaya berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai antitrematodosis untuk pengendalian Paramphistomum spp. pada sapi.

Kata kunci:

Carica papaya L.;

Paramphistomum spp.;

antelmintik; waktu kematian

Keywords:

Carica papaya L.;

Paramphistomum spp.;

anthelmintic; death time

The prevalence rate of trematodosis in cattle is increasing in Bali and Nusa Tenggara, affecting productivity, sale value, and medical expenses. Papaya seeds (Carica papaya L.) contained metabolite compounds that had the potential as an anthelmintic for cattle. This study aimed to determine the anthelmintic activity of papaya seed tea and the percentage of gastrointestinal trematodes (Paramphistomum spp.) mortality in cattle. Worms that were actively moving were divided into five groups and applied with some treatments: the negative control (0.9% (w/v) of NaCl solution); the positive control (10% (w/v) Albendazole); and three concentrations of papaya seed tea (2.5, 5, and 10% (w/v)). The death time of 100% Paramphistomum spp. for negative control occurred at the 300th minute, longer than the papaya seed tea treatment, which happened in the 180th minute at a concentration of 2.5% and 210th minutes at 5% and 10% (w/v). Time of death 100%

of positive control treatment Albendazole 10% (w/v) was the fastest (30 minutes).

The death time parameter of papaya seed tea at the three concentrations significantly differed from Albendazole 10% (w/v) (p<0.05). Therefore, papaya seed tea could potentially be used as an antitrematodal agent to control Paramphistomum spp. in cattle.

(2)

PENDAHULUAN

Trematoda merupakan salah satu jenis cacing yang dapat menginfeksi ruminansia (Chongmobmi dan Panda 2018).

Paramphistomum spp. dan Fasciola spp.

merupakan dua jenis trematoda yang dapat menginfeksi sapi (Mage et al. 2002; Ozdal et al. 2010). Berdasarkan survei dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar infeksi parasit gastrointestinal pada sapi di Nusa Tenggara Barat pada tahun 2020 mencapai angka 28,53%. Jenis-jenis cacing trematoda gastrointestinal yang ditemukan yaitu Paramphistomum spp. dan Fasciola spp. (Balai Besar Veteriner Denpasar 2021).

Trematodosis pada sapi menyebabkan anemia, penurunan berat badan dan produksi susu. Kondisi tersebut mempengaruhi produktivitas, nilai jual, dan biaya pengobatan (Purwaningsih et al. 2018; Regassa et al.

2006). Infeksi trematoda oleh Fasciola gigantica di Indonesia menyebabkan kerugian sebesar 28,28 miliar rupiah per tahun akibat pembuangan organ hati yang terinfeksi. Selain itu, infeksi oleh Paramphistomum spp. pada sapi juga telah menyebabkan kerugian sebesar 513,6 miliar rupiah per tahun (Ahmad 2013).

Upaya pengendalian trematodosis pada sapi selain dengan manajemen pemeliharaan ternak yang baik juga dapat melalui pemberian antelmintik (Dewi dan Supriyanto 2020;

Santiago et al. 2014). Agen antitrematoda yang umum digunakan adalah Albendazol dan Prazikuantel. Obat tersebut efektif baik dalam membunuh cacing dewasa maupun terbatas hanya pada telur cacing. Namun, penggunaan obat tersebut dalam jangka panjang menyebabkan resistensi, meninggalkan residu pada daging, menimbulkan efek samping diare bahkan toksisitas khusus seperti teratogenik (Astuti et al. 2017; Hsu 2008; Ramos et al.

2016).

Antelmintik berbasis etnoveteriner menjadi salah satu alternatif pengobatan trematodosis pada sapi. Kandungan senyawa metabolit dari antelmintik berbasis etnoveteriner bekerja secara sinergis pada berbagai mekanisme sehingga diharapkan mampu mengurangi resistensi dan efek samping (Hrckova dan Velebny 2013; Roeber dan Kahn 2014). Antelmintik berbasis etnoveteriner juga digunakan karena mudah didapat dengan harga yang relatif murah, sehingga terjangkau bagi peternak, aman bagi kesehatan, dan ramah lingkungan (Astuti et al.

2017; Fielding 2004).

Pepaya (Carica papaya L.) secara tradisional digunakan oleh masyarakat Indonesia dan Filipina sebagai obat cacing pada hewan ternak (Kumar et al. 2014). Secara saintifik, ekstrak air biji pepaya konsentrasi 20% (b/v) menunjukkan paralisis dan mortalitas pada Fasciola hepatica dalam waktu 12 jam (Bukenya 2019). Namun informasi keefektifan teh biji pepaya terhadap trematoda gastrointestinal sapi (Paramphistomum spp.) masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan aktivitas antelmintik teh biji pepaya terhadap waktu kematian dan persentase mortalitas trematoda gastrointestinal sapi (Paramphistomum spp.).

BAHAN DAN METODE

Penyiapan buah pepaya dan hewan uji

Buah pepaya (Carica papaya L.) diperoleh dari Desa Bebae, Kabupaten Lombok Barat.

Sampel tumbuhan dibuat herbarium untuk dideterminasi. Bagian biji diambil dari buah pepaya California yang sudah matang yang ditandai dengan warna kuning pada kulit buah.

Paramphistomum spp. diperoleh dari RPH Majeluk, Kota Mataram. Cacing dewasa yang diperoleh disimpan dalam larutan NaCl 0.9% (b/v).

Sampel kemudian diidentifikasi secara makroskopik dan mikroskopik.

Pembuatan teh biji pepaya

Pembuatan teh biji pepaya mengikuti metode acuan sediaan herbal (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia 2012).

Buah pepaya dibersihkan dan dikupas. Bagian biji dibersihkan dan ditimbang kemudian dicuci dengan air mengalir. Biji pepaya yang diperoleh dijemur dan dibuat serbuk dengan cara disangrai pada suhu 60°C, kemudian digerus menggunakan mortar (Ameen et al. 2018). Serbuk biji pepaya sebanyak 15 g dilarutkan dalam 150 ml air mendidih, kemudian teh didiamkan selama 5-10 menit dan disaring, sehingga menjadi teh biji pepaya dengan konsentrasi 10% (b/v) (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia 2012). Teh biji pepaya selanjutnya diencerkan empat kali untuk mendapatkan konsentrasi 2,5%

dan 5% (b/v).

Identifikasi hewan uji

Cacing Paramphistomum spp. dikumpulkan dalam cawan petri kemudian dibersihkan

(3)

menggunakan larutan NaCl 0,9% (b/v). Identifikasi cacing dilakukan melalui pemeriksaan morfologis dengan mengamati bentuk batil isap, asetabulum, sekum, dan testis mengikuti metode pewarnaan sediaan preparat utuh (Al-Amura et al. 2012).

Identifikasi morfologi cacing dilakukan dengan preparat utuh menggunakan pewarna asetokarmin 1% (b/v) dan kembang telang kering 10% (b/v).

Hasil preparat yang diperoleh dibandingkan dengan kunci identifikasi dan pustaka (Choudhary et al. 2015; Jones 2005; Tandon et al. 2014).

Uji antitrematoda

Uji antitrematoda dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif

(larutan NaCl 0,9% (b/v)), kontrol positif (Albendazol 10% (b/v)), dan teh biji pepaya dengan 3 konsentrasi berbeda (2,5; 5; dan 10%

(b/v)). Masing-masing perlakuan dimasukkan ke dalam cawan petri untuk diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit dan dilakukan pengujian sebanyak 3 kali pengulangan. Trematoda dewasa dimasukkan ke dalam cawan petri masing-masing 3 ekor cacing untuk setiap perlakuan. Sampel kemudian diinkubasi pada suhu 37°C. Waktu dan jumlah kematian cacing diamati setiap 15 menit selama 5 jam (Ibekwe 2019). Cacing tanpa motilitas diwarnai dengan metilen biru 1% (b/v) selama 2 menit. Cacing diberikan skor 1 jika tidak bergerak, tetapi tidak mati dan tidak terwarnai dengan metilen biru 1% (b/v) dan skor 0 jika

cacing tidak bergerak, mati, dan terwarnai dengan metilen biru 1% (b/v) (Saowakon et al. 2013).

Analisis statistik

Data waktu dan persentase mortalitas trematoda dianalisis dengan uji statistik menggunakan perangkat lunak SPSS versi 23. Uji perbedaan antar rerata waktu dan persentase mortalitas trematoda dilakukan dengan uji Anova dan dilanjutkan

dengan uji Post Hoc LSD.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi secara mikroskopis menggunakan pewarna asetokarmin 1% (b/v) dan ekstrak air kembang telang kering 10% (b/v) menunjukkan bahwa cacing trematoda yang digunakan adalah Paramphistomum spp. dengan ciri khas yaitu berwarna merah (Jones 2005).

Pewarnaan trematoda dengan ekstrak air kembang telang kering menghasilkan warna merah muda sampai ungu. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa pewarnaan trematoda dengan ekstrak air kembang telang kering 10%

(b/v) lebih jelas dibandingkan dengan asetokarmin 1% (b/v), khususnya di bagian sekum, pori genital, testis anterior dan posterior. Morfologi cacing dengan asetokarmin dan ekstrak air kembang telang kering ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Identifikasi Paramphistomum spp. secara mikroskopik: (a) standar pembanding morfologi Paramphistomum spp. (Jones 2005; Tandon et al. 2014); (b) cacing yang diuji dengan pewarna asetokarmin 1% (b/v) dan (c) cacing yang diuji dengan pewarna kembang telang kering 10% (b/v) (perbesaran 40x).

Figure 2. Identification of Paramphistomum spp. microscopically; (a) morphological comparison standard of Paramphistomum spp. (Jones 2005; Tandon et al. 2014); (b) 1% (w/v) acetocarmine dye worm; and c) 10% (w/v) dry butterfly pea flower dye worm (40x magnification).

(a) (b) (c)

(4)

Berdasarkan hasil identifikasi, jenis cacing yang digunakan sebagai hewan uji adalah Paramphistomum spp. Cacing yang diperoleh berbentuk kerucut dengan dua batil hisap anterior dan posterior (asetabulum), asetabulum berukuran medium, tidak ada faring dan batil hisap ventral, sekum berada di bagian sisi tubuh, pori genital terletak di belakang percabangan sekum, testis sejajar, vitelaria memanjang dari faring sampai ke asetabulum dan terletak di antara sekum. Ciri-ciri trematoda yang diperoleh sesuai dengan referensi (Choudhary et al. 2015; Jones 2005; Tandon et al.

2014).

Persentase mortalitas pada larutan NaCl 0,9%

(b/v) menit ke-15 sampai dengan menit ke-240 menunjukkan kematian 0%, dan pada menit ke-300 menunjukkan kematian 100%. Paramphistomum spp. yang terpapar Albendazol 10% (b/v) menunjukkan kematian 100% pada menit ke-30.

Persentase mortalitas pada teh biji pepaya konsentrasi 2,5% (b/v) menunjukkan kematian 100% pada menit ke-180, sedangkan teh biji pepaya konsentrasi 5% dan 10% (b/v) menunjukkan kematian 100% pada menit ke-210. Persentase mortalitas ditunjukkan pada Gambar 2.

Data waktu kematian kemudian diuji normalitasnya menggunakan Shapirro-Wilk, hasil

yang diperoleh terdistribusi normal (p>0,05), pada uji homogenitas juga diperoleh data yang homogen (p>0,05). Uji perbedaan semua kelompok kemudian dilanjutkan menggunakan One Way Anova. Hasil uji perbedaan diperoleh data yang berbeda (p<0,05), sehingga teh biji pepaya memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing (Tabel 1).

Waktu kematian berbeda secara nyata (p<0,05) antara larutan NaCl 0,9% (b/v) dengan teh biji pepaya begitu juga dengan Albendazole 10% (b/v) (Tabel 1), hal tersebut menunjukkan bahwa teh biji pepaya memiliki aktivitas antitrematoda. Namun, teh biji pepaya apabila dibandingkan dengan Albendazol 10% (b/v) menunjukkan aktivitas yang lebih rendah karena waktu kematian cacing yang dibutuhkan lebih lama. Waktu kematian tidak dipengaruhi secara nyata oleh konsentrasi pada teh biji pepaya (p<0,05), masing-masing konsentrasi memiliki aktivitas antitrematoda yang sama. Teh biji pepaya jika dibandingkan antar kelompok perlakuan, waktu kematian yang diperoleh tidak berbeda (p>0,05), masing-masing konsentrasi memiliki aktivitas antitrematoda yang sama. Rerata waktu kematian Paramphistomum spp. disajikan pada Gambar 3.

Gambar 2. Hubungan waktu kematian terhadap persentase mortalitas Paramphistomum spp. pada beberapa perlakuan.

Figure 2. The relationship between death time and the mortality percentage of Paramphistomum spp. in several treatments.

(5)

Tabel 1. Hasil uji Post Hoc LSD waktu kematian Paramphistomum spp. pada beberapa perlakuan.

Table 1. The results of the LSD Post-Hoc test of Paramphistomum spp. death time parameter in several treatments.

Perlakuan (b/v)/ Treatments (w/v) Nilai p/ p Value

Konsentrasi Rendah/ Low concentration (2,5%) - Kontrol Negatif/ Negative control (NaCl 0,9%)

0,001*)

Konsentrasi Sedang/ Medium concentration (5%) - Kontrol Negatif/ Negative control (NaCl 0,9%)

0,002*)

Konsentrasi Tinggi/ High concentration (10%) - Kontrol Negatif/ Negative control (NaCl 0,9%)

0,001*)

Konsentrasi Rendah/ Low concentration (2,5%) - Kontrol Positif/ Positive control (Albendazol 10%)

0,002*)

Konsentrasi Sedang/ Medium concentration (5%) - Kontrol Positif/ Positive control (Albendazol 10%)

0,001*)

Konsentrasi Tinggi/ High concentration (10%)/ - Kontrol Positif/ Positive control (Albendazol 10%)

0,001*)

Konsentrasi Rendah/ Low concentration (2,5%) – Konsentrasi sedang/ Medium concentration (5%)

0,476

Konsentrasi Rendah/ Low concentration (2,5%) - Konsentrasi Tinggi/ High concentration (10%)

0,719

Konsentrasi Sedang/ Medium concentration (5%) - Konsentrasi Tinggi/ High concentration (10%)

0,719

Keterangan/ Notes*) : Waktu kematian berbeda signifikan (p<0,05) pada uji Post Hoc LSD/ The death time parameter was significantly different (p<0.05) on the LSD Post-Hoc test.

Gambar 2. Rerata waktu kematian Paramphistomum spp. pada berbagai perlakuan selama 300 menit. (*) tidak berbeda nyata (p<0,05) pada uji Post Hoc LSD.

Figure 2. The average death time for Paramphistomum spp. in various treatments (w/v) for 300 minutes. (*) not significantly different (p<0.05) at the LSD Post-Hoc test.

Penelitian sebelumnya yang diujikan secara in vivo pada pemberian ekstrak air biji pepaya 10% (b/v) menunjukkan penurunan jumlah telur trematoda yang sebanding dengan Tiabendazol

(p>0,05) pada kambing yang terinfeksi trematoda (Effendy et al. 2014). Hasil yang sama juga diperoleh bahwa ekstrak air biji pepaya 7% (b/v) efektif menurunkan jumlah telur trematoda pada

(6)

sapi yang terinfeksi trematoda (Ahmad 2013).

Pemberian ekstrak air biji pepaya juga lebih efektif dibandingkan dengan pemberian serbuk biji pepaya yang dicampurkan dalam pakan dan serbuk pinang (Ahmad 2014; Effendy et al. 2014).

Teh biji pepaya memiliki aktivitas antitrematoda diduga karena kandungan senyawa metabolit yang terdapat pada biji pepaya. Senyawa benzil isotiosianat merupakan salah satu senyawa aktif pada biji pepaya yang memiliki aktivitas antelmintik. Mekanisme kerja benzil isotiosianat yaitu mengganggu homeostasis cacing dan menghambat penyerapan glukosa, sehingga menyebabkan kelumpuhan dan kematian cacing (Cabral et al. 2019). Lebih lanjut alkaloid bekerja pada sistem saraf dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase, sehingga menyebabkan kematian melalui kelumpuhan otot cacing (Astuti et al. 2017; Ibekwe 2019).

KESIMPULAN

Teh biji pepaya berpotensi sebagai antitrematoda, karena terbukti memiliki aktivitas antitrematoda terhadap cacing parasit Paramphistomum spp. pada sapi. Tingkat kematian cacing parasit mencapai 100%, 180 menit setelah aplikasi 2,5% (b/v) teh biji papaya. Tingkat kematian yang sama (100%) dengan aplikasi teh biji papaya konsentrasi lebih tinggi (5 dan 10%), terjadi lebih lambat (menit ke-210). Namun aktivitas antitrematoda teh biji pepaya masih lebih rendah dibandingkan dengan Albendazol 10%

(b/v). Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi optimal sebagai antitrematoda dan karakteristik mutu sediaan teh biji pepaya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bank Rakyat Indonesia dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang telah memberikan bantuan berupa dana penelitian kepada penulis.

PERNYATAAN KONTRIBUTOR

Dalam artikel ini Kurnia Solehah berperan sebagai kontributor utama, Galuh Tresnani, dan Iman Surya Pratama berperan sebagai kontributor anggota.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R.Z. (2013) Paecilomyces lilacinus and Verticillium chlamydosporium Fungi as Biological Control of Fasciolosis.

Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences. 23 (3), 135–141.

doi:10.14334/wartazoa.v23i3.1004.

Ahmad, S.N. (2014) Kajian Efektivitas Pemberian Obat Cacing Herbal Terhadap Performa Sapi Potong. In: Prosiding Seminar Nasional

‘Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi’. (38), pp.503–509.

Al-Amura, M.F.A., Hassen, Z.A. & AL-Mhanawi, B.H. (2012) Staining Technique for Helminth Parasites By Use Red Beet (Beta vulgaris L.) Extract. Basrah Journal of Veterinary Research. 11 (1), 283–292.

doi:10.33762/bvetr.2012.54855.

Ameen, S.A., Azeez, O.M., Baba, Y. A., Raji, L.

O., Basiru, A., Biobaku, K. T., Akorede, G.

J., Ahmed, A. O., Olatunde, A. O. &

Odetokun, I.A. (2018) Anthelmintic Potency of Carica papaya seeds against Gastro- intestinal Helminths in Red Sokoto Goat.

Ceylon Journal of Science. 47 (2).

doi:10.4038/cjs.v47i2.7509.

Astuti, K.T., Ardana, I.B.K., Anthara, M.S., Yustika, I.M.A. & Kusumawardana, I.B.A.D. (2017) Efektivitas Ekstrak Daun Wudani (Quisqualis indica Linn) Terhadap Telur Cacing Paramphistomum spp. pada Sapi Bali Secara In Vitro. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus. 6 (5), 409–416.

doi:10.19087/imv.2017.6.5.409.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (2012) Acuan Sediaan Herbal. In:

Edisi 1, V. Jakarta, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Balai Besar Veteriner Denpasar (2021) Laporan Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar Tahun 2020. Denpasar.

Bukenya, E. (2019) Bioactivity of Aqueous and Ethanolic Extracts Of Carica papaya L. Fruit Seeds on Adult Stage of Fasciola hepatica.

Mbarara University of Science and Technolog.

Cabral, E.R.M., Moraes, D., Levenhagen, M.A., Matos, R.A.F., Cruz, J.M.C. & Rodrigues, R.M. (2019) In Vitro Ovicidal and Larvicidal Activity of Carica papaya Seed Hexane Extract Against Strongyloides venezuelensis. Revista do Instituto de

(7)

Medicina Tropical de Sao Paulo. 61.

doi:10.1590/s1678-9946201961059.

Chongmobmi, M. & Panda, S. (2018) Bovine Gastrointestinal Trematodosis In Nigeria: A Review. Academia.Edu. 11 (11), 8–19.

doi:10.9790/2380-1111020819.

Choudhary, V., Hasnani, J.J., Khyalia, M.K., Pandey, S., Chauhan, V.D., Pandya, S.S. &

Patel, P.V. (2015) Morphological and Histological Identification of Paramphistomum cervi (Trematoda:

Paramiphistoma) in the Rumen of Infected Sheep. Veterinary World. 8 (1), 125–129.

doi:10.14202/vetworld.2015.125-129.

Dewi, D.A. & Supriyanto, S. (2020) Prevalensi Nematodiasis pada Ternak Ruminansia Kecil di Yogyakarta. Jurnal Pengembangan Penyuluhan Pertanian. 7 (31), 53.

doi:10.36626/jppp.v17i31.418.

Effendy, A.M.W., Suparjo, N.M., Ameen, S.A. &

Abdullah, O. (2014) Evaluation of Anthhelmintic Potential of Pawpaw (Carica papaya) Seeds Administered In-Feed and In- Water for West African Dwarf (WAD) Goats. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare. 4 (16), 29–32.

Fielding, R.D. (2004) Ethnoveterinary Medicine in the Tropics. In: Andrews, A.H., Blowey, R.W., Boyd, H., dan Eddy, E.G. (Eds.).

Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle. Ames Iowa, Blackwell Science.

Hrckova, G. & Velebny, S. (2013) Pharmacological Potential of Selected Natural Compounds in the Control of Parasitic Diseases. London, Springer Briefs in Pharmaceutical Science & Drug Development.

Hsu, W.H. (2008) Handbook of Veterinary Pharmacology. Ames, Wiley Blackwell.

Ibekwe, H.A. (2019) In Vitro Anthelmintic Activities of Aqueous Crude Extract of Azadirachta indica on Paramphistomum cervi and Fasciola hepatica. International Journal of Veterinary Sciences and Animal Husbandry. 4 (1), 14–18.

Jones, A. (2005) Superfamily Paramphistomoidea Fischoeder, 1901. In: Keys to the Trematoda. Vol. 2nd. London, Commonwealth Agricultural Bureau International Publishing and The Natural History Museum, pp.234–9.

Kumar, B., Sahni, Y.P. & Kumar, S. (2014) Biochemical Anthelmintic Action of Carica papaya Aquous Seed Extract in Trichostrongylus colubriformis. World Journal of Pharmaceutical Research. 3 (10), 907–14.

Mage, C., Bourgne, H., Toullieu, J.M., Rondelaud, D. & Dreyfuss, G. (2002) Fasciola hepatica and Paramphistomum daubneyi: Changes in Prevalences of Natural Infections in Cattle and in Lymnaea truncatula from Central France Over the Past 12 Years. Veterinary Research. 33 (5), 439–447.

Ozdal, N., Guli, A., Ilhan, F. &Deger, S. (2010) Prevalence of Paramphistomum Infection in Cattle and Sheep in Van Province, Turkey.

Helminthologia. 47 (1), 20–24.

doi:10.2478/s11687-010-0003-1.

Purwaningsih, P., Noviyanti, N. & Putra, R.P.

(2018) Prevalensi dan Faktor Risiko Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Jurnal Veteriner. 19 (1), 91.

doi:10.19087/jveteriner.2018.19.1.91.

Ramos, F., Portella, L.P., Rodriguez, F.D.S., Reginanto,C.Z., Cezar, A.S., Sanqioni, L.A.

& Vogel, F.S.F. (2016) Anthelmintic Resistance in Gastrointestinal Nematodes of Beef Cattle in The State of Rio Grande do Sul, Brazil. International Journal for Parasitology: Drugs and Drug Resistance. 6

(1), 93–101.

doi:10.1016/j.ijpddr.2016.02.002.

Regassa, F., Sori, T., Dhuguma, R. & Kiros., Y.

(2006) Epidemiology of Gastrointestinal Parasites of Ruminants in Western Oromia, Ethiopia. International Journal of Applied Research in Veterinary Medicine. 4 (1), 51–

57.

Roeber, F. & Kahn, L. (2014) The Specific Diagnosis of Gastrointestinal Nematode Infections in Livestock: Larval Culture Technique, its Limitations and Alternative DNA-Based Approaches. Veterinary Parasitology. 205 (3–4), 619–628.

doi:10.1016/j.vetpar.2014.08.005.

Santiago, M.C., Valero, M.A. & Bargues, M.D.

(2014) Fasciolasis. In: Toledo, R. dan Bernard, F. (Eds.). Digenetic Trematodes.

London, Springer Science.

Saowakon, N., Lorsuwannarat, N., Changklungmoa, N., Wanichanon, C. &

Sobhon, P. (2013) Paramphistomum cervi:

(8)

The In Vitro Effect of Plumbagin on Motility, Survival and Tegument Structure.

Experimental Parasitology. 133 (2), 179–

186. doi:10.1016/j.exppara.2012.11.018.

Tandon, V., Bishnupada, R., Jollin, A.S. &

Sudeep, G. (2014) Amphistomes. In:

Digenetic Trematodes. London, Springer

Science, pp.368, 373–8.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya telah dilakukan penelitian menggunakan ekstrak biji pepaya matang yang dimanfaatkan sebagai larvasida terhadap mortalitas larva Aedes aegypti dan

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara aktivitas antibakteri ekstrak etanol biji dengan batang pepaya dalam menghambat Shigella sonnei

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara aktivitas antibakteri ekstrak etanol biji dengan batang pepaya dalam menghambat Shigella sonnei..

Berdasarkan penelitian yang berjudul Efek Infusa Biji Buah Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti Tahun 2016, saran yang dapat diajukan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri kombinasi ekstrak etanol biji dan batang pepaya terhadap Shigella sonnei dan Staphylococcus epidermidis

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi gelatin sapi tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan permen jelly pepaya.. Aktivitas antioksidan

Dalam pembuatan ekstrak biji pepaya bahan berupa biji pepaya yang digunakan sebanyak 800 gram, dibersihkan dari kotoran yang menempel, dirajang halus lalu

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol biji pepaya (Carica papaya L.) memiliki aktivitas antibakteri pada setiap seri