M
M
I
I
K
K
R
R
O
O
M
M
I
I
T
T
R
R
A
A
M
M
I
I
N
N
A
A
(
(
L
L
E
E
P
P
P
P
M
M
3
3
)
)
D
D
I
I
K
K
A
A
B
B
U
U
P
P
A
A
T
T
E
E
N
N
P
P
A
A
S
S
U
U
R
R
U
U
A
A
N
N
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Oleh :
MEGA MASA UTAMI
NPM 0264020090
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
Tesis Berjudul
STRATEGI PEMBERDAYAAN NELAYAN OLEH LEMBAGA EKONOMI
PENGEMBANGAN PESISIR MIKRO MITRA MINA (LEPP M3)
DI KABUPATEN PASURUAN
Dipersiapkan dan disusun oleh :
MEGA MASA UTAMI
NPM 0264020090
Telah dipertahankan di depan Dosen Penguji
pada tanggal 29 Juni 2007
dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Pembimbing Utama
Anggota Penguji Lain
(Dr. Ir. Zainal Abidin, MS)
(Prof. Dr. Ir. Marsadi Pawirosemadi)
Pembimbing Pendamping
(Ir. A. Rachman Waliulu, MS)
(Ir. Effi Damaijati, MS)
(Ir. Setyo Parsudi, MP)
Surabaya, 29 Juni 2007
UPN “Veteran” Jawa Timur
Program Pascasarjana
Direk`tur,
ABSTRACT
Mega Masa Utami. NPM 0264020090. Fisherman Expedient Strategy
by Ecomomic Institution of Mina Partner Micro Coastal Area
Development (LEPP M3) in Pasuruan District. First Counsellor Dr. Ir.
Zainal Abidin, MS, dan Second Counsellor Ir. Effi Damaijati, MS.
Economic institution of mina partner micro coastal area
development (LEPP M3) is an institutional that has poverty taking out
program by means of people expedient on coastal area in repercussion to
get optimum result that needs a fisherman expedient strategy analysis.
That condition provides the basis for the purpose of research, they are; (1)
to identificate internal factors and external factors that influence on
fisherman expedient by LEPP M3, (2) to know the fisherman’s opinion and
hope of LEPP M3 and (3) to arrange fisherman expedient strategy by
LEPP M3.
The research is done in Pasuruan District. A sum of responden is
determined by purposive is 30 respondens. The research uses SWOT
analysis and descriptive analysis.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas karunia
dan Rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul “Strategi Pemberdayaan Nelayan Oleh Lembaga Ekonomi
Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3) di Kabupaten
Pasuruan”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi
sebagian persyaratan dalam rangka mencapai gelas Magister Manajemen
Argribisnis pada Program Studi Magister Manajemen Agribisnis
Pascasarjana UPN “Veteran” Jawa Timur.
Sebagai insan akademis penulis
telah berusaha untuk
menyelesaikan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya, dan penulis
menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah
membantu. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
yang terhormat Dr. Ir. Zainal Abidin, MS, selaku pembimbing utama dan
Ir. Effi Damaijati, MS selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan
tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1.
Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur di Surabaya, dosen
dan seluruh staf yang banyak membantu dari awal kuliah hingga
2.
Rekan-rekan program Pascasarjana Studi Magister Manajemen
Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
di Surabaya, yang memberikan dukungan, saran, kritik yang bersifat
membangun serta semangat dan dorongan dalam penyusunan tesis
ini.
3.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
telah memberikan bantuan baik moril maupun matreiil hingga
terselesaikannya penulisan tesis ini.
Demikian semoga bermanfaat bagi semua pihak.
Surabaya, 29 Juni 2007
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ...
iii
KATA PENGANTAR ...
iv
DAFTAR ISI ...
vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I .
PENDAHULUAN ...
1
1.1.
Latar Belakang Masalah ...
1
1.2.
Rumusan Masalah ...
6
1.3.
Tujuan Penelitian ...
6
1.4.
Manfaat Penelitian ...
6
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ...
7
II.
TINJAUAN PUSTAKA ...
8
2.1.
Hasil Penelitian Terdahulu ...
8
2.2.
Pemberdayaan Masyarakat ...
10
2.3.
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mendukung
Pembangunan Ekonomi Nasional ...
17
2.4.
Partisipasi ...
26
2.5.
Konsep Partisipasi Anggota Pada Proses
Pemberdayaan Masyarakat ...
31
2.7.
Analisis SWOT ...
46
2.8.
Kerangka Pemikiran ...
48
III. METODE PENELITIAN ...
52
3.1.
Penentuan Daerah ...
52
3.2.
Penentuan Responden ...
52
3.3.
Pengambilan Data ...
53
3.4.
Definisi dan Pengukuran Variabel ...
54
3.5.
Analisis Data ...
56
3.5.1.
Analisis SWOT ...
56
3.5.2.
Analisis Deskriptif ...
61
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...
63
4.1.
Analisis Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ...
63
4.1.1.
Analisis Faktor Internal ...
63
4.1.2.
Analisis Faktor Eksternal ...
69
4.1.3.
Matrik Pembobotan IFAS dan EFAS ...
75
4.1.4.
Perumusan Strategi Pemberdayaan
Nelayan oleh LEPP M3 ...
79
4.2.
Persepsi dan Tanggapan Nelayan Terhadap
Program LEPP M3 ...
85
V.
KESIMPULAN DAN SARAN ...
95
5.1.
Kesimpulan ...
95
5.2.
Saran ...
96
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor Internal
Pemberdayaan Nelayan oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
76
2. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor Internal
Pemberdayaan Nelayan oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
78
3. Matrik SWOT Strategi LEPP M3 Kabupaten Pasuruan dalam
Pemberdayaan Nelayan ...
80
4. Matrik Pembobotan Analisis SWOT ...
83
5. Tanggapan Responden Terhadap Dampak Kegiatan LEPP
M3 Dalam Pemberdayaan Nelayan ...
86
6. Tanggapan Responden Terhadap Kemudahan Pelaksanaan
Pengajuan Dana Kepada LEPP M3 ...
87
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Model Pengembangan PEMP ...
42
2.
Struktur Kelembagaan PEMP ...
45
3.
Kerangka Pemikiran ...
51
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Pembobotan Faktor-Faktor Kekuatan Upaya
Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
101
2.
Pembobotan Faktor-Faktor Kelemahan Upaya
Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
102
3.
Pembobotan Faktor-Faktor Peluang Upaya
Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
103
4.
Pembobotan Faktor-Faktor Ancaman Upaya
Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
104
5.
Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Kekuatan
Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan ...
105
6.
Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Kelemahan
Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan ...
106
7.
Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Peluang
Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan ...
107
8.
Menentukan Nilai Kepentingan Faktor-Faktor Ancaman
Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan ...
108
9.
Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Kekuatan Upaya
Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
109
10. Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Kelemahan
Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
11. Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Peluang Upaya
Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
111
12. Menentukan Nilai Rating Faktor-Faktor Ancaman Upaya
Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3 Kabupaten
Pasuruan ...
112
13. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor-Faktor
Internal Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan ...
113
14. Matrik Pembobotan, Rating dan Skor untuk Faktor-Faktor
Eksternal Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan ...
114
15. Penentuan Grand Total Analisis SWOT Penentuan Letak
Upaya Pemberdayaan Nelayan Oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan ...
115
16. Analisis SWOT Posisi Strategi Pemberdayaan Nelayan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan yang terjadi di lingkungan masyarakat pesisir,
khususnya nelayan dewasa ini merupakan salah satu masalah serius
yang harus menjadi perhatian dan tanggung jawab semua pihak. Sejak
krisis mulai merambah di pertengahan tahun 1997 nelayan adalah
kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita atau merupakan
korban pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi yang tiba–tiba
namun berkepanjangan. Isu pengentasan kemiskinan nelayan bukanlah
sesuatu yang baru, berbagai kebijakan pemerintah dengan berbagai
model telah di terapkan, mulai pemberian bantuan berupa peralatan
maupun dana.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian, kebijakan yang selama ini
di terapkan belum memberikan nilai tambah yang signifikan,
kecenderungan kebijakan pemberian motor di era tahun 1980 an telah
berdampak pada pertambahan jumlah perahu motor. Kebijakan tersebut
belum mampu untuk mendistribusikan nelayan dalam menagkap ikan,
sehingga yang terjadi adalah over fishing. Kemampuan mereka dalam
menangkap ikan secara traditional dengan alat terbatas membuat jumlah
hasil tangkapan dari hari kehari semakin sedikit, Hal ini di perburuk oleh
Program modernisasi alat tangkap ikan atau proses penangkapan
ikan tidaklah mampu untuk di ikuti oleh nelayan kelas bawah, disamping
kemampuan finansial juga kemampuan SDM, kultur serta ke engganan
adanya perubahan pada sesuatu yang baru. Kebiasaan menangap ikan
dalam satu hari juga jadi faktor kendala modernisasi alat tangkap. Hal ini
berakibat terjadinya kesenjangan ekonomi antara yang miskin dan yang
kaya, kesenjangan antara buruh nelayan dan juragan nelayan,
berkembangnya sistem ijon serta rentenir. Pemiskinan struktural terjadi
diduga karena kebijakan ini dipandang cenderung bias terhadap nelayan
kelas atas (juragan).
Faktor internal yang menyebabkan kemiskinan nelayan adalah
faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi internal sumberdaya manusia
nelayan dan aktifitas kerja mereka. yang termasuk kedalam faktor internal
ini adalah : (1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan, (2)
keterbatasan modal usaha dan teknologi, (3) hubungan kerja (pemilik
perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap
kurang menguntungkan nelayan buruh, (4) kesulitan melakukan
diversifikasi usaha penangkapan, (5) ketergantungan yang tinggi terhadap
okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang dipandang “boros” sehingga
kurang berorientasi kemasa depan.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan
dengan kondisi diluar diri dan aktifitas kerja nelayan. Dan yang termasuk
lebih berorientasi pada produktifitas untuk menunjang pertumbuhan
perekonomian nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional, (2)
sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang
perantara, (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran
dari wilayah darat, praktek penagkapan dengan bahan kimia, perusakan
terumbu karang, dan konvensi hutan bakau I kawasan pesisir, (4)
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakan
hokum yang lemah terhadap perusak lingkungan, (6) terbatasnya
teknologi pengolahan hasil tangkap pasca tangkap, (7) terbatasnya
peluang-peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa
nelayan, (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan
nelayan melaut sepanjang tahun, dan (9) isolasi geografis desa nelayan
yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia (Kusnadi,
2003)
Sebagaimana dipahami pada umumnya masyarakat nelayan
berada pada posisi strata sosial ekonomi terbatas sehingga persoalan
modal dan keterbatasan teknologi serta peralatan menjadi kendala yang
dinilai serius selama ini. Kendati faktor modal usaha dan terbatasnya
teknologi serta peralatan dinilai sebagai faktor penghambat yang paling
banyak dikeluhkan Faktor struktural seperti adanya permainan harga oleh
pengusaha yang lebih besar dan lebih mampu serta kehadiran para
tengkulak, keterbatasan permodalan, ketiadaan koneksi, jaringan
dipecahkan. Dengan kata lain faktor struktural seperti ketiadaan
kesempatan bagi nelayan kecil untuk memperoleh akses terhadap
berbagai hal tersebut termasuk soal informasi pemasaran merupakan
faktor yang dapat menjadi penyebab kurang berkembangnya aktivitas
usaha mereka.
Pemerintah sebetulnya bukan tidak memahami penderitaan dan
tekanan kemiskinan yang dialami masyarakat desa pesisir khususnya
para nelayan, salah satu program pembangunan yang dirancang khusus
untuk membantu upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir yaitu dengan digulirkannya program baru pada tahun
2000 melalui Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu program PEMP
(Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang mana merupakan
program perguliran dana atau modal, sehingga nelayan yang selama ini
tidak disentuh perbankan memiliki alternatif sumber pembiayaan. Sasaran
program PEMP adalah nelayan tradisional, nelayan buruh, pedagang dan
pengolah ikan berskala kecil, dan lain-lain. Yang mana semuanya adalah
termasuk kelompok sosial masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan
ekonomi (Kusnadi, 2003).
Pada tahun 2001, kelembagaan untuk pengelolaan sumber
keuangan dikuatkan dengan dibentuknya Lembaga Ekonomi
Pengembangan Pesisir Mitra Mikro Minna (LEPP M3). Secara khusus
LEPP M3 mempunyai peran untuk memberikan dukungan operational
mempunyai tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
di wilayahnya. LEPP M3 mempunyai tugas dan fungsi : menerima dan
menyalurkan Dana Ekonomi Produktif melalui KMP, mencatat dan
mendokumentasikan kegiatan PEMP, membukukan penggunaan dana
PEMP, melaporkan perkembangan kegiatan Program PEMP dan
permodalan (keuangan) kepada penanggungjawab operasional PEMP
Kabupaten/Kota, membantu menyelesaikan KMP bermasalah, melakukan
pemeriksaan pembukuan KMP, berperan sebagai tim verifikasi bagi
usulan usaha ekonomi produktif masyarakat dan pembentukan KMP baru
serta konsultasi dengan mitra desa setempat, mengembangkan kegiatan
usaha yang dapat mendukung kegiatan usaha KMP desa, melakukan
identifikasi potensi dan mengembangkan kemitraan sebagai dasar
perencanaan strategis untuk jangka pendek, menengah dan angka
panjang, berperan mengelola dan pengembangan modal usaha pasca
kegiatan PEMP tahun anggaran kegiatan berjalan dan menyalurkannya
kepada KMP baru terutama di desa yang belum memperoleh program
PEMP.
Pelaksanaan program pemberdayaan nelayan di Kabupaten
Pasuruan tidak semua diterima dan dikelola dengan baik oleh masyarakat
sehingga diperlukan strategi pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 yang
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang berpengaruh dalam
pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 di Kabupaten Pasuruan ?
2. Bagaimana tanggapan dan harapan nelayan terhadap LEPP M3?
3. Strategi apa yang harus ditetapkan LEPP M3 Kabupaten Pasuruan
dalam pemberdayaan nelayan ?
1.3. Tujuan penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang
berpengaruh dalam pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3
Kabupaten Pasuruan
2. Untuk mengetahui tanggapan dan harapan nelayan terhadap LEPP
M3.
3. Menyusun strategi pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3 di
Kabupaten Pasuruan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Sebagai pertimbangan bagi penentu kebijakan dalam rangka
2. Sebagai masukan atau bahan perbandingan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1. Wilayah penelitian : di Kabupaten Pasuruan
2. Periode data yang digunakan dalam penelitian : tahun 2006-2007
3. Fokus penelitian :
a. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang
berpengaruh dalam pemberdayaan nelayan oleh LEPP M3
b. Tanggapan dan harapan nelayan terhadap LEPP M3.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Hasil Penelitian Terdahulu
Hajarul Aswad (2006). Mengenai Strategi Perbaikan Ekonomi
Masyarakat Nelayan di Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton. Hasil
penelitian antara lain : strategi peningkatan pendapatan masyarakat
nelayan di kecamatan Lakudo dilakukan oleh nelayan itu sendiri berupa
penggunaan teknologi, kemampuan mengorganisasikan diri, penguatan
sistem kelembagaan, dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal. Selain
itu pemerintah setempat membantu dalam kegiatan penyuluhan,
pendidikan dan latihan, bantuan dana, serta perluasan jaringan informasi
yang diperlukan oleh nelayan.
Rifqi (2002) mengadakan penelitian tentang Arahan dan Strategi
Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir Kabupaten Padang Pariaman
yang bertujuan untuk menganalisis faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi pengembangan perikanan wilayah pesisir Kabupaten
Padang Pariaman, serta menyusun strategi dan arahan
pengembangannya yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Penelitian ini berupa studi kasus yang bersifat deskriptif yang
menggambarkan potensi yang dimiliki oleh lokasi penelitian, kemudian
ditentukan faktor-faktor internal dan eksternalnya yang selanjutnya
digunakan analisa SWOT untuk menentukan arahan dan strategi
Karim (2003). Problem Ekonomi-Politik Kemiskinan Nelayan. Hasil
penelitian antara lain : dua pokok yang menjadi penyebab kemiskinan
nelayan adalah (i) kemiskinan nelayan terjadi karena korbanan dari proses
pembangunan, (ii) kemiskinan nelayan terjadi karena adanya golongan
tertentu yang tidak memiliki akses kegiatan ekonomi produksi akibat pola
institusional yang diberlakukan, sehingga terpinggirkan secara permanen.
Kedua hal tersebut memiliki relevansi yang signifikan secara teoretis
maupun empiris sehingga memerlukan pemberdayaan yang memiliki
framework komprehensif dalam memahami akar permasalahan
kemiskinan nelayan dalam program pengentasan kemiskinan agar tidak
bersifat bersifat karitif (charity) karena tidak mempunyai landasan yang
jelas.
Tampubolon (2006). Pemberdayaan Masyarakat melalui
Pendekatan Kelompok. Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji tingkat
kedinamisan dan keberhasilan Kelompok Usaha Bersama (KUBE), (2)
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan dan
keberhasilan KUBE, (3) mengidentifikasi faktor-faktor utama penentu
keberhasilan KUBE, dan (4) merumuskan model pemberdayaan
masyarakat yang lebih efektif melalui pendekatan kelompok. Disain
penelitian menggunakan deskripsi analisis eksploratif dan korelasional.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat kedinamisan 85,2 % kategori aktif,
keberhasilan aspek sosial dan ekonomi masing-masing 93,8 % kategori
yaitu aset (asset), kemampuan (ability), kemasyarakatan (community),
komitmen (commitment), pasar (market) atau disebut ABCCM.
Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pemberdayaan masyarakat digunakan dalam pendekatan
pembangunan yang berpusat pada rakyat (people convered
development). Pendekatan ini menyadari tentang betapa pentingnya
kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan
internal yang di tempuh melalui kesanggupan melakukan kontrol internal
atas sumber daya materi dan non materi yang penting melalui redistribusi
modal atau kepemilikan.
Pemberdayaan, menurut Slamet (2000) adalah ungkapan lain dari
penyulihan pembangunan. Pemberdayaan (Empowerment) yang
dikatakan oleh Oakley dan Marsden dalam Priyono (1996) diartikan
sebagai suatu proses yang memiliki dua kecenderungan :
1. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan dan
kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan
menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Proses ini dapat
dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna
mendukung pengembangan kemandirian mereka melalui
dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna
pengembangan.
2. Kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses
stimulasi, mendorong atau memotifasi agar individu mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Sesunggunya
diantara kedua proses tersebut saling terkait. Agar kecenderungan
primer dapat terwujud sering kali harus memulai kecenderungan
sekunder terlebih dahulu.
Pemberdayaan ditujukan guna membantu klien memperoleh daya
untuk mengambil keputusan yang menentukan tindakan yang akan ia
lakukan yang terkait dengan diri mereka. Payne dalam Harry (2001)
mengatakan bahwa hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan
rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain
melalui transfer daya dari lingkungannya. Upaya meningkatkan
kemampuan yang berkaitan dengan pemberdayaan pada tingkat individu
di kemukakan oleh Glickman (1989) sebagai internal control and
individually divergent practices, solving problems indevendenly.
Pemberdayaan ini juga dilakukan bagi orang lain, Irwin (1995)
menyebutkan : “ empowering other people means giving them a chance to
make their social special contribution….Your contribution may be a
Pemberdayaan menurut Shardlow (1998) pada intinya membahas
cara individu, kelompok maupun komonitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk masa depan sesuai
dengan keinginan mereka. Fierdman (1992) berprinsip bahwa
pemberdayaan mendorong Client untuk menentukan sendiri apa yang
harus ia lakukan berkaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang
ia hadapi, sehingga Client mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh
dalam membentuk hari depannya.
Menurut Soe’oed (2004) secara garis besar dapat didefinisikan
bahwa pemberdayaan adalah proses belajar mengajar yang merupakan
usaha terencana dan sistematis yang dilaksanakan berkesinambungan
baik bagi individu maupun kelompok, guna mengembangkan potensi dan
kemampuan yang terdapat baik dalam diri individu maupun kelompok
masyarakat sehingnga mampu melakukan transformasi sosial.
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi
ekonomi rakyat, tetapi juga meningkatkan harkat dan martabat, rasa
percaya diri dan harga dirinya, serta terpeliharanya tatanan nilai budaya
setempat. Agar tujuan ini tercapai maka diperlukan kajian strategis yang
berkesinambungan tentang restrukturisasi sistem sosial pada tingkat
mikro, mezzo dan makro. Hal ini ditujukan agar masyarakat lokal dapat
mengembangkan potensi tanpa mengalami hambatan eksternal pada
unsur mezzo dan makro. Struktur mezzo yang dimaksud dapat berupa
sedangkan struktur makro dapat berupa struktur pemerintahan pusat dan
nasional (Hikmat 2001)
Korten dalam Hikmat (2001) menyatakan bahwa ada tiga dasar
untuk perubahan-perubahan struktural dan normatif dalam pembangunan
yang berpusat pada rakyat.
1. Memusatkan pikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada
penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung
usaha rakyat untuk memenuhi kebutuha-kebutuhan mereka sendiri
dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri ditingkat
individu, keluarga dan komunitas.
2. Mengembangkan struktur-struktur dan proses organisasi-organisasi
yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem swaorganisasi.
3. Mengembang sistem-sistem Produksi-konsumsi yang diorganisasi
secara teritorial berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan
pengendalian lokal.
Menurut Satria (2002) pemberdayaan masyarakat pesisir paling
tidak memiliki dua dimensi pokok, yaitu dimensi kultural dan dimensi
struktural . Dimensi kultural pemberdayaan sosial mencakup upaya-upaya
perubahan perilaku ekonomi, orientasi pendidikan , sikap terhadap
pengembangan teknologi dan kebiasaan-kebiasaan. Pemberdayaan
kutural ini diperlukan untuk mengatsai kemiskinan kultural, seperti pola
hidup konsumtif, rendahnya kemampuan menabung, sikap subsisten, atau
Sementara itu dimensi struktural mencakup upaya perbaikan
struktural sosial, sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal
nelayan. Perbaikan-perbaikan struktural umumya berupa penguatan
solidaritas nelayan untuk selanjutnya dapat berhimpun dalam satu
kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan
mereka. Disini tidak ada pretensi untuk selalu membentuk koperasi
nelayan karena batapapun bentuk organisasi yang ada jaminan
kepentingan sosial ekonomi nelayan adalah yang paling penting.
Kehadiran organisasi tersebut yang dijalankan sesuai dengan tingkat
budaya organisasi nelayan setempat diharapkan juga dapat menjadi
institusi alternatif, selain institusi patron klien seperti yang selama ini telah
mengakar.
Pemberdayaan nelayan secara struktural maupun kultural perlu
dipahami adanya keunikkan karakteristik sosial nelayan yang tentunya
menuntut adanya pendekatan pemberdayaan yang unik pula. Namun
pendekatan yang unikpun tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh
konteks kehidupan nelayan.
Banyak variabel yang memberi pengaruh pada keunikan itu secara
sosiologis maupun ekologis sehingga pendekatan pemberdayaan
nelayan jawa dan luar jawa, harus berbeda seiring perbedaan sosiologis
(struktur, kultur, dan formasi sosial) maupun ekologis diantara keduanya.
Meski demikian, ada benang merah prinsip prinsip penting pemberdayaan
1. Prinsip Tujuan
Pemberdayaan harus dilandasi tujuan yang jelas dan dianggap
sebagai subyek dalam pembangunan sehingga pendekatan yang kita
lakukan adalah help people to help them selves (membantu para
nelayan agar nelayan dapat membantu dirinya sendiri dengan
pendidikan orang dewasa/andrologi). Artinya,institusi yang dibentuk
oleh program hanya sebagai fasilitator dan bukan sebagai pihak yang
harus memberi. Pendekatan baru ini, asumsinya adalah nelayan
memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dirinya sendiri .
2. Prinsip Pengetahuan dan Penguatan Nilai Lokal
Pengetahuan modern sering kita anggap sebagai segala galanya dan
ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan, teknis maupun sosial,
yang dihadapi nelayan. Padahal nelayan memiliki sistem
pengetahuannya sendiri yang penting dijadikan bahan atau bekal
bagi pemberdayaan. Sistem pengetahuan yang dimiliki nelaya sudah
cukup mengaka karena diwariskan secara turun temurun. Dengan
sistem pengetahuan yang mereka miliki, sudah sepatutnya para
pembuat kebijakan untuk mendengarkan sekaligus belajar dari
pengetahuan yang mereka miliki.
Begitu juga kaitannya dengan nilai lokal .Sebenarnya, banyak nilai
lokal yang potensial sebagai landasan dalam pemberdayaan. Nilai
lokal itu dapat menjadi modal sosial yang penting untuk
3. Prinsip Keberlanjutan (Sustainability)
Prinsip ini sangat penting diperhatikan mengingat pemberdayaan
nelayan merupakan salah satu bentuk rekayasa sosial. Rekayasa
sosial ini membutuhkan waktu yang relatif lama karena berkaitan
dengan perubahan sosial yang besifat struktural maupun kultural.
Perubahan tersebut tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang
singkat.Untuk itu program pmberdayaan hendaknya jangan sampai
terjebak pada paradigma proyek yang mengharuskan tercapainya
target secara nyata dalam waktu yang singkat.Untuk itu program
pemberdayaan hendaknya jangan sampai terjebak pada paradigma
proyek yang mengharuskan tercapainya target secara nyata dalam
waktu yang singkat.
4. Prinsip ketetapan kelompok sasaran
Setiap komunitas nelayan memiliki ciri stratifikasi sosial yang
berbeda beda dan hal ini harus dipahami secara benar. Ada yang
mencirikan polarisasi dan ada pula yang tidak. Seperti digambarkan
oleh Chambers dalam Satria (2002), seringkali pihak yang didatangi
tim pelaksana pemberdayan adalah elite desa yang sebenarnya jauh
dari persoalan. Namun, karena elit desa lebih mudah berkomunikasi
seringkali para konseptor/ pembuat kebijakan menganggap suara
mereka sebagai suara rakyat desa. Sementara itu, nelayan miskin
yang tidak mudah berkomunikasi jarang didatangi. Akhirnya,
elite nelayan tersebut. Akibatnya, tidak sedikit program pemberdaya
yang hanya menyentuh elite nelayan.
5. Prinsip Kesetaraan Jender.
Salah satu ciri sosial nelayan adalah kuatnya peran wanita atau istri
nelayan dalam aktivitas ekonomi maupun pengambilan keputusan
urusan ekonomi rumah tangga. Dengan posisi istri nelayan yang
demikian, harus mencakup istri istri nelayan juga. Seringkali program
pemberdayaan bisa terhadap laki laki, sehingga laki laki yang selalu
diajak berdiskusi dan memecahkan masalah yang mereka hadapi
tanpa melibatkan istri - istrinya.
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional
Pemberdayaan masyarakat dalam mendukung pembangunan
ekonomi nasional merupakan agenda yang dapat ditindaklanjuti oleh
pemerintah, swasta, LSM, Koperasi maupun kelompok masyarakat
lainnya yang peduli terhadap pentingnya pemberdayaan masyarakat.
Agenda ini merupakan analisis dari tataran teoritis maupun pengalaman
praktis di lapangan.
1. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Sumber daya manusia merupakan modal yang sangat penting dalam
melakukan pembangunan. Keterkaitan masalah ini dengan
pemberdayaan masyarakat sangat besar. Dampak pemberdayaan
permasalahan mereka melalui prakarsa dan kreatifitas untuk
meningkatkan kualitas hidup. Tentunya membutuhkan masyarakat
yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk keluar
dari permasalahan mereka. Banyak ekonom yang memandang
penting investasi sumber daya manusia. Adanya perubahan
paradigma bahwa dalam pertumbuhan ekonomi tidak hanya
mementingkan akumulasi modal fisik melainkan juga pembentukan
modal manusia. Salah satu faktor penting yang menyebabkan
pertumbuhan cepat perekonomian Amerika adalah pembiayaan
pendidikan yang secara relatif selalu meningkat. Telaah mengenai
peningkatan kapasitas sumber daya manusia ini adalah masyarakat
pedesaan dan institusi kelembagaan sebagai wadah mereka
berorganisasi
Menjadi pertimbangan bagi perencana pembangunan, ketika
menghadapipersoalan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
masyarakat pedesaan yang rata-rata pendidikan formalnya terbatas.
Bahkan di beberapa desa terpencil masih ditemukan mereka yang
buta huruf. Tentunya perlu dipilih metode dan media pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Para pelaku
pemberdaya di tingkat masyarakat yang selanjutnya sering disebut
dengan fasilitator, mengembangkan metode pelatihan bagi orang
dewasa untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
dewasa adalah proses penyadaran melauli penumbuhan
kepercayaan diri, menumbuhkan rasa membutuhkan pada diri
masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup.
Media untuk pendidikan orang dewasa sangat beragam dan tentunya
disesuaikan dengan kelompok sasaran dan tujuan. Dari hasil
pengalaman beberapa lembaga pendidikan bagi masyarakat bahwa
metode on the job training, demplot, sangat efektif dan efisien
sedangkan diskusi kelompok, tanya jawab efektif dan effisien
dibandingkan ceramah. Disamping itu tetap dilakukan proses refleksi
untuk membagi pengalaman belajar masing-masing anggota
kelompok belajar. Filosofi yang terkandung dalam proses pendidikan
orang dewasa ini adalah meningkatknya kesadaran kritis masyarakat
terhadap kondisi lingkungan yang ada saat ini dan mengorganisir diri
untuk membebaskan dari ketidakberdayaan.
2. Membangun kelembagaan masyarakat
Kelembagaan masyarakat sangat berkaitan dengan proses
pemberdayaan di tingkat masyarakat. Pemberdayaan bukan hanya
sekedar pendekatan metodologis dalam rangka memandirikan
masyarakat sasaran, akan tetapi harus juga diwujudkan dalam
bentuk yang lebih konkret sebagai bentuk dari pencapaian sebuah
program. Ketika melaksanakan program pemberdayaan kepada
masyarakat miskin di suatu desa, maka pemberdayaan ditempatkan
dan pelaksanaan bersama mereka yang miskin, tetapi pada kurun
waktu tertentu, harus ada monitoring dan evaluasi “sudah berapa
anggota masyarakat desa tersebut yang berubah hidupnya menjadi
tidak miskin dan atau tidak lagi menjadi ketergantungan kepada
pelaku pemberdaya di lingkungannya”
Syarat mutlak program pemberdayaan adalah orientasinya yang
selalu tertuju kepada kemandirian, kesinambungan, dan
keberlanjutan. Naif sekali apabila suatu program pemberdayaan
berjalan sambil menciptakan ketergantungan masyarakat kepada
pihak lain atau kepada pihak pelaku pemberdayaan tersebut.
Kemandirian adalah sikap yang bersumber pada kepercayaan diri.
Kemandirian juga adalah kemampuan (mental dan fisik) untuk:
memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri, memperhitungkan
kesempatan dan ancaman lingkungan, dan memilih berbagai
alternatif yang tersedia untuk mengatasi persoalan dan sekaligus
mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan.
Jelas kiranya bahwa pemberdayaan pada akhirnya bukan hanya
sekedar berorientasi pada proses tetapi juga pada hasil itu sendiri.
Kegiatan Community Development yang berorientasi pemberdayaan
dimulai dengan kegiatan Development, yaitu pengembangan konsep
sesuai dengan tujuan dan sasaran program berdasarkan hasil
community needs analysis; bersamaan dengan tahap ini adalah
yang lazim disebut dengan Involve. Tahap selanjutnya adalah
mensosialisasikan (Socialize) program kepada seluruh komunitas,
agar dan untuk tujuan mereka merasa memiliki program sekaligus
ikut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan keberhasilan
program. Pada tahap ini musyawarah (sebuah pendekatan kultural
khas Bangsa Indonesia) memegang peranan yang sangat penting
sebagai sarana komunikasi. Menginjak tahap pelaksanaan, terdapat
beberapa hal yang penting untuk diperhatikan; yaitu: Cater, yang
berarti program-program yang disajikan harus benar-benar sesuai
dengan kebutuhan masyarakat (dalam bahasa lain harus aspiratif),
serta memperhatikan potensi lokal dan Utilize, yang berarti sedapat
mungkin melibatkan tenaga kerja setempat dalam pelaksanaan
proyek. Selanjutnya harus dikembangkan kepekaan (Sensitive)
dalam memahami situasi psikologis, sosial, dan budaya yang tengah
berkembang di masyarakat sasaran. Kemudian yang terakhir adalah
Socialize, dalam artian melakukan sosialisasi program atau exposure
pada pihak liuar melalui media-media tertentu.
Prinsip di atas syarat pada orientasi pemberdayaan dengan selalu
menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh
rangkaian pembangunan. Menurut Dillon prinsip ini disebut dengan
pendekatan People Driven (menempatkan rakyat atau masyarakat
sebagai aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan
Pemberdayaan adalah sebagai proses. Keberhasilan proses ini
bukan hanya karena faham terhadap pengetahuan dan ketrampilan
menyangkut pemberdayaan dan pembangunan, akan tetapi seluruh
stakeholders (seluruh unsur terkait dalam program) harus komitmen
dengan beberapa hal antara lain: komitmen pada profesionalisme,
komitmen pada keterbukaan, komitmen pada kejujuran, komitmen
pada kebersamaan dan kerjasama, komitmen pada kemiteraan, dan
komitmen pada kepentingan pembelajaran dan mencari keuntungan
bersama dalam bentuk pola horizonal (Arifin, 2004)
Tenaga pemberdaya harus melebur dalam kesetaraan dan kemitraan
bersama masyarakat. Kegagalan selama ini banyak diasumsikan
karena prinsip-prinsip pemberdayaan (kode etik pemberdayaan)
yang seharusnya dilakukan bersama (secara partisipatif) telah
dilanggar, karena ada kepentingan-kepentingan tertentu dari
segelintir orang di luar unsur masyarakat sasaran. Dampaknya
menjadi lebih besar terutama untuk kepentingan pemberdayaan dan
berkesinambungan
3. Menyediakan fasilitas produksi (teknologi dan modal usaha)
Teknologi dan kapital merupakan input yang penting untuk
pertumbuhan. Hal ini juga sesuai dengan teori neoklasik Solow yang
selanjutnya dikembangkan oleh Romer. Dalam implementasinya,
Romer mengingatkan pentingnya kebijakan yang mendorong
pembentukan modal sumber daya manusia dan industri padat
pengetahuan yang mendorong penciptaan teknologi.
Bagi masyarakat pedesaan yang sehari-hari hanya akrab dengan
teknologi pengolahan hasil pertanian sederhana, perkembangan
teknologi pertanian di negara lain yang lebih maju nyaris tak
terdengar bagi mereka. Di negara maju, telah terjadi internalisasi
antara ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses pembangunan.
Kemungkinan ini terjadi karena anggaran untuk melakukan penelitian
dalam menemukan inovasi baru tersedia dan mendapatkan perhatian
pemerintah. Disamping itu juga muncul kendala lain bagaimana
melakukan proses sosialisasi hasil penelitian di bidang pertanian
kepada petani Seringkali kelembagaan yang ada kurang mendukung
proses sosialisasi (Arifin, 2004)
Kaitan antara teknologi dengan pemberdayaan masyarakat adalah
permasalahan awal sejak dimulainya identifikasi kebutuhan teknologi
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melengkapi sosialisasi
teknologi dengan pelatihan untuk ketrampilan sehingga masyarakat
tahu bagaimana menggunakan, merawat dan memanfaatkannya
secara baik. Hal penting lainnya adalah membuka pusat informasi
yang mudah diakses oleh masyarakat desa
Hal penting lainnya yang menjadi pembahasan mengenai teknologi
ini adalah, keterkaitan antara teknologi dan budaya lokal. Pilihan
ada. Sebagai contoh pergeseran ani-ani dnegan mesin pemangkas
pada. Walaupun dari sisi output menghasilkan produksi yang lebih
tinggi namun dari sisi budaya proses sosialisasi dan keeratan
antaranggota masyarakat mulai luntur. "Trade off" antara target
output seringkali juga mengorbankan pihak lain seperti banyak burah
tani perempuan yang kehilangan pekerjaan. Karena mekanisasi di
sektor pertanian tidak diimbangi dengan upaya penciptaan lapangan
kerja baru di pedesaan bagi buruh tani. Lagi-lagi masih diperlukan
upaya pemberdayaan uktuk mengatasi persoalan yang tersisa
setelah pesoalan lain terselesaikan.
Seiring dengan fokus pembangunan perekonomian saat ini, maka
aspek pemberdayaan masyarakat perlu menyesuaikan dengan paradigma
pembangunan tersebut. Masalah konkrit yang pernah dihadapi bangsa ini
adalah ambruknya usaha-usaha besar akibat terjangan krisis ekonomi
maupun moneter. Sedangkan usaha ekonomi rakyat mampu
menyelamatkan Indonesia dari krisis walupun dalam kondisi sangat
terbatas.
Kesulitan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja bagi
masyarakat karena peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Hal
ini semakin bertambah karena keterbatasan ketrampilan sehingga banyak
tenaga kerja yang tidak dapat terserap oleh lapangan usaha. Bagaimana
dengan problema penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan. Ciri khas
kerja, ketrampilan, pemasaran. Artinya, kompleksitas permasalahan
tersebut tidak bisa diatas dengan pemberian salah satu fasilitas saja
misalnya kredit yang sudah dikucurkan pemerintah sebenarnya sejak
Pemerintahan Orde Baru sudah dilakukan. Melaui Kepres No. 14 dan
Kepres No. 14a tahun 1979 diatur kredit semacam KIK (Kredit Investasi
Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) bagi masyarakat kecil
(Baswir, 2003)
Pengalaman masa lalu bentuk penyaluran kredit di pedesaan sangat
birokratis dan menyesuaikan dengan Undang-Undang Perbankan, yaitu
salah satunya tentang agunan yang digunakan untuk kredit. Hanya sedikit
dari masyarakat dan pada umunya golongan elit yang mampu mengakses
kredit ini. Masalah lain timbulnya ”moral hazard” dari para pemburu rente
akhirnya justru mandapatkan manfaat kredit yang seharusnya disalurkan
bagi masyarakat kecil ini. Munculnya kredit macet di tingkat masyarakat
kecil, menjadi daya tolak bagi lembaga keuangan lainnya untuk
melakukan investasi. Kondisi ini memperparah kesulitan modal bagi
pelaku usaha kecil di pedesaan (Baswir, 2003)
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang memberikan
bantuan kredit bagi para pengusaha mikro merupakan angin segar.
Menengok kembali tentang sektor perekonomian rakyat, bahwa sektor ini
telah mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis. Akhirnya memang
Namun sekali lagi sektor ini justru sulit sekali mengakeses modal dari
lembaga perbankan (Baswir, 2003).
Selama ini sektor tersebut tumbuh dan bertahan dengan
menggunakan modal sendiri serta modal lain diluar sektor perbankan.
Menjadi pertanyaan selanjutnya, bagiamana mestinya LKM mulai
dikembangkan untuk memberikan modal bagi para pengusaha mikro yang
pada umunmnya bekerja di sektor informal. Mereka pada umunya adalah
para pekerja sendiri yang tidak tertampung sebagai pekerja upahan.
Walaupun sebenarnya merupakan bentuk mempertahankan diri agar bisa
menghidupi diri dan keluarganya (Baswir, 2003)
Partisipasi
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat
potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan tranformasi
budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan
yang lebih terpusat pada rakyat (peopele centered development).
Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk
meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan
untuk melakukan kontrol internal antara sumber daya materi dan non
material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan (Korten
Menurut Mubyarto (1984) arti partisipasi adalah kesediaan untuk
membantu berhasilnya setiap program sesuai dngan kemampuan setiap
orang tanpa mengorbankan diri. Menurut Sutrisno (1995) ada dua jenis
definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu :
1. Definisi pertama adalah definisi yang diberikan oleh para
perencana pembangunan formal indonesia. Definisi seperti in
memberikan arti partisipasi masyarakat dalam pembangunan
sebagai dukungan masyarakat terhadap rencana/proyek
pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannnya oleh
pemerintah.Ukuran tinggi rendahnya partisipasi ini diukur dari
kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik
berupa waktu maupun tenaga dalam melaksanakan proyek
pembangunan pemerintah.
2. Definisi kedua adalah yang berlaku secara universal yaitu
partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerja sama
yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan,
melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
pembangunan yang telah dicapai. Menurut definisi ini, ukuran tinggi
rendahnya partisipasi rakyat tidak hanya diukur dari kemauan
rakyat menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada
tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan program
adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri
melestarikan dan mengembangkan hasil proyek.
Beberapa pengertian tentang partisipasi dikemukakan oleh para
ahli antara lain yang dikemukakan Dsseldorp (1981) yang menulis
tentang partisipasi ditingkat masyarakat pedesaan menyatakan bahwa
partisipasi adalh suatu bentuk interaksi dan komunikasi khas, yaitu
berbagi kekuasaan dan tanggung jawab.
Pandangan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Battacharya dalam Sutrisno (1995), yang mengartikan partisipasi sebagai
keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang didalam situasi
kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau
bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan
bersama dan turut bertanggung jawab terhadap usaha bersangkutan.
Menurut Hadi dalam Adimiharja (2001), partisipasi masyarakat
merupakan proses dimana masyarakat ikut serta mengambil bagian dalam
pengambilan keputusan. Ditinjau dari segi kualitas, partisipasi adalah
sebagai masukan kebijaksanaan, strategis, komunikasi, media
pemecahan publik dan terapi sosial. Sedangkan menurut Suratmo dalam
Adimiharja (2001), tujuan dasar dari partisipasi masyarakat indonesia
adalah : (1) menguikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup, (2) mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan
negara, (3) membantu pemerintah untuk dapat mengambil kebijaksanaan
Rahim dalam sutrisno (1995), mengemukakan bahwa partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dapat dikelompokkan lima jenis, yaitu :
1. Ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima
imbalan atas masukan tersebut dan menikmati hasil pembangunan.
2. Ikut memberi masukan dan ikut menikmati hasil pembangunan
3. Menikmati hasil pembangunan tanpa memberi masukan dan
4. Memberi masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut menikmati
hasil pembangunan.
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Cohen dan Uhoff (1977)
yang membedakan partisipasi berdasarkan tahapannya, yaitu :
1. Partisipasi dalam pembutan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan
pembangunan,
2. Partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan,
3. Partisipasi dalam memanfatkan atau menggunakan hasil hasil
pembangunan,
4. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan.
Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan
pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana yang akan
ditetapkan. Masyarakat juga diberkan kesempatan untuk menimbang
Faktor –faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat cukup
banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Madrie (1986) yang
menyatakan bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan
dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang akan mempengaruhi
tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan suat kegiatan. Selanjutnya
Long dalam Madrie (1986), menghubungkan partisipasi dengan tingkat
pengetahuan. Dimana seseorang yang mempunyai pengetahuan dan
kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung
semakin tinggi partisipasinya dalam kegiatan pembangunan.Ditambahkan
lagi oleh Soeryani, et al. (1987) yang meyatakan bahwa tingkat pendidikan
dan kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam mensukseskan program pembangunan.
Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
mereka mengenai ligkungan hidup. Hal tersebut selanjutnya akan
memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang mereka
peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.
Slamet (1985) mengemukakan tentang syarat yang diperlukan
agar masyarakat lebih berperan aktif dalam pembangunan yaitu :
kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi pada proses pembangunan yang dipengaruhi oleh faktor
faktor seperti : umur, pendidikan (formal maupun non formal), budaya
lokal (norma, tradisi, dan adat istiadat), serta pengaturan dan pelayanan
Lebih lanjut menurut Sastropoetro (1988), faktor faktor yang dapat
mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari tiga hal yaitu : keadaan
sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam
sekitar. Sedangkan menurut Santosa dalam Sastropoetro (1988),
beberapa unsur yang penting dalam berpartisipasi meliputi :
1. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif,
2. Perubahan sikap, pendapat, tingkah laku yang diakibatkan oleh
pengertian yang menumbuhkan kesadaran,
3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan,
4. Antusiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan
melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa
dipaksa orang lain dan
5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.
Semakin tinggi derajat kemampuan lingkungan hidup dalam
memenuhi kebutuhan dasar manusia, semakn tinggi pula kualitas
lingkungan hidup dan sebaliknya.
Konsep Partisipasi Anggota Pada Proses Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat
potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan tranformasi
budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan
yang lebih terpusat pada rakyat (peopele centered development).
meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan
untuk melakukan kontrol internal antara sumber daya materi dan non
material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan
(Adimiharja dan Hikmat, 1992)
Menurut Mubyarto (1984) arti partisipasi adalah kesediaan untuk
membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap
orang tanpa mengorbankan diri. Menurut Sutrisno (1995) ada dua jenis
definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu :
1. Definisi pertama adalah definisi yang diberikan oleh para perencana
pembangunan formal Indonesia. Definisi seperti in memberikan arti
partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai dukungan
masyarakat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang
dan ditentukan tujuannnya oleh pemerintah.Ukuran tinggi rendahnya
partisipasi ini diukur dari kemauan rakyat ikut menanggung biaya
pembangunan, baik berupa waktu maupun tenaga dalam
melaksanakan proyek pembangunan pemerintah.
2. Definisi kedua adalah yang berlaku secara universal yaitu partisipasi
rakyat dalam pembangunan merupakan kerja sama yang erat antara
perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan,
melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah
dicapai. Menurut definisi ini, ukuran tinggi rendahnya partisipasi
rakyat tidak hanya diukur dari kemauan rakyat menanggung biaya
menentukan arah dan tujuan program yang akan dibangun di wilayah
mereka.Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan
rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil
proyek.
Partisipasi sebagai keterlibatan mental, pikiran dan perasaan
seseorang didalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam
usaha mencapai tujuan bersama dan turut bertanggung jawab terhadap
usaha bersangkutan (Sutrisno, 1995)
Menurut Adimiharja (2001), partisipasi masyarakat merupakan
proses dimana masyarakat ikut serta mengambil bagian dalam
pengambilan keputusan.Ditinjau dari segi kualitas, partisipasi adalah
sebagai masukan kebijaksanaan, strategis, komunikasi, media
pemecahan publik dan terapi sosial. Sedangkan tujuan dasar dari
partisipasi masyarakat indonesia adalah : menguikutsertakan masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup, mengikutsertakan masyarakat
dalam pembangunan negara, dan membantu pemerintah untuk dapat
mengambil kebijaksanaan dan keputusan yang baik dan tepat.
Sutrisno (1995), mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat
dalam pembangunan dapat dikelompokkan dalam lima jenis, yaitu :
1. Ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima
imbalan atas masukan tersebut dan menikmati hasil pembangunan.
3. Menikmati hasil pembangunan tanpa memberi masukan dan
4. Memberi masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut menikmati
hasil pembangunan.
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Cohen dan Uhoff (1977)
yang membedakan partisipasi berdasarkan tahapannya, yaitu :
1. Partisipasi dalam pembutan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan
pembangunan,
2. Partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan,
3. Partisipasi dalam memanfatkan atau menggunakan hasil hasil
pembangunan,
4. Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan.
Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan
pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana yang akan
ditetapkan. Masyarakat juga diberkan kesempatan untuk menimbang
suatu keputusan yang akan diambil.
Faktor–faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat cukup
banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Madrie (1986) yang
menyatakan bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan
dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang akan mempengaruhi
tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan suat kegiatan. Selanjutnya
Madrie (1986), menghubungkan partisipasi dengan tingkat pengetahuan.
tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung semakin tinggi
partisipasinya dalam kegiatan pembangunan. Ditambahkan lagi oleh
Soeryani, et. al. (1987) yang meyatakan bahwa tingkat pendidikan dan
kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam mensukseskan program pembangunan.
Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
mereka mengenai ligkungan hidup.Hal tersebut selanjutnya akan
memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang mereka
peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.
Slamet (1985) mengemukakan tentang syarat yang diperlukan
agar masyarakat lebih berperan aktif dalam pembangunan yaitu :
kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.Yang mana hal ini akan
dipengaruhi oleh faktor faktor seperti : umur, pendidikan, (formal maupun
non formal), budaya lokal (norma, tradisi, dan adat istiadat), serta
pengaturan dan pelayanan pemerintah.
Lebih lanjut menurut Sastropoetro (1988), faktor faktor yang dapat
mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari tiga hal yaitu :
1. Keadaan sosial masyarakat,
2. Kegiatan program pembangunan dan
3. Keadaan alam sekitar .
Selanjutnya menurut Sastropoetro (1988), beberapa unsur yang
1. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif,
2. Perubahan sikap, pendapat, tingkah laku yang diakibatkan oleh
pengertian yang menumbuhkan kesadaran,
3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan,
4. Antusiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan
melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa
dipaksa orang lain
5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.
Semakin tinggi derajat kemampuan lingkungan hidup dalam
memenuhi kebutuhn dasar manusia, semakn tinggi pula kualitas
lingkungan hidup dan sebaliknya.
Partisipasi merupakan keterlibatan mental/pikiran dan emosi
seseorang di dalam situasi kelompok dan mendorongnya untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan
serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang dilakukannya (Ashari,
1998).
Koentjaraningrat (1984) dalam membahas partisipasi masyarakat
menyebutkan, bahwa partisipasi masyarakat pedesaan dalam
pembangunan sebenarnya menyangkut dua bentuk partisipasi yang
berbeda, yakni : pertama partisipasi dalam aktifitas bersama dalam
proyek-proyek pembangunan yang khusus, yang kedua partisipasi
Partisipasi masyarakat bentuk kedua yang disebutkan oleh
Koentjaraningrat diatas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Mubyarto (1988) yaitu partisipasi adalah kesediaan untuk membantu
berhasilnya setiap program pembangunan, sesuai dengan kemampuan
setiap orang atau anggota masyarakat tanpa disertai mengorbankan
kepentingannya sendiri maupun masyarakatnya.
Wujud peran serta masyarakat dalam program atau proyek
pembangunan, dicirikan oleh kontribusi mereka dalam kegiatan
pembangunan, baik materi rnaupun non materi. Bantuan materi dapat
berupa uang, alat atau tenaga, sedangkan bantuan non materi dapat
berupa gagasan, atau dukungan moral lainnya (Abdussamad,1991).
Sajogyo (1980) mengemukakan secara lebih spesifik, sebagai indikator
partisipasi masyarakat tani dalam kegiatan pembangunan pertanian
adalah adanya peluang ikut menentukan kebijaksanaan pembangunan di
tingkat desa/kecamatan, terutama bidang-bidang dimana petani
diharapkan ikut bekerja/berusaha; adanya peluang ikut melaksanakan
rencana pembangunan; adanya peluang ikut menilai hasil pembangunan,
sampai dimana hasil-hasil tersebut telah memperbaiki keadaan mereka
menurut ukuran dan pengalaman mereka sendiri.
Partisipasi suatu kelompok masyarakat sebagai partnership
sistem adalah hal yang dapat diciptakan. Partisipasi masyarakat dapat
tercipta apabila dapat dihidupkan sikap saling percaya antara
saling percaya dan saling pengertian ini pun tidak dapat tumbuh dengan
begitu saja, tetapi diperlukan suatu usaha yang membuat masyarakat
memiliki pengertian tentang aturan yang dilandaskan pada prinsip saling
ketergantungan dan saling membutuhkan antara aparat dan anggota
kelompok masyarakat (Maskun, 1993).
Dalam kerangka pembangunan kerakyatan yang sedang
digalakkan, perlu dirumuskan suatu kesepakatan pokok tentang model
partisipasi yang menjadi rujukan. Kartasasmita (1996), menyatakan
perencanaan partisipasi (participatory planning) meliputi dua proses timbal
balik, yaitu dari bawah yang mencerminkan apa yang dikehendaki oleh
masyarakat dan keadaan yang nyata di lapangan, dan dari atas yang
memperhitungkan kepentingan-kepentingan nasional kebijakan makro
dan sumber daya pembangunan yang tersedia. Hal ini didukung juga oleh
Maskun (1993), bahwa partisipasi dapat dilihat secara bottom up yaitu
gerakan peran serta yang berasal dari bawah, timbul dan dirasakan oleh
masyarakat itu sendiri dan top down yaitu gerakan peran serta yang
direncanakan secara simultan sebagai kebijakan yang terpusat, yang
datang dari pemerintah kepada masyarakat sesuai dengan orientasi,
karakteristik dan kondisi daerah.
Maskun (1993), menyatakan model keterpaduan partisipasi (bottom
up dan top down) merupakan suatu model yang perlu ditumbuhkan.
Keterpaduan antar lembaga formal pemerintahan dengan masyarakat
kalangan. Harapan akan hal ini adalah di satu pihak pemerintah sebagai
lembaga formal dapat memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki
dalam bidang perencanaan dan pembiayaan, dan dilain pihak dapat
terpenuhinya kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Selain itu,
dengan keterpaduan konsep partisipasi tersebut, program fop down yang
biasanya bersifat menyeragamkan, menyamaratakan kondisi-kondisi yang
nyatanya berbeda dan kurang dapat menjamin tepatnya suatu
perencanaan dapat teratasi. Demikian pula, pendekatan bottom up lebih
menampilkan kebinekaan. diasumsikan bahwa setiap masyarakat pada
setiap wilayah tidak dapat atau tidak mungkin mengalami permasalahan
pembangunan yang sama, dapat lebih dipahami untuk memberikan.
insentif bantuan dan perencanaan yang terkendali sesuai dengan
kebutuhannya.
Menurut Sastropoetro (1986), partisipasi masyarakat bukanlah
akhir dari suatu pekerjaan, akan tetapi merupakan suatu sarana untuk
mencapai tujuan dari suatu pembangunan. Agar hal ini dapat tercapai,
maka partisipasi haruslah dibina ke arah yang lebih sehat dengan
meletakan masyarakat sebagai subjek yang aktif. Dalam partisipasi,
perencana bukan bertujuan memanipulasi sistem menjadi subsistem yang
tergantung pada supra sistem, melainkan lebih bertujuan untuk
Menurut Surjadi (1989), dalam suatu proses pembangunan
masyarakat desa, pertama-tama anggota masyarakat desa perlu
mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian
merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan
mereka tersebut. Hal tersebut untuk menciptakan kehidupan yang lebih
baik bagi seluruh masyarakat, dengan partisipasi aktif dan apabila
mungkin didasarkan atas inisiatif masyarakat.
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
Salah satu model pemberdayaan yang selama ini dikembangkan
pemerintah adalah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisr
(PEMP) dengan prinsip help people to help themselves. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui penguatan
kelembagaan sosial ekonomi dengan pendayagunaan sumber daya laut
dan pesisir secara berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan tujuan
PEMP, dorongan pemberdayaan diwilayah pesisir diarahkan untuk
meningkatkan partisipasi masyaakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pelestarian pembangunan.
Kegiatan PEMP meliputi pengembangan partisipasi masyarakat,
penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yan meliputi
pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat, pengembangan
sumberdaya pesisir dan laut yang berbasis masyarakat sesuai dengan
kelembagaan sosial ekonomi dan peningkatan fasilitas masyarakat dalam
akses permodalan, serta pengembangan kemampuan pemerintah lokal
dan masyarakat, aparat, pihak swasta dalam mengembangkan kegiatan
pemberdayaan ekonomi masyarakat pantai.
Model pengembangan PEMP diawali dengan tahapan identifikasi
potensi dan permasalahan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi
dasar tentang daerah.Informasi dasar yang dibutuhkan untuk
mengembangkan program ini adalah informasi tentang sumberdaya alam
dan sumberdaya pesisir,sumberdaya manusia, kegiatan usaha perikanan,
sarana dan prasarana, kelembagaan sosial ekonomi, dan kebijakan
pemerintah.Informasi / data yang diperoleh akan melewati proses analisis
data sehingga menghasilkan susunan program pengembangan PEMP.
Adapun analisis ata dilakukan untuk menghasilkan program program
pengembangan PEMP.Program program yang perlu dikembangkan
mencakup ekonomi, program sosial, dan program lingkungan serta
infrastruktur.
Tahapan selanjutnya adalah sosialisasi program kepada seluruh
stake holder untuk menapatkan masukan guna menyempurnakan
program yang telah disusun. Implementasi program dilaksanakan dalam
bentuk pemilihan calon peserta, pelatihan, pelaksanaan kegiatan sosial,
lingkungan dan fasilitas, serta penguatan kelembagaan sosial ekonomi.
Implementasi program, masyarakat selalu mendapatkan pendampingan
Tahap terakhir yang dilakukan adalah monitoring dan evaluasi untuk
memantau implementasi program serta mengkaji ulang kelemahan dan
kelebihan dari program serta kendala kendala yang dihadapi dalam
implementasi. Secara skematis, model pengembangan PEMP dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut :
[image:54.612.135.506.236.550.2]
Gambar 1. Model Pengembangan PEMP
Pelaksanaan PEMP didukung semua pihak mulai tingkat
infrastruktur hingga suprastruktur. Program pemberdayaan ini merupakan
salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan di bawah
Direktorat Jenderal Pesisir dan pulau pulau kecil (P3K). Sebagai
Identifikasi : (Potensi dan permasalahan)
- SDA dan SDP
- SDM
- Kegiatan Usaha Perikanan
- Sarana dan prasarana
- Kelembagaan sosial
- Ekonomi
- Kebijakan pemerintah
Implementasi Program : - Pengadaan Calon peserta
- Pelatihan
- Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi
- Pelaksanaan Kegiatan Sosial,lingkungan dan fasilitas
- Penguatan Kelembagaan Sosial ekonomi Pendampingan Analisis Data Penyusunan Program Pembangunan Program ekonomi Program sosial Program Lingkungan dan Infrastruktur Sosialisasi Program
penaggung jawab di tingkat pusat adalah direktorat jenderal P3K yang
bertugas melakukan koordinasi dengan lembaga lembaga terkait dengan
kegiatan ini seperti Departemen Keuangan Dan Badan Perencana
Pembangunan Daerah. Hirarki penanggung jawab program ini dibawah
Ditjen P3K adalah Kepala Dinas Provinsi atas nama Gubernur dan Bupati/
Walikota di tingkat kabupaten atau kota dengan tugas yang berbeda .
Kepala Dinas Propinsi bertugas melakukan sosialisasi program
PEMP ditingkat propinsi dan melakukan sinkronisasi program PEMP
dengan program program di tingkat bawahnya agar tidak terjadi
overlapping. Selain itu, Kepala Dinas Provinsi bertugas melakukan
koordinasi lintas kabupaten / kota dan pembinaan teknis program PEMP.
Selanjutnya, kadin melakukan monitoring dan evaluasi serta
melaporkannya kepada Gubernur dan Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Sementara itu, ditingkat kabupaten / kota, tugas - tugas yang
diberikan lebih bersifat koordinatif, sehingga Bupati / Walikota sebagai
penanggung jawab ditingkat kabupaten / kota bertugas melakukan
pembinaan dalam melaksanakan program PEMP di wilayahnya dan
mengkoordinasikan perencanaan dan pengendalian pelaksanaan
program PEMP dengan program sektoral dan regional di wilayahnya.
Sebagai penanggung jawab operasional tugas - tugas di tingkat
kabupaten / kota ditunjuk K