• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DAN KUHP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DAN KUHP."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009

TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN

HEWAN DAN KUHP

I GUSTI MADE WIRATAMA NIM. 1103005018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

SKRIPSI

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009

TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN

HEWAN DAN KUHP

I GUSTI MADE WIRATAMA 1103005018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

SKRIPSI

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009

TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN

HEWAN DAN KUHP

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI MADE WIRATAMA NIM. 1103005018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(4)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL : 16 Maret 2016

(5)

Halaman Pengesahan Panitia Penguji Skripsi

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 3 Juni 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 134/UN.14.1.11/PP.05.02/2016 Tanggal 13 April 2016

Ketua : I Made Tjatrayasa, S.H.,M.H

Sekretaris : I Wayan Suardana, S.H.,M.H

Anggota : 1. Prof.Dr.I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS

2. A.A. Ngurah Yusa Darmadi, SH., MH

(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kerta Wara Nugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DAN KUHP”. Penyusunan skripsi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian akademik yang lain, untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung memberi dorongan, motivasi, bantuan dan fasilitas. Adapun pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam hal penulisan ini adalah, yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(7)

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana (Dosen Pembimbing II) yang telah membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dosen Pembimbing Akademik Cok Istri Anom Pemayun, S.H.,M.H. yang telah memberikan bimbingan dan menuntun semenjak awal Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, S.H.,M.H. Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak I Made Tjatrayasa, S.H.,M.H. Dosen Pembimbing I yang telah membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu serta wawasan yang lebih kepada Penulis.

9. Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(8)

11. Kepada keluarga Penulis yang telah memberikan dorongan, masukan dan fasilitas kepada penulis agar tetap selama menyusun skripsi ini dan kepada keluarga besar Kadja di Kupang yang telah memberikan dorongan kepada penulis agar tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Udayana khususnya Angkatan 2011, kawan-kawan di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana (BEM FH UNUD), Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana (BPM FH) yang telah memberikan semangat serta mendukung agar Penulis mampu segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

13. Teman-teman Penulis, Ryan Alberth Herman, Wisnu Banteng, Degung, Indra, Komeng, Tudi, Anugrah, Gung Surya, Dek Tra, Ari Rama, Eki, Surya Diatmika, Bobi, Calvin, Wahsista, Hendra, Dio, Adi Wiradana, Gayus, Komang Redy, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan dukungan selama Penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

14. Teman-teman Team Futsal NN FC yang telah memberikan dukungan agar Penulis mampu segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(9)

berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, 28 Januari 2016

(10)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 28 Januari 2016 Yang menyatakan,

(I Gusti Made Wiratama) NIM. 1103005018 Materai

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN. ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM. ... ... ii

HALAMAN PRASYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI. ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI. ... v

KATA PENGANTAR. ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN. ... x

DAFTAR ISI. ... xi

ABSTRAK. ... xiv

ABSTRACT. ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... ... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 9

1.4 Orisinalitas Penelitian. ... 9

1.5 Tujuan Penelitian... ... 11

a. Tujuan Umum... ... 11

b. Tujuan Khusus... ... 11

1.6 Manfaat Penelitian... ... 12

a. Manfaat Teoritis... ... 12

(12)

1.7 Landasan Teoritis... ... 12

1.8 Metode Penelitian... ... 21

a. Jenis Penelitian... ... 22

b. Jenis Pendekatan... ... 22

c. Sumber Bahan Hukum... ... 23

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 24

e. Teknik Analisis... ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PETERNAKAN, HEWAN, HEWAN PELIHARAAN,TERNAK, KESEHATAN HEWAN KESEJAHTERAAN HEWAN, PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DAN PENGANIAYAAN 2.1 Penegrtian Peternakan, Hewan, Hewan Peliharaan, Ternak, Kesehatan Hewan dan Kesejahtraan Hewan ... 26

2.2 Pertanggung Jawaban Pidana. ... 29

2.2.1 Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana. ... 29

2.2.2 Unsur-unsur Pertanggung Jawaban Pidana. ... 32

2.3 Penganiayaan. ... 33

2.3.1 Pengertian Penganiayaan Dan Penganiayaan Terhadap Hewan. ... 33

(13)

BAB III KETENTUAN YANG MENGATUR

PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN DALAM UU NO 18/2009 DAN KUHP

3.1 Pengaturan Penganiayaan Terhadap Hewan. ... 48

3.1.1 Dalam UU NO 18/2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. . ... 49

3.1.2 Dalam KUHP Dan RUU KUHP. ... 51

3.2 Ketentuan Sanksi Penganiayaan Terhadap Hewan. ... 54

3.2.1 Dalam UU NO 18/2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. ... 54

3.2.2 Dalam KUHP Dan RUU KUHP. ... 55

BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP HEWAN 4.1 Perbuatan Yang Dapat Dipertanggungjawabkan Dalam Penganiayaan Terhadap Hewan. ... 58

4.2 Pertanggung Jawaban Penganiayaan Terhadap Hewan. ... 65

4.2.1 Ditinjau Dari UU NO 18/2009. ... 65

4.2.2 Ditinjau Dari KUHP. ... 66

4.2.3 Ditinjau Dari RUU KUHP... 66

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan. ... 68

(14)
(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memehami kejahatan itu sendiri. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu dipikirkan oleh para ilmuan terkenal. Plato (427-347 s.m.)

menyatakan dalam bukunya „Republiek‟ menyatakan antara lain bahwa manusia

merupakan sumber dari banyak kejahatan. Sementara itu, Aristoteles (382-322 s.m.) menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pembrontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan.1

Proses globalisasi serta pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat, selain itu juga dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat. Yang mana pada dasarnya kehidupan di dunia ini tidak terlepas dari perubahan terhadap suatu lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial masyarakat. Pengertian dari perubahan sosial itu sendiri antara lain perubahan-perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan baik karena

1

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.

(16)

perubahankondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu.2Menurut Soerjono Soekanto bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempergunakan sisitem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.3

Perubahan sosial itu sendiri adalah dimana hal ini selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif, dampak negatif dari pada perubahan sosial ini juga merambah kearah perkembangan tindak kejahatan terutama dalam hukum pidana. Salah satu tindak pidana penganiyaan terhadap hewan seperti penyiksaan terhadap hewan sehingga, mengakibatkan hewan cacat atau menderita luka-luka berat lainnya atau mati. Dalam hal ini tidak lagi memperhatikan kesehatan hewan dan kesejahtraan hewan. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan. Sedangkan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Yang terjadi belakangan ini, perlakuan terhadap hewan baik itu, pembunuhan, penganiyaan, dan penyalahgunaan dari hewan tersebut.

2

Zainuddin Ali, 2006, Sosiologi Hukum, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18.

3

(17)

Indonesia sendiri telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kesejahteraan hewan, yakni menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menentukan bahwa:

Pasal 66 ayat (1) ditentukan “Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan”. Dalam ayat (2) huruf c ditentukan bahwa “Pemeliharaan,

pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiyaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut, dan tertekan. Pada huruf g ditentukan bahwa “Perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiyaan dan

penyalahgunaan”.

Dalam penjelasan Pasal 66 ayat (2) huruf c ditentukan bahwa, yang dimaksud dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk meperoleh kepuasan dan/atau

(18)

kesehatan hewan sesuai denganPasal 84 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 18/2009 ditentukan bahwa “Melakukan pemeriksan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Sedangkan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 302 menentukan bahwa:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan;

1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;

2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada bahwa pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

(19)

Dari ketentuan peraturan perundang-undangan diatas dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa terdapat sanksi tegas terhadap masyarakat (setiap orang) yang melakukan penganiayaan dan penyalahgunaanhewan, bahwa pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, rasa tertekan. Demikianjugapenggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehinggahewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan seperti; sengaja menyakiti, melukai atau merusakkan kesehatan hewan dengan tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memerlukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan tersebut yaitu dalam Pasal 302 menentukan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum

(antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak

jelas.4Dalam UU NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dapat ditemukan norma yang kabur dalam Pasal 66 ayat (2) huruf f yang menentukan

bahwa: “pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya

sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan, dan

penyalahgunaan”. Terjadi kekaburannorma antara apa yang disebut “pemotongan

dan pembunuhan” hewan dengan sebaik-baiknya, yang dimaksud Pasal 66 ayat

4

(20)

(2) huruf f dan huruf g: perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari “tindakan

penganiayaan dan penyalahgunaan”. Norma yang kabur tersebut memunculkan

pertanyaan, apakah maksud pemotongan dan pembunuhan hewan dengan sebaik-baiknya, sehingga bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan dan penyalahgunaan, apabila terjadi suatu pemotongan dan pembunuhan tidak menimbulkan rasa sakit, rasa takut dan tertekan. Begitu juga, dalam Pasal 66 tidak ada ketentuan sanksi pidananya. Sehingga, kekaburan norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum atau bahkan kekonflikan hukum.Maksud dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menjamin kesejahteraan hewan dan bebas dari penganiayaan hewan. Hal itu membingungkan pelakuyang memanfaatkan hewan karena dalam Undang-undang tersebut menjamin kesejahteraan hewan, bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan hewan.

(21)

Masalah penetapan sanksi pidana ini tidak terlepas dari tujuan pemidanaan itu sendiri atau tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan, dengan kata lain, perumusan tujuan pemidanaan diarahkan untuk dapat mengukur sejauh mana penerapan sanksi pidana itu dapat mencapai tujuan secara efektif. Meskipun jenis sanksi untuk setiap bentuk kejahatan berbeda-beda, namun yang jelas semua penerapan sanksi pidana harus berorientasi pada tujuan pemidanaan itu sendiri.

Tujuan hukum pidana itu sendiri adalah untuk membina kesadaran umum dalam bersikap tindak yang serasi baik aspek lahir maupun aspek batin, karena hanya dengan sikap tindak yang demikian kepintingan umum dan kepentingan perorangan secara langsung dapat terlindungi gangguan peristiwa pidana.5Maka dari itu, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan umum, karena bila seseorang takut untuk melakukan perbuatan tidak baik karena takut dihukum, maka semua mahluk hidup akan hidup dengan tentram dan aman.

Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa masyarakat turut memiliki tanggung jawab untuk mendampingi pemerintah dalam upaya menegakkan ketentuan-ketentuan perihal kesejahteraan hewan. Partisipasi masyarakat ini tentu menjadi krusial karena saat ini penegakkan hukum di bidang kesejahteraan hewan masih sangat jauh dari memadai.Namun, kendala lainnya adalah masih sangat minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap kesejahteraan hewan.

Dengan melihat latar belakang diatas maka penulis ingin mengadakan

penelitian tentang “PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN

5

(22)

TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI UU NO 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DAN KUHP”.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang permasalahan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perternakan dan kesehatan hewan, terutama dalam hal penerapan sanksi pidananya jelas terlihat ada ancaman pidana bagi seseorang yang melakukan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap hewan. Namun dalam kenyataannya hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi bagi seseorang untuk melakukan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap hewan tanpa memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan hewan tersebut. Hal inilah yang membawa kepada suatu permasalahan yang diangkat dalam pembuatan penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan penganiayaan terhadap hewan ditinjau dari UU RI NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan KUHP ? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana penganiayaan terhadap hewan

(23)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Di dalam suatu tulisan apabila ruang lingkup masalah tidak dibatasi maka pembahasan akan menjadi tidak terbatas, dan di dalam pembahasan ini ruang lingkupnya dibatasi sehingga tidak menyimpang dari pokok masalah.

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka obyek kajian tulisan ilmiah ini ialah kesejahteraan hewan, kesehatan hewan dan pertanggung jawaban pidana, yang mana dimaksudkan ialah penulis akan mengkaji tentang apa yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap hewan dan sejauhmana pertanggungjawaban pidana terkait penganiayaan terhadap hewan ditinjau dari Undang-Undang RI NO. 18/2009 tentang Perternakan dan Kesehatan Hewan dan KUHP agar tercipta suatu perlindungan hukum serta tujuan dari pada hukum pidana itu sendiri.

1.4 Orisinalitas Penilitian

Penulisan skripsi yang memfokuskan mengenai pertanggung jawaban pidana penganiayaan terhadap hewan belum pernah ada sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam penelusuran penulis ada judulyang mirip seperti:

(24)

2. Judul: Proses Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Dalam Persepektif Hukum Islam, tahun: 2014, oleh: Riadi Barkan dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan permasalahannya yaitu: apakah penyembelihan dengan cara

stunning(penyembelihan pada hewan yang dipingsankan terlebih dahulu

dengan mengunakan aliran listrik) telah mematuhi unsur ihsan terhadap hewan, dan bagaimana pandangan islam mengenai penyembelihan dengan cara stunning.

Dari hasil penelusuran judul skripsiyang mirip sebagai perbandingan masalah yang diangkat dalam penelitiannya berbeda denganpenelitian yang dilakukan penulis. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada pembahasan mengenai pertanggung jawaban pidana penganiayaan terhadap hewan yang tidak memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan hewan, dan permasalahan yang diangkat penulis yaitu: bagaimana pengaturan penganiayaan terhadap hewan ditinjau dari UU NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan KUHP, dan bagaimana pertanggung jawaban pidana penganiayaan terhadap hewan ditinjau dari UU NO 18/2009 dan KUHP. Karena, dalam penelitian ini memperhatikan perlindungan terhadap kesehatan hewan dan kesejahteraan hewan dalampemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, dan rasa tertekan.

(25)

seperti; sengaja menyakiti, melukai atau merusakkan kesehatan hewan dengan tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memerlukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan tersebut dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

1.5 Tujuan Penelitian

Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah:

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah penganiayaan terhadap hewan dapat dipertanggungjawabankan ditinjau dari UU RI NO. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan KUHP.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahuiperundang-undangan yang mengatur mengenai penganiayaan terhadap hewan dalam hukum positif di Indonesia.

(26)

1.6 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum pidana dan dapat dijadikan bahan referensi pada perpustakaan.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Bagi masyarakat bahwa melakukan penganiayaan terhadap hewan dapat dipertanggungjawabkan pidana.

2. Bagi penegak hukum dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran dalam menangani dan menyelesaikan kasus-kasus penganiayaan terhadap hewan.

3. Bagi pembentuk Undang-Undang dapat digunakan sebagai refrensi dalam membuat kebijakan peraturan perundang-undangan khususnya dalam penyempurnaan UU NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan maupun KUHP. 1.7 Landasan Teoritis

Indonesia dalam Undang – Undang dasarnya yakni Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasrkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(Machstaat)6. Sebagai suatu negara hukum indonesia memiliki karakter yang

6

(27)

cenderung untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum. Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa ada terkecuali demi terciptanya keadilan dan kesejahtraan dalam kehidupan manusia.

Dengan meningkatnya status kesejahteraan masyarakat dunia, terutama di negara maju, meningkat pula kesadaran dan tuntutan terhadap penerapan kesejahteraan hewan. Maka dari pada ituterdapat berbagai macam aturan atau peraturan perundang-undangan yang mengatur peternakan, kesehatan hewan dan kesejahteraan hewan di Indonesia. Yang mana salah satunya yang akan dibahas dalam pembuatan penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tantang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Pasal 1 angka 2 UU NO 18/2009 pengertian tentang kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan,pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan. Dan dalam angka 4 ditentukan bahwa “hewan peliharaan adalah hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau

seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksudtertentu”. Dimana pengertian

(28)

hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.

Sedangkan, dalam Bab IV bagian kedua mengenai kesejahteraan hewan diatur pada Pasal 66 yang menentukan:

Pasal 66 ayat (1) ditentukan bahwa “Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan”. Dalam ayat (2) huruf c ditentukan bahwa “Pemeliharaan,

pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiyaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut, dan tertekan. Huruf gditentukan bahwa “Perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiyaan dan penyalahgunaan”.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan hewan diatur dalam Pasal 302 menentukan bahwa:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan;

(29)

2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada bahwa pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.

Dalam Perkembangan dunia saat ini menuntut penerapan kaidah-kaidah kesejahteraan hewan di hampir setiap bidangseperti: produksi pangan, pertanian, perdagangan, transportasi, konservasi satwa liar, penanganan penyakit, akrobat, sirkus, dan lain sebagainya. Memang kesejahteraan hewan merupakan persoalan sosial kompleks dengan banyak sisi, baik itu ilmu pengetahuan, ekonomi, agama, maupun budaya.

(30)

ataupun membela diri sendiri. Manusia mendominasi mahluk lain dan alam sekitar dengan akal budinya, sehingga secara hukum hewan dibela oleh manusia7.

Dalam pengertian tindak pidana penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh, yang akibat mana semata-mata merupkan tujuan si penindak.8 Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pidana penganiayaan terhadap hewan adalah “barangsiapa adalah setiap subyek hukum dengan sengaja menyakiti,

melukai, atau merusak kesehatan hewan dan perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang pantas atau melawati batas yang diizinkan.Dalam hal ini tampak jelas bahwa pengaturan mengenai kejahatan terhadap hewan yang dilakukan oleh setiap orangdilarang untuk menyakiti, melukai, atau dengan merusak kesehatan hewan yang tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan dan/atau melewati batas yang diizinkan serta memiliki sanksi pidana bagi yang melanggar ketentuan tersebut.

Kecuali pemotongan dan pembunuhan ialah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang, dimana dalam hal ini diatur dalam UU RI NO. 18/2009 pada Pasal 61 ayat (1) pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:

a. dilakukan dirumah potong; dan

b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.

7

Kesehatan Hewan Indonesia, Pasal Pidana Penganiayaan Hewan, URL :

http://tatavetblog.blogspot.com/2013/08/pasal-pidana-penganiayaan-hewan.html , diakses tanggal 5 Maret 2015.

8

(31)

Dalam ayat (2) ditentukan bahwa: dalam rangka menjamin ketentraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memperhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat. Pada ayat (4) ditentukan bahwa: ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana yang dimaksudayat (1) huruf a dekecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.

Jadi jelas bahwa penganiayaan terhadap hewan yang dilakukan oleh setiap orangharus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Apabila terdapat pelaku yang melakukan penganiayaan terhadap hewan maka dapat dikenakan sanksi pidana. Berkaitannya dengan judul skripsi yang ditulis yaitu:“Pertangguang Jawaban Pidana Penganiayaan Terhadap Hewan Ditinjau dari UU NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan dan KUHP”, maka kiranya juga perlu dijelaskan menegenai pengertian dari pada pertanggung jawaban pidana itu sendiri.Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana, mengenai hal ini juga ada dasar yang pokok, yaitu: asas legalitas (Principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Moeljatno mengatakan, “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana)

(32)

pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana.9

Dalam penelitian ini penulis juga menekankan pada penerapan sanksi yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi di dalam pertanggungjawaban pidana penganiayaan terhadap hewan, teori-teori yang mendukung yaitu teori pertanggungjawaban pidana dan teori tujuan pemidanaan.

1) Teori Pertanggungjawaban Pidana

Dasar dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat 4 unsur-unsurnya yaitu:

1. Melakukan perbuatan pidana; 2. Mampu bertanggungjawab;

3. Dengan kesengajaan atau kealpaan; 4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban pidana merupakan menjurus kepada pemidanaan pelaku yang telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana serta memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

9

(33)

2) Teori Tujuan Pemidanaan

Ada beberapa teori tujuan pemidanaan yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana yakni terdapat 3 (tiga) teori sebagai berikut:

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (absolute/vergeldings

theorieen);

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian theory); 3. Teori Gabungan (verenegings theorieen).

Masing-masing teori yang disebutkan diatasmemiliki alasan atau dasar penjatuhan pidana yang berbeda-beda yaitu:

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (absolute/vergeldings theorieen) Meneurut teori ini, “tujuan pembalasan (revenge) disebut juga sebagai

tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan”. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984:10, mengatakan penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.

Beberapa pakar penganut teori ini, antara lain: a. Immanuel kant

(34)

b. Hegel

“Hukum atau keadilan itu, merupakan kenyataan kemerdekaan.

Sehubungan dengan itu maka kejahatan merupakan ketidakadilan

(onrecht) yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum dan

keadilan. c. Hebart

Berpendapat bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidak puasan kepada masyarakat. Untuk melenyapkan ketidakpuasan masyarakat tersebut, orang yang menimbulkan ketidakpuasan tadi (si penjahatnya) harus dijatuhi pidana.

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian theory)

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas:

a) Pencegahan umum (generale preventie), bahwa pidana itu dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan melakukan kejahatan.

(35)

3. Teori Gabungan (verenegings theorieen)

Pada dasarnya teori gabungan ini adalah gabungan antara teori absolut atau teori pembalasan denagn teori relatif atau teori tujuan. Jadi, dasar pembenaran pidana dari teori gabungan adalah meliputi dasar pembenaran pidana dari teori pembalasan atau teori tujuan yaitu baik terletak pada kejahatanya maupun pada tujuan pidananya10.

Dengan melihatteori diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk menjerakan penjahat, membuat tak berdaya lagi si penjahat dan memperbaiki pribadi si penjahat. Pada hakekatnya ketiga hal tersebut haruslah membentuk suatu sinkronisasi yang dapat saling mendukung sata sama lain sehingga nantinya selain dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan juga dapat memperbaiki mental para pelaku kejahatan agar dikemudian hari dalam masyarakat tidak mengulangi kejahatannya tersebut sehingga dapat menjadi orang yang berguna dalam masyarakat. Sinkronisasi ketiga tujuan pemidanaan itulah yang menjadi dasar diadakannya sanksi pidana.

1.8 Metode Penelitian

Metodelogi mempunyai beberapa pengertian, yaitu: logika dari penelitian ilmiah, studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk

10

(36)

mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodelogis, konsisten. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu:

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikosepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.11Yang mana dalam hal ini hukum di konsepkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai norma yang harus memperhatikan kesejahteraan hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindunggi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.

b. Jenis Pendekatan

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fakta (the fact approach) dan pendekatan perundang-undangan (the statute approach). Pendekatan fakta (the fact approach) adalah fakta-fakta yang terdapat dilapangan yang diamati dan dikumpulkan secara metodis kemudian dijadikan bahan untuk menunjang penelitian.

Sedangkan, pendekatan perundang-undangan (the statute approach) adalah menelaah undang-undang, memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan undangan. Bahwapendekatan

11

(37)

undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.12

c. Sumber Bahan Hukum

Karena penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka sumber bahan hukum yang digunakan dalam pembuatan laporan ini adalah sumber bahan hukum sekunder yang berupa bahan hukum, yang terdiri atas:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

d) Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veterriner dan Kesejahteraan Hewan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan meneganai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam laporan ini terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi-materi yang dapat diunduh dan diakses melalui internet yang berkaitan dengan rumusan masalah.

12

(38)

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dalam laporan ini terdiri atas Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Ensiklopedia.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitan ini adalah teknik studi dokumen, yaitu mengutip secara langsung dari literatur-literatur, dan perundang-undangan, serta analisis contoh-contoh kasus yang ada, disertai dengan merumuskan inti sari dari bahan-bahan pustaka dengan permasalahan penelitian.

e. Teknik Analisis

Teknik analisis merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan hukum yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi.

(39)
(40)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PETERNAKAN, HEWAN, HEWAN PELIHARAAN, TERNAK, KESEHATAN HEWAN,KESEJAHTERAAN

HEWAN, PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DAN PENGANIAYAAN

1.1 Pengertian Peternakan, Hewan, Hewan Peliharaan, Ternak, Kesehatan Hewan Dan Kesejahteraan Hewan

Sebelum membahas mengenai pertanggung jawaban pidana penganiayaan terhadap hewan ditinjau dari UU RI NO 18/2009 dan KUHP, maka tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pengertianpeternakan, kesehatan hewan, hewan, hewan peliharaan, ternak, dan kesejahteraan hewanitu sendiri.

Menurut UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai berikut :

1. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya (Pasal 1 angka 1).

2. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit, medic

(41)

reproduksi, medic konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan (Pasal 1angka 2).

3. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya(Pasal 1 angka 3).

4. Hewan peliharaan adalah hewan yang kehidupannya untuk sebagian tau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu (Pasal 1 angka 4).

5. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan bakuindustri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian (Pasal 1 angka 5).

6. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia (Pasal 1 angka 42).

Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan hanya tercantum pengertian sebagai berikut :

(42)

2. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia (Pasal 1 angka 2).

Jadi pengertian mengenai Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang sesuai denganhabitatnya. Yang dimaksud dengan pengertian habitatnya. Habitat adalah tempat suatu makhluk hidup tinggal dan berkembang biak. Menurut Clements dan Shelford (1939), habitat adalah lingkungan fisik yang ada di sekitar suatu spesies, atau populasi spesies, atau kelompok spesies, atau komunitas.1

Sedangkan pengertian mengenai hewan peliharaan adalah hewan yang dipelihara sebagai teman sehari-hari manusia. Hewan peliharaan berbeda dari hewan ternak, hewan percobaan, hewan pekerja, atau hewan tunggangan yang dipelihara untuk kepentingan ekonomi atau untuk melakukan tugas tertentu.

Hewan peliharaan yang populer biasanya adalah hewan yang memiliki karakter setia pada majikannya atau memiliki penampilan yang menarik, mengeluarkan suara yang indah, bertingkah lucu dan menggemaskan, dan yang paling penting dapat menghibur tuannya. Hewan yang dipelihara manusia biasanya anjing, kucing, burung, ikan,

1

Clements, Frederic E., and Victor E. Shelford, Habitat, URL :

(43)

ular, kelinci, dan hewan yang dapat dipelihara lainya. Dan pengertian mengenai ternak adalah hewan yang dengan sengaja dipelihara sebagai sumber pangan, sumber bahan baku industry, atau sebagai pembantu pekerjaan manusia. Usaha pemeliharaan ternak disebut sebagai peternakan (atau perikanan, untuk kelompok hewan tertentu) dan merupakan bagian dari kegiatan secra umum. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ternak adalah binatang yang dipelihara untuk dibiakkan dengan tujuan produksi misalnya: lembu, kuda, kambing, dsb. Dan peternakan adalah usaha atau pemeliharaan dan pembiakan ternak.2

Apabila kita melihat dari kesemua pengertian yang mengenai peternakan, hewan, hewan peliharaan, ternak, kesehatan hewan maupun kesejahteraan hewanyang mana pada intinya setiap orang harus memperhatikan kesehatan hewan yang berhubungan dengan kesejahteraannya baik fisik maupun mental hewan agar di perlakukan yang lebih layak terhadap hewan atau yang sesuai dengan kemampuan hewan tersebut.

1.2 Pertanggung Jawaban Pidana

1.2.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa asing istilahpertanggungjawaban pidana disebut sebagai“toerekenbaarheid”, “criminal responbiliti”, “criminal liability”. Bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak

2

(44)

pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperhatikan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.3

Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pertanggungjawaban pidana yaitu: menurut Roeslan Saleh, beliau mengatakan bahwa, delam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjukan kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.4

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”. Dengan demikian, pertanggungjawaban

pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

3

S.R Sianturi, 1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cetakan IV, Jakarta, h. 245.

4

(45)

Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana.5

Dengan demikian, tidak mungkin seorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak pidana, seseorang dapat diminta pertanggungjawaban.

Dalam hal ini, kedudukan pertanggungjawaban pidana yang merupakan mekanisme yang menentukan dapat dipidananya si pembuat tindak pidana. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana pertama-taman merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan.

Dengan demikian, pengkajian kedudukan pertanggungjawaban pidana dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-syarat factual dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum dari keberadaan syarat factual tersebut. Pertanggungjawaban pidana berhubungan dengan keadaan yang menjadi

5

(46)

syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu, dalam hal ini sesuai yang dibahas yaitu melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap hewan tersebut.

1.2.2 Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang atau pelaku tindak pidana akan dimintai pertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana apabila melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah salah satu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan kesalahan.

Menurut Roeslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatanya apabila perbuatanya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsure-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidannya terdakwa maka terdakwa haruslah :

a) Melakukan perbuatan pidana; b) Mampu bertanggung jawab;

c) Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan d) Tidak adanya alasan pemaaf.6

1. Melakukan perbuatan pidana, bahwa pada dasarnya pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya apabila telah melakukan tindak pidana.

2. Mampu bertanggung jawab, dalam lain perkataan sebagai kemampuan bertanggungjawab, pada dasarnya merupakan ajaran kemampuan bertanggungjawab dalam hukum pidana, ajaran kemampuan bertanggungjawab (toerekenings vatbaarheid) ini

6

(47)

mengenai keadaan jiwa atau batin seseorang yang normal atau sehat ketika melakukan suatu tindak pidana.

3. Kesengajaan, sebagaimana telah kita ketahui bahwa kesengajaan

(dolus dan/atau opzet) itu merupakan salah satu bentuk dari

kesalahan. Di dalam KUHP tidak dirumuskan mengenai kesengajaan tersebut, akan tetapi di dalam MvT dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah “menghendaki dan mengetahui” (willen en wetens).

4. Dan kealpaan, pada mulanya KUHP kita tidak menggunakan istilah kealpaan (culpa) melainkan memakai istilah lain yang artinya menunjukkan kealpaan seperti: karena kesalahan (door

zijn schuld), kurang hati-hatian (on achtzaagheid), sepatutnya

harus diduga ( redelijkerwijst moet vermoeden), dan alasan kuat baginya untuk menduga (erstigreden heft om te vermoeden). Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi menafsisrkan kealpaan sebagai “kurang mengambil tindakan pencegahan” dan dalam hal ini dalam doktrin lajimnya digunakan istilah “kealpaan tidak disadari” (bewuste schuld).

5. Tidak adanya alasan pemaaf, pada dasarnya alasan pemaaf itu adalah merupakan salah satu bentuk dari “alasan-alasan peniadaan pidana (alasan pengapusan pidana)”. Alasan-alasan peniadaan (pengapusan) pidana (straf uitsluitings gronden), adalah alasan-alasan yang mungkin seseorang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tetapi tidak dapat dipidana.7

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika ke empat unsur tersebut diatas ada maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunya pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.

1.3 Penganiayaan

1.3.1 Pengertian Penganiayaan Dan Penganiayaan Terhadap Hewan

Secara umum, pengertian mengenai penganiayaan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah perlakuan yang sewenang-wenang

7

(48)

atau penyiksaan, penindasan, dan perbuatan kekerasan dengan sengaja terhadap seseorang sehingga mengakibatkan cacat badan atau kematian. 8

Istilah tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan” atau “mishandeling”.9 Dibentuknya pengaturan tentang

kejahatan terhadap tubuh manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh ata bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

Sebagai bahan perbandingan dapat penulis kemukankan disini, bahwa di dalam undang-undang pidana Jerman, orang membuat perbedaan antara apa yang mereka sebut korpelich misshandeln yang secara harafiah berarti

lichamelijke mishandelen atau menganiaya secara badaniah dengan apa yang

mereka sebut korperverletzung yang secara harafiah berarti lichamelijke –

kwetsing, verwonding, benadeling, schending atau menyakiti, melukai

merugikan secara badaniah.10

Dalam tatanan hukum Indonesiatindak pidana penganiayaan termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang – undang.Pada KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan”, yang dalam

bentuk yang pokok diatur dalam Pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5)

8

Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL :http://kbbi.web.id/aniaya, diakses tanggal 28 July 2015.

9

P.A.F. Lamintang, 2012, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 131.

10

(49)

KUHP dan yang rumusannya di dalam bahasa belanda berbunyi sebagai berikut.

1. Mishandeling wordt gestraft met gevangenisstraf van ten

hoogste rwee jaren en acht maanden of geldboete van ten

hoogste drie honderd gulden.(Penganiayaan dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah (sekarang: empat ribu lima ratus rupiah)).

2. Indien het feit zwaar lichamelijk letsel ten gevolge heft, wordt

de schuldige gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf

jaren. (Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat pada

tubuh, maka orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun).

3. Indien het feit den dood ten gevolge heft, wordt hij gestraft

met gevangenisstraf van ten hoogste zeven jaren. (Jika

perbuatan tersebut menyababkan kematian, maka orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun).

4. Met mishandeling wordt gelijkgesteld opzettelijke benadeling

der gezondheid.(Disamakan dengan penganiayaan, yakni

kesengajaan merugikan kesehatan).

5. Poging tot dit misdrijf is niet strafbaar.(Percobaan

melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana).11

Dari rumusan Pasal 351 KUHP di atas itu orang dapat mengetahui, bahwa undang-undang hanya berbicara menegnai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa kesengajaan merugikan kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan. Yang dimaksudkan dengan penganiayaan itu ialah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain.

Kesengajaan(opzet), sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu

11

(50)

dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang; ke-2: akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan(opzet) itu ada tiga macam, yaitu:

1. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu

(opzet als oogmerk). Bahwa kesengajaan bersifat suatu tujuan si

pelaku dapat dipertanggungjawabkan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana.

2. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij

zekerheidsbewustzijn). Kesengajaan semacam ini ada apabila si

pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

(51)

keinsyafan kemungkinan). Dalam hal ini ada kesamaan pendapat di antara para sarjana hukum belanda. Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa, terdapat dua penulis belanda, yaitu Van Dijck dan Pompe, yang mengatakan bahwa dengan hanya ada keinsyafan kemungkinan, tidak ada kesengajaan, tetapi hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati.12

Sedangkanmengenai adanya unsurculpa, arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum

mempunya arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati senhingga akibat yang tidak disengaja terjadi.13Jadi bukanlah semata-mata menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu, tetapi dia tidak begitu mengindahkan larangan. Ini ternyata dari perbutannya dia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut, sebab jika dia cukup mengindahkan adanya larangan waktu hal yang dilarang dia tentu tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal yang dilarang tadi. Oleh karena bentuk kesalahan ini juga disebut dalam rumusan delik, maka juga harus dibuktikan.14

Apabila kita lihat pengertian atau konsepsi tersebut memiliki dasar filosofis yang memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih kongkret. Selain pengertian secara konsepsional diatas terdapat

12

Wirjono Prodjodikoro, 2009, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cetakan Ketiga, Refika Aditama, Bandung, h. 65.

13

Ibid, h. 72.

14

(52)

beberapa pengertian lain menegenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan tersebut dari beberapa para ahli hukum ini, antara lain :

1. Menurut Noyon dan Langgemeijer berpendapat, bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu penganiayaan, perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu harus merupakan suatu tujuan dan bukan sebagai suatu cara untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dibenarkan.

2. Menurut van Hattum dan van Bemmelen berpendapat, bahwa setiap kesengajaan mendatangkan rasa sakit atau luka pada tubuh itu merupakan penganiayaan, akan tetapi adanya tujuan yang dapat dibenarkan itu dengan sendirinya merupakan dasar yang meniadakan pidana bagi pelakunya.

3. Menurut Simons mempunyai pendapat yang sama, yakni bahwa adanya suatu tujuan yang dapat dibenarkan itu tidak menyebabkan suatu tindakan kehilangan sifatnya dan dapat memperoleh pembenarannya pada suatu tujuan yang dapat dibenrkan, maka tindakan seperti itu dapat dipandang bukan sebagai suatu penganiayaan.

(53)

tujuan melainkan merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dibenarkan, maka dalam hal tersebut orang tidak dapat berbicara tentang adanya suatu penganiayaan, misalnya jika perbuatan itu merupakan suatu tindakan penghukuman yang dilakukan secara terbatas menurut kebutuhan oleh para orang tua atau para guru terhadap seorang anak.15

Dengan melihat inti dari pengertian penganiayaan ini dapat dikatakan bahwa suatu tindakan yang mendatangkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain tidak dapat dipandang sebagai suatu penganiayaan, jika tindakan itu telah dilakukan dengan maksud atau suatu tujuan yang dapat dibenarkan. Jadi perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu harus merupakan suatu tujuan yang jelas dan dapat memperoleh pembenaran pada suatu tujuan yang dapat dibenerkan, maka tindakan-tindakan tersebut dapat dipandang bukan sebagai suatu penganiayaan.

Sedangkan, yang dimaksud dengan pengertian penganiayaan terhadap hewan, suadah diatur dalam Undang-Undang yang berlaku. Penganiayaan terhadap hewan,menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 302 menentukan bahwa:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan;

15

(54)

1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;

2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada bahwa pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menentukan bahwa:

Pasal 66 ayat (1) ditentukan “Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan

pengayoman yang wajar terhadap hewan”. Dalam ayat (2) huruf c

(55)

dan tertekan. Pada huruf g ditentukan bahwa “Perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiyaan dan penyalahgunaan”.

Dalam penjelasan Pasal 66 ayat (2) huruf c ditentukan bahwa, yang dimaksud dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk meperoleh

kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memerlakukan hewan di luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan dan yang dimaksud dengan “penyalahgunaan” adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan

dan/atau keuntungan dari hewan dengan memerlakukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan tersebut. Apabila terjadinya suatu tindak pidana penganiayaan terhadap hewan, pejabat pegawai negeri sipil yang akan melakukan pemeriksaan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perternakan dan kesehatan hewan sesuai denganPasal 84 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 18/2009 ditentukan bahwa “Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

(56)

2.3.2 Jenis-jenis Penganiayaan 1. Penganiayaan Biasa

Penganiayaan biasa Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.

Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni: a) Adanya kesengajaan

b) Adanya perbuatan

c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh,

dan atau luka pada tubuh.

d) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya

2. Penganiayaan Ringan

(57)

Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.

Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:

a) Bukan berupa penganiayaan biasa

b) Bukan penganiayaan yang dilakukan

1. Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya

2. Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau

karenamenjalankan tugasanya yang sah

3. Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau

kesehatan untuk dimakan atau diminum

c) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian

3. Penganiayaan Berencana

Tindak pidana penganiayaan berencana adalah tindak pidana penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang.

(58)

dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa.

Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu:

a) Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau

kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

b) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan

dihukum denhan hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

c) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan

dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun.

Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:

a) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak

dilakukan dalam suasana batin yang tenang.

b) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk

berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain:

(59)

2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya.

3. Bagaimana cara menghilangkan jejak.

c) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan

dilakukan dengan suasana hati yang tenang. 4. Penganiayaan Berat

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya.

Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat). Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.

Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu:

a) Penganiayaan berat biasa (ayat 1)

b) Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)

5. Penganiayaan Berat Berencana

(60)

unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana.

Dengan demikian, jenis-jenis tindak pidana penganiayaan yang sudah disebutkan diatas. Maka,penganiayaan tehadap hewantermasuk dalam tindak pidana penganiayaan ringan yaitu dalam KUHP sendiri ditentukan dalam Pasal 302 yaitu :

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan;

1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;

2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada bahwa pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

(61)

bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan pengujian pada karyawan Bank BNI Syariah Cabang Bogor, dapat ditarik kesimpulan hanya karyawan laki-laki yang dapat meningkatkan kualitas kinerja, tetapi

(2014) juga mengungkapkan bahwa kemampuan penalaran ilmiah siswa pada.. materi ekosistem pada jenjang SMP masih hanya tersusun atas claim ,

Pengenalan kata lembaga dasar ini bertujuan untuk menstimulasi peserta didik yang akan maju dan membaca suku kata menggunakan metode belajar “aku cepat membaca”

Manfaat Bank Sampah Induk Sicanang untuk lingkungan menjadikan lingkungan sehat, misalnya ada aqua bekas yang dibuang keparit akan menjadi wabah penyakit namunsetelah ada

1) Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, siswa kelas IX MTs Asy Syifa (setara kelas 3 SLTP) yang berusia antara 14 sampai 16 tahun berada pada tahap operasi formal. 2)

Alat ini dilengkapi dengan sensor suhu dan kelembaban DHT11, motor inkubator digunakan untuk proses pemutaran telur, sensor suara digunakan untuk mendeteksi apabila

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Namun demikian, dalam hal invoice tidak memiliki tanggal jatuh waktu, maka tanggal terbit invoice dapat diperlakukan sebagai tanggal jatuh waktu invoice ,