UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA
ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh:
Maria Andreina Niken A. S NIM: 131434055
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA
ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh:
Maria Andreina Niken A. S NIM: 131434055
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
MOTTO
ORA ET LABORA
DO THE BEST AND LET GOD DO THE REST
“But you, be strong and do not let your hands be weak, for your work shall be
rewarded!”
2 Chronicles 15:7 (NKJV)
SUCCESS DOES NOT LIE IN “RESULT” BUT IN “EFFORTS”, “BEING” THE BEST IS NOT SO IMPORTANT, “DOING” THE BEST IS ALL THAT MATTERS...
~Quote about Success~
Kupersembahkan karya ini untuk:
Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan memberi kekuatan kepada saya
Kedua Orang Tua dan Adik-Adik saya
Keluarga besar saya
Dosen Pembimbing
Sahabat dan Teman-Teman yang selalu mendukung
Seluruh keluarga besar Pendidikan Biologi Angkatan 2013
vii ABSTRAK
UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA
ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.) Maria Andreina Niken A. S
NIM: 131434055 Universitas Sanata Dharma
Ulat P. xylostella merupakan hama tanaman yang menyerang tanaman kubis-kubisan yang menyebabkan kerusakan kubis pada bagian daunnya. Pada umumnya petani menggunakan insektisida kimiawi yang ampuh tetapi sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan sekitar. A. conyzoides merupakan tanaman gulma yang dapat dimanfatkan sebagai insektisida nabati dikarenakan kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman tersebut dapat dijadikan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh toksisitas ekstrak tanaman A. conyzoides sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella) dan mengetahui nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari
ekstrak tanaman A. conyzoides yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella).
Penelitian ini terdiri dari 1 kontrol (0%) , 3 perlakuan (2%, 6%, 10%), dan dilakukan 3 kali pengulangan. Pada setiap pengulangan diujikan 10 ulat P. xylostella instar IV. Pembuatan ekstrak tanaman A. conyzoides dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol. Data yang diambil adalah tingkat mortalitas ulat kubis (P. xylostella) selama 24 jam setelah aplikasi dan dilanjutkan sampai 48 jam dari perlakuan ekstrak tanaman A. conyzoides. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit LC50. Dari hasil analisis probit diperoleh
nilai LC50 24 jam sebesar 2,35% dan LC50 48 jam sebesar 1,93%. Uji kuantitatif
juga dilakukan utuk mengetahui kandungan flavonoid dan alkaloid pada ekstrak tanaman A. conyzoides. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak tanaman A. conyzoides maka semakin tinggi tingkat mortalitas ulat kubis (P. xylostella).
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data disimpulkan bahwa ekstrak tanaman A. conyzoides terbukti berpengaruh toksik terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella).
viii ABSTRACT
THE TOXICITY TESTS OF PLANTS EXTRACT Ageratum conyzoides L. AS PHYTO-INSECTICIDE TO MORTALITY OF CABBAGE CATERPILLARS
PEST (Plutella xylostella L.) Maria Andreina Niken A. S Student Number: 131434055
Sanata Dharma University
Caterpillar P. xylostella is plants pest which aggresses cabbage plants that causing detriment to cabbage on its leaf. In a general way, farmer uses the effective chemical insecticide, but it is very dangerous for healthiness and surrounding environment. A. conyzoides is weed plants which can be used as phyto-insecticide because of secondary metabolite compounds on these plants that can be used as insecticide. This experiment has purposes to know the effect of toxicity of A conyzoides plant extract as phyto-insecticide to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella) and to know LC50 24 hours and 48 hours’ value of plants extract A. conyzoides which has influence to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella).
This experiment consisted of 1 control (0%), 3 handlings (2%, 6%, 10%), and 3 rehashes. Each rehashes was tested by 10 caterpillar P. xylostella instar IV. The productions of plants extract A. conyzoides were made by maceration method using ethanol solvent. The data taken was mortality of cabbage caterpillars level (P. xylostella) for 24 hours after application until 48 hours from the handling of plants extract A. conyzoides. From the data, it was analyzed by using probit LC50 analysis. The result of probit analysis was obtained LC50 24 hours value in the amount of 2, 35% and LC50 48 hours in the amount of 1, 93%. Quantitative test also was done in order to know the content of flavonoids and alkaloids in plants extract A. conyzoides. The experiment result showed that the higher concentrations of plants extract A. conyzoides, the higher the mortality rate of cabbage caterpillars pest (P. xylostella).
Based on observation and data analysis, plants extract A. conyzoides is proven have a toxic effect to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella). Keyword: cabbage caterpillar (P. xylostella), phyto-insecticide, A. conyzoides
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan
Biologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan
baik berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan
rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu melindungi, menyertai dan memberi
kekuatan kepada saya
2. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
4. Bapak Drs. Antonius Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Biologi dan selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing
penulis dengan penuh kesabaran, menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk memberikan masukan, pengarahan, serta perbaikan-perbaikan dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Ignantius Yulius Kristio Budiasmoro, S.Si., M.Si. dan Ibu Dra. Maslichah Asy’ari, M.Pd. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
6. Bapak Ignantius Yulius Kristio Budiasmoro, S.Si., M.Si. selaku Dosen
Pembimbing Akademik.
7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Program Studi Pendidikan Biologi
Sanata Dharma Yogyakarta.
8. Pak Agus selaku laboran dan Pak Marsono selaku karyawan di Laboratorium
x
9. Laboratorium Chem-Mix Pratama sebagai tempat peneliti menguji kandungan
senyawa flavonoid dan alkaloid.
10.Kedua orang tua saya Bapak Yochanan Indroyono dan Ibu M. C. N. Elok H.
Ekosari atas segala pengorbanan yang selalu memberi semangat, dukungan
motivasi dan mendoakan saya.
11.Adik-adik saya Sarah Andreina Nimas A.S dan Andreas Wisanggeni yang
memberi dukungan semangat dan mendoakan saya.
12.Keluarga besar saya yang selalu memberi dukungan semangat dan mendoakan
saya.
13.Teman-teman Disciples dan Connect Group GMS Miracle Yogyakarta, terima
kasih atas dukungan semangat, perhatian, dan doa kalian.
14.Pak Min, Pak Suparno dan Mbak Dinda yang telah membantu selama
penelitian dan memberikan dukungan motivasi dan doa.
15.Teman-teman seperjuangan Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma
Angkatan 2013, terima kasih atas kerja sama, dukungan, motivasi, dan
bantuannya.
16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
penulis sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terwujud.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
diterima dengan terbuka demi perbaikan skripsi ini dapat menjadi lebih baik.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak.
xi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Bagi Peneliti ... 8
2. Bagi Masyarakat... 8
3. Bagi Dunia Pendidikan ... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Hama Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 9
1. Klasifikasi ... 9
2. Daur Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 10
3. Kerusakan yang disebabkan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 13
B. Insektisida ... 14
1. Pengertian Insektisida ... 14
2. Sasaran Racun Insektisida ... 15
3. Jenis Insektisida ... 16
4. Insektisida Nabati ... 19
C. Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 23
1. Klasifikasi ... 23
2. Nama Daerah Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 24
3. Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 24
4. Ekologi dan Penyebaran Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 25
5. Manfaat Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 25
xii
7. Potensi Tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai
Insektisida Nabati ... 31
D. Lethal Concentration (LC50) ... 33
E. Hasil Penelitian Relevan ... 34
F. Kerangka Berpikir ... 38
G. Hipotesa... 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. Jenis Penelitian ... 40
B. Desain Penelitian ... 40
C. Batasan Penelitian ... 41
D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42
E. Alat dan Bahan ... 42
1. Alat ... 42
2. Bahan... 43
F. Cara Kerja ... 43
1. Pembuatan Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 43
2. Penyiapan dan Pemeliharaan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 45
3. Pengamatan Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) .... 47
4. Cara Pengambilan Sampel Penelitian ... 51
5. Pengujian Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. terhadap Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 51
6. Pengambilan Data ... 52
G. Metode Analisis Data ... 53
H. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran ... 57
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58
A. Hasil ... 58
B. Pembahasan ... 64
1. Pengaruh Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. terhadap Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) berdasarkan Hasil Pengamatan Data ... 64
2. Faktor-Faktor Penyebab Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 69
a. Kandungan Metabolit Sekunder Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 69
b. Waktu Aplikasi Penyemprotan Insektisida ... 70
c. Aktivitas Makan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 71
d. Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 72
3. Faktor Pendukung Proses Penelitian ... 73
4. Hambatan dan Keterbatasan dalam Penelitian ... 74
xiii
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan pada Pengamatan Mortalitas P. xylostella ... 41 Tabel 4.1 Hasil Analisa Kandungan Flavonoid dan Alkaloid Ekstrak
Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 58 Tabel 4.2 Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan
24 Jam sampai 48 Jam ... 58 Tabel 4.3 Analisis Probit LC50 Pengamatan 24 Jam ... 61
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Ulat Plutella xylostella L... 9
Gambar 2.2 Telur P. xylostella ...10
Gambar 2.3 Ulat P. xylostella ...11
Gambar 2.4 Pupa P. xylostella ...12
Gambar 2.5 Ngengat P. xylostella...12
Gambar 2.6 Tanaman Ageratum conyzoides L. ...23
Gambar 2.7 Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L. ...25
Gambar 2.8 Bagan Literature Map ...37
Gambar 2.9 Kerangka Berpikir ...39
Gambar 3.1 Hasil Pengenceran Ekstrak Tanaman A. conyzoides dengan Akuades ...46
Gambar 3.2 Stoples Pemeliharaan Ulat dan Ngengat ...48
Gambar 3.3 Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ...53
Gambar 3.4 Stadium Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ...54
Gambar 4.1 Kurva Grafik Regresi Linier Hubungan Log10 Konsentrasi Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. dengan Nilai Probit dari Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan 24 Jam...63
Gambar 4.2 Kurva Grafik Regresi Linier Hubungan Log10 KonsentrasiEkstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. dengan Nilai Probit dari Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan 48 Jam...63
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Hasil Data Observasi ...87
Lampiran 2: Perhitungan Analisis Probit LC50 ...88
Lampiran 3: Dokumentasi Penelitian ...93
Lampiran 4: Hasil Analisa Lab. Chem-Mix Pratama...99
Lampiran 5: Prosedur Analisa Flavonoid ...100
Lampiran 6: Prosedur Analisa Alkaloid ...101
Lampiran 7: Silabus ...102
Lampiran 8: RPP ...109
Lampiran 9: Lembar Diskusi Siswa ...117
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanaman sayuran mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia,
sebab sayuran sangat berguna bagi pemenuhan gizi manusia dan juga bagi
pembangunan pertanian. Oleh sebab itu peningkatan produksi sayuran
merupakan salah satu syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan umat
manusia (Satsijati, et al., 1987). Contoh komoditas sayuran yang banyak
dibudidayakan adalah kubis (Brassica oleracea L.).
Kubis (Brassicae oleracea L.) merupakan komoditi sayuran yang
memiliki nilai gizi dan ekonomi yang cukup tinggi. Budidaya kubis
memberikan pendapatan bagi petani, di samping itu kubis juga mengandung
nilai gizi penting, yaitu vitamin A dan C (Sastrosiswojo et al., 2005).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal
Hortikultura, produksi sayuran kubis dalam skala nasional selalu menempati
urutan teratas. Pada tahun 2015 produksi tanaman kubis mencapai 1.443.232
ton. Banyaknya hasil produksi ini juga didukung oleh luas lahan yang
mencapai 64.625 Ha. Hal ini menunjukan bahwa tanaman kubis merupakan
sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan secara
terus-menerus.
Sehubungan dengan semakin meningkatnya permintaan masyarakat
terhadap komoditas sayuran ini dan didiukung oleh kondisi iklim yang sesuai,
membudidayakan kubis. Namun demikian dalam budidaya tanaman ini
masalah hama merupakan salah satu masalah yang sangat berpengaruh
terhadap produksi kubis baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Menurut
Permadi dan Sastrosiswojo (1993) beberapa serangga hama telah dilaporkan
dapat menimbulkan kerusakan pada pertanaman kubis di antaranya ulat daun
kubis (Plutella xylostella L.), ulat jantung kubis (Crocidolomia pavonana
Fab.), ulat grayak (Spadoptera litura Fab.), ulat tanah (Agrotis ipsilon
Hufnagel), ulat jengkal (Crysodeixis orichalcea L.), Helicoverpa armigera
(Hubner), Hellula undalis Fab., dan kutu daun.
Ulat kubis (Plutella xylostella L.) merupakan hama utama pada tanaman
kubis dataran tinggi dengan tingkat serangan mulai dari sedang hingga berat.
Pada serangan berat bisa mengakibatkan kerugian yang sangat signifikan,
terutama menurunnya kualitas produksi. Ulat ini dikenal juga dengan nama
ulat tritip, dan menjadi salah satu hama yang paling ditakuti oleh petani kubis.
Ulat berukuran kecil ini biasanya bersembunyi di balik daun, dan menyerang
jaringan daun sehingga jaringan daun kosong, hanya tersisa epidermis saja.
Daun yang terserang ditandai dengan bercak-bercak putih (Tanijogonegoro,
2015). Berdasarkan informasi yang didapat hama Plutella xylostella L.
menyerang sejumlah lahan pertanian di Desa Wangunharja, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Akibatnya, tanaman seperti kubis,
brokoli, kol, dan sawi milik para petani banyak yang mengalami kerusakan
dan gagal panen. Serangan hama tersebut membuat para petani sangat
harga sejumlah komoditas kubis-kubisan mengalami penurunan. Harga sawi
yang biasanya Rp 2.500-4.000 per kilogram jadi Rp 1.000 (Husodo, 2017).
Selain itu, pertanian sayuran di Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah juga sedang dilanda musibah karena sayuran kubis yang petani panen
terserang hama ulat tritip. Hama tersebut menyebabkan kualitas dan kuantitas
kubis hasil panen pertanian setempat menurun. Akibatnya, harga kubis
Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah turun sekitar 50% dari kondisi
normal (Putra, 2017). Akibat yang ditimbulkan oleh hama tersebut dapat
menurunkan produksi tanaman kubis dan mengakibatkan kerugian bagi para
petani yang membudidayakan tanaman kubis tersebut. Oleh karena itu petani
perlu untuk memperhatikan permasalahan dan bagaimana untuk pengendalian
hama ulat daun pada tanaman tersebut.
Petani kubis masih cenderung menggunakan insektisida kimiawi. Metode
tersebut dipandang lebih efektif dan efisien mengendalikan serangga hama.
Sekitar 30% dari total biaya produksi digunakan untuk membeli insektisida
kimiawi (Sastrosiswojo et al., 2005).
Penggunaan pestisida kimia sintesis untuk mengendalikan hama
mempunyai dampak negatif terhadap komponen ekosistem lainnya seperti
terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta pencemaran
lingkungan karena residu yang ditinggalkan (Kishi et al., 1995). Catatan WHO
(Organisasi Keseatan Dunia) mencatat bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya
terjadi keracunan pestisida antara 44.000 – 2.000.000 orang dan dari angka
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan
insektisida nabati (bioinsektisida). Menurut Setiawati dkk. (2008) penggunaan
insektisida nabati merupakan alternatif untuk mengendalikan serangan hama.
Insektisida nabati relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran
dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping.
Insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan baku tumbuhan
yang mengandung senyawa aktif berupa metabolit sekunder yang mampu
memberikan satu atau lebih aktivitas biologi, baik pengaruh pada aspek
fisiologis maupun tingkah laku dari hama tanaman serta memenuhi syarat
untuk digunakan dalam pengendalian hama tanaman (Dadang dan Prijono,
2008).
Sifat insektisida nabati yang aman bagi organisme non target dan aman
bagi lingkungan merupakan salah satu keunggulan dari insektisida nabati.
Selain itu pemanfaatan insektisida nabati dapat mengurangi ketergantungan
petani pada insektisida sintetik, lebih ramah lingkungan, serta berkelanjutan.
Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang
merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan dari serangan OPT (Organisme Pengganggu
Tanaman). Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235
famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Oleh karena itu, jika dapat
mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida, maka akan membantu
masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan
(Kardinan, 2004). Menurut Syahputra (2001) lebih dari 1500 jenis tumbuhan
dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga. Famili tumbuhan yang
dianggap merupakan potensial insektisida nabati adalah Meliaceae,
Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae.
Tumbuhan yang saat ini sedang dikembangkan sebagai insektisida nabati
yaitu tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri. Properti minyak atsiri
tersebut berhubungan dengan senyawa yang dikandungnya terutama dari
golongan terpen, alkohol, aldehid, dan fenol seperti karvakrol, eugenol, timol,
sinamaldehid, asam sinamat, dan perilaldehid (Burt, 2007). Selain itu,
Rodriguez & Levin (1975) dalam Sukandar dkk., (2007:1) mengemukakan
bahwa minyak atsiri memiliki pengaruh sebagai penarik, atau sebagai
insektisida serangga. Selain minyak atsiri, senyawa aktif pada tumbuhan
seperti saponin, alkaloid, dan flavonoid juga sangat berpengaruh sebagai
insektisida serangga.
Tanaman Ageratum conyzoides L. yang banyak ditemui di sekitar lahan
pertanian dan merupakan gulma yang dapat menimbulkan kerugian bagi
pertumbuhan tanaman pertanian, ternyata dapat dimanfaatkan sebagai
insektisida nabati. Dengan perkembangan teknologi penggunaan insektisida
nabati tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun terhadap
makhluk hidup, sehingga relatif aman untuk digunakan. Tidak beresiko
menimbulkan keracunaan pada tanaman, sehingga tanaman yang diaplikasikan
insektisida nabati jauh lebih sehat dan aman dari pencemaran zat kimia
resistensi (kekebalan) pada hama. Dalam artian insektisida nabati aman bagi
keseimbangan ekosistem dan hasil petanian yang dihasilkan lebih sehat serta
terbebas dari residu insektisida kimiawi.
Ageratum conyzoides L. merupakan tumbuhan sejenis gulma pertanian
anggota famili Asteraceae yang lebih dikenal sebagai babadotan (Pujowati,
2006). Bagian tanaman Ageratum conyzoides L. yang digunakan untuk
dijadikan insektisida nabati adalah daunnya, karena di dalam daun babadotan
terdapat kandungan senyawa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri
yang ternyata cukup beracun bagi serangga, sehingga mampu menghambat
pertumbuhan serangga menjadi kepompong (Kardinan, 2004).
Meskipun dianggap sebagai tumbuhan pengganggu oleh petani,
akhir-akhir ini Ageratum conyzoides L. menjadi topik penelitian yang gencar
terutama karena potensinya sebagai insektisida nabati pengganti insektisida
sintetik yang ramah lingkungan. Insektisida nabati merupakan hasil ekstraksi
bagian tertentu dari tumbuhan/tanaman baik dari daun, buah, biji atau akarnya
yang memiliki senyawa aktif atau metabolit sekunder yang dapat digunakan
untuk mengendalikan organisme penggangu tanaman (OPT) dan bersifat tidak
merusak lingkungan.
Dari permasalahan tersebut, peneliti tertarik memanfaatkan tanaman
Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati untuk mengatasi
permasalahan hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) dengan melakukan uji
L. terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) yang dilakukan
dalam stoples pemeliharaan.
Dalam penelitian ini untuk menguji toksisitas ekstrak tanaman Ageratum
conyzoides L. sebagai insektisida nabati diuji menggunakan analisis probit
LC50 untuk mencari nilai LC50 24 jam dan 48 jam dalam mematikan hama ulat
kubis (Plutella xylostella L.). Metode LC50 ini digunakan untuk mengetahui
kadar toksik dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. melalui analisa
konsentrasi zat tersebut dalam mematikan 50% ulat uji.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L.
sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella
xylostella L.)?
2. Berapakah nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman Ageratum
conyzoides L. yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis
(Plutella xylostella L.)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L.
sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella
2. Mengetahui nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman Ageratum
conyzoides L. yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis
(Plutella xylostella L.).
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti
a. Menambah pengetahuan terkait pemanfaatan tanaman gulma Ageratum
conyzoides L. sebagai insektisida nabati.
b. Dapat mengetahui cara pembuatan insektisida nabati yang mudah dan
sederhana.
2. Bagi Masyarakat
a. Menambah pengetahuan mengenai manfaat tanaman gulma Ageratum
conyzoides L. sebagai insektisida nabati.
b. Tanaman gulma Ageratum conyzoides L. menjadi bahan alternatif bagi
petani untuk pengendalian hama selain insektisida kimiawi.
3. Bagi Dunia Pendidikan
a. Sebagai sumber informasi terkait manfaat dari tanaman gulma
Ageratum conyzoides L. sebagai pengendali hama.
b. Sebagai sumber bahan ajar untuk kelas X SMA bab ruang lingkup
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hama Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) 1. Klasifikasi
Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella L.) menurut Kalshoven
(1981) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Spesies : Plutella xylostella L.
Dulu hama ini bernama Plutella maculipennis. Kadang-kadang
disebut juga sebagai hama putih, karena kubis yang telah diserangnya
menjadi putih (tinggal epidermisnya saja). Ulat makan daun kubis, sawi
atau petsai yang muda dan tua. Pada setiap pertanaman kubis selalu
dijumpai hama ini, sehingga terkenal juga dengan sebutan ulat kubis
(Tjahjadi, 2002).
Ulat ini juga disebut ulat tritip, atau ngengat punggung berlian.
Tersebar di seluruh dunia, di daerah tropis, subtropis dan daerah sedang Gambar 2.1 Ulat
(temperate). Ulat tritip itu kecil tetapi sangat merugikan tanaman kubis.
Kubis yang terserang menjadi rusak hebat (Pracaya, 1993).
Hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat
ditemukan di pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau
perbukitan. Namun, karena akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran
rendah, P. xylostella juga dapat ditemukan pada pertanaman kubis di
dataran rendah (Sastrosiswojo, et al., 2005).
2. Daur Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)
Ulat kubis (P. xylostella) mengalami 4 kali perubahan bentuk dalam
hidupnya yaitu stadium telur, ulat, pupa/ kepompong dan ngengat/ imago.
Umur tritip di daerah dingin lebih panjang daripada di daerah panas.
Berikut 4 kali perubahan bentuk ulat P. xylostella:
a. Telur
Gambar 2.2 Telur P. xylostella (Dok. Pribadi)
Telur P. xylostella berbentuk oval dan rata, ukurannya 0,44 mm
dan 0,26 mm. Telur berwarna hijau kuning atau pucat, dan disimpan
sendiri atau dalam kelompok kecil dari dua sampai delapan telur pada
cekungan di permukaan dedaunan, atau kadang-kadang pada bagian
250 m dpl, stadium telurnya 2 hari, ulat 9 hari, pupa 4 hari dan
kupu-kupu 7 hari. Sedang di dataran tinggi sampai di ketinggian 1.100 –
1.200 m dpl, stadium telurnya 3 – 4 hari, ulat 12 hari, pupa 6 – 7 hari
dan kupu-kupu 20 hari (Pracaya, 1993).
b. Ulat
Gambar 2.3 Ulat P. xylostella (Dok. Pribadi)
Ulat yang baru menetas warnanya hijau pucat sedang yang telah
dewasa lebih tua dengan warna kepala lebih pucat dengan bintik-bintik
atau garis cokelat (Pracaya, 1993). Fase ulat P. xylostella terdiri atas
empat instar yaitu, instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Ulat instar
I memiliki panjang 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau
kekuning-kuningan, dan berlangsung selama 4 hari. Ulat instar II memiliki
panjang 2 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan, dan
berlangsung selama 2 hari. Ulat instar III memiliki panjang tubuh 4 – 6
mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari.
Ulat instar IV memiliki panjang 6 – 8 mm, lebar 1 – 1,5 mm, berwarna
hijau, dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana, 1994 dalam Purba,
2007). Ulat lincah dan jika tersentuh akan menggantungkan diri
dengan benang halus. Ulat jantan dapat dibedakan dari ulat betina
karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning
c. Pupa (Kepompong)
Gambar 2.4 Pupa P. xylostella (Dok. Pribadi)
Pada akhir instar ke IV, ulat membuat kokon yang berwana putih
sebagai pelindung sehingga tampak seperti jala dan berbentuk silinder
pada permukaan bawah daun. Pembentukan kepompong mula-mula
dibuat dasarnya, sisi, kemudian tutupnya, yang masih terbuka pada
bagian ujung untuk keperluan pernapasan (aerasi). Pembuatan
kepompong ini diselesaikan dalam waktu 24 jam, setelah selesai ulat
berubah menjadi pupa (Pracaya, 1993). Pupa pada mulanya berwarna
hijau, selanjutnya berwarna kuning pucat, dengan warna kecoklatan
pada bagian punggungnya. Panjang pupa 5 – 6 mm, dengan diameter
1,2 – 1,5 mm. Pupa tertutup oleh kokon, dengan masa pupa 3 – 6 hari
(Sudarmo, 1994). Kulit ulat biasanya diletakkan dalam kepompong
tetapi kadang-kadang juga diletakkan di luar kepompong. (Pracaya,
1993).
d. Ngengat (Imago)
Gambar 2.5 Ngengat P. xylostella (Dok. Pribadi)
Ngengat berwarna abu-abu sampai coklat kelabu dan pada saat
(diamond) atau terdapat bentuk segitiga sepanjang punggungnya.
Ngengat beristirahat pada siang hari. Umur ngengat 2 – 4 minggu.
Ngengat betina mampu menghasilkan telur 180 – 320 butir (Deptan,
2008). Ngengat memiliki panjang tubuh 5 – 9 mm. waktu ngengat
istirahat, antena lurus ke depan. Ngengat jantan kelihatan lebih kecil
dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah
(Sudarmo, 1994). Ngengat punggung berlian ini hidupnya dari
menghisap madu dari bunga yang termasuk keluarga Cruciferae.
Warna sayapnya abu-abu kecoklatan, yang betina berwarna lebih
pucat. Dalam keadaan istirahat empat sayapnya menutup tubuhnya dan
seakan-akan ada gambaran seperti jajaran genjang yang warnanya
putih seperti berlian. Oleh karena itu hama ini disebut ngengat
punggung berlian. Yang betina dapat bertelur 180 sampai 320 butir.
Pada umumnya telur diletakkan di balik daun satu persatu,
kadang-kadang dua-dua atau tiga-tiga. Telurnya mengelompok dalam satu
daun atau daun yang berlainan tanaman, sehingga satu ngengat dapat
bertelur pada banyak tanaman kubis (Pracaya, 1993).
3. Kerusakan yang disebabkan Ulat Kubis Pluetella xylostella L.
Bagian tanaman yang diserang adalah daun. Ulat memakan daging
daun, sehingga hanya tersisa tulang-tulang daunnya dan bagian epidermis
daun bagian atas saja. Ulat ini menyerang segala tingkatan umur. Ulat juga
pertumbuhan. Kerugian akibat ulat ini adala antara 58% - 100% (Mulyono,
2009).
Ciri khas dari ulat tritip bila merasa ada bahaya akan menjatuhkan
diri dengan mengeluarkan benang untuk menyelamatkan diri. Ulat
bersembunyi di balik daun, sambil makan. Biasanya yang dimakan hanya
daging daun tetapi kulit ari bagian luar permukaan daun sebelah atas tidak
hingga daun kelihatan bercak-bercak putih. Karena itulah maka hama ini
juga disebut hama putih (hama bodas). Apabila kulit ari yang terserang
menjadi kering, maka akan sobek dan kelihatan berlubang-lubang. Apabila
serangan menghebat yang tertinggal hanyalah tulang-tulang daun,
sehingga bentuk daun seperti wayang kulit. Sebab itu, ada yang menyebut
hama ini sebagai hama wayang. Selain menyerang kubis juga menyerang
lobak, sawi, kohlrabi, kubis bunga, kubis kale, kubis tunas, dan tanaman
lainnya yang termasuk keluarga Cruciferae (Pracaya, 1993).
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh
alami (Ordo: Odonata), melakukan penyemprotan dengan menggunakan
insektisida, rotasi tanaman, sanitasi lahan, dan secara mekanis (Pracaya,
2008)
B. Insektisida
1. Pengertian Insektisida
Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang
pembunuh. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest =
hama dan cida = pembunuh. Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida, sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida
(pembunuh roden/ tikus), acarisida (pembunuh tungau), dan nematisida
(pembunuh nematoda).
Dalam penggunaanya di bidang pengendalian hama bila digunakan
istilah pestisida sering yang dimaksudkan adalah insektisida. Meskipun
ada alat-alat yang dapat kita gunakan untuk membunuh serangga seperti
alat pemukul namun alat tersebut tidak kita namakan pestisida karena yang
diartikan pestisida di sini adalah bahan kimia yang digunakan untuk
membunuh hama (Untung,1993).
Menurut Soeparwan Soeleman dan Donor Rahayu (2013) pestisida
atau insektisida paling baik diaplikasikan pada pagi hari atau sore hari.
Lakukan penyemprotan di bagian bawah dan atas daun. Penyemprotan
pada siang hari dapat menyebabkan daun terbakar atau rusak.
2. Sasaran Racun Insektisida
Berdasarkan cara masuknya insektisida ke dalam jasad sasaran,
Hudayya dan Jayanti (2012) menggolongkan menjadi:
1. Racun perut/ lambung, adalah insektisida yang mampu membunuh
serangga dengan cara masuk ke saluran pencernaan melalui makanan
yang dimakan. Insektisida akan masuk ke organ pencernaan serangga
yang mematikan seperti pusat syaraf, organ respirasi, dan sel-sel
lambung.
2. Racun kontak, insektisida ini membunuh serangga dengan cara masuk
kedalam tubuh serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh
atau langsung mengenai mulut serangga. serangga akan mati apabila
kontak langsung dengan insektisida tersebut.
3. Racun nafas, insektisida yang masuk melalui trachea serangga dalam
bentuk partikel mikro yang melayang diudara berupa gas, asap,
maupun uap dari insektisida. Serangga akan mati apabila menghirup
partikel dari insektisida tersebut dalam jumlah tertentu.
4. Racun saraf, merupakan insektisida yang cara kerjanya mengganggu
sistem saraf jasad sasaran.
5. Racun protoplasmik, merupakan insektisida yang bekerja dengan cara
merusak protein dalam sel tubuh jasad sasaran.
6. Racun sistemik, merupakan insektisida yang masuk ke dalam sistem
jaringan tanaman dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman,
sehingga bila dihisap, dimakan atau mengenai jasad sasarannya bisa
meracuni.
3. Jenis Insektisida
Tarumingkeng (1992) membagi insektisida menjadi 3 jenis
berdasarkan mekanisme dalam meracuni makanan serangga, yaitu:
Insektisida sistemik adalah insektisida yang diserap oleh
bagian-bagian tanaman melalui stomata, meristem akar, lentisel batang dan
celah-celah alami yang terdapat di permukaan tanaman. Insektisida ini
akan melewati sel-sel menuju ke jaringan pengangkut dan akan
meninggalkan residunya pada sel-sel yang dilewatinya. Melalui
pembuluh angkut insektisida ditranslokasikan ke bagian-bagian
tanaman lainnya baik kearah atas (akropetal) atau ke bawah
(basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh. Serangga akan mati
apabila memakan bagian tanaman yang mengandung residu
insektisida.
2. Insektisida non-sistemik
Insektisida non-sistemik adalah insektisida yang tidak dapat
diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel pada bagian
luar tanaman. Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman
yang permukaannya terkena insektisida.
3. Insektisida sistemik lokal
Insektisida sistemik lokal adalah insektisida yang mampu diserap
oleh jaringan daun, tetapi tidak dapat ditranslokasikan ke jaringan
bagian tanaman lainnya. Misalnya insektisida yang jatuh ke permukaan
atas daun akan menembus epidermis atas kemudain masuk ke jaringan
parenkim pada mesofil dan menyebar ke seluruh mesofil daun hingga
Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang tersebar
insektisida.
Menurut Untung (1993) insektisida dapat dibagi lagi menurut sifat
dasar senyawa kimianya yaitu:
(1) Insektisida anorganik yang tidak mengandung unsur Karbon.
(2) Insektisida organik yang mengandung unsur Karbon. Insektisida
organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan
insektisida organik sintesis. Insektisida organik alami merupakan
insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botanik) dan
bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan
hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi.
Insektisida modern pada umumnya merupakan insektisida organik
sintetik. Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan
kimia bahan aktif (senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari
4 kelompok besar yaitu organoklorin (OK), organofosfat (OP),
karbamat, dan piretroid sintetik. Sedangkan, insektisida botanik
(insektisida nabati) diambil secara langsung dari tanaman atau dari
hasil tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang
paling tua dan banyak digunakan untuk pengendalian hama
sebelum insektisida organik sintetik ditemukan. Karena
kesulitannya dalam mengadakan ekstraksi dan memperoleh bahan
dasar (tanaman), maka penggunaannya semakin lama semakin
4. Insektisida Nabati
Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami berasal
dari tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang
mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat
kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan
ke tanaman yang terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh
terhadap fotosintesa, pertumbuhan atau aspek fisiologi tanaman lainnya,
namun berpengaruh terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
(Deptan, 1994).
Menurut Setiawati dkk. (2008) insektisida nabati adalah bahan aktif
tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan
untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Sifat
insektisida nabati dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas
(pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Insektisida nabati diartikan
sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang
relatif murah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas.
Oleh karena terbuat dari bahan alami/ nabati maka jenis insektisida ini
bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena
residu mudah hilang. Banyak jenis tumbuhan telah diketahui secara luas
memproduksi berbagai jenis metabolit/ senyawa sekunder seperti
flavonoid, terpenoid, alkaloid, saponin, dan lain-lain yang berguna sebagai
hal ini membuktikan bahwa metabolit sekunder tumbuhan digunakan
sebagai agen perlindungan tanaman.
Sedangkan menurut Indriani (2006) insektisida nabati adalah herbal
dari bahan tumbuhan yang diekstraksi menjadi konsentrat dengan tidak
mengubah struktur kimianya. Insektisida ini mudah terurai atau
terdegradasi sehingga tidak persisten di alam ataupun pada bahan
makanan. Insektisida nabati aman bagi lingkungan, untuk mendukung
pertanian organik dalam upaya mengurangi penggunaan insektisida
sintesis dan harganya pun lebih murah.
Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat
membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara
kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara
tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik yaitu:
1. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
2. Menghambat pergantian kulit.
3. Mengganggu komunikasi serangga.
4. Menyebabkan serangga menolak makan.
5. Menghambat reproduksi serangga betina.
6. Mengurangi nafsu makan.
7. Memblokir kemampuan makan serangga.
8. Mengusir serangga (Repellent).
Sedangkan menurut Sonyaratri (2006) peranan insektisida alami
dalam mematikan serangga adalah sebagai:
1. Repellent, merupakan senyawa yang dapat menolak kehadiran
serangga. Senyawa ini memiliki bau yang menyengat, sehingga dapat
menolak kehadiran serangga dan mencegah serangga meletakkan telur
serta menghentikan proses penetasan telur.
2. Antifeedant, merupakan senyawa yang dapat mencegah serangga untuk
memakan tanaman yang telah disemprot. Hal ini dikarenakan tanaman
yang telah disemprot oleh insektisida alami menjadi terasa pahit.
3. Racun syaraf.
4. Atractant, merupakan senyawa yang mampu memikat kehadiran
serangga, sehingga senyawa ini dapat digunakan sebagai perangkap
serangga.
Dadang dan Prijono (2008) menyatakan bahwa pilihan penggunaan
insektisida nabati tentunya harus didasari oleh alasan-alasan yang kuat dan
tepat yang berkaitan dengan sifat dasar insektisida nabati itu sendiri.
Secara umum insektisida nabati bersifat:
a) Mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga diharapkan tidak
meninggalkan residu pada produk pertanian.
b) Relatif aman terhadap organisme bukan sasaran termasuk musuh alami
hama (selectivity) sehingga dapat menjaga keseimbangan ekosistem
c) Dapat dipadukan dengan komponen pengendalian lainnya
(compatibility) yang memungkinkan penerapan teknologi atau strategi
lain yang dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga tidak ada
komponen pengendalian yang mendominan.
d) Dapat memperlambat laju resistensi yang sangat penting dalam rangka
manejemen resistensi (insect pest resistant management).
e) Dapat menjamin ketahanan dan keberlanjutan dalam usaha tani
(sustainability) karena dapat menjamin semua komponen dalam
ekosistem berjalan dengan baik.
Menurut Naria (2005) kelemahan dari pemakaian insektisida nabati,
antara lain:
1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan
dengan insektisida sintesis. Tingginya frekuensi penggunaan
insektisida botani adalah karena sifatnya yang mudah terurai di
lingkungan sehingga harus lebih sering diaplikasikan.
2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active
ingredient) dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat dideteksi.
3. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang
berbeda, umur tanaman berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda,
umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda
C. Tanaman Ageratum conyzoides L. 1. Klasifikasi
Klasifikasi tanaman Ageratum conyzoides L. menurut Planmor
(2012) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Ageratum
Spesies : Ageratum conyzoides L.
Tumbuhan ini dikenal sebagai tumbuhan yang mengeluarkan aroma
mirip dengan kambing, sehingga dalam bahasa daerah disebut Babadotan/
Bandotan/ Wedusan. Nama ilmiah babadotan adalah Ageratum conyzoides
L. berasal dari bahasa Yunani (“a geras” berarti tumbuhan berumur
panjang seperti Dewi Konyz). Memiliki kemampuan untuk beradaptasi
pada berbagai kondisi ekologi, bijinya sangat kecil dan ringan, bersifat
positif photoblastik (biji yang memerlukan cahaya yang cukup), viabilitas
biji bisa bertahan hingga 12 bulan dengan suhu optimum untuk
perkecambahan 20-50°C. Keistimewaan tersebut menyebabkan tumbuhan Gambar 2.6 Tanaman
ini sangat mudah tumbuh, berkembang dan tersebar luas. Jika tumbuh di
sekitar pertanaman atau pekarangan sering dianggap sebagai gulma yang
menurunkan hasil dan menimbulkan kerugian pada usaha tani
(Mildaerizanti, 2015).
2. Nama Daerah Tanaman Ageratum conyzoides L.
Bandotan, daun tombak, siangit, tombak jantan, siangik kahwa,
rumput tahi ayam (Sumatera); babadotan, babadotan leutik, babandotan,
babadotan beureum, babadotan hejo, jukut bau, ki bau (Sunda); bandotan,
berokan, wedusan, dus wedusan, dus bedusan, tempuyak (Jawa); dan
dawet, lawet, rukut manooe, rukut weru, sopi (Sulawesi) (Agromedia,
2008).
3. Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L.
Habitus berupa tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak atau bagian
bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm dan bercabang. Batang
berbentuk bulat berbulu tebal. Daun tunggal bertangkai, letaknya saling
berhadapan dan bersilang, helaian daun bulat telur dengan pangkal
membulat dan ujung meruncing, tepi bergerigi, panjangnya 1-10 cm, lebar
0,5-7 cm, kedua permukaan daun meroma dengan kelenjar yang terletak di
permukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk berkumpul 3
atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, biasanya
mm, dengan tangkai yang berambut. Buah bulat panjang berwarna hitam
dan bentuknya kecil (Badan POM RI, 2008).
4. Ekologi dan Penyebaran Tanaman Ageratum conyzoides L.
Bandotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan herba 1 tahun.
Bandotan berasal dari daerah tropis di Amerika. Di Indonesia, bandotan
merupakan salah satu tumbuh-tumbuhan pengganggu yang terkenal.
Bandotan tumbuh di ladang, semak belukar, halaman kebun, tepi jalan dan
tepi air. Tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-2.100 m di atas
permukaan laut (Steenis, 1997).
5. Manfaat Tanaman Ageratum conyzoides L.
Tanaman ini dikenal secara luas sebagai tanaman obat juga dapat
digunakan sebagai pestisida nabati. Sebagai tanaman obat di Indonesia,
bagian akar dari tumbuhan ini digunakan untuk menurunkan demam,
sedangkan bagian daunnya digunakan sebagai pencuci mata serta
mengobati sakit perut dan luka. Di Malaysia, daun A. conyzoides
digunakan untuk mengurangi sakit gigi, keseluruhan tumbuhan digunakan Gambar 2.7 Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L.: (a) Akar (b) Batang (c) Daun (Dok. Badan POM RI, 2008).
untuk mengobati asma dan akarnya digunakan untuk mengobati batuk. Di
Brazil larutan ekstrak daun atau keseluruhan tanaman ini digunakan untuk
mengobati kolik, demam, flu, diare, rematik, kejang-kejang atau sebagai
tonik. Sebagai pestisida nabati, ekstrak kloroform tanaman ini telah diuji
toksisitasnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kloroform A.
conyzoides mempunyai efek toksik terhadap larva Artemia salina. Ekstrak
metanol daun dan akar tanaman juga dapat menghambat bakteri S.
Pyogenes. Daun yang diekstrak dengan metanol pada konsentrasi 1%
beracun terhadap serangga. Tepung daunnya yang dicampur dengan
tepung terigu mampu menghambat pertumbuhan larva sehingga menjadi
pupa, seperti nyamuk, hama pascapanen (Sitophilus sp. dan Callosobuchus
sp.), nematoda (Meloidogyne incognita) dan sebagainya (Wijayanto,
2016). Sedangkan, menurut Agromedia (2008) herba bandotan berasa
sedikit pahit, pedas, dan sifatnya netral. Karena itulah bandotan dapat
digunakan sebagai penolak serangga (insect repellent).
6. Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Ageratum conyzoides L. Berikut kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman
Ageratum conyzoides L. :
a. Flavonoid
Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang
ini merupakan produk metabolik sekunder yang terjadi dari sel dan
terakumulasi dari tubuh tumbuhan sebagai zat racun (Robinson, 1995).
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan
mengecualikan alga. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua
bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nectar,
bunga, buah, dan biji. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan
tumbuhan yang terbesar, yaitu angiospermae. Selain itu, flavonoid
merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus hidroksil yang tak
tersulih, atau suatu gula, sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut
polar seperti etanol, metanol, butanol, dan air (Markham, 1988).
Menurut Dinata (2009) flavonoid merupakan senyawa kimia yang
memiliki sifat insektisida. Flavonoid menyerang bagian syaraf pada
beberapa organ vital serangga sehingga timbul suatu perlemahan
syaraf, seperti pernapasan dan menimbulkan kematian. Flavonoid juga
dapat menghambat daya makan serangga (antifeedant). Bila senyawa
ini masuk dalam tubuh serangga, maka alat pencernaannya akan
terganggu. Senyawa ini juga bekerja dengan menghambat reseptor
perasa pada daerah mulut serangga. Hal ini mengakibatkan serangga
gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali
makanannya. Akibatnya serangga mati kelaparan.
b. Alkaloid
Menurut Harbone (1996) alkaloid sekitar 5500 telah diketahui
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih
atom nitrogen. Sedangkan, menurut Sjamsul Arifin Achmad (1986)
alkaloid adalah golongan senyawa organik yang banyak ditemukan di
alam. Sebagian besar alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luar
dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling
sedikit sebuah atom nitrogen yang biasanya bersifat basa. Sebagian
besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik.
Definisi tentang alkaloid harus dibatasi karena asam amino, peptida
dan nukleotida bukanlah suatu alkaloid.
Bagi tumbuhan, alkaloid berfungsi sebagai senyawa racun yang
melindungi tumbuhan dari serangga atau herbivora (hama dan
penyakit), pengatur tumbuh atau sebagai basa mineral untuk
mempertahankan keseimbangan ion (Sudarma, 2014). Umumnya
alkaloid merupakan senyawa padat, berbentuk kristal, tidak berwarna
dan mempunyai rasa pahit. Menurut Harborne (1996) alkaloid
umumnya tidak ditemukan pada gymnospermaae, paku-pakuan, lumut
dan tumbuhan rendah lainnya. Alkaloid juga mampu menghambat
pertumbuhan serangga, terutama tiga hormon utama dalam serangga
yaitu hormon otak (brain hormone), hormon edikson, dan hormon
pertumbuhan (juvenile hormone). Tidak berkembangnya hormon
tersebut dapat menyebabkan kegagalan metamorphosis.
Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit dari
15 %. Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat
berguna dalam pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna,
sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi
hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar
(Sabirin, et al., 1994). Berdasarkan penelitian Janzen et.al (1977) pada
konsentrasi 0,1% alkaloid telah bersifat toksik dan berpengaruh secara
farmakologi terhadap hewan.
c. Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun
glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan
bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisa sel darah mupun glikosida
steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti
sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk
busa dan menghemolisa sel darah merah (Harborne, 1996).
Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa
sapogenin. Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadaan
saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal
dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil.
Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat
menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin,
banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan
Saponin termasuk ke dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin
ini di dalam tubuh serangga adalah mengikat sterol bebas dalam
saluran pencernaan makanan dimana sterol itu sendiri adalah zat yang
berfungsi sebagai perkusor hormon edikson, sehingga dengan
menurunnya jumlah sterol bebas dalam tubuh serangga akan
mengakibatkan terganggunya proses pergantian kulit (moulting) pada
serangga. Saponin memiliki efek lain menurunkan tegangan
permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding
traktus digestivus larva menjadi korosif (Aminah dkk., 2001). Menurut
Marfu’ah (2005) saponin dapat merusak sistem saraf hama, efeknya
nafsu makan hilang. Hal tersebut menyebabkan hama kurang makan
dan akhirnya mati.
d. Minyak Atsiri
Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman.
Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak
esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial
dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya.
Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak
berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat
teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam
bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta
disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunawan dan Mulyani,
Properti minyak atsiri berhubungan dengan senyawa yang
dikandungnya terutama dari golongan terpen, alkohol, aldehid, dan
fenol seperti karvakrol, eugenol, timol, sinamaldehid, asam sinamat,
dan perilaldehid (Burt, 2007). Selain itu, Rodriguez & Levin (1975)
dalam Sukandar dkk., (2007:1) mengemukakan bahwa minyak atsiri
memiliki pengaruh sebagai penarik, atau sebagai insektisida pada
serangga.
Menurut Sudaryani dan Sugiharti (1998) pada tanaman, minyak
atsiri mempunyai tiga fungsi, yaitu: (1) membantu proses penyerbukan
dan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, (2) mencegah
kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan, dan (3) sebagai
cadangan makanan bagi tanaman.
Menurut Hartati (2012) minyak atsiri juga mempunyai peluang
untuk dikembangkan menjadi produk-produk derivat lainnya seperti
pestisida. Pengembangan produk-produk derivat dari minyak atsiri
diharapkan dapat mengurangi atau menggantikan produk-produk yang
berasal dari bahan kimia sintetik.
7. Potensi Tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai Insektisida Nabati Seperti halnya tanaman beracun lainnya, babadotan juga memiliki
kemampuan sebagai insektisida nabati (racun serangga), karena dalam
metabolit yang bersifat sebagai insektisida seperti alkaloid, flavonoid,
kumarin, saponin, polifenol, dan minyak atsiri (Kardinan, 2004).
Menurut Agromedia (2008) herba bandotan mengandung asam
amino, organacid, pectic substance, minyak atsiri, kumarin,
ageratochromene, friedelin, β-sitosterol, stigmasterol, tanin, sulfur, dan
pottasium kloida.
Menurut Badan POM RI (2008) daun dan bunga Ageratum
conyzoides mengandung saponin, flavonoid, terpen dan polifenol, di
samping itu daunnya juga mengandung minyak atsiri.
Samsudin (2008) menyatakan bahwa babadotan (Ageratum
conyzoides L.) memiliki senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai
insektisida dan nematisida. Kandungan senyawa bioaktif di antaranya
saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri yang mampu mencegah
hama mendekati tanaman (penolak) dan menghambat pertumbuhan larva
menjadi pupa.
Menurut Marfu’ah (2005) dalam Damayanti (2006) daun babadotan
dapat berfungsi sebagai repellent (zat penolak) pada serangga karena
memiliki aroma menyengat dan kandungan minyak atsiri yang berguna
untuk menggempur hama. Selain itu, daun babadotan juga mengandung
zat antifeedant yang disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri
sehingga nafsu makan serangga berkurang. Saponin yang ada pada daun
Ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. juga menghasilkan
beberapa minyak yang berpotensi sebagai insektisida. Komposisi yang
terkandung dalam minyak-minyak tersebut adalah prococene I dan
prococene II, beta-caryophyllene, gamma-bisabolene,
3,3-dimethyl-5-tertbutilindone dan fenil asetat. Selain itu juga diidentifikasi adanya
senyawa 2-(2’-methylethyl)-5,6-dimethoxybenzofuran dan asam
6-methyl-12-heptadecenoic (Amelot et all., 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat racun dari insektisida
khususnya dari daun Ageratum conyzoides L. adalah toksisitas dari
senyawa insektisida, dosis insektisida khususnya konsentrasi, lama terkena
insektisida dan cara pestisida masuk dalam tubuh serangga (Prijono dalam
Latif, 2001). Sistem kerja zat aktif pestisida nabati masuk melalui oral
maupun kulit hama. Racunnya akan menyerang sistem saraf maupun
pencernaan sehingga dapat melumpuhkan dan mematikan hama
(Marfu’ah, 2005).
D. Lethal Concentration (LC50)
LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang diestimasi dengan grafik dan
perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam,
Menurut Meyer et.al (1982) suatu bahan kimia dinyatakan berkemampuan
toksik akut bila aksi langsungnya mampu membunuh 50% atau lebih populasi
uji dalam selang waktu yang pendek, missal 24 jam, 48 jam s/d 14 hari.
Penentuan LC50 biasanya banyak digunakan dalam uji toksisitas pada
farmakologi. LC50 adalah suatu perhitungan untuk menentukan keaktifan dari
suatu ekstrak atau senyawa. Makna LC50 adalah pada konsentrasi berapa
ekstrak dapat mematikan 50 % dari organisme uji, misalnya larva Artemia
salina (brine shrimp) (Fadhillah, 2013).
E. Hasil Penelitian Relevan
Penelitian yang dilakukan Damayanti (2006) mengenai pengaruh ekstrak
babadotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai insektisida botani terhadap
mortalitas dan perkembangan ulat kubis (Plutella xylostella L.) dari hasil
ANOVA menunjukkan bahwa ekstrak daun babadotan berpengaruh sangat
signifikan (P<0,01) terhadap mortalitas dan perkembangan Plutella xylostella
L. Pada pengamatan mortalitas 24 jam dan 48 jam mortalitas paling tinggi
adalah konsentrasi 4,50%. Dari hasil analisis probit diperoleh LC50-24 jam
sebesar 1,9916% dan LC90-24 jam sebesar 6,2706%. Sedangkan untuk LC50
-48 jam sebesar 1,3443% dan LC90-48 jam sebesar 4,2325%. Persamaan
dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan tanaman A. conyzoides
sebagai alternatif insektisida nabati terhadap ulat P. xylostella. Perbedaannya
adalah pada penelitian Damayanti (2006) ini hanya menggunakan ekstrak
ekstrak daun dan bunga A. conyzoides. Selain itu, proses maserasi penelitian
ini menggunakan pelarut methanol untuk membuat ekstraknya, sedangkan
penelitian yang dilakukan menggunakan pelarut etanol sebagai pelarut
maserasi simplisia dikarenakan lebih aman serta ramah lingkungan dibanding
methanol. Dalam pengaplikasian penelitian ini menggunakan metode
pencelupan, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan metode
penyemprotan menggunakan handsprayer.
Penelitian yang dilakukan Lumowa (2011) mengenai efektivitas ekstrak
babadotan (Ageratum conyzoides L.) terhadap tingkat kematian larva
Spodoptera litura F. menunjukkan bahwa pada uji pendahuluan dengan
perlakuan konsentrasi 10% ekstrak babadotan menghasilkan tingkat kematian
larva uji sebesar 60% , sedangkan uji lanjutan dengan perlakuan konsentrasi
20% ekstrak babadotan menghasilkan tingkat kematian larva uji sebesar 100%
dengan lama kematian larva uji 26-60 menit. Persamaan dengan penelitian ini
adalah menggunakan ekstrak dari tanaman gulma babadotan (Ageratum
conyzoides L.) yang diuji efektivitasnya sebagai alternatif pengendali hama.
Perbedaannya adalah pada penelitian ini target hamanya adalah larva
Spodoptera litura F., sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan ulat
kubis (Plutella xylostella L.). Penelitian ini tidak menggunakan metode LC50
sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan LC50. Berdasarkan
penelitian Lumowa (2011) membuktikan bahwa ekstrak babadotan (Ageratum
litura. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak babadotan yang diberikan maka
ekstrak babadotan semakin tinggi tingkat mortalitas larva uji.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahendra (2010) mengenai perbedaan
toksisitas ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan ekstrak daun
sereh wangi (Andropogon nardus L.) terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes
aegypti L. membuktikan bahwa ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides
L.) lebih efektif digunakan sebagai larvasida. Hal ini berdasaran pada
besarnya LC50 dan LC90 dari ekstrak daun babadotan pada masa dedah 24 jam
dan 48 jam membutuhkan konsentrasi yang lebih rendah apabila dibandingkan
dengan ekstrak daun sereh wangi (Andropogon nardus L.). Persamaan
penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan ekstrak
tanaman babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan perbedaannya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Mahendra (2010) juga menggunakan ekstrak
daun sereh wangi (Andropogon nardus L.) sebagai pembanding dan
diaplikasikan pada larva nyamuk Aedes aegypti L., sedangkan pada penelitian
yang dilakukan diaplikasikan pada ulat kubis (Plutella xylostella L.).
Penelitian ini hanya menggunakan ekstrak daun tanaman A. conyzoides,
sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan ekstrak daun dan bunga
tanaman A. conyzoides.
Berikut adalah gambar 2.8 yang menunjukkan kebaharuan penelitian ini
F. Kerangka Berpikir
Hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) merupakan hama tanaman yang
menyerang tanaman kubis-kubisan yang menyebabkan kerusakan kubis pada
bagian daunnya dan membuat para petani kubis mengalami gagal panen dan
penurunan produksi kubis akibat hama ulat tersebut. Dalam pengendaliannya,
Petani cenderung menggunakan insektisida kimiawi yang ampuh tetapi sangat
berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan sekitar.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian
mengenai insektisida nabati dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L.
yang mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat sebagai
insektisida seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri. Dengan
bahan baku berupa daun dan bunga Ageratum conyzoidez L. yang dijadikan
insektisida nabati, maka hal tersebut dapat dijadikan suatu alternatif bagi para
petani dalam pengendalian hama dan kualitas tanaman pun tidak berkurang.
Bagan kerangka berpikir dari penelitian yang dilakukan ditampilkan pada
Gambar 2.9 Kerangka Berpikir
G. Hipotesa
1. Ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. berpengaruh toksik terhadap
mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.).
2. Konsentrasi ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. pada tingkat
konsentrasi tertentu berperan sebagai nilai LC50 24 jam dan 48 jam yang