• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji toksisitas ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji toksisitas ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA

ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Maria Andreina Niken A. S NIM: 131434055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA

ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Maria Andreina Niken A. S NIM: 131434055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

MOTTO

ORA ET LABORA

DO THE BEST AND LET GOD DO THE REST

“But you, be strong and do not let your hands be weak, for your work shall be

rewarded!”

2 Chronicles 15:7 (NKJV)

SUCCESS DOES NOT LIE IN “RESULT” BUT IN “EFFORTS”, “BEING” THE BEST IS NOT SO IMPORTANT, “DOING” THE BEST IS ALL THAT MATTERS...

~Quote about Success~

Kupersembahkan karya ini untuk:

Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan memberi kekuatan kepada saya

Kedua Orang Tua dan Adik-Adik saya

Keluarga besar saya

Dosen Pembimbing

Sahabat dan Teman-Teman yang selalu mendukung

Seluruh keluarga besar Pendidikan Biologi Angkatan 2013

(6)
(7)
(8)

vii ABSTRAK

UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA

ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.) Maria Andreina Niken A. S

NIM: 131434055 Universitas Sanata Dharma

Ulat P. xylostella merupakan hama tanaman yang menyerang tanaman kubis-kubisan yang menyebabkan kerusakan kubis pada bagian daunnya. Pada umumnya petani menggunakan insektisida kimiawi yang ampuh tetapi sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan sekitar. A. conyzoides merupakan tanaman gulma yang dapat dimanfatkan sebagai insektisida nabati dikarenakan kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman tersebut dapat dijadikan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh toksisitas ekstrak tanaman A. conyzoides sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella) dan mengetahui nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari

ekstrak tanaman A. conyzoides yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella).

Penelitian ini terdiri dari 1 kontrol (0%) , 3 perlakuan (2%, 6%, 10%), dan dilakukan 3 kali pengulangan. Pada setiap pengulangan diujikan 10 ulat P. xylostella instar IV. Pembuatan ekstrak tanaman A. conyzoides dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol. Data yang diambil adalah tingkat mortalitas ulat kubis (P. xylostella) selama 24 jam setelah aplikasi dan dilanjutkan sampai 48 jam dari perlakuan ekstrak tanaman A. conyzoides. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit LC50. Dari hasil analisis probit diperoleh

nilai LC50 24 jam sebesar 2,35% dan LC50 48 jam sebesar 1,93%. Uji kuantitatif

juga dilakukan utuk mengetahui kandungan flavonoid dan alkaloid pada ekstrak tanaman A. conyzoides. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak tanaman A. conyzoides maka semakin tinggi tingkat mortalitas ulat kubis (P. xylostella).

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data disimpulkan bahwa ekstrak tanaman A. conyzoides terbukti berpengaruh toksik terhadap mortalitas hama ulat kubis (P. xylostella).

(9)

viii ABSTRACT

THE TOXICITY TESTS OF PLANTS EXTRACT Ageratum conyzoides L. AS PHYTO-INSECTICIDE TO MORTALITY OF CABBAGE CATERPILLARS

PEST (Plutella xylostella L.) Maria Andreina Niken A. S Student Number: 131434055

Sanata Dharma University

Caterpillar P. xylostella is plants pest which aggresses cabbage plants that causing detriment to cabbage on its leaf. In a general way, farmer uses the effective chemical insecticide, but it is very dangerous for healthiness and surrounding environment. A. conyzoides is weed plants which can be used as phyto-insecticide because of secondary metabolite compounds on these plants that can be used as insecticide. This experiment has purposes to know the effect of toxicity of A conyzoides plant extract as phyto-insecticide to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella) and to know LC50 24 hours and 48 hours’ value of plants extract A. conyzoides which has influence to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella).

This experiment consisted of 1 control (0%), 3 handlings (2%, 6%, 10%), and 3 rehashes. Each rehashes was tested by 10 caterpillar P. xylostella instar IV. The productions of plants extract A. conyzoides were made by maceration method using ethanol solvent. The data taken was mortality of cabbage caterpillars level (P. xylostella) for 24 hours after application until 48 hours from the handling of plants extract A. conyzoides. From the data, it was analyzed by using probit LC50 analysis. The result of probit analysis was obtained LC50 24 hours value in the amount of 2, 35% and LC50 48 hours in the amount of 1, 93%. Quantitative test also was done in order to know the content of flavonoids and alkaloids in plants extract A. conyzoides. The experiment result showed that the higher concentrations of plants extract A. conyzoides, the higher the mortality rate of cabbage caterpillars pest (P. xylostella).

Based on observation and data analysis, plants extract A. conyzoides is proven have a toxic effect to mortality of cabbage caterpillars pest (P. xylostella). Keyword: cabbage caterpillar (P. xylostella), phyto-insecticide, A. conyzoides

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “UJI TOKSISITAS EKSTRAK TANAMAN Ageratum conyzoides L. SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS HAMA ULAT KUBIS (Plutella xylostella L.)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan

Biologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan

baik berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan

rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu melindungi, menyertai dan memberi

kekuatan kepada saya

2. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

4. Bapak Drs. Antonius Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Biologi dan selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing

penulis dengan penuh kesabaran, menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran

untuk memberikan masukan, pengarahan, serta perbaikan-perbaikan dalam

penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Ignantius Yulius Kristio Budiasmoro, S.Si., M.Si. dan Ibu Dra. Maslichah Asy’ari, M.Pd. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Bapak Ignantius Yulius Kristio Budiasmoro, S.Si., M.Si. selaku Dosen

Pembimbing Akademik.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Program Studi Pendidikan Biologi

Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Pak Agus selaku laboran dan Pak Marsono selaku karyawan di Laboratorium

(11)

x

9. Laboratorium Chem-Mix Pratama sebagai tempat peneliti menguji kandungan

senyawa flavonoid dan alkaloid.

10.Kedua orang tua saya Bapak Yochanan Indroyono dan Ibu M. C. N. Elok H.

Ekosari atas segala pengorbanan yang selalu memberi semangat, dukungan

motivasi dan mendoakan saya.

11.Adik-adik saya Sarah Andreina Nimas A.S dan Andreas Wisanggeni yang

memberi dukungan semangat dan mendoakan saya.

12.Keluarga besar saya yang selalu memberi dukungan semangat dan mendoakan

saya.

13.Teman-teman Disciples dan Connect Group GMS Miracle Yogyakarta, terima

kasih atas dukungan semangat, perhatian, dan doa kalian.

14.Pak Min, Pak Suparno dan Mbak Dinda yang telah membantu selama

penelitian dan memberikan dukungan motivasi dan doa.

15.Teman-teman seperjuangan Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma

Angkatan 2013, terima kasih atas kerja sama, dukungan, motivasi, dan

bantuannya.

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penulis sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terwujud.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak

kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca

diterima dengan terbuka demi perbaikan skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak.

(12)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Bagi Peneliti ... 8

2. Bagi Masyarakat... 8

3. Bagi Dunia Pendidikan ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Hama Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 9

1. Klasifikasi ... 9

2. Daur Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 10

3. Kerusakan yang disebabkan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 13

B. Insektisida ... 14

1. Pengertian Insektisida ... 14

2. Sasaran Racun Insektisida ... 15

3. Jenis Insektisida ... 16

4. Insektisida Nabati ... 19

C. Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 23

1. Klasifikasi ... 23

2. Nama Daerah Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 24

3. Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 24

4. Ekologi dan Penyebaran Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 25

5. Manfaat Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 25

(13)

xii

7. Potensi Tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai

Insektisida Nabati ... 31

D. Lethal Concentration (LC50) ... 33

E. Hasil Penelitian Relevan ... 34

F. Kerangka Berpikir ... 38

G. Hipotesa... 39

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Desain Penelitian ... 40

C. Batasan Penelitian ... 41

D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

E. Alat dan Bahan ... 42

1. Alat ... 42

2. Bahan... 43

F. Cara Kerja ... 43

1. Pembuatan Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 43

2. Penyiapan dan Pemeliharaan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 45

3. Pengamatan Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) .... 47

4. Cara Pengambilan Sampel Penelitian ... 51

5. Pengujian Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. terhadap Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 51

6. Pengambilan Data ... 52

G. Metode Analisis Data ... 53

H. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran ... 57

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Hasil ... 58

B. Pembahasan ... 64

1. Pengaruh Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. terhadap Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) berdasarkan Hasil Pengamatan Data ... 64

2. Faktor-Faktor Penyebab Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 69

a. Kandungan Metabolit Sekunder Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 69

b. Waktu Aplikasi Penyemprotan Insektisida ... 70

c. Aktivitas Makan Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 71

d. Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ... 72

3. Faktor Pendukung Proses Penelitian ... 73

4. Hambatan dan Keterbatasan dalam Penelitian ... 74

(14)

xiii

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan pada Pengamatan Mortalitas P. xylostella ... 41 Tabel 4.1 Hasil Analisa Kandungan Flavonoid dan Alkaloid Ekstrak

Tanaman Ageratum conyzoides L. ... 58 Tabel 4.2 Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan

24 Jam sampai 48 Jam ... 58 Tabel 4.3 Analisis Probit LC50 Pengamatan 24 Jam ... 61

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Ulat Plutella xylostella L... 9

Gambar 2.2 Telur P. xylostella ...10

Gambar 2.3 Ulat P. xylostella ...11

Gambar 2.4 Pupa P. xylostella ...12

Gambar 2.5 Ngengat P. xylostella...12

Gambar 2.6 Tanaman Ageratum conyzoides L. ...23

Gambar 2.7 Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L. ...25

Gambar 2.8 Bagan Literature Map ...37

Gambar 2.9 Kerangka Berpikir ...39

Gambar 3.1 Hasil Pengenceran Ekstrak Tanaman A. conyzoides dengan Akuades ...46

Gambar 3.2 Stoples Pemeliharaan Ulat dan Ngengat ...48

Gambar 3.3 Siklus Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ...53

Gambar 3.4 Stadium Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) ...54

Gambar 4.1 Kurva Grafik Regresi Linier Hubungan Log10 Konsentrasi Ekstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. dengan Nilai Probit dari Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan 24 Jam...63

Gambar 4.2 Kurva Grafik Regresi Linier Hubungan Log10 KonsentrasiEkstrak Tanaman Ageratum conyzoides L. dengan Nilai Probit dari Mortalitas Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) pada Pengamatan 48 Jam...63

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Hasil Data Observasi ...87

Lampiran 2: Perhitungan Analisis Probit LC50 ...88

Lampiran 3: Dokumentasi Penelitian ...93

Lampiran 4: Hasil Analisa Lab. Chem-Mix Pratama...99

Lampiran 5: Prosedur Analisa Flavonoid ...100

Lampiran 6: Prosedur Analisa Alkaloid ...101

Lampiran 7: Silabus ...102

Lampiran 8: RPP ...109

Lampiran 9: Lembar Diskusi Siswa ...117

(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanaman sayuran mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia,

sebab sayuran sangat berguna bagi pemenuhan gizi manusia dan juga bagi

pembangunan pertanian. Oleh sebab itu peningkatan produksi sayuran

merupakan salah satu syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan umat

manusia (Satsijati, et al., 1987). Contoh komoditas sayuran yang banyak

dibudidayakan adalah kubis (Brassica oleracea L.).

Kubis (Brassicae oleracea L.) merupakan komoditi sayuran yang

memiliki nilai gizi dan ekonomi yang cukup tinggi. Budidaya kubis

memberikan pendapatan bagi petani, di samping itu kubis juga mengandung

nilai gizi penting, yaitu vitamin A dan C (Sastrosiswojo et al., 2005).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal

Hortikultura, produksi sayuran kubis dalam skala nasional selalu menempati

urutan teratas. Pada tahun 2015 produksi tanaman kubis mencapai 1.443.232

ton. Banyaknya hasil produksi ini juga didukung oleh luas lahan yang

mencapai 64.625 Ha. Hal ini menunjukan bahwa tanaman kubis merupakan

sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan secara

terus-menerus.

Sehubungan dengan semakin meningkatnya permintaan masyarakat

terhadap komoditas sayuran ini dan didiukung oleh kondisi iklim yang sesuai,

(19)

membudidayakan kubis. Namun demikian dalam budidaya tanaman ini

masalah hama merupakan salah satu masalah yang sangat berpengaruh

terhadap produksi kubis baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Menurut

Permadi dan Sastrosiswojo (1993) beberapa serangga hama telah dilaporkan

dapat menimbulkan kerusakan pada pertanaman kubis di antaranya ulat daun

kubis (Plutella xylostella L.), ulat jantung kubis (Crocidolomia pavonana

Fab.), ulat grayak (Spadoptera litura Fab.), ulat tanah (Agrotis ipsilon

Hufnagel), ulat jengkal (Crysodeixis orichalcea L.), Helicoverpa armigera

(Hubner), Hellula undalis Fab., dan kutu daun.

Ulat kubis (Plutella xylostella L.) merupakan hama utama pada tanaman

kubis dataran tinggi dengan tingkat serangan mulai dari sedang hingga berat.

Pada serangan berat bisa mengakibatkan kerugian yang sangat signifikan,

terutama menurunnya kualitas produksi. Ulat ini dikenal juga dengan nama

ulat tritip, dan menjadi salah satu hama yang paling ditakuti oleh petani kubis.

Ulat berukuran kecil ini biasanya bersembunyi di balik daun, dan menyerang

jaringan daun sehingga jaringan daun kosong, hanya tersisa epidermis saja.

Daun yang terserang ditandai dengan bercak-bercak putih (Tanijogonegoro,

2015). Berdasarkan informasi yang didapat hama Plutella xylostella L.

menyerang sejumlah lahan pertanian di Desa Wangunharja, Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Akibatnya, tanaman seperti kubis,

brokoli, kol, dan sawi milik para petani banyak yang mengalami kerusakan

dan gagal panen. Serangan hama tersebut membuat para petani sangat

(20)

harga sejumlah komoditas kubis-kubisan mengalami penurunan. Harga sawi

yang biasanya Rp 2.500-4.000 per kilogram jadi Rp 1.000 (Husodo, 2017).

Selain itu, pertanian sayuran di Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa

Tengah juga sedang dilanda musibah karena sayuran kubis yang petani panen

terserang hama ulat tritip. Hama tersebut menyebabkan kualitas dan kuantitas

kubis hasil panen pertanian setempat menurun. Akibatnya, harga kubis

Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah turun sekitar 50% dari kondisi

normal (Putra, 2017). Akibat yang ditimbulkan oleh hama tersebut dapat

menurunkan produksi tanaman kubis dan mengakibatkan kerugian bagi para

petani yang membudidayakan tanaman kubis tersebut. Oleh karena itu petani

perlu untuk memperhatikan permasalahan dan bagaimana untuk pengendalian

hama ulat daun pada tanaman tersebut.

Petani kubis masih cenderung menggunakan insektisida kimiawi. Metode

tersebut dipandang lebih efektif dan efisien mengendalikan serangga hama.

Sekitar 30% dari total biaya produksi digunakan untuk membeli insektisida

kimiawi (Sastrosiswojo et al., 2005).

Penggunaan pestisida kimia sintesis untuk mengendalikan hama

mempunyai dampak negatif terhadap komponen ekosistem lainnya seperti

terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta pencemaran

lingkungan karena residu yang ditinggalkan (Kishi et al., 1995). Catatan WHO

(Organisasi Keseatan Dunia) mencatat bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya

terjadi keracunan pestisida antara 44.000 – 2.000.000 orang dan dari angka

(21)

dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan

insektisida nabati (bioinsektisida). Menurut Setiawati dkk. (2008) penggunaan

insektisida nabati merupakan alternatif untuk mengendalikan serangan hama.

Insektisida nabati relatif mudah didapat, aman terhadap hewan bukan sasaran

dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping.

Insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan baku tumbuhan

yang mengandung senyawa aktif berupa metabolit sekunder yang mampu

memberikan satu atau lebih aktivitas biologi, baik pengaruh pada aspek

fisiologis maupun tingkah laku dari hama tanaman serta memenuhi syarat

untuk digunakan dalam pengendalian hama tanaman (Dadang dan Prijono,

2008).

Sifat insektisida nabati yang aman bagi organisme non target dan aman

bagi lingkungan merupakan salah satu keunggulan dari insektisida nabati.

Selain itu pemanfaatan insektisida nabati dapat mengurangi ketergantungan

petani pada insektisida sintetik, lebih ramah lingkungan, serta berkelanjutan.

Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak bahan kimia yang

merupakan produksi metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan

sebagai alat pertahanan dari serangan OPT (Organisme Pengganggu

Tanaman). Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235

famili dilaporkan mengandung bahan pestisida. Oleh karena itu, jika dapat

mengolah tumbuhan ini sebagai bahan pestisida, maka akan membantu

masyarakat petani untuk menggunakan pengendalian yang ramah lingkungan

(22)

(Kardinan, 2004). Menurut Syahputra (2001) lebih dari 1500 jenis tumbuhan

dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga. Famili tumbuhan yang

dianggap merupakan potensial insektisida nabati adalah Meliaceae,

Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae.

Tumbuhan yang saat ini sedang dikembangkan sebagai insektisida nabati

yaitu tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri. Properti minyak atsiri

tersebut berhubungan dengan senyawa yang dikandungnya terutama dari

golongan terpen, alkohol, aldehid, dan fenol seperti karvakrol, eugenol, timol,

sinamaldehid, asam sinamat, dan perilaldehid (Burt, 2007). Selain itu,

Rodriguez & Levin (1975) dalam Sukandar dkk., (2007:1) mengemukakan

bahwa minyak atsiri memiliki pengaruh sebagai penarik, atau sebagai

insektisida serangga. Selain minyak atsiri, senyawa aktif pada tumbuhan

seperti saponin, alkaloid, dan flavonoid juga sangat berpengaruh sebagai

insektisida serangga.

Tanaman Ageratum conyzoides L. yang banyak ditemui di sekitar lahan

pertanian dan merupakan gulma yang dapat menimbulkan kerugian bagi

pertumbuhan tanaman pertanian, ternyata dapat dimanfaatkan sebagai

insektisida nabati. Dengan perkembangan teknologi penggunaan insektisida

nabati tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun terhadap

makhluk hidup, sehingga relatif aman untuk digunakan. Tidak beresiko

menimbulkan keracunaan pada tanaman, sehingga tanaman yang diaplikasikan

insektisida nabati jauh lebih sehat dan aman dari pencemaran zat kimia

(23)

resistensi (kekebalan) pada hama. Dalam artian insektisida nabati aman bagi

keseimbangan ekosistem dan hasil petanian yang dihasilkan lebih sehat serta

terbebas dari residu insektisida kimiawi.

Ageratum conyzoides L. merupakan tumbuhan sejenis gulma pertanian

anggota famili Asteraceae yang lebih dikenal sebagai babadotan (Pujowati,

2006). Bagian tanaman Ageratum conyzoides L. yang digunakan untuk

dijadikan insektisida nabati adalah daunnya, karena di dalam daun babadotan

terdapat kandungan senyawa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri

yang ternyata cukup beracun bagi serangga, sehingga mampu menghambat

pertumbuhan serangga menjadi kepompong (Kardinan, 2004).

Meskipun dianggap sebagai tumbuhan pengganggu oleh petani,

akhir-akhir ini Ageratum conyzoides L. menjadi topik penelitian yang gencar

terutama karena potensinya sebagai insektisida nabati pengganti insektisida

sintetik yang ramah lingkungan. Insektisida nabati merupakan hasil ekstraksi

bagian tertentu dari tumbuhan/tanaman baik dari daun, buah, biji atau akarnya

yang memiliki senyawa aktif atau metabolit sekunder yang dapat digunakan

untuk mengendalikan organisme penggangu tanaman (OPT) dan bersifat tidak

merusak lingkungan.

Dari permasalahan tersebut, peneliti tertarik memanfaatkan tanaman

Ageratum conyzoides L. sebagai insektisida nabati untuk mengatasi

permasalahan hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) dengan melakukan uji

(24)

L. terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) yang dilakukan

dalam stoples pemeliharaan.

Dalam penelitian ini untuk menguji toksisitas ekstrak tanaman Ageratum

conyzoides L. sebagai insektisida nabati diuji menggunakan analisis probit

LC50 untuk mencari nilai LC50 24 jam dan 48 jam dalam mematikan hama ulat

kubis (Plutella xylostella L.). Metode LC50 ini digunakan untuk mengetahui

kadar toksik dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. melalui analisa

konsentrasi zat tersebut dalam mematikan 50% ulat uji.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L.

sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella

xylostella L.)?

2. Berapakah nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman Ageratum

conyzoides L. yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis

(Plutella xylostella L.)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh toksisitas ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L.

sebagai insektisida nabati terhadap mortalitas hama ulat kubis (Plutella

(25)

2. Mengetahui nilai LC50 24 jam dan 48 jam dari ekstrak tanaman Ageratum

conyzoides L. yang berpengaruh terhadap mortalitas hama ulat kubis

(Plutella xylostella L.).

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

a. Menambah pengetahuan terkait pemanfaatan tanaman gulma Ageratum

conyzoides L. sebagai insektisida nabati.

b. Dapat mengetahui cara pembuatan insektisida nabati yang mudah dan

sederhana.

2. Bagi Masyarakat

a. Menambah pengetahuan mengenai manfaat tanaman gulma Ageratum

conyzoides L. sebagai insektisida nabati.

b. Tanaman gulma Ageratum conyzoides L. menjadi bahan alternatif bagi

petani untuk pengendalian hama selain insektisida kimiawi.

3. Bagi Dunia Pendidikan

a. Sebagai sumber informasi terkait manfaat dari tanaman gulma

Ageratum conyzoides L. sebagai pengendali hama.

b. Sebagai sumber bahan ajar untuk kelas X SMA bab ruang lingkup

(26)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hama Ulat Kubis (Plutella xylostella L.) 1. Klasifikasi

Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella L.) menurut Kalshoven

(1981) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Plutellidae

Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella L.

Dulu hama ini bernama Plutella maculipennis. Kadang-kadang

disebut juga sebagai hama putih, karena kubis yang telah diserangnya

menjadi putih (tinggal epidermisnya saja). Ulat makan daun kubis, sawi

atau petsai yang muda dan tua. Pada setiap pertanaman kubis selalu

dijumpai hama ini, sehingga terkenal juga dengan sebutan ulat kubis

(Tjahjadi, 2002).

Ulat ini juga disebut ulat tritip, atau ngengat punggung berlian.

Tersebar di seluruh dunia, di daerah tropis, subtropis dan daerah sedang Gambar 2.1 Ulat

(27)

(temperate). Ulat tritip itu kecil tetapi sangat merugikan tanaman kubis.

Kubis yang terserang menjadi rusak hebat (Pracaya, 1993).

Hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat

ditemukan di pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau

perbukitan. Namun, karena akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran

rendah, P. xylostella juga dapat ditemukan pada pertanaman kubis di

dataran rendah (Sastrosiswojo, et al., 2005).

2. Daur Hidup Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)

Ulat kubis (P. xylostella) mengalami 4 kali perubahan bentuk dalam

hidupnya yaitu stadium telur, ulat, pupa/ kepompong dan ngengat/ imago.

Umur tritip di daerah dingin lebih panjang daripada di daerah panas.

Berikut 4 kali perubahan bentuk ulat P. xylostella:

a. Telur

Gambar 2.2 Telur P. xylostella (Dok. Pribadi)

Telur P. xylostella berbentuk oval dan rata, ukurannya 0,44 mm

dan 0,26 mm. Telur berwarna hijau kuning atau pucat, dan disimpan

sendiri atau dalam kelompok kecil dari dua sampai delapan telur pada

cekungan di permukaan dedaunan, atau kadang-kadang pada bagian

(28)

250 m dpl, stadium telurnya 2 hari, ulat 9 hari, pupa 4 hari dan

kupu-kupu 7 hari. Sedang di dataran tinggi sampai di ketinggian 1.100 –

1.200 m dpl, stadium telurnya 3 – 4 hari, ulat 12 hari, pupa 6 – 7 hari

dan kupu-kupu 20 hari (Pracaya, 1993).

b. Ulat

Gambar 2.3 Ulat P. xylostella (Dok. Pribadi)

Ulat yang baru menetas warnanya hijau pucat sedang yang telah

dewasa lebih tua dengan warna kepala lebih pucat dengan bintik-bintik

atau garis cokelat (Pracaya, 1993). Fase ulat P. xylostella terdiri atas

empat instar yaitu, instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Ulat instar

I memiliki panjang 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau

kekuning-kuningan, dan berlangsung selama 4 hari. Ulat instar II memiliki

panjang 2 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan, dan

berlangsung selama 2 hari. Ulat instar III memiliki panjang tubuh 4 – 6

mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari.

Ulat instar IV memiliki panjang 6 – 8 mm, lebar 1 – 1,5 mm, berwarna

hijau, dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana, 1994 dalam Purba,

2007). Ulat lincah dan jika tersentuh akan menggantungkan diri

dengan benang halus. Ulat jantan dapat dibedakan dari ulat betina

karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning

(29)

c. Pupa (Kepompong)

Gambar 2.4 Pupa P. xylostella (Dok. Pribadi)

Pada akhir instar ke IV, ulat membuat kokon yang berwana putih

sebagai pelindung sehingga tampak seperti jala dan berbentuk silinder

pada permukaan bawah daun. Pembentukan kepompong mula-mula

dibuat dasarnya, sisi, kemudian tutupnya, yang masih terbuka pada

bagian ujung untuk keperluan pernapasan (aerasi). Pembuatan

kepompong ini diselesaikan dalam waktu 24 jam, setelah selesai ulat

berubah menjadi pupa (Pracaya, 1993). Pupa pada mulanya berwarna

hijau, selanjutnya berwarna kuning pucat, dengan warna kecoklatan

pada bagian punggungnya. Panjang pupa 5 – 6 mm, dengan diameter

1,2 – 1,5 mm. Pupa tertutup oleh kokon, dengan masa pupa 3 – 6 hari

(Sudarmo, 1994). Kulit ulat biasanya diletakkan dalam kepompong

tetapi kadang-kadang juga diletakkan di luar kepompong. (Pracaya,

1993).

d. Ngengat (Imago)

Gambar 2.5 Ngengat P. xylostella (Dok. Pribadi)

Ngengat berwarna abu-abu sampai coklat kelabu dan pada saat

(30)

(diamond) atau terdapat bentuk segitiga sepanjang punggungnya.

Ngengat beristirahat pada siang hari. Umur ngengat 2 – 4 minggu.

Ngengat betina mampu menghasilkan telur 180 – 320 butir (Deptan,

2008). Ngengat memiliki panjang tubuh 5 – 9 mm. waktu ngengat

istirahat, antena lurus ke depan. Ngengat jantan kelihatan lebih kecil

dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah

(Sudarmo, 1994). Ngengat punggung berlian ini hidupnya dari

menghisap madu dari bunga yang termasuk keluarga Cruciferae.

Warna sayapnya abu-abu kecoklatan, yang betina berwarna lebih

pucat. Dalam keadaan istirahat empat sayapnya menutup tubuhnya dan

seakan-akan ada gambaran seperti jajaran genjang yang warnanya

putih seperti berlian. Oleh karena itu hama ini disebut ngengat

punggung berlian. Yang betina dapat bertelur 180 sampai 320 butir.

Pada umumnya telur diletakkan di balik daun satu persatu,

kadang-kadang dua-dua atau tiga-tiga. Telurnya mengelompok dalam satu

daun atau daun yang berlainan tanaman, sehingga satu ngengat dapat

bertelur pada banyak tanaman kubis (Pracaya, 1993).

3. Kerusakan yang disebabkan Ulat Kubis Pluetella xylostella L.

Bagian tanaman yang diserang adalah daun. Ulat memakan daging

daun, sehingga hanya tersisa tulang-tulang daunnya dan bagian epidermis

daun bagian atas saja. Ulat ini menyerang segala tingkatan umur. Ulat juga

(31)

pertumbuhan. Kerugian akibat ulat ini adala antara 58% - 100% (Mulyono,

2009).

Ciri khas dari ulat tritip bila merasa ada bahaya akan menjatuhkan

diri dengan mengeluarkan benang untuk menyelamatkan diri. Ulat

bersembunyi di balik daun, sambil makan. Biasanya yang dimakan hanya

daging daun tetapi kulit ari bagian luar permukaan daun sebelah atas tidak

hingga daun kelihatan bercak-bercak putih. Karena itulah maka hama ini

juga disebut hama putih (hama bodas). Apabila kulit ari yang terserang

menjadi kering, maka akan sobek dan kelihatan berlubang-lubang. Apabila

serangan menghebat yang tertinggal hanyalah tulang-tulang daun,

sehingga bentuk daun seperti wayang kulit. Sebab itu, ada yang menyebut

hama ini sebagai hama wayang. Selain menyerang kubis juga menyerang

lobak, sawi, kohlrabi, kubis bunga, kubis kale, kubis tunas, dan tanaman

lainnya yang termasuk keluarga Cruciferae (Pracaya, 1993).

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh

alami (Ordo: Odonata), melakukan penyemprotan dengan menggunakan

insektisida, rotasi tanaman, sanitasi lahan, dan secara mekanis (Pracaya,

2008)

B. Insektisida

1. Pengertian Insektisida

Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang

(32)

pembunuh. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest =

hama dan cida = pembunuh. Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida, sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida

(pembunuh roden/ tikus), acarisida (pembunuh tungau), dan nematisida

(pembunuh nematoda).

Dalam penggunaanya di bidang pengendalian hama bila digunakan

istilah pestisida sering yang dimaksudkan adalah insektisida. Meskipun

ada alat-alat yang dapat kita gunakan untuk membunuh serangga seperti

alat pemukul namun alat tersebut tidak kita namakan pestisida karena yang

diartikan pestisida di sini adalah bahan kimia yang digunakan untuk

membunuh hama (Untung,1993).

Menurut Soeparwan Soeleman dan Donor Rahayu (2013) pestisida

atau insektisida paling baik diaplikasikan pada pagi hari atau sore hari.

Lakukan penyemprotan di bagian bawah dan atas daun. Penyemprotan

pada siang hari dapat menyebabkan daun terbakar atau rusak.

2. Sasaran Racun Insektisida

Berdasarkan cara masuknya insektisida ke dalam jasad sasaran,

Hudayya dan Jayanti (2012) menggolongkan menjadi:

1. Racun perut/ lambung, adalah insektisida yang mampu membunuh

serangga dengan cara masuk ke saluran pencernaan melalui makanan

yang dimakan. Insektisida akan masuk ke organ pencernaan serangga

(33)

yang mematikan seperti pusat syaraf, organ respirasi, dan sel-sel

lambung.

2. Racun kontak, insektisida ini membunuh serangga dengan cara masuk

kedalam tubuh serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh

atau langsung mengenai mulut serangga. serangga akan mati apabila

kontak langsung dengan insektisida tersebut.

3. Racun nafas, insektisida yang masuk melalui trachea serangga dalam

bentuk partikel mikro yang melayang diudara berupa gas, asap,

maupun uap dari insektisida. Serangga akan mati apabila menghirup

partikel dari insektisida tersebut dalam jumlah tertentu.

4. Racun saraf, merupakan insektisida yang cara kerjanya mengganggu

sistem saraf jasad sasaran.

5. Racun protoplasmik, merupakan insektisida yang bekerja dengan cara

merusak protein dalam sel tubuh jasad sasaran.

6. Racun sistemik, merupakan insektisida yang masuk ke dalam sistem

jaringan tanaman dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman,

sehingga bila dihisap, dimakan atau mengenai jasad sasarannya bisa

meracuni.

3. Jenis Insektisida

Tarumingkeng (1992) membagi insektisida menjadi 3 jenis

berdasarkan mekanisme dalam meracuni makanan serangga, yaitu:

(34)

Insektisida sistemik adalah insektisida yang diserap oleh

bagian-bagian tanaman melalui stomata, meristem akar, lentisel batang dan

celah-celah alami yang terdapat di permukaan tanaman. Insektisida ini

akan melewati sel-sel menuju ke jaringan pengangkut dan akan

meninggalkan residunya pada sel-sel yang dilewatinya. Melalui

pembuluh angkut insektisida ditranslokasikan ke bagian-bagian

tanaman lainnya baik kearah atas (akropetal) atau ke bawah

(basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh. Serangga akan mati

apabila memakan bagian tanaman yang mengandung residu

insektisida.

2. Insektisida non-sistemik

Insektisida non-sistemik adalah insektisida yang tidak dapat

diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel pada bagian

luar tanaman. Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman

yang permukaannya terkena insektisida.

3. Insektisida sistemik lokal

Insektisida sistemik lokal adalah insektisida yang mampu diserap

oleh jaringan daun, tetapi tidak dapat ditranslokasikan ke jaringan

bagian tanaman lainnya. Misalnya insektisida yang jatuh ke permukaan

atas daun akan menembus epidermis atas kemudain masuk ke jaringan

parenkim pada mesofil dan menyebar ke seluruh mesofil daun hingga

(35)

Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang tersebar

insektisida.

Menurut Untung (1993) insektisida dapat dibagi lagi menurut sifat

dasar senyawa kimianya yaitu:

(1) Insektisida anorganik yang tidak mengandung unsur Karbon.

(2) Insektisida organik yang mengandung unsur Karbon. Insektisida

organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan

insektisida organik sintesis. Insektisida organik alami merupakan

insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botanik) dan

bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan

hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi.

Insektisida modern pada umumnya merupakan insektisida organik

sintetik. Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan

kimia bahan aktif (senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari

4 kelompok besar yaitu organoklorin (OK), organofosfat (OP),

karbamat, dan piretroid sintetik. Sedangkan, insektisida botanik

(insektisida nabati) diambil secara langsung dari tanaman atau dari

hasil tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang

paling tua dan banyak digunakan untuk pengendalian hama

sebelum insektisida organik sintetik ditemukan. Karena

kesulitannya dalam mengadakan ekstraksi dan memperoleh bahan

dasar (tanaman), maka penggunaannya semakin lama semakin

(36)

4. Insektisida Nabati

Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami berasal

dari tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang

mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat

kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan

ke tanaman yang terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh

terhadap fotosintesa, pertumbuhan atau aspek fisiologi tanaman lainnya,

namun berpengaruh terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

(Deptan, 1994).

Menurut Setiawati dkk. (2008) insektisida nabati adalah bahan aktif

tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan

untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Sifat

insektisida nabati dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas

(pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Insektisida nabati diartikan

sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang

relatif murah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas.

Oleh karena terbuat dari bahan alami/ nabati maka jenis insektisida ini

bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari

lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena

residu mudah hilang. Banyak jenis tumbuhan telah diketahui secara luas

memproduksi berbagai jenis metabolit/ senyawa sekunder seperti

flavonoid, terpenoid, alkaloid, saponin, dan lain-lain yang berguna sebagai

(37)

hal ini membuktikan bahwa metabolit sekunder tumbuhan digunakan

sebagai agen perlindungan tanaman.

Sedangkan menurut Indriani (2006) insektisida nabati adalah herbal

dari bahan tumbuhan yang diekstraksi menjadi konsentrat dengan tidak

mengubah struktur kimianya. Insektisida ini mudah terurai atau

terdegradasi sehingga tidak persisten di alam ataupun pada bahan

makanan. Insektisida nabati aman bagi lingkungan, untuk mendukung

pertanian organik dalam upaya mengurangi penggunaan insektisida

sintesis dan harganya pun lebih murah.

Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat

membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara

kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara

tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik yaitu:

1. Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.

2. Menghambat pergantian kulit.

3. Mengganggu komunikasi serangga.

4. Menyebabkan serangga menolak makan.

5. Menghambat reproduksi serangga betina.

6. Mengurangi nafsu makan.

7. Memblokir kemampuan makan serangga.

8. Mengusir serangga (Repellent).

(38)

Sedangkan menurut Sonyaratri (2006) peranan insektisida alami

dalam mematikan serangga adalah sebagai:

1. Repellent, merupakan senyawa yang dapat menolak kehadiran

serangga. Senyawa ini memiliki bau yang menyengat, sehingga dapat

menolak kehadiran serangga dan mencegah serangga meletakkan telur

serta menghentikan proses penetasan telur.

2. Antifeedant, merupakan senyawa yang dapat mencegah serangga untuk

memakan tanaman yang telah disemprot. Hal ini dikarenakan tanaman

yang telah disemprot oleh insektisida alami menjadi terasa pahit.

3. Racun syaraf.

4. Atractant, merupakan senyawa yang mampu memikat kehadiran

serangga, sehingga senyawa ini dapat digunakan sebagai perangkap

serangga.

Dadang dan Prijono (2008) menyatakan bahwa pilihan penggunaan

insektisida nabati tentunya harus didasari oleh alasan-alasan yang kuat dan

tepat yang berkaitan dengan sifat dasar insektisida nabati itu sendiri.

Secara umum insektisida nabati bersifat:

a) Mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga diharapkan tidak

meninggalkan residu pada produk pertanian.

b) Relatif aman terhadap organisme bukan sasaran termasuk musuh alami

hama (selectivity) sehingga dapat menjaga keseimbangan ekosistem

(39)

c) Dapat dipadukan dengan komponen pengendalian lainnya

(compatibility) yang memungkinkan penerapan teknologi atau strategi

lain yang dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga tidak ada

komponen pengendalian yang mendominan.

d) Dapat memperlambat laju resistensi yang sangat penting dalam rangka

manejemen resistensi (insect pest resistant management).

e) Dapat menjamin ketahanan dan keberlanjutan dalam usaha tani

(sustainability) karena dapat menjamin semua komponen dalam

ekosistem berjalan dengan baik.

Menurut Naria (2005) kelemahan dari pemakaian insektisida nabati,

antara lain:

1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan

dengan insektisida sintesis. Tingginya frekuensi penggunaan

insektisida botani adalah karena sifatnya yang mudah terurai di

lingkungan sehingga harus lebih sering diaplikasikan.

2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active

ingredient) dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat dideteksi.

3. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang

berbeda, umur tanaman berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda,

umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda

(40)

C. Tanaman Ageratum conyzoides L. 1. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman Ageratum conyzoides L. menurut Planmor

(2012) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Ageratum

Spesies : Ageratum conyzoides L.

Tumbuhan ini dikenal sebagai tumbuhan yang mengeluarkan aroma

mirip dengan kambing, sehingga dalam bahasa daerah disebut Babadotan/

Bandotan/ Wedusan. Nama ilmiah babadotan adalah Ageratum conyzoides

L. berasal dari bahasa Yunani (“a geras” berarti tumbuhan berumur

panjang seperti Dewi Konyz). Memiliki kemampuan untuk beradaptasi

pada berbagai kondisi ekologi, bijinya sangat kecil dan ringan, bersifat

positif photoblastik (biji yang memerlukan cahaya yang cukup), viabilitas

biji bisa bertahan hingga 12 bulan dengan suhu optimum untuk

perkecambahan 20-50°C. Keistimewaan tersebut menyebabkan tumbuhan Gambar 2.6 Tanaman

(41)

ini sangat mudah tumbuh, berkembang dan tersebar luas. Jika tumbuh di

sekitar pertanaman atau pekarangan sering dianggap sebagai gulma yang

menurunkan hasil dan menimbulkan kerugian pada usaha tani

(Mildaerizanti, 2015).

2. Nama Daerah Tanaman Ageratum conyzoides L.

Bandotan, daun tombak, siangit, tombak jantan, siangik kahwa,

rumput tahi ayam (Sumatera); babadotan, babadotan leutik, babandotan,

babadotan beureum, babadotan hejo, jukut bau, ki bau (Sunda); bandotan,

berokan, wedusan, dus wedusan, dus bedusan, tempuyak (Jawa); dan

dawet, lawet, rukut manooe, rukut weru, sopi (Sulawesi) (Agromedia,

2008).

3. Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L.

Habitus berupa tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak atau bagian

bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm dan bercabang. Batang

berbentuk bulat berbulu tebal. Daun tunggal bertangkai, letaknya saling

berhadapan dan bersilang, helaian daun bulat telur dengan pangkal

membulat dan ujung meruncing, tepi bergerigi, panjangnya 1-10 cm, lebar

0,5-7 cm, kedua permukaan daun meroma dengan kelenjar yang terletak di

permukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk berkumpul 3

atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, biasanya

(42)

mm, dengan tangkai yang berambut. Buah bulat panjang berwarna hitam

dan bentuknya kecil (Badan POM RI, 2008).

4. Ekologi dan Penyebaran Tanaman Ageratum conyzoides L.

Bandotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan herba 1 tahun.

Bandotan berasal dari daerah tropis di Amerika. Di Indonesia, bandotan

merupakan salah satu tumbuh-tumbuhan pengganggu yang terkenal.

Bandotan tumbuh di ladang, semak belukar, halaman kebun, tepi jalan dan

tepi air. Tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-2.100 m di atas

permukaan laut (Steenis, 1997).

5. Manfaat Tanaman Ageratum conyzoides L.

Tanaman ini dikenal secara luas sebagai tanaman obat juga dapat

digunakan sebagai pestisida nabati. Sebagai tanaman obat di Indonesia,

bagian akar dari tumbuhan ini digunakan untuk menurunkan demam,

sedangkan bagian daunnya digunakan sebagai pencuci mata serta

mengobati sakit perut dan luka. Di Malaysia, daun A. conyzoides

digunakan untuk mengurangi sakit gigi, keseluruhan tumbuhan digunakan Gambar 2.7 Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L.: (a) Akar (b) Batang (c) Daun (Dok. Badan POM RI, 2008).

(43)

untuk mengobati asma dan akarnya digunakan untuk mengobati batuk. Di

Brazil larutan ekstrak daun atau keseluruhan tanaman ini digunakan untuk

mengobati kolik, demam, flu, diare, rematik, kejang-kejang atau sebagai

tonik. Sebagai pestisida nabati, ekstrak kloroform tanaman ini telah diuji

toksisitasnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kloroform A.

conyzoides mempunyai efek toksik terhadap larva Artemia salina. Ekstrak

metanol daun dan akar tanaman juga dapat menghambat bakteri S.

Pyogenes. Daun yang diekstrak dengan metanol pada konsentrasi 1%

beracun terhadap serangga. Tepung daunnya yang dicampur dengan

tepung terigu mampu menghambat pertumbuhan larva sehingga menjadi

pupa, seperti nyamuk, hama pascapanen (Sitophilus sp. dan Callosobuchus

sp.), nematoda (Meloidogyne incognita) dan sebagainya (Wijayanto,

2016). Sedangkan, menurut Agromedia (2008) herba bandotan berasa

sedikit pahit, pedas, dan sifatnya netral. Karena itulah bandotan dapat

digunakan sebagai penolak serangga (insect repellent).

6. Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Ageratum conyzoides L. Berikut kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman

Ageratum conyzoides L. :

a. Flavonoid

Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang

(44)

ini merupakan produk metabolik sekunder yang terjadi dari sel dan

terakumulasi dari tubuh tumbuhan sebagai zat racun (Robinson, 1995).

Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan

mengecualikan alga. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua

bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nectar,

bunga, buah, dan biji. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan

tumbuhan yang terbesar, yaitu angiospermae. Selain itu, flavonoid

merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus hidroksil yang tak

tersulih, atau suatu gula, sehingga flavonoid cukup larut dalam pelarut

polar seperti etanol, metanol, butanol, dan air (Markham, 1988).

Menurut Dinata (2009) flavonoid merupakan senyawa kimia yang

memiliki sifat insektisida. Flavonoid menyerang bagian syaraf pada

beberapa organ vital serangga sehingga timbul suatu perlemahan

syaraf, seperti pernapasan dan menimbulkan kematian. Flavonoid juga

dapat menghambat daya makan serangga (antifeedant). Bila senyawa

ini masuk dalam tubuh serangga, maka alat pencernaannya akan

terganggu. Senyawa ini juga bekerja dengan menghambat reseptor

perasa pada daerah mulut serangga. Hal ini mengakibatkan serangga

gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali

makanannya. Akibatnya serangga mati kelaparan.

b. Alkaloid

Menurut Harbone (1996) alkaloid sekitar 5500 telah diketahui

(45)

mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih

atom nitrogen. Sedangkan, menurut Sjamsul Arifin Achmad (1986)

alkaloid adalah golongan senyawa organik yang banyak ditemukan di

alam. Sebagian besar alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luar

dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling

sedikit sebuah atom nitrogen yang biasanya bersifat basa. Sebagian

besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik.

Definisi tentang alkaloid harus dibatasi karena asam amino, peptida

dan nukleotida bukanlah suatu alkaloid.

Bagi tumbuhan, alkaloid berfungsi sebagai senyawa racun yang

melindungi tumbuhan dari serangga atau herbivora (hama dan

penyakit), pengatur tumbuh atau sebagai basa mineral untuk

mempertahankan keseimbangan ion (Sudarma, 2014). Umumnya

alkaloid merupakan senyawa padat, berbentuk kristal, tidak berwarna

dan mempunyai rasa pahit. Menurut Harborne (1996) alkaloid

umumnya tidak ditemukan pada gymnospermaae, paku-pakuan, lumut

dan tumbuhan rendah lainnya. Alkaloid juga mampu menghambat

pertumbuhan serangga, terutama tiga hormon utama dalam serangga

yaitu hormon otak (brain hormone), hormon edikson, dan hormon

pertumbuhan (juvenile hormone). Tidak berkembangnya hormon

tersebut dapat menyebabkan kegagalan metamorphosis.

Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit dari

(46)

15 %. Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat

berguna dalam pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna,

sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi

hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar

(Sabirin, et al., 1994). Berdasarkan penelitian Janzen et.al (1977) pada

konsentrasi 0,1% alkaloid telah bersifat toksik dan berpengaruh secara

farmakologi terhadap hewan.

c. Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun

glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan

bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya

membentuk busa dan menghemolisa sel darah mupun glikosida

steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti

sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk

busa dan menghemolisa sel darah merah (Harborne, 1996).

Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa

sapogenin. Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadaan

saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal

dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil.

Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat

menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin,

banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan

(47)

Saponin termasuk ke dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin

ini di dalam tubuh serangga adalah mengikat sterol bebas dalam

saluran pencernaan makanan dimana sterol itu sendiri adalah zat yang

berfungsi sebagai perkusor hormon edikson, sehingga dengan

menurunnya jumlah sterol bebas dalam tubuh serangga akan

mengakibatkan terganggunya proses pergantian kulit (moulting) pada

serangga. Saponin memiliki efek lain menurunkan tegangan

permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding

traktus digestivus larva menjadi korosif (Aminah dkk., 2001). Menurut

Marfu’ah (2005) saponin dapat merusak sistem saraf hama, efeknya

nafsu makan hilang. Hal tersebut menyebabkan hama kurang makan

dan akhirnya mati.

d. Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman.

Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak

esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial

dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya.

Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak

berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat

teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam

bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta

disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunawan dan Mulyani,

(48)

Properti minyak atsiri berhubungan dengan senyawa yang

dikandungnya terutama dari golongan terpen, alkohol, aldehid, dan

fenol seperti karvakrol, eugenol, timol, sinamaldehid, asam sinamat,

dan perilaldehid (Burt, 2007). Selain itu, Rodriguez & Levin (1975)

dalam Sukandar dkk., (2007:1) mengemukakan bahwa minyak atsiri

memiliki pengaruh sebagai penarik, atau sebagai insektisida pada

serangga.

Menurut Sudaryani dan Sugiharti (1998) pada tanaman, minyak

atsiri mempunyai tiga fungsi, yaitu: (1) membantu proses penyerbukan

dan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, (2) mencegah

kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan, dan (3) sebagai

cadangan makanan bagi tanaman.

Menurut Hartati (2012) minyak atsiri juga mempunyai peluang

untuk dikembangkan menjadi produk-produk derivat lainnya seperti

pestisida. Pengembangan produk-produk derivat dari minyak atsiri

diharapkan dapat mengurangi atau menggantikan produk-produk yang

berasal dari bahan kimia sintetik.

7. Potensi Tanaman Ageratum conyzoides L. sebagai Insektisida Nabati Seperti halnya tanaman beracun lainnya, babadotan juga memiliki

kemampuan sebagai insektisida nabati (racun serangga), karena dalam

(49)

metabolit yang bersifat sebagai insektisida seperti alkaloid, flavonoid,

kumarin, saponin, polifenol, dan minyak atsiri (Kardinan, 2004).

Menurut Agromedia (2008) herba bandotan mengandung asam

amino, organacid, pectic substance, minyak atsiri, kumarin,

ageratochromene, friedelin, β-sitosterol, stigmasterol, tanin, sulfur, dan

pottasium kloida.

Menurut Badan POM RI (2008) daun dan bunga Ageratum

conyzoides mengandung saponin, flavonoid, terpen dan polifenol, di

samping itu daunnya juga mengandung minyak atsiri.

Samsudin (2008) menyatakan bahwa babadotan (Ageratum

conyzoides L.) memiliki senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai

insektisida dan nematisida. Kandungan senyawa bioaktif di antaranya

saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri yang mampu mencegah

hama mendekati tanaman (penolak) dan menghambat pertumbuhan larva

menjadi pupa.

Menurut Marfu’ah (2005) dalam Damayanti (2006) daun babadotan

dapat berfungsi sebagai repellent (zat penolak) pada serangga karena

memiliki aroma menyengat dan kandungan minyak atsiri yang berguna

untuk menggempur hama. Selain itu, daun babadotan juga mengandung

zat antifeedant yang disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri

sehingga nafsu makan serangga berkurang. Saponin yang ada pada daun

(50)

Ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. juga menghasilkan

beberapa minyak yang berpotensi sebagai insektisida. Komposisi yang

terkandung dalam minyak-minyak tersebut adalah prococene I dan

prococene II, beta-caryophyllene, gamma-bisabolene,

3,3-dimethyl-5-tertbutilindone dan fenil asetat. Selain itu juga diidentifikasi adanya

senyawa 2-(2’-methylethyl)-5,6-dimethoxybenzofuran dan asam

6-methyl-12-heptadecenoic (Amelot et all., 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat racun dari insektisida

khususnya dari daun Ageratum conyzoides L. adalah toksisitas dari

senyawa insektisida, dosis insektisida khususnya konsentrasi, lama terkena

insektisida dan cara pestisida masuk dalam tubuh serangga (Prijono dalam

Latif, 2001). Sistem kerja zat aktif pestisida nabati masuk melalui oral

maupun kulit hama. Racunnya akan menyerang sistem saraf maupun

pencernaan sehingga dapat melumpuhkan dan mematikan hama

(Marfu’ah, 2005).

D. Lethal Concentration (LC50)

LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan

kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang diestimasi dengan grafik dan

perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam,

(51)

Menurut Meyer et.al (1982) suatu bahan kimia dinyatakan berkemampuan

toksik akut bila aksi langsungnya mampu membunuh 50% atau lebih populasi

uji dalam selang waktu yang pendek, missal 24 jam, 48 jam s/d 14 hari.

Penentuan LC50 biasanya banyak digunakan dalam uji toksisitas pada

farmakologi. LC50 adalah suatu perhitungan untuk menentukan keaktifan dari

suatu ekstrak atau senyawa. Makna LC50 adalah pada konsentrasi berapa

ekstrak dapat mematikan 50 % dari organisme uji, misalnya larva Artemia

salina (brine shrimp) (Fadhillah, 2013).

E. Hasil Penelitian Relevan

Penelitian yang dilakukan Damayanti (2006) mengenai pengaruh ekstrak

babadotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai insektisida botani terhadap

mortalitas dan perkembangan ulat kubis (Plutella xylostella L.) dari hasil

ANOVA menunjukkan bahwa ekstrak daun babadotan berpengaruh sangat

signifikan (P<0,01) terhadap mortalitas dan perkembangan Plutella xylostella

L. Pada pengamatan mortalitas 24 jam dan 48 jam mortalitas paling tinggi

adalah konsentrasi 4,50%. Dari hasil analisis probit diperoleh LC50-24 jam

sebesar 1,9916% dan LC90-24 jam sebesar 6,2706%. Sedangkan untuk LC50

-48 jam sebesar 1,3443% dan LC90-48 jam sebesar 4,2325%. Persamaan

dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan tanaman A. conyzoides

sebagai alternatif insektisida nabati terhadap ulat P. xylostella. Perbedaannya

adalah pada penelitian Damayanti (2006) ini hanya menggunakan ekstrak

(52)

ekstrak daun dan bunga A. conyzoides. Selain itu, proses maserasi penelitian

ini menggunakan pelarut methanol untuk membuat ekstraknya, sedangkan

penelitian yang dilakukan menggunakan pelarut etanol sebagai pelarut

maserasi simplisia dikarenakan lebih aman serta ramah lingkungan dibanding

methanol. Dalam pengaplikasian penelitian ini menggunakan metode

pencelupan, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan metode

penyemprotan menggunakan handsprayer.

Penelitian yang dilakukan Lumowa (2011) mengenai efektivitas ekstrak

babadotan (Ageratum conyzoides L.) terhadap tingkat kematian larva

Spodoptera litura F. menunjukkan bahwa pada uji pendahuluan dengan

perlakuan konsentrasi 10% ekstrak babadotan menghasilkan tingkat kematian

larva uji sebesar 60% , sedangkan uji lanjutan dengan perlakuan konsentrasi

20% ekstrak babadotan menghasilkan tingkat kematian larva uji sebesar 100%

dengan lama kematian larva uji 26-60 menit. Persamaan dengan penelitian ini

adalah menggunakan ekstrak dari tanaman gulma babadotan (Ageratum

conyzoides L.) yang diuji efektivitasnya sebagai alternatif pengendali hama.

Perbedaannya adalah pada penelitian ini target hamanya adalah larva

Spodoptera litura F., sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan ulat

kubis (Plutella xylostella L.). Penelitian ini tidak menggunakan metode LC50

sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan LC50. Berdasarkan

penelitian Lumowa (2011) membuktikan bahwa ekstrak babadotan (Ageratum

(53)

litura. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak babadotan yang diberikan maka

ekstrak babadotan semakin tinggi tingkat mortalitas larva uji.

Penelitian yang dilakukan oleh Mahendra (2010) mengenai perbedaan

toksisitas ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan ekstrak daun

sereh wangi (Andropogon nardus L.) terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes

aegypti L. membuktikan bahwa ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides

L.) lebih efektif digunakan sebagai larvasida. Hal ini berdasaran pada

besarnya LC50 dan LC90 dari ekstrak daun babadotan pada masa dedah 24 jam

dan 48 jam membutuhkan konsentrasi yang lebih rendah apabila dibandingkan

dengan ekstrak daun sereh wangi (Andropogon nardus L.). Persamaan

penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan ekstrak

tanaman babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan perbedaannya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Mahendra (2010) juga menggunakan ekstrak

daun sereh wangi (Andropogon nardus L.) sebagai pembanding dan

diaplikasikan pada larva nyamuk Aedes aegypti L., sedangkan pada penelitian

yang dilakukan diaplikasikan pada ulat kubis (Plutella xylostella L.).

Penelitian ini hanya menggunakan ekstrak daun tanaman A. conyzoides,

sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan ekstrak daun dan bunga

tanaman A. conyzoides.

Berikut adalah gambar 2.8 yang menunjukkan kebaharuan penelitian ini

(54)
(55)

F. Kerangka Berpikir

Hama ulat kubis (Plutella xylostella L.) merupakan hama tanaman yang

menyerang tanaman kubis-kubisan yang menyebabkan kerusakan kubis pada

bagian daunnya dan membuat para petani kubis mengalami gagal panen dan

penurunan produksi kubis akibat hama ulat tersebut. Dalam pengendaliannya,

Petani cenderung menggunakan insektisida kimiawi yang ampuh tetapi sangat

berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan sekitar.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian

mengenai insektisida nabati dari ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L.

yang mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat sebagai

insektisida seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri. Dengan

bahan baku berupa daun dan bunga Ageratum conyzoidez L. yang dijadikan

insektisida nabati, maka hal tersebut dapat dijadikan suatu alternatif bagi para

petani dalam pengendalian hama dan kualitas tanaman pun tidak berkurang.

Bagan kerangka berpikir dari penelitian yang dilakukan ditampilkan pada

(56)

Gambar 2.9 Kerangka Berpikir

G. Hipotesa

1. Ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. berpengaruh toksik terhadap

mortalitas hama ulat kubis (Plutella xylostella L.).

2. Konsentrasi ekstrak tanaman Ageratum conyzoides L. pada tingkat

konsentrasi tertentu berperan sebagai nilai LC50 24 jam dan 48 jam yang

Gambar

Gambar 2.6 Tanaman
Gambar 2.7 Morfologi Tanaman Ageratum conyzoides L.: (a) Akar
Gambar 2.8 Bagan Literature Map
Gambar 2.9:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian uji efikasi ekstrak tanaman suren ( Toona sinensis Merr.) sebagai insektisida nabati dalam pengendalian hama daun ( Eurema spp dan Spodoptera litura F) dilakukan

xylostella adalah konsentrasi 90 gr/liter menggunakan metode semprot daun dan aplikasi insektisida nabati daun Thitonia diversifolia terbukti dapat

Penelitian uji efikasi ekstrak tanaman suren ( Toona sinensis Merr.) sebagai insektisida nabati dalam pengendalian hama daun ( Eurema spp dan Spodoptera litura F) dilakukan

Insektisida nabati suren ( Toona sureni ) merupakan insektisida terbaik dalam mengendalikan ulat jengkal ( Hyposidra talaca ) tanaman teh di Cikalongwetan, Kabupaten

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa insektisida nabati ekstrak tanaman kemangi dan daun sirih berpengaruh terhadap mortalitas lalat buah, dengan

Insektisida nabati suren (Toona sureni) merupakan insektisida terbaik dalam mengendalikan ulat jengkal (Hyposidra talaca) tanaman teh di Cikalongwetan, Kabupaten

Penelitian uji efikasi ekstrak tanaman suren (Toona sinensis Merr.) sebagai insektisida nabati dalam pengendalian hama daun (Eurema spp dan Spodoptera litura F) dilakukan

Penelitian uji efikasi ekstrak tanaman suren (Toona sinensis Merr.) sebagai insektisida nabati dalam pengendalian hama daun (Eurema spp dan Spodoptera litura F) dilakukan