• Tidak ada hasil yang ditemukan

sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 2. Menganalisis sector unggulan di Kabupaten Labuhanbatu Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 2. Menganalisis sector unggulan di Kabupaten Labuhanbatu Utara."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Menganalisis pertumbuhan ekonomi Kabupaten Labuhanbatu Utara setelah pemekaran.

2. Menganalisis sector unggulan di Kabupaten Labuhanbatu Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat bagi Pemerintah daerah, peneliti dan lainnya. Manfaat penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara, terutama bagi para pengambil keputusan, perencana dan pelaksana pembangunan daerah dalam membuat rencana kebijakan pembangunan wilayah terutama dalam rangka peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Labuhanbatu Utara.

b. Sebagai bahan yang dapat menambah pengetahuan dalam bidang ekonomi regional terutama mengenai dampak pemekaran wilayah, sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah di daerah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(2)

Pengertian wilayah secara umum adalah suatu bagian dari permukaan bumi yang teritorialnya ditentukan atas dasar pengertian, batasan dan perwatakan fisik-geografis (Kustiawan, 2011). Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah didefenisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

Di Indonesia, berbagai konsep nomeklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, “area”, “ruang”, dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan sling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Ketidakonsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingunkan. Secara teoritik, tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu, defenisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditetntukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut. Isard (1975), menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu. Menurutnya wilayah adalah suatu area yang memiliki arti (meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya sedemikian rupa, sehingga ahli regional memiliki interest di dalam menangani

(3)

permasalahan tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan sosial-ekonomi (Rustiadi, et.al., 2011).

Tarigan (2005) mengemukakan bahwa wilayah dapat dibedakan berdasarkan cara pandang terkait dengan kondisinya atau berdasarkan fungsinya yaitu:

1. Wilayah subjektif, yakni wilayah merupakan alat untuk mengidentifikasi suatu lokasi yang berdasarkan kriteria tertentu atau tujuan tertentu.

2. Wilayah objektif, maksudnya ialah wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam di setiap wilayah.

Menurut Kustiawan (2011), secara konseptual, wilayah dapat dibagi menjadi 4 (empat) jenis yaitu:

1. Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari aspek/kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama. Sifat-sifat dan ciri-ciri homogenitas itu misalnya dalam hal ekonomi (seperti wilayah dengan struktur produksi dan konsumsi yang homogen, tingkat pendapatan rendah/miskin, dan lain-lain), geografi (seperti wilayah yang mempunyai topografi atau iklim yang sama), agama, suku dan sebagainya. Wilayah homogen dibatasi berdasarkan keseragamannya secara internal (internal uniformity).

2. Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Sukirno (1976) menyatakan bahwa pengertian wilayah nodal yang paling ideal untuk digunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah, mengartikan

(4)

wilayah tersebut sebagai ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Batas wilayah nodal ditentukan sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi lainnya. Hoover (1977) mengatakan bahwa struktur dari wilayah nodal dapat digambarkan sebagai suatu sel hidup atau suatu atom, dimana terdapat inti dan plasma (periferi) yang saling melengkapi. Pada struktur yang demikian, integrasi fungsional akan lebih merupakan dasar hubungan ketergantungan atau dasar kepentingan masyarakat di dalam wilayah itu, daripada merupakan homogenitas semata-mata. Dalam hubungan saling ketergantungan itu dengan perantaraan pembelian dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa secara lokal, aktifitas-aktifitas regional akan mempengaruhi pembangunan yang satu dengan yang lainnya.

3. Wilayah administratif, adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan. Khusus untuk wilayah administratif provinsi atau kabupaten/kota, dalam peraturan perundang-undangan di negara kita disebut sebagai daerah Otonom. Dalam praktek, apabila membahas mengenai pembangunan wilayah/daerah, maka pengertian wilayah administrasi merupakan pengertian yang paling banyak digunakan. Penggunaan pengertian wilayah administratif disebabkan dua faktor, yakni: (a) dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan bagi berbagai badan pemerintah. Dengan demikian, lebih praktis apabila pembangunan wilayah didasarkan pada satuan wilayah administrasi yang telah ada, dan (b) wilayah yang batasnya ditentukan

(5)

berdasarkan atas satuan administrasi pemerintahan lebih mudah dianalisis, karena sejak pengumpulan data di berbagai bagian wilayah berdasarkan pada satuan wilayah administrasi tersebut. Namun dalam kenyataannya, pembangunan tersebut sering kali tidak hanya dalam satu satuan wilayah administrasi, sebagai contoh adalah pengelolaan pesisir, pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan lingkungan dan sebagainya, yang batasnya bukan berdasarkan administrasi namun berdasarkan batas ekologis yang sering kali bersifat lintas wilayah administrasi (provinsi, kabupaten/kota) sehingga penanganannya memerlukan kerjasama dari satuan wilayah administrasi yang terkait.

4. Wilayah perencanaan (planning region) adalah wilayah yang batasannya di dasarkan secara fungsional dalam kaitannya dengan maksud perencanaan. Wilayah ini memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputsan ekonomi (Boundeville dalam Glasson, 1978). Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan. Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun juga dari aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan daerh aliran sungai harus direncakanan dan dikelola mulai dari hulu sampai hilirnya secara terpadu, karena perlakukan di hulu akan berakibat di bagian hilirnya.

(6)

2.2. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sirojuzilam (2010) menyatakan bahwan tujuan perencanaan pada intinya adalah untuk menyediakan informasi (information) dan tindakan dalam mengalokasi sumber daya kemasyarakatan secara optimal baik yang terkait dengan perencanaan makro maupun perencanaan sektoral dan regional untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah, perencanaan pergerakan dan perencanaan aktifitas pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan ruang wilayah biasanya dituangkan dalam perencanaan tata-ruang wilayah, perencanaan pergerakan dituangkan dalam perencanaan transportasi sedangkan perencanaan aktifitas biasanya tertuang dalam perencanaaan pembangunan wilayah baik jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek. Dalam kondisi yang ideal, perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya dimulai setelah tersusunnya rencana tata-ruang wilayah, karena tata-ruang wilayah merupakan landasan tapi juga sekaligus sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah (Tarigan, 2005).

Baik dalam perencanaan pembangunan nasional maupun dalam perencanaan pembangunan daerah, pendekatan perencanaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pendekatan sektoral adalah dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompok-kan kegiatan

(7)

ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam. Pendekatan regional adalah melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan didalam ruang wilayah. Jadi dalam hal ini kita melihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang lainnya dan bagaimana ruang itu saling berinteraksi untuk diarahkan kepada tercapainya kehidupan yang bertumbuh, efisien dan nyaman. Perbedaan fungsi itu karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi dan perbedaan aktifitas utama di masing-masing ruang, dimana perbedaan itu harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung menciptakan pertumbuhan yang serasi dan seimbang.

Lebih lanjut, Tarigan (2005) mengemukanan bahwa perencanaan pembangunan wilayah tidaklah sempurna apabila hanya menggunakan pendekatan sektoral saja atau pendekatan regional saja. Perencanaan pembangunan wilayah semestinya adalah memadukan kedua pendekatan tersebut. Pendekatan sektoral saja tidak akan mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan lahan (kecuali melakukan pendekatan komprensip seperti Linear Programming), juga tidak mampu melihat perubahan struktur ruang yang mungkin terjadi sebagai akibat dilaksanakannya rencana sektoral tersebut. Misalnya: tidak mampu melihat wilayah mana yang akan banyak berkembang, wilayah mana yang kurang terbangun, perubahan dari pergerakan arus orang dan barang sehingga mungkin diperlukan perubahan kapasitas jaringan jalan, apakah total kegiatan sektoral itu bisa mengganggu kelestarian lingkungan, apakah akan tercipta pusat wilayah baru dan lain-lain sebagainya.

Di sisi lain, pendekatan regional saja juga tidak cukup, karena analisisnya akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detail untuk membahas sektor

(8)

per sektor apalagi komoditi per komoditi. Pendekatan regional saja tidak akan mampu untuk menjelaskan misalnya komoditi apa yang akan dikembangkan, berapa luas, apakah pasar masih dapat menyerap tambahan komoditi tersebut, apakah input untuk pengembangannya masih cukup, bagaimana tingkah laku dari para pesaing, dan lain-lain sebagainya. Atas dasar alasan tersebut diatas, maka pendekatan pembangunan wilayah haruslah gabungan antara pendekatan sektoral dan pendekatan regional.

Menurut Miraza (2006) dalam Sirojuzilam (2010) mengemukakan bahwa perencanaan wilayah mencakup pada berbagai segi kehidupan yang bersifat komprehensif dan satu sama lain saling bersentuhan, yang semuanya bermuara pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai faktor dalam kehidupan seperti ekonomi, politik dan sosial serta budaya maupun adat-istiadat berbaur dalam sebuh perencanaan wilayah yang cukup kompleks. Semua faktor harus dipertingkan dan diupayakan berjalan seiring dan saling mendukung. Perencanaan wilayah diharapkan akan dapat menciptakan sinergi bagi memperkuat posisi pengembangan dan pembangunan wilayah dari berbagai daerah sekitarnya.

Pengembangan wilayah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas terhadap aspek-aspek pembangunan wilayah dari suatu proses yang dinamis dan interaksi kajian teoritis dengan pengalaman yang bersifat praktis dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat (Sirojuzilam, 2010).

Sementara menurut Djakapermana (2010) menyatakan bahwa pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu

(9)

berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan.

Khairulan dan Cahyadin (2006) mengemukakan bahwa pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan antar wilayah. Dalam konteks nasional adanya kesenjangan pembangunan antara wilayah menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Menurut Purnomosidi (1979) dalam Khairulan dan Cahyadin (2006), bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan karena adanya modal yang bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alam, berlangsung secara kontinyu sehingga menimbulkan arus barang. Arus barang sebagai salah satu gejala ekonomi merupakan wujud fisik perdagangan antardaerah, antarpulau dan antarnegara.

Parr (1999) dalam Khairulan dan Cahyadin (2006) lebih lanjut mengemukakan bahwa ada beberapa konsep pengembangan wilayah, yaitu: 1. Membangkitkan kembali daerah terbelakang (depressed area), sebagai daerah

yang memiliki karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapatan per kapita rendah, rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk, dan rendahnya tingkat pelayanan fasilitas dan utilitas yang ada.

2. Mendorong dekosentrasi wilayah, konsep ini untuk menekan tingkat konsentrasi wilayah dan bertujuan untuk membentuk struktur ruang yang

(10)

tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan yang berarti untuk menekan perannya terlalu besar.

3. Memodifikasi sistem kota-kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju pusat-pusat pertumbuhan, yaitu dengan adanya pengaturan sistem perkotaan telah memiliki hirarkhi yang terstruktur dengan baik dan diharapkan akan dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.

4. Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah, hal ini muncul dikarenakan akibat kurang memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya dengan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan, serta yang berhubungan dengan belum dimanfaatkannya sumber daya alam pada beberapa daerah.

2.3. Konsep Pemekaran Wilayah

Menurut Tarigan (2010), konsep pemekaran wilayah merupakan pembagian kewenangan administratif dari satu wilayah menjadi dua atau beberapa wilayah. Pembagian tersebut juga menyangkut luas wilayah maupun jumlah penduduk sehingga lebih mengecil. Pada level provinsi menghasilkan satu pola yakni dari satu provinsi menjadi satu provinsi baru dan satu provinsi induk. Sementara pada level kabupaten terdiri dari beberapa pola yakni, pertama, dari satu kabupaten menjadi satu kabupaten baru (Daerah Otonom Baru) dan kabupaten induk. Kedua, dari satu kabupaten menjadi satu kota baru dan kabupaten induk. Ketiga, dari satu kabupaten menjadi dua kabupaten baru dan satu kabupaten induk.

Secara teoritis, pemekaran wilayah pertama kali diungkapkan oleh Tibout (1956) dalam Nurkholis (2005) dengan pendekatan public choice school. Dalam

(11)

artikelnya ”A Pure Theory of Local Expenditure”, ia mengemukakan bahw pemekaran wilayah dianalogkan sebagai model ekonomi persaingan sempurna dimana pemerintahan daerah memiliki kekuatan untuk mempertahankan tingkat pajak yang rendah, menyediakan pelayanan yang efisien, dan mengijinkan setiap individu masyarakatnya untuk mengekspresikan preferensinya untuk setiap jenis pelayanan dari berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda dengan ”vote with

theirfeet”.

Selain itu, Swianiewicz (2002) dalam Nurkholis (2005) juga mengungkapkan bahwa komunitas lokal yang kecil lebih homogen, dan lebih mudah untuk mengimplementasikan kebijakan yang sesuai dengan preferensi sebagian besar masyarakatnya. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam komunitas yang kecil memiliki peluang lebih besar. Kemudian, pemerintahan daerah yang kecil memiliki birokrasi yang rendah, misalnya fungsi administrasi. Pemekaran juga mendukung adanya persaingan antar pemerintahan daerah dalam mendatangkan modal ke daerahnya masing-masing, dimana hal ini akan meningkatkan produktifitas. Terakhir, pemekaran mendukung berbagai eksperimen/percobaan dan inovasi.

Pemekaran wilayah di Indonesia sebelum tahun 1999 ditentukan oleh pemerintah pusat dengan tahap persiapan yang cukup lama. Tahapan persiapan tersebut menyangkut penyiapan infrastruktur pemerintahan, aparatur pemerintah daerah hingga terbangunnya fasilitas-fasilitas umum. Munculnya wilayah pertumbuhan ekonomi, pemukiman maupun dinamisnya kehidupan sosial politik menjadi penilaian sebelum daerah tersebut ditetapkan menjadi daerah otonom.

(12)

Kewenangan pemerintah pusat yang tinggi justru tidak banyak menimbulkan gejolak sosial politik yang berarti di daerah.

Sementara sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 berlaku, pemerintah daerah dapat mengusulkan pemekaran wilayah asalkan memenuhi kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kriteria lebih lanjut diatur dalam PP No. 129/2000 yang yang diperinci dalam 19 indikator dan 43 sub indikator. Suatu daerah dikatakan “lulus” menjadi daerah otonom apabila daerah induk maupun calon daerah yang akan dibentuk mempunyai total skor sama atau lebih besar dari skor minimal kelulusan, dan “ditolak” apabila sebagian besar (lebih dari separuh) skor sub indikator bernilai 1 (skor terendah).

Aturan diatas menggariskan bahwa daerah akan memiliki kecenderungan untuk dimekarkan apabila daerah tersebut a) terletak di luar Jawa dan Bali; b) daerah berstatus Kabupaten; c) memiliki rasio Pendapatan Daerah Sendiri terhadap pengeluaran total yang besar; d) bukan daerah baru hasil pemekaran; e) memiliki PDRB yang berkontribusi dominan terhadap PDRB total (atas dasar harga berlaku) seluruh Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi; f) mempunyai jumlah penduduk yang besar; g) mempunyai wilayah yang cukup luas; h) mendapatkan alokasi DAU yang besar; dan i) memiliki nilai PDRB yang relatif kecil, FEUI (2005).

Setelah Undang Nomor 22 tahun 1999 direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 maka pengaturan teknis pemekaran wilayah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara

(13)

Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang memiliki persyaratan pemekaran wilayah yang lebih ketat dibandingkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000. Meskipun PP ini telah berlaku namun tampaknya belum cukup kuat membuat pemekaran lebih baik.

Alasan pemekaran secara umum terdapat perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat, ketika merumuskan Peraturan Pemerintah Nomr 129 Tahun 2000 berkeinginan untuk mencari daerah otonom baru yang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Di sisi lain, ternyata pemerintah daerah memiliki pendapat yang berbeda. Pemerintah daerah melihat pemekaran wilayah sebagai upaya untuk secara cepat keluar dari keterpurukan (David Jackson et.al., 2008).

Khairulan dan Cahyadin (2006), menyatakan bahwa pemekaran wilayah pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan meningkatkan serta mempercepat pelayanan, kehidupan demokrasi, perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, keamanan dan ketertiban, dan hubungan yang serasi antar daerah dan pusat. Pada hakekatnya tujuan pemekarana wilayah sebagai upaya peningkatan sumberdaya secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antarsektor, memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup.

2.4. Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan

(14)

membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2004).

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber-sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah (Arsyad, 2004).

Sugiyanto (2010), mengemukakan bahwa secara konsepsi, pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yakni: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan, beberapa strategi pembangunan yang diterapkan diantaranya adalah: strategi pertumbuhan ekonomi, strategi pertumbuhan dan kesempatan kerja, strategi pertumbuhan dan pemerataan, strategi yang menekankan pada kebutuhan dasar (basic need approach), strategi pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan strategi pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).

(15)

2.5. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi 2.5.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Teori mengenai pertumbuhan ekonomi wilayah ini dimulai dari teori yang dikutip dari ekonomi makro/ekonomi pembangunan dengan mengubah batas wilayah dan disesuaikan dengan lingkungan operasionalnya. Menurut Tarigan (2005) teori pertumbuhan yang dikutip dari ekonomi makro akan dengan sendirinya juga berlaku untuk wilayah yang bersangkutan, walaupun yang dibahas adalah satu wilayah tertentu.

Teori lainnya mengenai pertumbuhan ekonomi wilayah juga diungkapkan oleh Richarson dan Tiebout (Tarigan, 2005) yang bernama teori basis ekspor Richardson. Teori ini membagi jenis pekerjaan yang terdapat dalam suatu wilayah atas: pekerjaan basis (dasar) dan pekejaan service (pelayanan). Teori basis ekspor membuat asumsi pokok bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen (independen) dalam pengeluaran. Secara tidak langsung hal ini berarti hanya peningkatan ekspor saja yang dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor-sektor lain terikat peningkatannya oleh peningkatan pendapatan daerah.

Selain teori basis ekspor, terdapat pula model pertumbuhan interregional yang merupakan perluasan dari teori basis ekspor Richardson. Richardson dalam Tarigan (2005) menyatakan bahwa dalam model pertumbuhan interregional diasumsikan bahwa selain dari ekspor, pengeluaran pemerintah dalam investasi juga bersifat eksogen. Suatu daerah diasumsikan terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan kuat. Selain itu, teori basis ekspor

(16)

hanya membahas daerah itu sendiri tanpa memperhatikan pengaruh dari daerah tetangga sedangkan pada model ini dimasukkan pengaruh dari daerah tetangga, sehingga itulah sebabnya model ini dinamakan model pertumbuhan interregional.

2.5.2. Model Pertumbuhan Neo Klasik

Dalam Sjafrizal (2008), model Neo-Klasik dipelopori oleh George H.Bort (1960) dengan mendasarkan analisanya pada Teori Ekonomi Neo-Klasik. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah.

Karena kunci utama pertumbuhan ekonomi daerah adalah peningkatan kegiatan produksi, maka mengikuti Richardson (1978) dalam Sjafrizal (2008), model Neo-Klasik ini dapat diformulasikan mulai dari fungsi produksi. Dengan menganggap bahwa fungsi produksi adalah dalam bentuk Cobb-Douglas, maka dapat ditulis (Sjafrizal, 2008) :

Y = A KL ,  +  = 1 ………(2.1) dimana Y melambangkan PDRB, K dan L melambangkan modal dan tenaga kerja. Karena analisa munyangkut pertumbuhan maka semua variabel adalah fungsi waktu (t). Dengan mengambil turunan matematika persamaan (2.1) terhadap variabel t diperoleh :

(17)

dimana y = dY/dt menunjukan peningkatan PDRB (pertumbuhan ekonomi), a = dA/d menunjukan perubahan teknologi produksi (secara netral), k = dK/dt menunjukan penambahan modal (investasi) dan l = dL/dt penambahan jumlah dan peningkatan kualitas tenaga kerja.

Selanjutanya, bila aspek daerah dimasukan ke dalam analisa ini, maka peningkatan modal di suatu daerah tidak hanya berasal dari tabungan di daerah itu saja, tetapi berasal juga dari modal yang masuk dari luar daerah. Kenyataan ini dapat diformulasikan sebagai berikut :

ki = (si/vi) + nj=1 kji………...……(2.3)

dimana si adalah Marginal Propensity to Save (MPS) di daerah i, vi adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR) daerah i. Sedangkan kji adalah jumlah

modal yang masuk dari daerah lain ke daerah i.

Sama halnya dengan modal, peningkatan jumlah tenaga kerja daerah i tidak saja disebabkan kerana pertambahan penduduk daerah yang bersangkutan saja, tetapi juga karena arus perpindahan penduduk masuk (inmigration) ke daerah yang bersangkutan. Kenyataan ini dapat diformulasikan sebagai berikut :

li = ni + nj=1 mji ………..………(2.4)

dimana ni merupakan pertambahan penduduk daerah yang bersangkutan, mji

adalah penduduk yang masuk (inmigration) ke daerah i yang datang dari derah lainnya j.

Perpindahan modal (kji) dari daerah j ke daerah i terutama oleh tingkat pengembalian modal, r, yang tinggi di daerah i dibandingkan dengan daerah j. Demikian juga dengan perpindahan penduduk yang terjadi karena ada perbedaan tingkat upah, w. Berdasarkan hal ini maka dapat ditulis :

(18)

kji = fk ( ri - rj) ……….(2.5)

mji = fl (wi- wj) ……….………...(2.6)

Penganut Model Neo-Klasik (dalam Sjafrizal, 2008) beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar (divergence). Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang (convergence).

2.5.3. Model Myrdal Mengenai Dampak Balik

Myrdal dalam Jhingan (1993), berpendapat bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses sebab menyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapat keuntungan semakin banyak, dan mereka yang tertinggal di belakang menjadi semakin terhambat. Dampak balik (backwash effect) cenderung membesar dan dampak sebar (spread effect) semakin mengecil. Semakin kumulatif kecenderungan ini semakin memperburuk ketimpangan internasional dan menyebabkan ketimpangan regional di negara-negara terbelakang.

Lebih lanjut Myrdal mendefinisikan dampak balik (backwash effect) sebagai semua perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi suatu ekonomi di

(19)

suatu tempat karena sebab-sebab di luar tempat itu. Dalam istilah ini Myrdal memasukkan dampak migrasi, perpindahan modal, dan perdagangan serta keseluruhan dampak yang timbul dari proses sebab-musabab sirkuler antara faktor-faktor baik non ekonomi maupun ekonomi. Dampak sebar (spread effect) menujuk pada momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Sebab utama ketimpangan regional menurut Myrdal adalah kuatnya dampak balik dan lemahnya dampak sebar di negara terbelakang.

2.5.4. Aglomerasi

Pertumbuhan ekonomi antar daerah biasanya tidak akan sama. Terdapat daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi akan tetapi disisi lain ada pula daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya rendah. Perbedaan daerah dilihat dari pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada munculnya aglomerasi, yaitu terpusatnya kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu daerah saja dan tidak terjadi persebaran yang merata (Kartini H. Sihombing, 2008).

Montgomery dalam Mudrajad Kuncoro (2002) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi, informasi, dan komunikasi.

Menurut Tarigan (2006), keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya aglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale)

(20)

dan economic of agglomeration. Economic of scale adalah keuntungan karena dapat berproduksi berdasarkan spesialisasi sehingga produksi lebih besar dan biaya per unit lebih efisien. Sedangkan economic of agglomeration ialah keuntungan karena di tempat itu terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan oleh perusahaan.

Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah sebab proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan konsentrasi kegiatan ekonomi rendah proses pembangunan akan berjalan lebih lambat. Oleh karena itu, ketidakmerataan ini menimbulkan ketimpangan pembangunan antar wilayah (Sjafrizal, 2008).

2.5.5. Hipotesis Kuznets

Kuznets (1995) dalam Kuncoro (2006) membuat hipotesis adanya kurva U terbalik (inverted U curve) bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata. Menurut Kuznets, “pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro,2004).

(21)

Profesor Kuznets mengemukakan enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui di hampir semua negara yang sekarang maju sebagai berikut :

1. Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi.

2. Tingkat kenaikan produktivitas faktor total yang tinggi. 3. Tingkat transformasi struktural yang ekonomi yang tinggi. 4. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.

5. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru.

6. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sepertiga bagian penduduk dunia.

Dua Faktor yang pertama lazim disebut sebagai variabel-variabel ekonomi agregat. Sedangkan nomor tiga dan empat biasa disebut variabel-variabel transformasi struktural. Adapun dua faktor yang terakhir disebut sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi penyebaran pertumbuhan ekonomi secara internasional (Todaro, 2004).

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian Nuradi (2008) tentang manfaat pemekaran daerah terhadap percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara) menemukan bahwa

(22)

pemekaran daerah bermanfaat terhadap percepatan pembangunan. Dilihat dari perkembangan PDRB dan PDRB per kapita yang menunjukkan perkembangan yang semakin membaik (pertumbuhan PDRB ADHK pada tahun 2006 sebesar 6,22%, pada tahun 2007 menjadi 6,25%. Begitu juga dengan PDRB per kapita ADHK pada tahun 2006 sebesar 3,16% menjadi 4,01% pada tahun 2007).

Penelitian Huzain (2008) tentang perkembangan wilayah kecamatan di Kabupaten Lahat sebelum dan setelah pemekaran, menggunakan analisis skoring dan analisis komparasi menunjukkan bahwa kondisi perkembangan wilayah kecamatan di Kabupaten Lahat setelah pemekaran kesejahteraan penduduk secara absolut justru semakin menurun. Dari aspek ekonomi terdapat 3 kecamatan yang mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kecamatan yang belum memiliki fasilitas perdagangan berupa bangunan pasar permanen, pertumbuhan ekonominya cenderung lambat akibat kurangnya transaksi perdagangan hasil produksi wilayahnya.

2.7. Kerangka Pemikiran

Kerangka penelitian merupakan suatu acuan atau metode dalam tahapan-tahapan pendekatan penelitian dan bertujuan untuk mempermudah teknis dan analisanya. Secara diagramatis kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. sebagai berikut:

Perkembangan Perekonomai di Kabupaten Labuhanbatu Utara Pasca Pemekaran

(23)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Pengembangan Wilayah Kabupaten Labuhanbatu Utara Kesimpulan dan Rekomendasi Analisis Typologi Klassen Analisis LQ Analisis Shift-Share

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian dengan metode difusi sumuran menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun binahong memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Temuan hasil penelitian ini juga mendukung temuan penelitian yang dilakukan oleh Tigor (2011), yang mengungkapkan bahwa lingkungan kerja dan komunikasi

Dengan berdasarkan fakta dan pengalaman perilaku pertambangan di Indonesia yang selama ini selalu mengabaikan keselamatan lingkungan dan semakin minimnya sumberdaya alam yang

• Data warehouse adalah basis data yang menyimpan data sekarang dan data masa lalu yang berasal dari berbagai sistem operasional dan sumber yang lain (sumber eksternal) yang

Yang pertama, variabel independen dalam penelitian ini (elemen e-service quality dan elemen e-recovery service quality ) hanya diuji terhadap variabel intervening

Pada kelompok Optimal, responden yang didiagnosa dengan hipertensi tanpa disertai Diabetes Melitus menunjukkan persentase yang lebih tinggi (18.30%) dibanding reponden yang

(7) Setelah kalian memahami struktur teks prosedur kompleks, sekarang coba perhatikan ciri-ciri kebahasaan yang digunakan pada teks “Apa yang Harus Anda Lakukan Jika Terkena

Untuk mengetahui bagaimana perkembangan harga saham pada perusahaan sektor property & real estate yang tergabung dalam indeks kompas 100